tag:blogger.com,1999:blog-47032570702366396482024-03-13T02:26:04.641-07:00Belajar JurnalistikBelajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-42260443378120756752011-02-28T20:09:00.000-08:002011-02-28T20:09:13.014-08:00Kisah Inspiratif Merayakan Kehidupan<span class="post-content" style="margin-top: 20px;">Indonesia boleh dibagi secara artifisial menjadi dua dunia. Katakanlah dunia politis dan sosiologis. Kalau anda membaca koran halaman politik hari-hari ini, yang tersaji tentang Indonesia tak lain dunia yang warna dominannya adalah kelam kelabu. Sebaliknya, Indonesia yang bewarna utama cerah cemerlang, terbentang di ranah sosiologis.</span><br />
<blockquote>Oleh Mulyo Sunyoto</blockquote><span class="post-content" style="margin-top: 20px;"> Sebuah buku yang diterbitkan Antara Publishing, berjudul "Kisah-kisah Inspiratif Anak Bangsa, Kumpulan Tulisan LKBN ANTARA 2000-2010, dengan penyunting Maria D. Andriana, berisi 50 karangan hasil reportase sang wartawan, boleh dibilang menjadi saksi bahwa Indonesia masih menyimpan optimisme dan dunia penuh harapan dimiliki warga yang tersebar di seantero nusantara.<br />
<br />
Oleh penyunting, buku ini dibagi menjadi empat bagian utama: kisah tentang ketegaran warga, tokoh yang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain, kekuatan bangkit dari bencana dan kisah tentang warisan budaya. Sebagian "feature" yang dimuat dalam buku ini merupakan karya terbaik yang diperlombakan dalam sayembara yang diadakan setiap tahun oleh lembaga kantor berita yang kini berstatus badan usaha milik negara itu. <br />
<br />
Kisah-kisah yang tersaji, dari segi kedalaman, tentu bisa dimaklumi jika terkesan sebatas sketsa. Itu disebabkan oleh ruang terbatas yang disediakan dalam rubrik karangan khas di ANTARA, yang rata-rata tak bisa lebih dari 1.200 kata. Makanya, bagi yang pernah terpukau oleh kisah lima keluarga karangan Oscar Lewis, tak perlulah melakukan komparasi di level kedalaman isi kisah.<br />
<br />
Terlepas dari sifatnya yang sekadar berkabar, 50 kisah dalam buku ini bisa dipakai untuk membaca situasi kemasyarakatan di tanah air, daya dan kedigdayaan orang-orang yang hidup tanpa menunggu bantuan dari pemerintah. Salah satu figur yang bisa dicatat di sini adalah pastor Samuel Oton Sidin yang tergerak untuk memulihkan lahan kritis di Pontianak. <br />
<br />
Yang mengagumkan dari usaha sang pastor bukan kesuksesannya dalam mengolah lahan kritis menjadi lahan yang bertumbuh aneka tanaman. Tapi ketegarannya untuk terus bekerja ketika usahanya kurang mendapat perhatian dari warga sekitar. Sang pastor yang visioner ini tidak melihat hasil kekiniannya tapi prospek jangka panjangnya. Dia yakin, jerih payahnya akan dinikmati anak-anak masa depan. <br />
<br />
Kalau pastor Samuel bekerja atas dasar kerusakan yang ditimbulkan deforestasi, Topo, tetua adat komunitas Ammatoa di kawasan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengerjakan aksi prolingkungannya atas dasar tradisi. <br />
<br />
Dialah figur yang menerapkan filsafat kenalilah lingkunganmu untuk hidup lebih arif dan tak destruktif. Dia mencoba sintas, "survive", dengan menanam, mengolah tanah dan beternak. <br />
<br />
Memang tak semua kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh alam sekitarnya, tapi setidaknya dia melakukan perlawanan terhadap intrusi produk manufaktur. Dia masih mengikat tidak dengan tali rapiah, tapi tali yang dibuatnya sendiri dari pelepah pisang. Atap dari rumbai masih bertahan di rumahnya yang sebagian besar materinya didapat dari alam sekitar. <br />
<br />
Jika Samuel dan Topo bergerak di ranah darat untuk menyelamatkan lingkungan, Nicodemus Manu mewarnai hidupnya dengan menjaga kelestarian terumbu karang di ranah laut Pulau Flores. Profesi utama Nico sebagai Kepala Konservasi Sumber Daya Alam di Taman Wisata Alam Laut Riung, Pulau Flores. Tapi kecintaannya pada alam itulah yang membuat Nico gigih bekerja untuk menyelamatkan terumbu karang dan biota di laut. Dengan kecintaan semacam itu, Nico tak perlu menggugat, sedikitnya bertanya, apakah gaji yang diterimanya sepadan dengan pengorbanan yang dilakukannya dan risiko yang dihadapinya dalam menjalankan tugasnya.<br />
<br />
Kisah inspiratif tentu tak cuma di wilayah nun jauh dari pusat kekuasaan. Kisah penjaga pintu air Manggarai, Jakarta, yang sering didamprat warga juga menjadi salah satu isi buku yang terbit Desember 2010 itu. Gus Haryanto (43) ini menunaikan pekerjaannya, yang di musim hujan, dengan mengorbankan waktu normalnya bersama keluarga. Ketika ketinggian debit Sungai Ciliwung sudah di angka yang mengkhawatirkan, piket 24 jam adalah keniscayaan bagi pria Purworejo, Jawa Tengah ini. <br />
<br />
Kisah inspiratf yang berakhir dengan kesuksesan material terjadi pada diri Asril Das (55), yang memulai usahanya sebagai tukang cukur keliling di Kotobaru, Kabupaten Solok, Sumbar. <br />
<br />
Asril Das adalah salah satu prototipe perantau Minang, yang dengan etos kerja kerasnya, jatuh bangun, dan berhasil melewati banyak rintangan sebelum akhirnya menjadi sorang hartawan, dengan sukses di bidang percetakan, penerbitan dan perhotelan.<br />
<br />
Tentu masih ada 45 kisah inspiratif lain, di berbagai bidang kehidupan, yang dikemas buku yang diberi pengantar oleh Dirut Perum LKBN ANTARA Ahmad Mukhlis Yusuf itu. Mukhlis mengawali pengantarnya dengan mengutip sajak WS Rendra. Pesan sajak itu berbunyi: Kita menyandang tugas demi kehormatan seorang manusia. Ya kehormatan manusia. <br />
<br />
Ke-50 kisah inspiratif dalam buku ini adalah kisah manusia terhormat, yang menjaga kehormatannya itu dengan cara mereka masing-masing namun memiliki satu titik temu, atau benang merah yang bernama keutamaan atau kebajikan dalam merayakan kehidupan.</span>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-84084823662183900212011-02-23T08:56:00.001-08:002011-02-23T08:57:19.772-08:00Kritik Versi Pers Kita<div style="text-align: justify;">ANCAMAN yang disampaikan Sekretaris Kabinet Dipo Alam agar pemerintah dan lembaga negara tak memasang iklan dan tidak memberikan informasi kepada media yang selalu mengkritisi pemerintah (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Metro TV</i>, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Media Indonesia</i>, dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">TV One</i>), sangat mengejutkan banyak kalangan. Kalangan media bereaksi keras. Kuasa hukum Grup Media Indonesia, O.C. Kaligis, mensomasi Dipo Alam dengan tuntutan meminta Sekretaris Negara itu mencabut pernyataannya.</div><div style="text-align: justify;">Reaksi tak kalah garang ditunjukkan kalangan politisi, budayawan, aktivis demokrasi, agaman, dan lain sebagainya. Semua kalangan menilai ancaman Dipo Alam sebagai sebentuk sikap Pemerintah SBY anti-kritik, semacam paranoia seorang bawahan agar atasannya merasa senang. Semua kalangan mendeskriditkan Dipo Alam. </div><div style="text-align: justify;">Padahal, ada niat lain yang hendak disampaikan Dipo Alam di balik pernyataannya itu. Yakni, terkait pengungkapan realitas dunia media kita akhir-akhir ini. Dinamika pertumbuhan media massa yang begitu pesat di era reformasi, tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme kerja yang memadai. </div><div style="text-align: justify;">Para pengelola media tidak lagi memikirkan persaingan ide dan gagasan dalam pemasaran media. Produk media yang satu dengan media lainnya tidak lagi dapat dibedakan. Secara perlahan-lahan bisnis media kita menghilangkan segmentasinya. Pada posisi pembaca, tidak ada alasan kuat untuk membeli media massa lebih dari satu.</div><div style="text-align: justify;">Media massa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mainstream</i> memang masih saja memainkan peran penting, tapi jumlahnya cenderung tak bertambah setiap tahun meskipun media masa bar uterus bertambah. Kehadiran media-media massa baru sifatnya menjadi pelengkap media-media <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mainstream</i>. Kondisi ini semakin jelas jika kita memahami bagaimana jaringan media terbentuk di lingkungan masyarakat. Media yang tak memiliki jaringan, akan terjerembab menjadi media yang partisan.</div><div style="text-align: justify;">Sumber daya manusia yang dimiliki para pengelola media, bukanlah para professional yang memahami betul subtansi media. Tingkat pengetahuan mereka tentang media hanya berlandaskan pada pemahaman-pemahaman umum yang cenderung memosisikan media pada kedudukan sangat tinggi sebagai salah satu pilar demokrasi. Mereka cenderung mengamini peran kesejarahan media daripada menganalisis apakah peran itu masih bisa berkembang atau akan mengalami kemunduran pada akhirnya. Banyak sistem media tidak lagi sesuai dengan klasifikasi lama dari Four Theori of Press.</div><div style="text-align: justify;">Untuk menjadi pilar demokrasi, menjadi kritis saja bukanlah jaminan. Harus juga diikuti dengan kesadaran tinggi bahwa media massa telah menjadi kebutuhan paling primer bagi masyarakat saat ini. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap media massa juga tinggi, karena media massa mampu menyajikan informasi yang sulit didapat masyarakat dalam situasi apapun. </div><div style="text-align: justify;">Pada tataran ini, bukan hal yang mustahil jika banyak kalangan yang berkepentingan mengambil hati public, merebut hati public dengan cara menguasai media massa. Menyampaikan berbagai hal penting melalui media massa, merupakan cara paling praktis untuk mensosialisasikan hal-hal terbaru. Termasuk menyampaikan pesan-pesan idiologis yang syarat akan kepentingan politis, yang oleh banyak kalangan dipahami sebagai semacam kritik. </div><div style="text-align: justify;">Sebab itu, sangat beralasan jika kita mencurigai media-media kritis sebagai media yang sudah terkontaminasi kepentingan-kepentingan tertentu. Pemahaman ini pula yang hendak disampaikan Dipo Alam ketika dia menjelaskan latar belakang pemilik tiga media (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Metro TV</i>, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Media Indonesia</i>, dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">TV One</i>). Publik bisa menyimak, bahwa Partai Golkar yang ada di belakang ketiga media itu merupakan partai politik yang telah beroposisi dengan Pemerintah SBY. </div><div style="text-align: justify;">Dengan latar belakang politik yang beroposisi dengan Pemerintah SBY sangat beralasan jika kemudian pengelola media mendisain pesan sedemikian rupa untuk mempertajam kedudukan opisisi tersebut. Publik bisa memahami sebuah institusi media itu beroposisi dengan Pemerintah SBY atau tidak dengan cara mengukur orientasi yang diperlihatkan dalam editorial, berita utama, dan kolom dalam menanggapi persoalan tertentu. “Pandangan institusi media tidak akan menimbulkan pembohongan,” tulis Warren Breed dalam artikelnya “Sosicial Control in the Newsroom” (1995), “tetapi akan melakukan penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan prefensial”.</div><div style="text-align: justify;">Oposisi memiliki alasan yang kuat untuk memperkokoh posisi dan pendiriannya bila berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah SBY. Salah satunya karena sifat kebijakan pemerintah selalu terselubung, sehingga kebijakan itu rentan disimpangkan dalam pemberitaan media massa. Penyimpangan itu sendiri dilakukan dengan cara mengungkapkan realitas yang berlawanan dari kebijakan yang dibuat pemerintah, sehingga ia menjadi semacam kritik yang memosisikan pemerintah sebagai pelaku pembohongan public.</div><div style="text-align: justify;">Inilah yang didefenisikan Dipo Alam sebagai kritik media terhadap Pemerintah SBY. Meskipun pada satu sisi kentara bahwa Dipo Alam agak kurang memahami subtasial kerja media, di sisi lain ia memiliki dasar legitimasi yang kuat atas pernyataannya yang mendeskriditkan media. Namun, tingkat pemahamannya sangat kuat didasari pada realitas media di era reformasi, sehingga lebih pantas diarahkan kepada pengelola media yang muncul belakangan. Pengelola media yang hadir justru menyebabkan dunia media tidak lagi memperdulikan segmentasi dan persaingan antarmedia.</div><div style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE">Media-media baru yang sesungguhnya menjadi penyebab bangsa kita belum memperoleh kebebasan pers, karena kebebasan pers kita menjadi sangat tergantung pada pemerintah. </span><span lang="NO-BOK">Memang, bentuknya bukan karena pemerintah sangat represip, dikatator, dan hagemonik. Tapi, karena hampir tidak ada industri pers di negeri ini yang tak hidup tanpa dana mengandalkan dari pemerintah. Bentuknya berupa iklan yang dibayar dengan uang rakyat, kerja sama pemberitaan berupa sosialisasi program-program pemerintah dengan total rupiah tertentu, dan kontrak pembelian media oleh pemerintah untuk bacaan masyarakat tertentu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK">Tingginya ketergantungan pers terhadap pemerintah memaksa pengelola pers permisif terhadap kinerja pemerintah. Sulit menemukan pers yang kritis. Apalagi jika institusi pers bersangkutan sudah terikat berbagai kontrak kerja dengan pemerintah. Pemerintah mampu menguasai pers lewat rente ekonomi pers. </span><span lang="ES-VE">Sebab itulah Dipo Alam percaya diri dengan pernyataannya. Sebagai bagian dari Pemerintah SBY, ia merasa telah bersikap sangat baik untuk menghidupi industri pers dengan iklan-iklan dari pemerintah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK">Kesimpulan ini tidak selalu senyampang dengan realitas pers kita. Meskipun ketergantungan terhadap iklan pemerintah sangat tinggi, ada juga pengelola pers yang tidak perduli dengan iklan pemerintah. Institusi pers semacam ini memiliki modal yang kuat sebagai sebuah bisnis, lebih mengandalkan kemampuan merauf belanja iklan dari sektor swasta. ****</span></div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-80630718149960564262011-02-10T18:51:00.005-08:002011-02-10T18:51:32.672-08:00Sebuah Buku, Sipirok NauliSipirok , tempat penelitian ini dilakukan, terletak di bagian selatan dari Provinsi Sumatra Utara, sebuah kota kecil di cekungan Bukit Barisan yang membentuk sebuah kuali besar. Matahari selalu terlambat terbit di kota kecil itu, karena cahayanya terhalang punggung Gunung Sibualbuali yang memiliki ketinggian 4.500 meter dari permukaan laut. Inilah gunung terakhir dalam jejeran Bukit Barisan yang memanjang di Pulau Sumatra bagian Utara. <br />
<br />
Pada pagi, sebelum matahari muncul, kabut tebal merangkak turun dari lereng-lereng gunung itu, ditiup oleh angin yang berembus dari sebelah Barat. Dari puncak Gunung Sibualbuali, menatap ke sebelah Barat, akan tampak bentangan hutan kawasan yang menghijau sejauh mata memandang sampai menghilang di pesisir Barat. Jika sore tiba, meski hari sebetulnya masih sekitar pukul 17. 00 Wib, segalanya tampak meremang. Matahari cepat sekali tenggelam, meninggalkan berkas-berkas cahaya warna senja yang membuat puncak-puncak bukit barisan itu seperti menyala. <br />
<br />
Kabut tebal itu terkadang bertahan di permukaan jalan raya, membuat jarak pandang para pengemudi sangat pendek, dan mesti ekstra hati-hati melintasi jalur dengan kelokan dan patahan yang tajam. Kabut itu meninggalkan udara dingin yang memaksa para penghuninya membungkus diri rapat-rapat dalam kain sarung hingga menutupi kepala. Mereka berjalan dan beraktivitas dengan tubuh terbungkus kain sarung, sehingga kain sarung mengandung banyak makna filosofi bagi masyarakatnya --- baca bab tentang <em>Halak Sipirok dan Kearifan Kain Sarung. </em><br />
<br />
Dengan tubuh dibalut kain sarung sampai kepala, masyarakat mulai keluar rumah untuk menjalankan aktivitasnya yang paling umum ketika hari masih gelap. Kaum bapak akan berangkat ke masjid untuk menyalakan tape recorder, memutar kaset mengaji, dan menggemakan asmah-asmah Allah itu lewat corong-corong mikrofon yang ada di menara-menara setiap masjid. Kabut tebal, udara dingin, dan lantunan ayat-ayat Alquran menggema dari corong-corong mikrofon yang ada pada setiap masjid di kota itu, menjadi hal yang paling umum—baca bab tentang<em> Masojid, Geliat Pagi, dan Gema Mikrofon. </em><br />
<br />
Gema ayat-ayat Alquran itu memenuhi ruang-ruang udara yang ada, membuat suasana kota menjadi riuh, dan setiap penduduknya akan terbangun untuk segera keluar rumah menjalankan ibadah sholat Subuh berjamaah. Sehabis ibadah Subuh, tak seperti kaum perempuan yang langsung ke rumah untuk menanak nasi dan mengurus anak-anak, kaum laki-laki akan mendatangi lopo (warung) kopi di lingkungan mereka. Lopo kopi bagi masyarakat bukan sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi--karena secangkir kopi bisa didapat di rumah--tetapi sebuah arena untuk berdiskusi tentang persoalan-persoalan krusial yang terjadi di lingkungannya. Tidak jarang mereka membicarakan situasi politik dalam negeri, yang sering berakhir menjadi acara saling mengejek di antara mereka dalam semangat bergurau—baca bab tentang<em> Lopo, Kombur, dan Masyarakat Lisan.</em><br />
<br />
Kain-kain sarung itu baru dilepas dan dibelitkan di pinggang manakala cahaya matahari mulai menusuk gumpalan kabut, membentuk batang-batang cahaya yang terang. Bersamaan dengan itu, dari hutan-hutan di Gunung Siabualbuali akan terdengar raung Siamang sahut-bersahutan. Ada tiga kelompok siamang, masing-masing kelompok memiliki daerah territorial, dan setiap ketua kelompok siamang merupakan pemimpin kelompok yang akan meraung member tahu kelompok lain mengenai keberadaan mereka. Tapi, bagi masyarakat kota suara Siamang adalah sebuah isyarat yang selalu dibaca sebagai jadwal untuk memulai aktivitas mencari nafkah: sebagai petani, pedagang, penderes nira aren, buruh, penarik becak, pegawai negeri sipil, pengawai swasta, buruh tani, tukang kayu, pengrajin, datu (dukun), ustad, guru, dan lain sebagainya. <br />
<br />
Selalu sekitar pukul 8.00, desa-desa di Sipirok akan terlihat sepi: para orang tua berangkat bekerja, anak-anak pergi sekolah. Bukan cuma pada Siamang, masyarakat juga sangat perduli dengan hal-hal berbau mistis terkait gejala-gejala alam semesta. Berbagai aktivitas kehidupan, sekalipun mereka sudah hidup di era modern dengan penguasaan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sama seperti daerah-daerah lain, kesadaran mistis mereka tetap bertahan. Dalam hal menjemur padi hasil panen, masyarakat sangat percaya bahwa cabai merah yang diletakkan di atas padi yang sedang dijemur mampu menjaga matahari untuk tetap menyala —baca bab tentang <em>Mistik, dari Begu Ganjang sampai Sirungguk. </em><br />
<br />
Dengan Ibu kota Kelurahan Pasar Sipirok, kota ini memiliki luas 577,18 km per segi dan dihuni 30.554 jiwa yang tinggal di 100 desa. Tingkat kepadatan penduduk 52,94 meter per segi. Komposisi penduduk dominan (90%) merupakan halak (orang) Batak dari sub etnik Angkola, Mandailing, Toba, Simalungun, dan Karo. Sebanyak 10% merupakan masyarakat keturunan Padang, mereka biasa disebut halak (orang) Daret. Setiap masyarakat memiliki kegiatan komersial yang khas. Halak Batak dari sub-etnik Angkola, merupakan warga dominan dan pembuka kampong yang disebut panusunan bulung, mengandalkan sektor pertanian berupa budidaya padi. Budidaya padi baru dilakukan masyarakat sekitar akhir abad ke-19 setelah pengaruh Pemerintah Hindia Belanda masuk, dan awalnya bukan kegiatan komersial melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. <br />
<br />
Di kota ini sebagain besar lahan pesawahan merupakan lahan tadah hujan. Masyarakat mengelola lahan-lahan sawahnya hanya sekali dalam setahun, sedang total lahan yang dikuasai masyarakat sangat sedikit, tak sampai satu hectare per keluarga. Sebagian besar lahan yang ada merupakan lahan keluarga, warisan-warisan keluarga yang sudah dibagi-bagi oleh para ahliwarisnya. Para ahli waris yang sebagian besar tidak tinggal lagi di kota itu, memberikan hak kelola atas lahan miliki kepada orang lain—lebih banyak terhadap orang yang tidak ada kaitannya dengan ikatan persaudaraan sedarah—dengan system bagi hasil—baca bab tentang <em>Hak Waris dan Perpecahan Keluarga (Paulak Sondukki).<br />
</em><br />
Pada awalnya, kegiatan komersil masyarakat di kota ini berupa budidaya tanaman keras seperti cengekih, kopi, kulit manis, dan hasil-hasil hutan seperti rotan, meranti, dan lain sebagainya. Setiap keluarga memiliki perkebunan dengan luas paling minimal 5 hektare. Perkebunan-perkebunan itu dikelola dengan sistem tanam heterogen—segala jenis tanaman budidaya ditanami--meskipun selalu ada tanaman budidaya yang menjadi pilihan dominan. Selain cengkih, kopi juga menjadi pilihan utama masyarakat. <br />
<br />
Sebab itu, pada decade 1920-an, Kota Sipirok dikenal sebagai kota penghasil cengkih dan kopi. Produksi cengkih dari kota ini dijual kepada para pedagang pengumpul yang datang dari berbagai pelosok, terutama pada hari Kamis, saat berlangsung pasar pekanan. Sebagian besar cengkih-cengkih itu dibawa ke Sibolga, membuat kota pelabuhan di pesisir batar Provinsi Sumatra Utara itu menjadi kota dagang yang selalu ramai. Popularitas cengkih membuat kota ini tumbuh pesat dan penduduknya identik sebagai penduduk yang kaya raya. Ditambah hasil kopi yang tidak sedikit, secara ekonomi tingkat kesejahteraan masyarakat kota ini lebih bagus dibandingkan masyarakat dari kota-kota lain di sekitarnya. Inilah alasan logis kenapa dari kota ini bisa melahirkan banyak generasi yang bisa duduk di posisi tertinggi birokrasi pemerintahan Negara seperti menteri: Arifin M. Siregar (dari Desa Simaninggir), Bismar Siregar (dari Desa Baringin), H.M. Ritonga (dari Desa Paranjulu), Hasjrul M. Harahap (dari Desa Bunga Bondar), Lapran Pane (pendiri HMI dari Desa Pangurabaan), dan lain sebagainya —baca bab tentang <em>Mangaratto, Sekolah, dan Jangan jadi Oto.</em><br />
<br />
Masyarakat dari luar kota ini menyebut masyarakat Kota Sipirok sebagai masyarakat sombong karena memiliki kualitas perekonomian yang lebih baik. Hal itu menyebabkan mereka merasa memiliki nilai lebih dibandingkan masyarakat lain. Ciri yang paling khas dari masyarakat kota ini, setiap kali berada di kota lain, selalu mengedepankan berbahasa Melayu. Para perantau dari Sipirok sering tak mau berbahasa Batak. Mereka seakan-akan tidak mengerti bahasa Batak, sehingga banyak yang mengejek perilaku dan mentalitas kultural masyarakat Kota Sipirok dengan syair: <br />
<br />
<em>Sipirok banggo-banggo<br />
Halak Sipirok inda taranggo</em><br />
<br />
Ejekan ini berarti halak Sipirok tak memiliki bekas sebagai orang Batak setiap kali berada di luar daerahnya. Tafsir lain menyebutkan, ejekan itu sebuah penegasiaan tas keberadaan halak Sipirok di kota-kota lain, karena mereka sendiri mengaburkan asal kotanya.<br />
<br />
Halak Sipirok memiliki tradisi khas yakni merantau (mangaratto). Hasil cengkih dan kopi menyebabkan halak Sipirok menjadi lebih sejahtera, sehingga mereka memiliki cukup banyak uang untuk mewujudkan tiga hal yang menjadi filosofi hidup masyarakat Batak dari sub-budaya Angkola ini: hamoraon (kehormatan), hagabeon (kesehatan), hasangapon (kekayaan). Untuk mencapai tiga hal itu, masyarakat akan melakukan apa saja, termasuk memamerkan kemampuan ekonominya kepada orang lain. Sebab itu, ada tradisi lain dari masyarakat yang disebut tu doli. Awalnya kata doli mengacu pada kata Deli, yakni sebutan lain dari Tanah Deli atau Deliserdang atau Kota Medan. Mereka yang sering berangkat ke doli, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki uang. Di doli, mereka tak melakukan banyak hal, hanya berbelanja dan pulang membawa banyak oleh-oleh untuk dibagikan kepada tetangga. Setiap kali seseorang pulang dari doli, biasanya para tetangga akan menyambut dan mengerubukinya agar kebagian oleh-oleh, meskipun hanya sepotong dodol—baca bab tentang <em>Tu Doli, Tradisi Pamer Ekonomi.</em><br />
<br />
Kelurahan Pasar Sipirok merupakan pusat segala dinamika penduduk kota. Sebagai pasar, sebagian besar bangunan di kelurahan ini merupakan perumahan toko berlantai dua. Dibangun pascabencana kebakaran pada tahun 1988, di masa Gubernur Raja Inal Siregar, putra asli dari Kelurahan Bunga Bondar, salah satu desa di Sipirok. Awalnya, rumah-rumah di kelurahan ini merupakan bangunan dari kayu bergaya arsitektur khas rumah masyarakat Melayu dengan lantai yang ditinggikan, dan dibangun sekitar dekade 1950-an dan 1960-an. Disamping sebagai tempat tinggal, rumah-rumah ini berfungsi sebagai toko. Bagian depan rumah disekat untuk memajang berbagai jenis barang dagangan, sedangkan bagian belakang merupakan tempat tinggal. <br />
<br />
Sebagian besar penduduk di Kelurahan Pasar Sipirok bekerja sebagai pedagang, terutama dagang kelontongan, berbagai jenis sembilan bahan pokok, rumah makan, dan lain sebagainya. Para pedagang ini dominan merupakan profesi halak Daret, meskipun ada juga halak Batak yang memilih profesi ini. Tapi, jumlah halak Batak yang berdagang jauh lebih sedikit dibandingkan orang Daret. Sebab itu, orang Daret identik sebagai pedagang. Sejarah kehadiran mereka di Sipirok, diawali dari keinginan para leluhur orang Daret untuk berdagang—baca bab tentang <em>Halak Daret, Ditarik Magnet Ekonomi.</em><br />
<br />
Karena semua rumah di Kelurahan Pasar Sipirok merupakan rumah toko, maka geliat perekonomian di pasar ini mulai terasa sejak Subuh. Tapi geliatnya sebagai pasar makin hebat setiap hari Kamis. Pada hari Kamis, Kelurahan Pasar Sipirok akan menjelma sebagai hypermarket tradisional, dimana seluruh warga Sipirok dari 100 desa akan berkumpul di pasar ini. Sebagian besar dari mereka datang membawa berbagai jenis hasil pertanian dan perkebunan untuk dijual, kemudian hasil penjualan akan dibelanjakan membeli berbagai kebutuhan hidup untuk satu pekan ke depan, terutama barang-barang yang tidak bisa mereka dapatkan di desa masing-masing seperti ikan laut. <br />
<br />
Karena seluruh warga Sipirok berkumpul, pedagang dari berbagai kota juga berkumpul, membuka lapak-lapak di pinggir jalan dan di kawasan tanah lapang yang dipersiapkan untuk menampung mereka. Kelurahan Pasar Sipirok akan menjadi sesak setiap hari Kamis, keriuhan para pedagang menjajakan berbagai jenis dagangannya menjadi pemandangan yang khas. Tapi kemudian semua kembali pada kondisi semula, tenang dan nyaman, pada malam hari. Hanya sisa sampah yang tertinggal.<br />
<br />
Pada empat sisinya, Sipirok dikelilingi oleh bukit barisan yang merupakan kawasan hutan lindung. Di sisi Selatan, membentang ribuan hektare hutan tanam industri barang-barang ya nberupa pohon pinus dan kayu putih. Ini kawasan reboisasi yang dihijaukan secara bergotong-royong oleh masyarakat Sipirok bersama Departemen Kehutanan pada decade 1950-an dengan bibit sumbangan dari PT Toba Pulp, pabrik bubur kertas di kawasan Siborong-Borong, di sekitar areal Danau Toba. Kawasan hutan pinus ini menjadi sabuk hijau yang senantiasa mampu menjaga kesegaran dan keasrian iklim di Sipirok, meskipun pada awal reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menebanginya untuk membangun kompleks Markas Brigadir Mobil Polres Tapanuli Selatan—baca bab tentang <em>Gotong Royong: dari Ubi Tumbuk sampai Sambal Tuktuk.</em><br />
<br />
Kebijakan Departemen Kehutanan mengizinkan penebangan hutan-hutan pinus oleh Polri, dicontoh oleh masyarakat sekitar yang merasa memiliki hak atas lahan-lahan areal kawasan hutan. Pada decade 1950-an dan 1960-an, sebelum berubaha menjadi kawasan hutan negara, lahan-lahan tersebut merupakan tanah-tanah adat yang disumbangkan masyarakat karena pemerintah pusat menginginkannya. Sebagai ungkapan kesediaan masyarakat untuk memberikan hak atas tanah adatnya untuk ditanami pinus dan kayu putih, masyarakat Sipirok bergotong-royong menanam bibit-bibit di areal tanah adatnya masing-masing. Tapi, ketika Polri membuka areal itu untuk Markas Brimob, para ahli waris pemilik tanah adat tidak mau kalah, mereka ikut membuka kawasan hutan pinus tersebut—baca bab tentang <em>Hak Adat, Dimana Tanah Leluhur Kami.</em><br />
<br />
Akhir-akhir ini Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mengurus izin membuka 200 hektare areal di sabuk hijau Kota Sipirok itu untuk lokasi pertapakan Kantor Bupati Tapanuli Selatan. Ketika Polri yang merupakan penjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat—termasuk di dalam mengatasi segala bentuk upaya perambahan hutan dalam rangka menertibkan tindak melawan hokum berupa illegal logging—para ahli waris tanah-tanah adat itu merasa diajari. Konon lagi jika Pemda Tapanuli Selatan membuka areal itu, sangat pasti akan menimbulkan konflik berkepanjangan terkait pengambilan kembali hak tanah adat masyarakat—baca bab tentang Guru Kencing Berlari, Kami Mengencingi Guru.<br />
Di sisi Timur, ada bukit-bukit yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Padang Lawas. Di kaki-kaki bukit yang merupakan kawasan hutan lindung ini, terdapat banyak perkampungan yang biasa disebut luat harangan (kampong dalam hutan). Kampung-kampung luat harangan identik sebagai perkampung yang terisolasi, miskin, dan terbelakang. Sebut saja Desa Gadu, Liang, Aek Sialan, Pargarutan, Parmanoan, dan lain sebagainya. Kampung-kampung ini berjarak sekitar 5—15 km dari Kelurahan Sipirok, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda. <br />
<br />
Anak-anak dari luat harangan hanya mengenyam pendidikan sampai bangku SD. Karena jarak antara satu kampong dengan kampong lain berjauhan, institusi pendidikan yang ada di lingkungan mereka hanya sampai tingkat sekolah dasar. Untuk mengenyam pendidikan di bangku SD, tidak sedikit anak-anak yang mesti berjalan kaki 5 sampai 10 km, bertelanjang kaki melintasi hutan dan menyeberangi sungai-sungai deras. Para siswa di SD Negeri Gadu, misalnya, berasal dari empat desa di luat harangan. Setiap pagi, anak-anak berseragam SD akan terlihat berjalan kaki membentuk barisan. Mereka menjinjing sepatu, ujung celana atau rok sudah basah oleh bekas embun, tetapi mata mereka memancarkan semangat untuk belajar di local-lokal kelas yang sering tak member rasa nyaman dan aman—baca bab tentang <em>Sekolah Kami, Mereka Lupa Merehabnya.</em><br />
<br />
Jika ingin melanjutkan ke jenjang SMP, mereka harus keluar dari kampungnya dan tinggal di kampong-kampung lain yang memiliki SMP. Sebagian besar anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dari luat harangan, lebih memilih sekolah yang ada di Kota Padang Sidempuan ketimbang di Kota Sipirok. Jarak yang harus mereka tempuh jauh lebih dekat, karena mereka bisa memotong jalur melintasi hutan dan keluar di Desa Tabusira, sebuah desa di pinggir Jalan Lintas Sumatra. Dari Desa Tabusira, mereka memilih menaik kendaraan umum yang bisa ditempuh sekitar setengah jam untuk sampai ke Kota Padang Sidempuan. <br />
<br />
Di Kota Padang Sidempuan, banyak alternatif SMP yang bisa dipilih, disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga masing-masing. Sedangkan di Kota Sipirok, altenatif SMP sangat terbatas. Untuk bisa bersekolah di SMP, anak-anak dari luat harangan ini terpaksa tinggal sendiri di rumah-rumah kontrakan dan hidup tanpa pengawasan orang tua. Mereka biasa disebut anak dagang. Mereka tumbuh dan belajar sendiri hanya mengandalkan pengawasan dari guru di sekolah, bermodalkan beras yang dibawa dari rumah masing-masing setiap pekan, dan tanpa uang saku. Kapasitas gizi mereka tidak memadai. Tidak jarang mereka makan hanya dengan nasi putih butiran garam, sekali-sekali dengan lauk-pauk ikan asin yang dibakar—baca bab tentang <em>Betahun-Tahun Terisolasi, Kami Belum Merdeka Barangkali.</em><br />
<br />
Selepas SMP, mereka akan terus melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Selama itu pula, mereka akan hidup seorang diri. Selepas SMA, mereka akan memilih ke jenjang pendidikan tinggi. Sebagian tetap di Kota Padang Sidempuan, tak sedikit yang memilih meratau ke kota-kota besar yang ada di Indonesia.<br />
Di sisi Utara, Sipirok berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, dibatasi kawasan hutan lindung yang mulai tidak terlindungi. Di dalam kawasan hutan lindung ini, ada banyak perkampungan yang juga disebut luat harangan. Seperti juga masyarakat dari luat harangan di sebelah Timur, anak-anak dari perkampungan ini pun banyak yang meninggalkan kampungnya untuk mengenyam pendidikan di jenjang lebih tinggi dari SD. Perkampungan di luat harangan sebelah utara ini seperti Desa Bulu Mario, Desa Paske, Desa Dano, dan lain sebagainya.<br />
<br />
Untuk sampai di Kota Sipirok, dari Kota Medan, kota terbesar di Provinsi Sumatra Utara, butuh waktu delapan jam melalui jalan darat. Dalam hitungan waktu delapan jam, Sipirok dapat ditempuh dari Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatra Barat. Waktu yang hampir sama juga bisa ditempuh via Kota Sibolga di sebelah Barat atau lewat jalur Kota Rantauprapat di sebelah Timur. <br />
<br />
Sepanjang perjalanan mengikuti alur aspal Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum), sering menikung mengikuti lekuk-lekuk kontur tanah perbukitan, kita disuguhi pemandangan asri berupa hutan lindung, hutan kawasan, dan sungai-sungai mengalir. Semilir angin menggiring aroma kesegaran dan kesejukan alam yang belum tersentuh polusi udara. Terkadang menguap aroma sulfur dari akar urat vulkanik yang bermuara di kepundan gunung berapi sepanjang barisan bukit, menandakan bentangan pesawahan yang membentuk tangga-tangga di lereng bukit-bukit memiliki kesuburan alamiah dari timbunan humus tanah. Tapi, semua pesona alam itu tidak bisa dinikmati karena kualitas jalan sangat buruk. <br />
<br />
Jalan di kota ini sepanjang sekitar 255 km, terdiri dari 80,90 km berupa aspal, penuh lobang, mengingatkan pada kubangan kerbau; sebanyak 53,10 km merupakan jalan onderlag, tetapi tidak terawat, bak muka penuh bopeng bekas jerawat; sebanyak 37,90 km merupakan jalan kerikil yang diperas, tetapi batu-batunya tercerabut keluar, membuat siapa saja terantuk dan terjatuh; serta 81,01 km merupakan jalan tanah yang lebih terlihat seperti tumpukan lumpur di musim hujan dan sering menahan mobil-mobil yang lewat sehingga tenggelam dam kubangan—baca bab tentang <em>Mobilitas yang tak Mobile.</em><br />
<br />
Jika jalur darat dari Kota Medan maupun Kota Padang terlalu banyak memakan waktu tempuh dan mendesak untuk segera tiba, ada alternatif jalur udara. Dengan pesawat Fokker 27 milik Maskapai Susi Air yang take off dari Bandar Udara Polonia, kita bisa mendarat di landasan pacu sepanjang 42.000 meter per segi di Bandara Udara Aekgodang dalam waktu sekitar dua puluh menit. Terbang di atas Kabupaten Tapanuli Selatan yang membentang seluas 4.367,05 km2 (436.705 hektare), tumpukan kabut tipis tampak serupa kapas menggumpal di pucuk-pucuk bukit barisan yang berjajar seolah memagari. Pemandangan petak-petak sawah dengan kelokan sungai yang memanjang, ditambah bentangan perkebunan sawit dan padang rumput menghijau menambah kenyamanan perjalanan—baca bab tentang <em>Bisa Terbang, Bisakah….</em><br />
<br />
Bandara Udara Aekgodang memang dibangun sebagai alternatif transportasi bagi mereka yang menghendaki perjalanan dalam waktu singkat. Terletak di perbatasan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Kabupaten Padang Lawas, bandara ini baru melayani satu penerbangan setiap hari dengan pesawat berkapasitas 12 kursi. Jadwal penerbangan itu belum memadai mengingat banyak calon penumpang yang tak terlayani. Dari Bandara Aekgodang menuju Kota Sipirok, perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit. Di Kota Sipirok, yang merupakan salah satu kawasan kunjungan wisata di Provinsi Sumatra Utara, Hotel Tor Sibohi standar internasional dapat menjadi tempat istirhat yang nyaman. Berdiri di kaki Gunung Sibuahbuali, di kawasan Tor (Gunung) Sibohi, para pengunjung akan disuguhi bentang daerah pengunungan yang menghadap ke Kota Sipirok.<br />
<br />
Dengan fasilitas 70 bungalow yang didesain serupa rumah adat, dibangun dalam jajaran yang rapih dan asri, sewa kamar berkisar Rp150.000—Rp500.000 semalam. Sejumlah biro perjalanan wisata di Kota Medan dan di DKI Jakarta merekomendasi para pelanggannya untuk singgah di Hotel Tor Sibohi, lalu menikmati ragam tradisi dan karya seni khas Kota Sipirok. Ada juga objek wisata yang didesain para pengelola biro perjalanan sebagai paket wisata, mulai dari Pemandian Air Panas Sosopan, Pemandian Air Panas Padangbujur, seni kerajinan tangan manik-manik di Kelurahan Hutasuhut, kain tenun adat yang disebut abit godang dan parompa, dan banyak alternative obyek wisata lainnya—baca bab tentang <em>Wisata, Wiiiiih …Tak Nyata</em><br />
<br />
Para pengunjung, apalagi bagi wisatawan yang punya selera tinggi terhadap sejarah, bisa menikmati selera ilmiahnya di Kota Sipirok. Kota Sipirok pertama sekali dikenal di zaman Belanda sebagai daerah awal di Provinsi Sumatra Utara, dimana Gereja pertama dibangun. Di Desa Parausorat, sekitar lima kilometer dari pusat Kota Sipirok, sejarah masuknya agama Kristen dan sejarah pembaptisan akan memenuhi selera tentang histori. Ada juga masjid yang menyimpan sejarah yakni Masjid Sri Alam Dunia di Kelurrhan Bagas Nagodang, yang awalnya bukan saja sebagai tempat ibadah melainkan pusat segala kegiatan beragama di wilayah Kota Sipirok. Bahkan, di era 1930-an masjid ini menjadi pusat aktivitas politik para kiyai untuk mentang kolonialisme Belanda yang berkedok penyebaran agama Kristen —baca bab tentang <em>Politik di Aras Tradisi: Dari Serikat Islam Hingga Nahdlatul Ulama</em><br />
<br />
Dibangun pada tahun 1926, Masjid Sri Alam Dunia menjadi simbol dari perlawanan atas penjajahan Belanda yang juga melancarkan kristenisasi. Namun, pertentangan antara pengelola Masjid Sri Alam Dunia dengan Belanda tidak melibatkan masalah agama, karena pertentangan antaragama Islam dan Kristen tidak pernah terjadi di kawasan ini. Pertentangan itu hanya terjadi pada tingkat wacana, ketika Belanda mendeskriditkan masyarakat penganut agama Islam dalam berbagai dinamika kehidupan bermasyarakat, dan lebih memberi tempat kepada masyarakat Kristen—baca bab tentang <em>Marjambar, Toleransi Agama.</em><br />
<br />
Inilah sejarah yang luhur, yang buktinya dapat dilihat dari pembangunan Masjid Sri Alam Dunia yang bersebelahan dengan gereja. Kedua rumah ibadah yang berdekatan itu menjadi symbol betapa semua lapisan masyarakat di Kota Sipirok menjaga kerukunan antarumat beragama, dan bisa hidup secara social tanpa kontradiksi yang dipicu oleh perbedaan pemahaman agama tersebut.<br />
<br />
Jika alternative wisata sejarah ini belum memenuhi selera para wisatawan, masih ada sejumlah objek wisata di Kabupaten Tapanuli Selatan yang tak kalah dengan objek wisata di daerah lain. Sebut saja Aek Sijornih, air terjun yang menjadi tempat hiburan rakyat ini, menyuguhkan pesona alam yang asri dengan kesegaran butiran air sungai yang dapat dipakai untuk mandi. Ada juga Danau Siais yang merupakan danau terbesar kedua di Provinsi Sumatra Utara, dapat menjadi wisata ilmiah bagi para peneliti yang ingin mengetahui kekayaan flora dan fauna di kawasan danau yang terbentuk dari patahan aliran Aek (Sungai) Batangtoru tersebut..........................<br />
<br />
<br />
<br />
Judul Buku : Sipirok, Banua Nasoli<br />
Penulis : Budi P. Hatees<br />
Tebal : xvii + 350 halaman<br />
Penerbit : MataKata, 2009<br />
ISBN : 975-456-2345-23<br />
<br />
Daftar Isi<br />
Pengantar Penerbit<br />
Prolog<br />
<br />
1. Halak Sipirok dan Kearifan Kain Sarung <br />
2. Masojid, Geliat Pagi, dan Gema Mikrofon.<br />
3. Lopo, Kombur, dan Masyarakat Lisan.<br />
4. Mistik: dari Begu Ganjang sampai Sirungguk <br />
5. Hak Waris: Paulak Sondukki.<br />
6. Mangaratto, Sekolah, dan Jangan jadi Oto.<br />
7. Tu Doli, Tradisi Pamer Ekonomi.<br />
8. Halak Daret, Ditarik Magnet Ekonomi.<br />
9. Gotong Royong: dari Daun Ubi Tumbuk sampai Sambal Tuktuk<br />
10. Hak Adat, Dimana Tanah Leluhur Kami<br />
11. Guru Kencing Berlari, Kami Mengencingi Guru.<br />
12. Sekolah Kami, Mereka Lupa Merehabnya.<br />
13. Betahun-Tahun Terisolasi, Kami Belum Merdeka Barangkali.<br />
14. Mobilitas yang tak Mobile.<br />
15. Bisa Terbang, Bisakah….<br />
16. Wisata, Wiiiiih …. Tak Nyata<br />
17. Politik di Aras Tradisi: Dari Serikat Islam Hingga Nahdlatul Ulama<br />
18. Marjambar, Toleransi Agama.<br />
19. Geliat Ekonomi Rakyat, Kenapa Kami Masih Melarat?<br />
20. Dilarang Sakit Pada Hari Minggu.<br />
<br />
EpilogBelajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-35904704115501771212011-02-10T18:50:00.001-08:002011-02-10T18:50:15.312-08:00Burung BeoBurung beo itu diajari tuannya. “Selamat pagi, tuan!” kata tuannya. Burung beo itu mengikuti. “Selamat pagi, tuan.”<br />
Begitulah setiap pagi, si burung beo mengatakan hal yang sama. Siapa saja yang datang, dia mengatakan “selamat pagi, tuan.” Tak perduli pada waktu malam, sore, siang,.... Burung beo itu selalu bilang “selamat pagi, tuan.”<br />
Suatu hari seorang tamu yang datang pada malam hari, protes kepada si tuan burung beo. “Kenapa, bro? Kenapa setiap kali saya datang, burung beo itu selalu bilang selamat pagi, tuan. Padahal, saya datang malam hari.”<br />
Si tuan burung beo tergelak. “Itulah burung beo.”<br />
“Berarti dikau harus mengajarinya kembali, bro.”<br />
“Percuma. Kalau saya ajari dia mengatakan ‘selamat malam, tuan’, dia pasti bisa.”<br />
“Berarti tidak percuma.”<br />
“Dia akan mengatakan ‘selamat malam, tuan’ pada pagi hari.”<br />
“Ajari dia soal waktu, bro,” kata tamunya.<br />
“Bukankah sebaiknya saya taruh jam di dalam sangkarnya. Jadi dia bisa bilang ‘selamat pagi, tuan’ kalau jarum jam menunjukkan pagi hari. Begitu sebaliknya.”<br />
Si tamu tertawa. “Semakin ngawur dikau, bro.”<br />
“Dikau juga, bro, terlalu memaksakan diri. Burung beo itu tidak akan pernah ngerti soal waktu. Karena bukan waktu yang menjadi esensi persoalannya.”<br />
“Lantas apa?” <br />
“Kebeoannya. Saya menyukai kebeoannya. Burung itu seperti anak buah saya. Setiap kali saya suruh ini, dia pasti mengerjakan ini. Dia tidak pernah mengerjakan itu.”<br />
“Itu namanya patuh perintah atasan.”<br />
“Itu namanya nurut perintah atasan, bukan patuh. Pasti di dalam hatinya dia bilang, alangkah tololnya atasan saya ini. Tapi, dia tidak pernah berani mengatakannya secara lugas.”<br />
“Kenapa?”<br />
“Itu pertanyaan saya. Saya sengaja menyuruhnya mengerjakan ini meskipun saya tahu tidak logis, tetapi saya tahu dia akan mengerjakannya.”<br />
“Dikau juga salah, bro.”<br />
“Atasan tidak pernah salah, bro.”<br />
“Dikau terlalu egois, bro.”<br />
“Saya kan yang punya modal. Saya kan penguasa. Saya boleh saja menguji orang yang saya gaji. Kalau saya suruh hal yang tak logis ternyata anak buah saya melakukannya meskipun hasilnya buruk, saya kan bisa menyimpulkan bahwa dia tidak jauh berbeda dengan burung beo.”<br />
“Kenapa burung beo itu tidak digaji saja, bro.”<br />
“Rencananya bulan depan. Dia jauh lebih patuh ketimbang anak buah saya.”Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-21938611460424750182011-02-10T18:48:00.001-08:002011-02-10T18:48:51.402-08:00Lafran Pane Tidak Dikenal di Kampung SendiriSetiap 25 Januari, sebuah organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akan mengenang satu orang: Prof.Drs.H.Lafran Pane. Dia pemrakarsa berdirinya HMI, organisasi yang banyak melahirkan sumber daya manusia (SDM) terbaik di negeri ini, juga punya andil besar terhadap lahirnya proklamasi. <br />
<br />
Pada 25 Januari 1991, beliau meninggal dunia. Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, hal 502 menyebutkan: Lafran Pane sebagai generasi ketiga inteligensia muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim,dll), generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an).<br />
<br />
Meskipun Lafran Pane menyejarah, tetapi di kampung kelahirannya, di Desa Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, nama itu hampir tidak pernah disebutkan dalam berbagai kegiatan. Tapi, bukan cuma Lafran Pane, juga semua anggota keluarga besar Sutan Pangurabaan Pane.<br />
<br />
Setiap orang di Kota Sipirok paham kalau Pane berasal dari Desa Pangurabaan. Masyarakat marga Pane konon berasal dari Utara, merantau ke wilah Selatan melalui jalur sungai Bila (Aek Bila) di Kecamatan Biru. Dari daerah itu, leluhur marga Pane kemudian menetap di Kecamatan Arse, lantas menyebar ke wilayah Kecamatan Sipirok, tinggal dan beranak-pinak di Desa Pangurabaan.<br />
<br />
Awalnya, Desa Pangurabaan dominan dihuni masyarakat bermarga Pane. Dalam perkembangan kemudian terjadi asimilasi budaya akibat perkawinan dan arus pendatang, Desa Pangurabaan tidak identik lagi dengan marga Pane. <br />
<br />
Desa ini dibelah dua jalur Jalan Lintas Sumatra, sekitar 5 km dari ibu kota Sipirok, Kelurahan Pasar Sipirok, ke arah Utara. Bertetangga dengan Desa Bagas Nagodang, sebuah desa yang merupakan salah satu desa pertama di Kecamatan Sipirok. Kehadiran masyarakat marga Pane di Kecamatan Sipirok erat kaitannya dengan tradisi persaudaraan yang dibangun dengan masyarakat marga Siregar, yakni masyarakat yang dominan menghuni Desa Bagas Na Godang. <br />
<br />
Di pinggir jalan, di salah satu rumah tua bercata hijau yang kurang terawat, di sanalah Lafran Pane lahir. Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, seorang budayawan, sastrawan, wartawan, intelektual, dan tokoh pergerakan terkenal dari Partai Indonesia (PARTINDO) di Sumatera Utara. Dari tangan Sutan Pangurabaan Pane telah lahir banyak buku berupa novel yang ditulis dalam bahasa Batak dari lingkungan masyarakat beradat Angkola--yakni masyarakat Batak yang tinggal di Kecamatan Sipirok. <br />
<br />
Salah satunya karya Sutan Pangurabaan Pane adalah Tolbok Haleon (Hati yang Kemarau) diterbitkan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah 1982 dalam katagori naskah kuno. Naskah novel ini pertama kali terbit 1933 di Medan, dan sampai tahun 1980-an masih dipakai sebagai bacaan di sekolah. Tolbok Haleon berkisah tentang kehidupan Lilian Lolosan dan Sitti Bajani pada masa kolonial di Tapanuli Selatan. Novel ini terbit Sutan Pangurabaan Pane tidak berbicara tentang kawin paksa dan pertentangan adat seperti kebanyak novel yang muncul saat itu. Dia bercerita tentang nasib cinta tokohnya yang mesti mengungsi akibat peperangan melawan Belanda. <br />
<br />
Lafran Pane adalah anak keenam Sutan Pangurabaan Pane. Di tangan Sutan Pangurabaan Pane yang bervisi jauh ke depan dan sudah membayangkan masa depan sebuah negeri yang merdeka, anak-anaknya dididik menjadi generasi muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi tokoh nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan sejarawan nasional), dan juga Lafran Pane.<br />
<br />
Tapi keluarga para tokoh nasional ini tidak begitu dikenal di kampungnya, di Desa Pangurabaan. Tidak banyak yang tahu kalau Sutan Pangurabaan Pane pernah hidup di antara mereka sebagai figur ayah yang keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil sebagai tokoh nasional. <br />
<br />
Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923. Sebelum masuk Sekolah Tinggi Islam (STI) latar belakang pendidikan yang utama dari Lafran Pane adalah Pesantren, HIS, MULO, dan AMS Muhammadiyah. Dia juga pernah belajar di sekolah-sekolah nasionalis, seperti Taman Aksara di Sipirok dan Taman Siswa di Medan (Agussalim Sitompul 1976).<br />
<br />
Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (HESP). Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu 26 Januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran Pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.<br />
<br />
Mengenai Lafran Pane, Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :“ Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.<br />
<br />
Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam. HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi fondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.<br />
<br />
Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya.<br />
<br />
Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.<br />
<br />
Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan.<br />
<br />
Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W.<br />
<br />
Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).<br />
<br />
Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.<br />
<br />
Lafran sendiri meyakini bahwa agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan Islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.<br />
<br />
Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, pada pidato pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), Kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:<br />
<br />
“Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) Negara “. (hal.6)<br />
<br />
Dari sepak terjang Lafran Pane dan sumbangannya yang luar biasa terhadap negara, sangat layak putra daerah dari Kecamatan Sipirok ini menjadi PAHLAWAN NASIONAL.Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-63976020764850927982011-02-10T18:46:00.001-08:002011-02-10T18:46:56.845-08:00Fakta SerbaselintasanKita istirahat dulu sebentar dari pekerjaan memburu berita, karena berita yang sudah kita tulis dan disiarkan media tempat kita bekerja ternyata menimbulkan pertanyaan yang sifatnya fungsional, subtansial, dan sekaligus artificial bagi public pembaca. Setiap berita itu ternyata sudah seperti teks-teks karya sastra yang membalut realitas dalam selubung-selubung bahasa sehingga seorang pembaca seperti sedang melihat sebatang pensil di dalam segelas air dari sisi luar gelas itu. <br />
<br />
Batang pensil itu terlihat seperti patah atau bengkok, padahal kita tahu pensil itu sesungguhnya sangat sempurna. Jika pensil itu kita sebut sebagai realitas, sedang kita merupakan public pembaca, sudah barang tentu sesame pembaca akan berdebat mempertahankan kebenaran masing-masing antara yang actual atau yang ideal. <br />
<br />
Hal aktual dari pensil itu adalah sebatang pensil yang terlihat seperti bengkok atau patah, dan kita akan mempertahankan apa yang kita lihat itu karena panca indera siapa pun pasti akan melihat hal yang sama seperti kita, sehingga kita tidak melakukan kesalahan apapun dengan mempertahankan hal itu. Sedangkan hal ideal adalah sebatang pensil itu sesungguhnya tidak patah atau tidak bengkok, dan setiap orang yang memiliki intelektual paling buruk sekalipun pasti akan mendukung hal ideal itu. <br />
<br />
Saya memakai kata realitas karena pengertian makna kata ini akan membuat kita berdebat sangat panjang mengingat realitas akan bercecabang pada dua pengertian yang bertolak belakang: aktual atau ideal. Selain itu, saya selalu melihat sepotong berita (selanjutnya saya sebut saja informasi) sejak dari proses awal sampai disiarkan sebuah institusi media massa, berada dalam situasi diombak-ambik oleh kekuatan pemaknaan antara actual dan ideal. <br />
<br />
Seorang jurnalis paling professional dan idealis pun akan setuju dengan hal ini, meskipun tetap tidak bisa mengambil posisi yang tegas untuk hanya mengedepankan hal ideal. Sejak seorang professional memulai pekerjaan kejurnalistikannya, ia telah diikat oleh aturan-aturan dan etika-etika profesi yang sangat mengagungkan pada kebersahajaan fakta. <br />
<br />
Para professional jurnalis di dunia ini akan meletakkan fakta pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dari kepalanya. Penghormatan terhadap fakta melebihi penghormatan terhadap para konglomerat media, sekalipun konglomerat media memiliki kekuasaan untuk mengubah sebuah fakta menjadi fiksi. Bill Kovack termasuk satu dari sedikit professional jurnalis yang memberi hormat luar biasa terhadap fakta. Dalam bukunya yang menjadi panduan bagi para professional jurnalis, Kovack memasukkan fakta sebagai salah satu elemen jurnalisme yang mesti diperhatikan dalam kegiatan kejurnalistikkan. <br />
<br />
Tapi, kalau pemahaman tentang fakta seperti di atas menguasai para professional jurnalis yang sekaligus menegaskan bahwa fakta itu sama saja dengan sebuah kemungkinan, tentunya kita perlu menjawab pertanyaan yang sifatnya fungsional, subtansial, dan sekaligus artificial tentang informasi yang akhir-akhir ini begitu kuat memengaruhi public pembaca media massa. Apakah masih diperlukan penghormatan yang luar biasa terhadap fakta? <br />
<br />
Baiklah kita kesampingkan dulu menjawab pertanyaan itu? <br />
<br />
Kita bicara dulu tentang ukuran-ukuran umum yang berlaku di lingkungan manusia, yang sesungguhnya ukuran-ukuran itu menjadi umum karena ada kesepakatan bersama tentang ukuran itu. Tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang tidak bersepakat akan hal itu. Selalu ada orang yang menolak bersepakat dengan ukuran-ukuran umum itu, lalu membuat ukuran yang menurut dirinya atau kelompoknya sendiri lebih layak sebagai ukuran umum. Kita tidak bisa menyebut orang itu atau kelompoknya telah melakukan pemberontakan atau pembangkangan, karena ummat manusia dilahirkan dari lingkungan yang berbeda antara satu dengan lainnya. <br />
<br />
Di lingkungan masyarakat Lampung (ullun Lappung), ada yang disebut masyarakat Saibatin dan ada juga yang disebut masyarakat Penyimbang. Ukuran umum bagi masyarakat Saibatin tidaklah sama dengan ukuran umum bagi masyarakat Penyimbang, meskipun kalau kita cari-cari persamaan diantara keduanya pastilah tidak sulit untuk menemukannya. Apalagi jika kemudian kita lepaskan latar belakang mereka sebagai masyarakat Saibatin maupun masyarakat Penyimbang, dan kita melihat masyarakat itu sebagai bagian dari masyarakat Provinsi Lampung. Namun, jika cara itulah yang kita pakai hanya untuk menemukan persamaan pada kedua masyarakat itu, kita telah melakukan mengabaian terhadap hal-hal yang metafisi yang membentuk kedua masyarakat itu. <br />
<br />
Pengabaian seperti inilah yang dilakukan oleh negara Orde Baru selama puluhan tahun meskipun selalu mengumandangkan betapa pentingnya menghargai pluralisme di negara ini, lalu membentuk sebuah pluralisme baru yang dikonsepkan Koetjaraningrat sebagai “puncak-puncak kebudayaan nasional” meskipun kita tidak pernah tahu ukuran apa yang telah dipakai untuk menentukan mana yang puncak, mana yang lembah, dan mana yang kaki dari kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh di negeri ini. Kita mempersoalankan hal-hal yang sudah puluhan tahun berlangsung dan telah menjadi ukuran umum, maka orang-orang yang memegang teguh ukuran umum itu selama puluhan tahun akan menilai dan mendudukkan kita sebagai pembangkang atau pemberontak. <br />
<br />
Negara pernah mencitrakan orang-orang semacam ini sebagai enemy of the nation sehingga pantas disebut subversive dan disingkirkan dari segala kegiatan kebudayaan manusia.<br />
<br />
Ukuran umum adalah penjara yang membuat kita tidak tahu cara membebaskan diri dari dalamnya. Kita betah dengan ukuran-ukuran umum itu, meskipun kita setidaknya pernah memikirkan untuk menolak ukuran umum itu, tetapi tidak bisa mewujudkan apa yang kita pikirkan. Kita seperti seorang buta yang disuruh mengucapkan kalimat: “Saya bisa melihat dengan jelas”. Ia tidak akan bisa mengucapkan kalimat itu bukan lantaran ia juga seorang yang bisu, tetapi karena kalimat itu bertolak belakang dengan fakta dan tidak ada manfaatnya bagi dirinya, meskipun sesungguhnya jauh di dalam hatinya ia ingin bisa melihat dengan jelas seperti manusia normal lainnya. Melihat dengan jelas seperti manusia normal lainnya adalah hal ideal bagi dirinya dan ini merupakan ukuran umum, tetapi hal fakta menunjukkan bahwa ia seorang yang buta.<br />
<br />
Sekarang kita bicara tentang fakta dan ideal dalam kegiatan-kegiatan kejurnalistikan. Para jurnalis biasanya pengagum kaum empiris, mereka yang selalu ngotot untuk memperjuangkan bahwa tugas utama dari pengetahuan manusia adalah hanya membeberkan fakta. Para akademisi yang berkutat dengan dunia ilmu pengetahuan akan membenarkan hal ini dengan mengedepankan fakta ilmiah, meskipun mereka tidak bisa membantah bahwa sesungguhnya fakta ilmiah tentang teori gravitasi, misalnya, sebetulnya tercipta dari fakta-fakta yang tak ilmiah dan paradoks. <br />
<br />
Sampai di sini kita akan melihat bahwa sesungguhnya fakta saja tidaklah cukup sebagai panduan dalam kegiatan-kegiatan kejurnalistikan. <br />
<br />
Sekarang kita bicara tentang kegiatan kejurnalistikan. Di belahan mana pun di dunia ini, kegiatan jurnalistik dilakukan seorang jurnalis dengan cara yang tidak berbeda jauh. Deborah Potter dalam bukunya Handbook od Independent Journalisme (2006) membuat simpul bahwa jurnalis memperoleh berita dengan tiga cara: (1). Peristiwa-peristiwa yang terjadi secara natural atau alami, seperti bencana alam dan kecelakaan; (2). Aneka aktivitas yang direncanakan seperti konfrensi pers; dan (3). Usaha-usaha yang dilakukan pekerja pers. <br />
<br />
Kalau kita membaca berita-berita yang disiarkan media massa, seorang yang sangat awam terhadap kegiatan-kegiatan kejurnalistikan pasti dengan mudah mengetahui bahwa banyak dari jurnalis yang bekerja di institusi-institusi media melakukan kegiatan kejurnalistikan seperti cara pertama dan cara kedua. Sedangkan cara ketiga, yakni usaha-usaha yang dilakukan para professional jurnalis, hampir tidak pernah dilakukan. <br />
<br />
Mari kita baca berita tentang terorisme yang terbit di sejumlah koran di Lampung pada hari Rabu, 17 Maret 2010. Berita-berita itu mengabarkan setelah Dul Matin ditembak mati, jaringan terorisme di Indonesia kocar-kacir karena kehilangan tokoh sentral. Bagi jurnalis penulis berita itu, hal ini merupakan fakta. Fakta itu didapat dari nara sumber bernama Al Chaidar, Dynno Cressbon, Mardigu Wowiek Prasongko, danpolisi. Tidak ada nara sumber dari pihak pelaku terorisme, entitas yang justru dibicarakan dalam berita ini, sehingga pelaku terorisme menjadi pihak yang didiskriminasi dalam pekerjaan kejurnalistikan. <br />
<br />
Semua berita itu didapat dengan cara memanfaatkan orang lain (narasumber), lalu dikomfilasi dengan sebuah teknik penulisan jurnalistik yang dipengaruhi intelektualitas serbasekilas (jurnalis selalu memikirkan space halaman yang kecil, sehingga segala sesuatu mesti dipadatkan). Malangnya, dari sekian banyak ahli di negeri ini, jurnalis memilah dan akhirnya memilih narasumber yang menurut mereka cocok (mungkin juga karena paling mudah ditemukan, atau hanya lewat telepon), meskipun setiap narasumber itu ternyata memiliki intelektualitas yang sebangun dalam melihat terorisme, sehingga tidak ada informasi yang bertolak-belakang.<br />
<br />
Berita seperti ini tercipta karena para professional jurnalis itu bekerja berdasarkan fakta, hanya melihat pensil dari permukaan luar gelas sehingga tampak bengkok atau patah. Mereka tidak pernah memikirkan tentang hal ideal dari pensil itu, mungkin mengabaikan bahwa sebetulnya pensil itu masih sempurna. Inilah kecenderungan para professional jurnalis kita yang memiliki intelektual serbaselintasan. Jurnalis kita seperti orang buta yang disuruh mengatakan “saya bisa melihat dengan sempurna” tetapi ia tidak akan mengatakannya karena pernyataan itu tidak bermanfaat baginya. <br />
<br />
Dalam bekerja, para professional jurnalis kita tahu persis hal-hal ideal dalam kehidupan orang-orang yang dituduh terorisme, juga mengerti betul untuk apa polisi membangun citra buruk tentang para teroris itu, tapi para professional jurnalis merasa hal-hal ideal itu tidak menguntungkan bagi dirinya juga pekerjaannya. Menjadi kontradiktif dan paradok adalah keseharian para jurnalis, dan sesungguhnya mereka memilihara kondisi itu tapi melindungi diri seolah-olah kondisi itu merupakan kultur dari manajemen institusi media tempat dia bekerja. <br />
<br />
Haryatmoko melihat cara kerja para profesional jurnalis ini sebagai persoalan etika dengan mengedepankan konsep "logika waktu pendek" para pengelola institusi media. <br />
<br />
<br />
Tulisan ini terpikirkan setelah ngobrol ngalur ngidul dengan Willy Pramudya, seorang kawan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang kebetulan sedang berada di Lampung. ***Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-6157402222401404332011-02-10T18:40:00.001-08:002011-02-10T18:40:15.846-08:00Membawa Es Balok di TanganTak elok betul elite negeri ini. Merencanakan program selalu dengan asumsi bahwa rakyat itu "sangat bodoh" dan kebodohannya membuatnya miskin. Maka dibuat program yang ada kata "gratis", "bantuan", "hibah", dan sejenisnya di dalamnya. Biar agak mirim World Bank, pakai kata "grand". <br />
<br />
Program yang digagas Fraksi partai Golkar, yang disebut dana aspirasi, juga menganggap rakyat itu sangat bodoh. Dan saya tersentak ketika membaca sebuah tulisan intelektual Partai Golkar di <i> Koran Tempo</i>, yang mensejajaran Satgab bentukan Partai Golkar itu sebagai "upaya nasionalisme untuk memperkuat pemerintah" dan bukan intervensi parati politik ke dalam sistem pemerintahan negara. <br />
<br />
Mungkin mereka berpikir, rakyat yang bodoh itu tidak bisa membedakan "intervensi" dan bukan intervensi. Dan kini, terbukti, intervensi Partai Golkar itu diawali dengan pengusulan dana aspirasi. Jelas, ini tak tahu diri, seolah negara reformasi ini masih saja negara orde baru. Negara lama, dimana Partai Golkar tegak serupa tiang agung yang tak bisa digoyahkan. Partai yang semua isi kepalanya merupakan isi kepala negara ini, tak boleh dibantah, tak boleh ditentang.<br />
<br />
Mungkin benar prediksi banyak pengamat. Ada upaya menghidupkan Orde Baru dengan kemasan baru, dan kita bisa menyebutnya new-Orde Baru. Karena Orde Baru adalah isme, kekuasaan, kekekalan, keabadian, dan kebal hukum.<br />
<br />
Sungguh tak tahu diri, memang. Partai yang bukan pemenang Pemilu 2009 itu, berperilaku sebagai pemenang sebenarnya. Tapi, mungkin juga betul. Lantas, kita sebut apa Partai Demokrat?<br />
<br />
Satgab punya otak di kepala Partai Golkar. Dana aspirasi hasil olah otak partai itu. Seperti di zaman Orde Baru, dana aspirasi itu tak jauhy berbeda dengan Bantuan Desa (Bandes), yang diberikan untuk desa-desa tetapi dihabiskan para pejabatnya. Kita tahu, pejabat saat itu, pastilah memberi hormat yang luar biasa kepada Partai Golongan karya.<br />
<br />
Membantu rakyat sebanyak Rp1 M per desa dari dana aspirasi itu adalah mengulangi kebodohan di masa lalu. Menambah daftar panjang dana rakyat yang habis dalam rumitnya birokrasi pemerintah. <br />
<br />
Soal dana APBN/APBD, bisa diibaratkan seperti seseorang membawa es balok di tangan. Semakin jauh es itu dibawa, akan semakin mengecil balok es itu.<br />
<br />
Apakah kita akan membiarkannya? Betapa malang, sesungguhnya, mereka yang menganggap rakyat ini bodoh.Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-29183647324099256042011-02-10T18:39:00.000-08:002011-02-10T18:39:06.548-08:00Di Entikong, Kaki Kanan di Malaysia, Sebelah Lagi di Indonesia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1aXjO6Vb6QuAnHIDRZ5ofbIJ4HCHqOFVAddNEACgVT_YtEpblld71TB_LAw_fI82HcvwslJqMCSsXCpd01_2ApTIk6N0RwWvhL4eee9fJvt9SSUrO6mptvHS9SLk6RRBwVq0yeATMKdxV/s1600/nur.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1aXjO6Vb6QuAnHIDRZ5ofbIJ4HCHqOFVAddNEACgVT_YtEpblld71TB_LAw_fI82HcvwslJqMCSsXCpd01_2ApTIk6N0RwWvhL4eee9fJvt9SSUrO6mptvHS9SLk6RRBwVq0yeATMKdxV/s320/nur.jpg" width="320" /></a></div><b>Nurhayati tersenyum. Kaki kanan perempuan berusia 58 tahun itu menjejak di Serawak, Malaysia, sedang kaki lainnya berada di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, Indonesia. Sementara laki-laki berseragam militer berusaha mencegatnya. </b><br />
<br />
Pertengahan Juli 2008 lalu, Nurhayati tiba di perbatasan Indonesia-Malaysia atau Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Pos itu berada di Dusun Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Entikong berjarak sekitar 312, 4 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, ke arah timur.<br />
<br />
Ia tidak sedang berniat mau ke Malaysia. Bersama seluruh anggota keluarga, ia hanya menghabiskan waktu selama mengunjungi famili di Sanggau. Kebetulan familinya menawarkan jalan-jalan ke Entikong, sebuah kawasan yang juga sering dijadikan objek wisata di daerah itu. Karena belum pernah ke Entikong, dan didorong rasa ingin tahu tentang daerah perbatasan, ajakan itu tidak ditolaknya.<br />
<br />
Mengendarai mobil dari Sanggau, layaknya sedang berwisata, tawa mereka pecah. Keluarga Nurhayati—suami, enam anak, dan dua cucu ditambah seorang menantunya--memang membutuhkan wisata. <br />
<br />
Kesibukan sehari-hari di tempat tinggalnya, di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara, membuat ia tak pernah memikirkan liburan. Untung ada kesempatan dari anak ke-5, Muhammad Yunus, yang berniat menikahi seorang gadis asal Sanggau, Diana. Usai acara pernikahan dengan tata cara adat khas Melayu Sanggau, ditutup dengan kegiatan berwisata.<br />
<br />
***<br />
<br />
Bayangan tentang Entikong, yang diceritakan famili barunya (besan), berlintasan. Sebuah tempat yang akan menjadi sangat menyenangkan. <br />
<br />
Entikong merupakan satu dari beberapa tempat di Kalimantan Barat yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Entikong di Kabupaten Sanggau. Nanga Badau di Kabuapaten Kapuas Hulu. Paloh dan Aruk di Kabupaten Sambas. Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang. Dan, Senaning di Kabupaten Sintang.<br />
<br />
Hanya di Entikong terdapat PPLB. Lainnya masih belum dibuka, dan masih berupa Pos Lintas Batas (PLB). Pembukaan masalah lintas batas, harus ada kesepakatan dari kedua belah negara berdaulat.<br />
<br />
Entikong tak pernah sepi. Di daerah perbatasan ini, segala sesuatu menggeliat. Orang-orang selalu datang, mengendarai angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Mobil-mobil keluar dan masuk kawasan, tapi hanya sebatas tempat parker yang terlihat seperti terminal.<br />
<br />
“Tempat ini memang berfungsi sebagai terminal angkutan umum. Angkutan trayek Entikong-Sanggau berhenti di sini,” kata Marzuki, petugas parker. <br />
<br />
Ia tinggal di Desa Entikong itu bersama istrinya, Hanna, yang membuka salah satu warung makan di kawasan tersebut. “Dua puluh empat jam. Tempat ini selalu ramai,” katanya.<br />
<br />
Sekitar setengah kilometer sebelum mobil yang dikendarai Nurhayati memasuki kawasan PPLB, mulai terasa aroma perbatasan. Entikong terlihat berbeda dengan kebanyakan perkampungan yang telah dilewati. Ia seperti sebuah kota yang baru tumbuh dengan infrastruktur jalan yang jauh lebih mulus. <br />
<br />
Segala fasilitas bisa ditemukan. Ruko-ruko yang menyajikan berbagai jenis barang belanjaan, gedung imigrasi yang mentereng, dan pos-pos polisi. Semua terlihat masih baru. Beberapa bangunan baru sedang diselesaikan para pekerja. Daerah ini, Kecamatan Entikong, jadi tampak seperti make up. <br />
<br />
Mereka yang datang dari Malaysia, yang melintasi PPLB, segera akan berada di Kecamatan Entikong dan melihat sebuah kota yang baru tumbuh. Mana kala mereka mulai melewati pusat kota, akan membentang potret yang bertolak-belakang. Kemiskinan penduduk disembunyikan di balik bangunan-bangunan mentereng di kawasan pertasan itu.<br />
<br />
Mobil yang ditumpangi Nurhayati berhenti. Dengan gesit Nurhayati turun. Setelah berfoto beberapa kali jepret di tugu nama bertulis Entikong, ia mengajak suaminya, Rencong Hutasuhut, ke pos penjaga. <br />
<br />
“Saya ingin menginjakkan kaki sebelah di Malaysia, sebelah lagi tetap di Indonesia,” kata Nurhayati.<br />
<br />
Anak-anak dan cucu Nurhayati sibuk mengambil gambar. Mengabadikan keberadaan mereka di Entikong. Ada kegembiraan memancar. Ada tawa lepas. Semua yang tampak pada keluarga itu adalah kekhasan orang yang sedang berwisata. <br />
<br />
Meskipun kebahagiaan itu hampir tidak ditemukan pada sebagian besar masyarakat Entikong. Karena beberapa orang yang ditemui mengaku, keberadaan PPBL di Entikong telah mengungkap potret ketimpangan perhatian pemerintah pusat dua negara berbeda. Di wilayah Malaysia, kawasan Serawak, geliat pembangunan melonjak drastic sejak pembukaan PPBL disepakati kedua negara. Sementara di wilayah Indonesia, nyaris tidak ada geliat ekonomi. <br />
<br />
***<br />
<br />
Pemerintah Malaysia menangkap potensi besar ekonomi dari pembukaan PPBL di Entikong. Kawasan Serawak, yang semula hanya daerah tempat tinggal, belakangan menggeliat menjadi salah satu kawasan industri di Malaysia. Perkembangan sector industri ini, yang cuma berjarah beberapa kilometer dari Indonesia, menjadi daya tarik baru bagi orang Indonesia untuk menguji peruntungan dan nasib sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). <br />
<br />
Malaysia memang super ketat soal ini. Tapi, di Entikong, mereka bisa dengan mudah menyeberang ke Malaysia. Berbekal passport dari kantor imigrasi di daerah itu. Soal surat-surat dan dokumen pribadi, ada cerita yang sangat menarik. <br />
<br />
Meskipun pemerintah pusat sudah memperketat kehadiran para calo, tetapi menjadi calo merupakan pilihyan utama bagi masyarakat Entikong. Hanya pekerjaan itu, yang cuma bermodalkan kemampuan merayu dan menyuap petugas—dan petugas memang menyukainya—seseorang akan mendapat keuntungan besar.<br />
<br />
“Dalam sehari, paling sedikit 10 orang mengurus passport,” kata Firkah, seorang calo, yang sudah menekuni kariernya selama bertahun-tahun.<br />
<br />
Banyak calon TKI yang ingin menyeberang ke Malaysia untuk memanfaatkan ruang-ruang kosong pada sector tenaga kerja (buruh) di sejumlah pabrik yang baru dibuka. Sektor tenaga kerja lapis bawah itu, biasanya membuka diri untuk tenaga-tenaga murah dari Entikong. Yang penting, mereka punya dokumen pribadi yang sah. Tanpa itu, mereka tak akan bisa melwati adangan para askar di perbatasan.<br />
<br />
Kehadiran pabrik-pabrik baru di Serawak, bukan cuma membuat calon TKI tergiur. Tapi, juga membuat para pengusaha berbagai komoditas mentah mencium ada potensi ekonomi besar untuk memasok bahan baku. Para pengusaha dari Kalimantan Barat, kemudian mengupayakan pengiriman berbagai jenis bahan baku ke Serawak melalui PPBL. <br />
<br />
Sebaliknya, para pengusaha di Serawak melihat potensi pasar yang besar di wilayah Kalimantan Barat. Melalui jalur PPBL, sering terlihat truk-truk bermuatan barang-barang produksi asal Serawak masuk ke Entikong. Kalimantan Barat pun berubah menjadi pasar potensial bagi Malaysia dengan produk yang sesungguhnya bisa diproduksi masyarakat Entikong. Sebut saja bidai atau tikar, juga sandal jepit. <br />
<br />
Dua produk itu sangat diminati masyarakat Kalimantan Barat. Karena produk serupa dari Indonesia, harganya mahal. Sedang produk dari Malaysia, harganya murah dan meriah.<br />
<br />
Tingginya perhatian Pemerintah Malaysia terhadap daerah perbatasan, berbanding terbalik dengan buruknya perhatian Pemerintah Indonesia. Sebagian masyarakat Entikong akhirnya lebih tertarik memasuki Malaysia, karena di sana mereka bisa menikmati apa yang tidak bisa mereka nikmati di Indonesia.<br />
<br />
Dalam hal kemajuan teknologi komunikasi, misalnya. Teknologi itu tak tumbuh subur di sana. Masyarakat tidak bisa mengakses informasi dari TV, radio, koran Indonesia, tetapi mudah mengakses informasi dari Malaysia. Perhatian mereka selalu tertuju pada setiap informasi baru dari Malaysia seperti pembangunan kawasan industri baru di Serawak itu.<br />
<br />
***<br />
<br />
Nurhayati ngotot ketika petugas berseragam militer di pos jaga menghalangi niatnya menginjakkan kaki. Ia dan suaminya tidak hilang akal. Mengeluarkan kamera saku, suami Nurhanyati menyuruh istrinya mendekati pos jaga. Tiga aparat militer, yang masih muda usia, diminta ikut berpose. <br />
<br />
“Ini kenang-kenangan bahwa saya pernah sampai ke Entikong,” kata Nurhayati.<br />
<br />
Petugas itu tersenyum. “Tetap tidak boleh ibu ke sana. Ibu hanya boleh di garis netral ini.”<br />
<br />
Nurhayati pun maju ke garis netral. Lalu memasukkan sebelah kakinya ke wilayah Malaysia, dan sebelah lagi tetap di Indonesia. Suaminya dengan gesit memotret, sementara aparat militer mencoba menghalangi.Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-71753755134683238172011-02-10T18:35:00.001-08:002011-02-10T18:35:19.545-08:00Bumi Dipasena yang MeranaAwan bergelayut di langit. Cuaca berkabung. Masih siang, tetapi terasa malam sudah datang. Sunyi mendesak ke semua ruang di Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulangbawang. Mendesak juga ke dalam dada semua orang.<br />
<br />
Lihatlah Fendi (40), kehilangan gairah. Rustam (45), Marwan (39), Yunus (38), dan 7.000 keluarga petambak di areal pertambakan yang kini dikelola PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), telah kehilangan semangat yang pernah memacu mereka membangun tambak udang terbesar di kawasan Asia Tenggara itu. Wajah-wajah mereka terlipat dalam duka memikirkan kesulitan hidup yang mendera. Kesulitan yang sukar diatasi, karena tambak-tambak belum beroperasi.<br />
<br />
Sejak Konsorsium Renaissance Capital (atau PT Recapital Advisors) dinyatakan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) sebagai pengambil alih asset Grup Dipasena, situasi di Bumi Dipasena tidak lebih baik. PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), anak perusahaan PT Central Proteinaprima, Tbk, yang ditunjuk sebagai pengelola menggantikan PT Dipasena Citra Darmaja, setali tiga uang dengan yang digantikan. Sejak 2005 hingga kini, perusahaan ini belum melakukan revitalisasi pengelolaan tambak udang sebagaimana disyaratkan pemerintah melalui PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada tahun 2007.<br />
<br />
Tidak ada pekerjaan, tidak ada penghasilan. Petambak pusing tujuh keliling. Hidup harus terus berjalan, tetapi tambak udang yang diharapkan sebagai jalan, tidak kunjung direvitalisasi. “Kami butuh makan. Kami butuh hidup,” kata Purdianto, kepala Kampung Bumi Dipasena Agung.<br />
<br />
Bertahun-tahun tidak punya pekerjaan, hanya berharap serupa pungguk merindu bulan, sebanyak 40,000 jiwa di Kecamatan Rawajitu Timur hidup nelangsa. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk mendesak PT Aruna Wijaya Sakti agar mempercepat revitalisasi. Tidak cuma bicara langsung dengan direksi, petambak pun sudah menyampaikan keluhan ke DPR. Tapi, karena mereka miskin, tidak ada yang mendengarkan.<br />
<br />
Jangankan bersikap, DPR terkesan diam. Boro-boru mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membela. Gubernur Lampung Sjachroedin ZP malah lebih mengurusi masalah pembangunan megaproyek Jembatan Selat Sunda. Kemiskinan petambak, makin miskin karena tidak ada yang memperhatikan.<br />
<br />
Fendi betul-betul hilang gairah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghidupi anak dan istri. Telah dicobanya hidup sebagai nelayan, tetapi hasil yang didapat tidak mencukupi. Rustam jadi petani sayur-mayur. Joko menanam jagung. Marwan setiap hari mencemplungkan joran di kanal. Memang ada hasil, tetapi tidak seberapa. Hidup terus berlanjut dengan kemiskinan yang semakin parah.<br />
<br />
“Sebagian petambak akhirnya mengelola sendiri tambak yang ada agar bisa bertahan hidup. Tapi, hasilnya tidak seberapa, padahal modalnya sangat besar,” kata Purdianto.<br />
<br />
<br />
<strong>Dituduh Mencuri</strong><br />
<br />
Lantaran petambak mengelola areal tambak yang belum direvitalisasi, manajemen PT Aruna Wijaya Sakti merasa bahwa hasil tambak yang dikelola petani itu merupakan milik perusahaan dan harus dijual ke perusahaan. Tapi, petambak yang memodali sendiri pengelolaan tambak, merasa punya hak atas hasil budidayanya. Sebab itu, semua hasil panen udang itu dijual keluar lewat Agus Timbul.<br />
<br />
Merasa udang-udang itu dibudidayakan di areal milik PT Aruna Wijaya Sakti, perusahaan itu mengadukan Agus Timbul ke Polsek Rawajitu. Laki-laki 40 tahun yang tinggal di Bumi Dipasena Agung Blok 5 Jalur 37 No. 8, Kecamatan Rawajitu Timur, itu sehari-hari bekerja sebagai penampung udang hasil budidaya petambak. Pekerjaan itu ia lakukan untuk membantu para petambak. Tetapi pada Selasa (31/8) malam, saat Agus Timbul hendak mengirim udang-udang hasil pengumpulannya, semua kerja Agus Timbul menjadi salah di mata hukum.<br />
<br />
Aparat dari Polsek Rawajitu mengerubukinya, menangkapnya, dan menggiringnya ke bui. Agus Timbul dijadikan tersangka pencuri udang milik PT Aruna Wijaya Sakti.<br />
<br />
Kabar penangkapan Agus Timbul cepat menyebar di Bumi Dipasena. Para petambak yang telah kehilangan gairah hidup akibat kegagalan PT Aruna Wijaya Sakti merevitalisasi tambak, mendadak merasa kehilangan segalanya. Satu-satunya sumber bagi mereka untuk tetap bisa bertahan hidup adalah Agus Timbul, tetapi polisi telah menangkap Agus Timbul seolah penjahat kambuhan.<br />
<br />
“Kami protes dan meminta polisi melepaskan Agus Timbul,” kata Syukri J. Bintoro, salah seorang pengurus Perhimpunan Petani Petambak Udang Windu (P3UW). “Bagaimana mungkin polisi menuduh Agus Timbul menadah udang hasil curian, sedangkan udang itu hasil budidaya para petambak anggota P3UW”.<br />
<br />
Selain meminta polisi membebaskan Agus Timbul, P3UW juga meminta PT Aruna Wijaya Sakti mencabut tuduhan terhadap Agus Timbul. Sebab, Agus Timbul tidak pernah menadah udang milik perusahaan. Agus Timbul menampung udang hasil budidaya petambak yang dimodali dengan dana milik petambak. “Kami tidak pernah mengancam akan mengerahkan massa,” kata Syukri.<br />
<br />
Polisi akhirnya membebaskan Agus Timbul, tetapi dengan catatan proses hokum tetap dilanjutkan. Meresa bahwa polisi tidak menyimak, mendadak seluruh petambak emosional. Hidup yang sudah tertekan, makin tertekan. Tidak ada yang memperhatikan, malah semua orang mendeskriditkan.<br />
<br />
<strong>Rusuh Dipasena</strong><br />
<br />
Mendadak semua petambak berkumpul. Tidak ada komando. Fendi, Rustam, Marwan, Yunus, dan ratusan petambak seolah menemukan gairah kembali untuk hidup. Kabar tentang Agus Timbul memicu semangat baru. Semangat perlawanan, yang sempat redup selama beberapa tahu. Perlawanan yang berhasil ditenangkan sambil menunggu PT Aruna Wijaya Sakti menyelesaikan revitalisasi tambak.<br />
<br />
Tapi malam itu, tak ada yang bisa meredakan. Massa berteriak-teriak. Bergerak serentak. Lalu, massa aksi agar Agus Timbul dibebaskan dari segala tuntutan hokum. Orasi memicu sumbu-sumbu kemarahan akibat terlalu lama dimiskinkan. Massa makin garang. Mereka mulai merangsek merusak ruang Puskodal.<br />
<br />
Tak cukup hanya itu, dari Puskodal, massa menuju Pos Tanggul Penangkis. Di sini, massa merobohkan pos. Tak puas, massa membakarnya. Ini pun tak cukup, massa lalu bergerak menuju Pos Cold Storage. Di tempat ini, massa merusak dua Pos Security dan Office Receiver. Massa juga merusak Kantor Operasional Transportasi Kanal T. Masih emosional, massa kemudian merusak Pos Mess Gajah (kaca dilempar hingga pecah), Pos Blok 3 (dirobohkan), dan Pos Alpha Blok 16 (dibakar).<br />
<br />
<strong>Polisi Membela Diri</strong><br />
<br />
Kapolsek Rawajitu AKP Sulpandi menilai, persoalan sebetulnya persoalan pencuri udang milik PT Aruna Wijaya Sakti. Dalam catatan polisi, Agus Timbul telah dua kali tertangkap. Yang pertama sekitar bulan Maret dengan barang bukti (BB) 1 ton udang, dan yang kedua pada Agustus dengan BB sekitar 1,8 ton udang tersebut.<br />
<br />
“Kami tetap memproses Agus Timbul,” kata Kapolsek.Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-31001516435745413002011-02-10T18:31:00.000-08:002011-02-10T18:31:04.592-08:00Riwayat Pemburu SedekahSetiap sudut Kota Bandar Lampung kini dipenuhi para pemburu sedekah. Di pasar, terminal, tempat jajanan buka puasa, jalan raya, masjid, sekolah, kantor pemerintah, kampus, kantor polisi, kantor pos, di tangga penyeberangan, dan bahkan di rumah-rumah penduduk. Mereka muncul lengkap dengan segenap keluhannya, penderitaannya, dan rasa sakit yang membekas di wajahnya—entah benar atau tidak. Mereka bertampang memelas, kumal, dan selalu menadahkan tangan kepada siapa saja. Ada juga bertampang penipu, berpura-pura kehilangan sesuatu.<br />
<br />
Dari sisi keimanan, tidak jadi soal apakah para pemburu sedekah itu kalangan yang pantas menerima sedekah atau tidak. Sebab, bersedekah tidak harus memilih-pilih. Jika memang ingin memberi, maka lakukanlah. Ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu mengetahuinya.<br />
<br />
Tapi, dilihat dari perspektif pembangunan, kehadiran para pemburu sedekah ini seolah menegaskan betapa pertumbuhan Kota Bandar Lampung telah memiskinkan penduduknya. Mungkin saja memang benar jika kita melihat dinamika pembangunan di Kota Bandar Lampung. Perkembangan infrastruktur kota, misalnya, tak mampu menggenjot pertumbuhan investasi. Akibatnya, pertumbuhan dunia usaha sangat minim, dan kita kesulitan menemukan sector produksi di lingkungan masyarakat.<br />
<br />
Kota Bandar Lampung kini menjelma sebagai kota konsumsi. Semua jenis barang konsumsi dapat dijumpai dengan mudah. Kehadiran minimarket di lingkungan rumah tangga yang menawarkan berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, punya andil tidak sedikit dalam mengubah perilaku ekonomi masyarakat. Belum lagi jika kita mengukur dari kehadiran sejumlah gerai telepon seluler, yang membuat masyarakat lebih mengutamakan membeli telepon seluler atau pulsa telepon seluler daripada memikirkan menabung untuk masa depannya.<br />
<br />
Pertumbuhan ekonomi di Kota Bandar Lampung banyak ditopang oleh sector konsumsi. Kita paham, sebuah kota yang tak memproduksi tetapi banyak mengkonsumsi, cepat atau lambat akan berkembang menjadi kota yang memiskinkan warganya. Sebab, setiap warga akan mengutamakan konsumsi dan menjelma menjadi konsumtif atas segala sesuatunya. Kondisi ini membuat mereka abai terhadap produksi.<br />
<br />
Tiap hari, ada saja warga yang Kota Bandar Lampung yang menjadi miskin karena lebih memilih menghabiskan apa yang ada daripada menghasilkan sesuatu. Ketika situasi ini terus berlanjut, bukan mustahil jika warga yang semakin miskin akan mencari alternative yang lebih mudah dan tanpa perlu mengeluarkan banyak modal.<br />
<br />
Menjadi pemburu sedekah merupakan pilihan logis.<br />
<br />
***<br />
<br />
BEBERAPA hari lalu, Provinsi Lampung mendapat kabar gembira dari Departemen Sosial. Departemen itu mengalokasikan dana dekonsentrasi bidang social untuk masyarakat di provinsi ini. Dana yang tidak sedikit itu, sudah tentu bertujuan untuk mengatasi maslah-maslah kesejahteraan yang diderita masyarakat.<br />
<br />
Dengan kata lain, Departemen Sosial mengucurkan dana dekonsentrasi untuk Provinsi Lampung karena menyakini bahwa data statistic tentang ketidaksejahteraan masyarakat di provinsi ini merupakan persoalan yang harus diselesaikan. Artinya, pemerintah pusat mengakui bahwa masyarakat di Provinsi Lampung masih banyak yang belum sejahtera hidupnya sehingga harus dibantu dengan mengalokasikan dana dekonsentrasi.<br />
<br />
Sulit memang membantah hal itu apalagi jika kita ajukan fakta tentang semakin banyaknya warga yang berubah menjadi pemburu sedekah. Barangkali bagi banyak kalangan kehadiran para pemburu sedekah berkaitan dengan watak masyarakat yang pemalas dan tidak mau bekerja keras, tetapi asumsi semacam itu tidak sepenuhnya benar. Sangat mungkin, mereka yang memilih menjadi pemburu sedekah merupakan entitas yang secara psikososial telah patah arang menghadapi realitas kehidupannya. Setelah bekerja keras dan berusaha sebagaimana layaknya, mereka tetap kesulitan mengatasi masalah-masalah kehidupan sehari-hari dan terus-menerus berada dalam tekanan ekonomi yang sangat keras.<br />
<br />
Trauma psikososial mendorong masyarakat menjadi pemburuh sedekah. Pilihan ini berkorelasi positif dengan watak warga Kota Bandar Lampung yang cenderung memiliki rasa prososial yang tinggi, yang sangat kuat menjaga nilai-nilai social yang berelasi dengan nilai-nilai agama. Artinya, memberikan sedekah bagi sebagaian warga Kota Bandar Lampung merupakan pengamalan dari ajaran-ajaran agama yang telah mendarah daging, selain juga sebagai wujud rasa social yang tinggi terhadap penderitaan sesamanya.<br />
<br />
Memang, setiap pilihan yang dibuat warga Kota Bandar Lampung akan membawa dampak yang serius bagi segala realitas kehidupan masyarakat. Memberi sedekat kepada para pemburu sedekah dapat membawa dampak negative terhadap pembiasaan, pewajaran, dan melenakan. Para pemburu sedekah akan merasa jauh lebih nikmat menadahkan tangan ketimbang menggosokkan tangan dalam sebuah rutinitas kerja. Bahkan, tak jarang dari para pemburu rezeki yang merasa pilihan hidupnya juga merupakan profesi yang perlu ditekuni secara serius. Untuk itu, setiap pemburu sedekah harus membekali diri dengan kemampuan merangsang rasa prososial setiap orang yang ditemuinya.<br />
<br />
***<br />
<br />
KEHADIRAN para pemburu sedekah memang meresahkan banyak kalangan. Keluhan pun tidak sedikit disampaikan masyarakat. Apalagi akhir-akhir ini, terutama menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Di setiap sudut Kota Bandar Lampung, para pemburu sedekah tampil dengan daya juang yang sangat tangguh. Mereka memburu siapa saja yang diharapkan akan memberikan sekeping uang.<br />
<br />
Tidak cuma orang catat yang selama ini menjadi pelaku utama pemburu sedekah. Banyak juga orang sehat, muda, segar, dan sesungguhnya memiliki cukup tenaga untuk menekuni bidang pekerjaan seperti pembantu rumah tangga atau tukang cuci. Tidak sedikit pula kaum pria yang sehat tetapi mengubah penampilannya menjadi sangat tidak sehat. Anak-anak pun acap menjadi pemburu sedekah, meskipun sebagian besar dari mereka bukanlah anak-anak yang dimanfaatkan orang lain.<br />
<br />
Munculnya para pemburu sedekah adalah konsekuensi paling logis dari perkembangan Kota Bandar Lampung yang tidak mengindahkan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Di tangan pemerintah daerah, bisa dibilang Kota Bandar Lampung telah berkembang menjadi kota yang hanya berpihak kepada masyarakat yang secara ekonomi mampu untuk mengkonsumsi berbagai jenis barang dan jasa. Mereka yang tidak memiliki kemampuan sebagai konsumen, akan tersingkir sebagai warga yang hanya bias meratapi realitas kesejahteraannya sambil berusaha menjadi pemburu sedekah dengan teknik dan cara yang lain.<br />
<br />
Tidak sedikit dari pemburu sedekah di Kota Bandar Lampung yang kemudian memilih menjadi ahli dalam bidang membuat proposal permintaan dana yang diajukan ke pemerintah daerah. Proposal kegiatan yang sesungguhnya fiktif itu, entah kenapa banyak yang disetujui dan dananya dicairkan, meskipun kemudian terungkap bahwa proposal itu akal-akalan antara masyarakat dengan petugas dalam mengeruk dana APBD.<br />
<br />
Sebab itulah, terhadap bantuan dana dekonsentrasi Departemen Sosial untuk Provinsi Lampung, ada baiknya Dinas Sosial Provinsi Lampung tidak lagi terjebak dalam korupsi. Sebaikn ya dana dekonsentrasi dari pusat itu dialokasikan sesuai peruntukan dengan orientasi bukan untuk memperkaya diri sendiri, melainkan mengubah pola piker masyarakat yang terlanjur patah arang menghadapi realitas kehidupan sehingga lebih memilih menjadi pemburu sedekah. ***Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-46875915784655357972011-02-10T18:29:00.001-08:002011-02-10T18:29:52.568-08:00Di Ranau-Seminung, Mereka Butuh Disetrum<strong>Kedatangan malam senantiasa disambut suara binatang di Kecamatan Lumbok-Seminung, Kabupaten Lampung Barat. Bukan keriuhan yang terdengar, tetapi sayatan-sayatan sunyi yang memberkaskan kesenyapan. Dingin bangkit dari permukaan Danau Ranau, melangkah pelan dan bersijingkat di atas rumput-rumput air, lalu menakik jalan menanjak menuju dinding-dinding rumah penduduk. Lewat celah-selah antarbilah papan yang menjadi dinding, angin masuk dan memaksa api lampu-lampu teplok menari-nari.</strong><br />
<br />
Azan Magrib baru lepas. Jalan-jalan di Kecamatan Lumbok-Seminung, terutama di sepanjang Danau Ranau, sudah sepi. Satu dua manusia terlihat bergegas menuju rumah masing-masing. Diburu oleh jadwal yang sudah pasti: menyalakan lampu teplok agar gelap tidak memerangkap.Yang lainnya, terutama anak-anak, sudah lebih dahulu masuk rumah.<br />
<br />
Mereka harus melakukan itu, karena di kecamatan yang baru dan merupakan pemekaran Kecamatan Sukau itu, listrik tak pernah sampai. Kalau pun ada bola lampu yang menyala, pijar itu dihela dari tenaga genset. Tidak semua penduduk punya dana untuk membeli genset, apalagi menyalakannya malam hari. Butuh sedikitnya Rp100.000 untuk membeli bensin sebagai bahan bakar jika genset hendak dinyalakan selama semalam.<br />
<br />
Kecamatan itu pun berubah seperti kawasan yang lama mati. Tenggelam dalam kesenyapan dan kekelaman. Padahal, di sepanjang jalan menuju kecamatan itu, sudah berdiri tiang-tiang listrik sebanyak 150 unit. Tiang-tiang yang ditanam sepanjang jalan dan merupakan pilar penyanggah jaringan kabel listrik yang terpasang.<br />
<br />
"Infrastruktur sudah ada, tapi belum ada setrumnya," kata Syarifuddin, warga setempat. "Entahlah, PLN tidak pernah mau menyetrum kami."<br />
<br />
Hidup tanpa listrik, membuat pekon-pekon (sebutan desa adalah pekon) di Kecamatan Lumbok-Seminung bagai tenggelam dalam kemelaratan. Seolah mereka tidak mampu membayar setrum listrik. Padahal, hampir setyiap rumah di pekon-pekon itu, memiliki antena parabola yang mengarah ke langit. Antena-antena yang berjejaring ke pesawat-pesawat televisi, meskipun pesawat-pesawat televisi itu lebih sering mati daripada dinyalakan.<br />
<br />
Mahmud pun tak habis pikir. Dua tahun lalu, ia bekerja menanam tiang-tiang listrik di pinggir jalan. Membangun jaringan kabel sebagai buruh dari pengusaha kontraktor listrik yang ditunjuk Pemda Lampung Barat, dan memasang trafo untuk menampung setrum. Dari segi infrastruktur, sesungguhnya sangat memadai. Tapi, dua tahun lalu, ketika PLN diminta menyetrum, badan usaha milik negara (BUMN) yang memonopoli urusan setrum-menyetrum di negeri ini, malah tak mau menyetrum.<br />
<br />
Tiang-tiang listrik yang menjadi pilar jaringan kabel listrik, terlihat seperti hiasan saja. Tiang dan kabel tanpa setrum itu menjadi saksi betapa buruk komunikasi yang dijalin PLN dengan Pemda Lampung Barat. Soalnya, dana untuk membangun jaringan infrastruktur itu ternyata tidak dirogoh dari kocek PLN, tapi dikeruk dari APBD Pemda Lampung Barat.<br />
<br />
Pemda Lampung Barat, lantaran sangat berharap semua warga di Kecamatan Lumbok-Seminung memiliki setrum untuk kebutuhan sehari-hari, membantu PLN dengan memasang jaringan infrastruktur. Tapi, niat baik Pemda Lampung Barat itu tidak ditanggapi PLN dengan mengalirkan setrum.<br />
<br />
"Saya tak tahu kenapa PLN nggak mau," kata pengusaha kontraktor yang memsang jaringan infrastruktur itu. "Terakhir saya data, ribuan warga sudha mengajukan diri agar PLN menyetrum mereka," katanya.<br />
<br />
Bagi PLN, keinginan warga itu tidak berarti. Aneh juga, perusahaan itu menolak warga yang ingin menjadi konsumen. ......Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-7282013042520983862011-02-10T18:27:00.000-08:002011-02-10T18:27:36.219-08:00Indonesia tak Merdeka di Arab SaudiSetiap hari, mereka harus mengatasi rasa takut dan rasa lapar yang datang selalu bersamaan, yang membuat hidup mereka jauh dari segala kemerdekaan untuk hidup. Mereka seolah-olah bukan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka. Nasib burung-burung merpati atau pepohonan di Tanah Harom jauh lebih dilindungi daripada nasib manusia yang berasal dari Indonesia dan hidup sebagai warga ilegal di Arab Saudi.<br />
<br />
Seorang kawan baru--yang kemudian menjadi sangat dekat dengan saya--membantu saya bertamu ke rumah-rumah warga negara Indonesia yang menjadi ilegal di Tanah Harom. Mereka, sebagian besar para tenaga kerja Indonesia perempuan maupun laki-laki, awalnya datang ke Arab Saudi secara legal. Datang melalui perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang menjalin kerja sama pengiriman tenaga kerja dengan grup perusahaan Bin Laden, Bin Dawood, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan berskala internasional ini menguasai berbagai sektor usaha di Saudi Arabia, mulai dari perhotelan, konstruksi, super market, transportasi, dan lain sebagainya. Mereka dikirim ke Arab Saudi untuk dipekerjakan pada level-level paling bawah, mulai dari penjaga toko, tukang sapu, buruh kasar, sampai sopir.<br />
<br />
Lowongan pekerjaan pada level paling rendah di Arab Saudi sangat melimpah, karena warga Arab Saudi sendiri tidak pernah bersedia bekerja pada level itu. Bangsa Arab Saudi, secara kultural, merupakan bangsa yang sangat bangga akan sejarah yang membangun bangsanya. Bangsa yang warganya memiliki standar sosial sangat tinggi sebagai kaum bangsawan meskipun perilaku sosialnya dalam banyak hal sangat tidak bangsawan. Salah satu contohnya, dialami rombongan jemaah haji kloter 19 JKG asal Lampung. Saat hendak menuju bandara di Jeddah, mendadak sebuah sedan berhenti di tengah jalan menghalangi bus para jemaah. Entah apa sebabnya, si sopir marah-marah kepada sopir bus karena mengaku mobilnya diserempet. Tapi, karena seluruh jemaah kloter 19 JKG keluar dari bus, si sopir ketakutan dan pergi.<br />
<br />
Penilaian yang miring juga datang dari sebagian besar warga Indonesia yang saya kunjungi. Sebut saja warga Indonesia yang tinggal di Misfalah, beberapa ratus meter dari Tanah Harom. Di dalam apartemen yang ada di lereng bukit itu--saya mesti jalan kaki menanjak melewati tumpukan sampah dan aroma busuk untuk sampai ke apartemen--tinggal enam orang warga Indonesia yang bekerja sebagai pembantu di berbagai rumah majikan. Pemilik apartemen merupakan suami-istri asal Jawa Barat, sedangkan empat lagi merupakan pengontrak yang berasal dari Jawa Tengah dan Banten. Dua diantara empat warga Indonesia itu belum tiga bulan kabur dari majikan, dan kini hidup ilegal di Tanah Harom.<br />
<br />
Salah seorang bernama Dewi. Usianya baru 20 tahun. Ia datang ke Tanah Harom melalui PJTKI yang ada di Jakarta untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Baru dua tahun bekerja, Dewi merasa hidupnya selalu terancam. Karena majikan perempuannya, seorang perempuan keturunan Syria, seorang pencemburu yang luar biasa. Ia selalu mencurigai Dewi, seolah-olah Dewi akan merebut suaminya yang asli orang Arab Saudi itu.<br />
<br />
Suami majikannya, seorang polisi yang bertugas di Masjidil Harom, seorang laki-laki yang jarang berada di rumah karena waktunya banyak habis untuk bekerja. Dewi sendiri jarang berhubungan dengan suami majikannya, karena Dewi bekerja mengurus lima anak majikannya, selain mengurus semua keperluan rumah tangga--mulai dari memasak, mencuci, menyapu, sampai mengurus seorang kakek jompo yang merupakan ayah dari suami majikannya.<br />
<br />
Semua urusan rumah tangga dikerjakan Dewi sendirian. Hal yang sesungguhnya tak bisa dikerjakan sendirian. Tapi Dewi tetap melakukannya meskipun tak pernah istirahat. Majikannya yang pencemburu, berkali-kali berusaha untuk menekannya, mengingatkannya agar jangan pernah melirik suaminya. Peringatan itu disampaikan sambil mengancam akan menyiksa Dewi sehingga Dewi merasa sangat tertekan sampai akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari majikan. Resiko yang diterima Dewi kalau melarikan diri, ia menjadi warga illegal karena passpoort ditahan oleh majikan. Tapi, Dewi merasa menjadi lebih merdeka dan bisa menentukan nasibnya sendiri.<br />
<br />
Ada ratusan komunitas warga Indonesia yang illegal di Tanah Harom. Setiap komunitas itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Mereka saling membantu mencarikan majikan baru untuk teman-temannya agar tetap bisa melanjutkan kehidupan. Meskipun begitu, mereka tetap dirundung was-was kalau-kalau ada razia. Karena itu, mereka akan sangat peka saat melihat polisi Arab Saudi. Mereka cepat mengenali polisi meskipun si polisi tidak berseragam polisi. Mereka tahu membedakan warga Arab Saudi yang polisi dan yang bukan polisi. Ketika melihat polisi, mereka akan cepat-cepat menghindar dengan tubuh yang gemetaran.<br />
<br />
Hidup dalam ketakutan merupakan hidup yang tak memberi kebebasan. Mereka melakukan apa saja untuk tetap bertahan. Tidak sedikit yang kemudian bertindak nekat dengan memilih majikan yang suaminya bekerja sebagai polisi. Mereka punya prinsip, tempat paling aman di Arab Saudi adalah rumah para polisi. Sebab, polisi Arab Saudi yang ketahuan mempekerjakan warga illegal akan mendapat hukuman, sehingga si polisi akan berusaha menutupi kalau ia mempekerjakan warga ilegal. Polisi Arab Saudi suka mempekerjakan warga ilegal asal Indonesia, karena mereka menurut dan patuh.<br />
<br />
Dari Misfalah, saya berkunjung ke rumah komunitas-komunitas Indonesia yang ada di Distrik Bahutmah, Nakasah, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara. Masing-masing punya riwayat pilu tentang hubungan yang tak harmonis dengan mantan majikan. Beberapa dari mereka pernah mendapat siksaan dari majikan.<br />
<br />
Soal siksaan majikan, perkara yang selalu menghantui warga Indonesia di Arab Saudi. Jika seorang majikan sudah menyiksa, itu berarti neraka hidup sudah membentang. Upaya untuk mencari bantuan dari Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi acap berbalik. Tidak sedikit dari para pekerja Indonesia di Arab Saudi yang justru dipersalahkan, lalu diantar kembali ke majikannya jika mereka mengadu ke Kedutaan Besar di Arab Saudi.<br />
<br />
Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi bukanlah tempat untuk mengadukan nasib dan masa depan. Tempat itu hanya bagian lain dari kerangkeng rumah majikan.<br />
<br />
Seorang petugas di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi, yang bertemu dengan saya saat di Armina, mengatakan para tenaga kerja Indonesia tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Mereka sering kabur dari majikan karena alasan jatuh cinta dan untuk menikah. Kalau tetap di rumah majikan, mereka tidak diperbolehkan menikah. Makanya, mereka memilih kabur. Dengan menikah, mereka berharap mendapat izin tinggal.<br />
<br />
Agak aneh juga kesimpulan itu. Sebab, banyak dari anggota komunitas warga Indonesia yang ilegal masih berstatus gadis. Tidak sedikit pula para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi sudah berstatus istri orang sejak dari Indonesia. *Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-18379525668060348192011-02-10T18:25:00.000-08:002011-02-10T18:25:27.974-08:00MENULIS DAN MENERBITKAN BUKU ITU MUDAHSUATU kali saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi tentang dunia perbukuan di Lampung, seorang peserta berkata: “Penerbit di Indonesia, apalagi di Lampung, tak menghargai hak karya ilmiah para penulis buku.”<br />
<br />
Jawaban saya ketika itu seperti ini. “Tidak ada yang salah dari penilaian itu.”<br />
<br />
Sampai sekarang penilaian itu tetap tidak salah. Karena begitulah realitasnya. Hak penulis yang disebut royalti atas hasil penjualan buku yang ditulisnya bukan saja rendah, tetapi sangat tidak bisa diandalkan untuk menghasilkan buku-buku selanjutnya.<br />
<br />
Jika kita sepakat bahwa tanggung jawab terbesar seorang penulis buku, selain mempertahankan tesis dalam bukunya, juga menghasilkan buku-buku baru berikutnya. Karena itu, sebagian besar penulis segera menjadi jera setelah buku pertamanya terbit.<br />
<br />
Kenapa hal demikian bisa terjadi? Penyebabnya, tiras buku yang diterbitkan di Indonesia, sangat kecil. Para penerbit besar umumnya menerbitkan buku dengan tiras tidak lebih dari 3.000 eksemplar. Untuk buku yang bagus, buku-buku itu baru habis setelah enam bulan. Dan, penerbit rata-rata memberikan royalti 10 persen brutto dikurangi pajak penghasilan 10 persen atau 15 persen neto.<br />
<br />
Jika buku baru itu dijual Rp50.000 per buku, misalnya, penulis akan mendapatkan royalti Rp 4.250 per buku, yaitu 10 persen dari harga buku dikurangi pajak penghasilan 10 persen. Jika semua bukunya habis terjual, maka seorang penulis akan memperoleh penghasilan Rp12.750.000.<br />
<br />
Jika buku itu best seller dalam waktu satu bulan, maka uang sebanyak Rp12.750.000 itu menjadi penghasilan sebulan. Seorang penulis akan cepat kaya raya. Tapi, setiap penulis akan mendapat pemberitahuan dari penerbit setiap enam bulan sekali.<br />
<br />
Bagaimana kalau 3.000 judul buku itu baru laku selama satu tahun? Atau dua tahun? Atau tiga tahun?<br />
<br />
Dalam hal penerbitan buku, umumnya penerbit menangani semua seluk-beluk penerbitan sejak naskah disetujui, digarap tata letak dan sampul, pencetakan, hingga distribusi. Penerbit pula yang menentukan harga buku. Penentuan harga buku dilakukan berdasarkan besarnya biaya produksi ditambah kualitas isi buku tersebut.<br />
<br />
Kenapa royalti penulis cuma 10% dari harga jual buku?<br />
<br />
Toko buku mengambil keuntungan 30 persen dari setiap buku jika buku itu dipajang di toko buku tersebut. Sedangkan distributor mengambil keuntungan 30% dari harga jual buku, karena jasa mendistribusikan ke seluruh daerah. Dengan demikian, penerbit mengantongi 30 persen dari harga buku.<br />
<br />
Keuntungan 30% dari harga buku yang diperoleh penerbit, masih dibagi untuk promosi buku tersebut yang akan menghabiskan 10% keuntungan penerbit.<br />
<br />
Bagaimana halnya penerbit buku di Lampung?<br />
<br />
Sejarah penerbitan buku di Lampung bukanlah industri skala besar seperti penerbitan buku di Pulau Jawa. Penerbitan buku di Lampung dikelola dengan modal cekak. Satu-satunya alasan tetap eksis agar Lampung terekam dalam sejumlah buku yang dapat dibaca dan disimpan oleh masyarakat.<br />
<br />
Idealisme semacam ini tak akan mendongkrak penerbitan buku menjadi sebuah industri besar. Setidaknya, kehadiran penerbitan di Lampung telah membuat banyak hal tentang Lampung terekam dalam sejumlah buku.<br />
<br />
Sebut saja Penerbit Cendekia yang khusus menerbitkan biografi-biografi para elite di Lampung seperti biografi Andy Ahmad Sampoernajaya dan Abdurrahman Sarbini. Penerbit Warna, yang tidak mengkhususkan diri, dan banyak menghasilkan buku tentang tokoh-tokoh Lampung. Penerbit Siger, yang khusus menerbitkan karya sastra. Penerbit BE Press yang menerbitkan naskah-naskah lokal Lampung dan beberapa dari karyanya mendapat perhatian secara nasional seperti Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi yang mendapat Rancange Award 2007.<br />
<br />
Ada juga Penerbit MataKata, yang awalnya 2004 merupakan devisi penerbitan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL). Sejak 2007 telah melepaskan diri Yayasan SKL dan banyak bergerak di bidang penerbitan buku lokal di Lampung maupun luar Lampung. Penerbit MataKata sejak berdiri 2004, sudah memproduksi sebanyak 20 judul buku yang dijual di berbagai toko buku di seluruh Indonesia.<br />
<br />
Penerbit MataKata yang semula berada di Lampung dan awalnya bermoto “Melampungkan Buku dan Membukukan Lampung”, tidak mampu mewujudkan motto tersebut karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perbukuan. Penerbit MataKata lebih memilih menerbitkan buku apa saja dengan mencari naskah ke seluruh Nusantara.<br />
<br />
Berbeda dengan penerbit umumnya, pengelola Penerbit MataKata tidak mengandalkan pengumpulan naskah, tetapi memiliki devisi yang melakukan riset dan menulis sendiri naskah yang hendak diterbitkan. Dengan cara seperti ini, Penerbit MataKata bisa eksis dan tetap menghasilkan buku, meskipun tidak lagi memikirkan hanya ”menerbitkan buku tentang Lampung”.<br />
<br />
Penerbit lain yang mengambil pola seperti Penerbit MataKata adalah Penerbit Melayu, yang muncul di Lampung, tetapi banyak beropersi di Sumatra Selatan.<br />
<br />
Sebetulnya, dunia penerbitan buku sudah mulai sejak era 1980-an dengan kehadiran Penerbit Pesagi. Penerbit yang mengkhususkan diri pada proyek-proyek buku bacaan sekolah ini, belakangan mulai jarana menerbitkan karya.<br />
<br />
Kehadiran penerbit buku di Lampung Belem bisa memberi kontribusi besar terhadap munculnya tradisi “menulis buku”. Para penulis, para intelectual di Lampung, jarana yang memiliki buku dengan alasan rendahnya penghargaan terhadap penulis. Padahal, mereka bisa saja menyiasati dengan menggelar penerbitan indi dan bisa meminimalisir biayanya. Ingin tahu caranya?<br />
<br />
<em>Catatan ini menyambut acara pelatihan penulisan buku di kalangan dosen di Lampung dengan tema “<strong>MENULIS DAN MENERBITKAN, DAN MEMASARKAN BUKU ITU MUDAH”. <span class=" fbUnderline">Ingin punya buku secara mudah dan punya nilai jual ekonomi, silahkan daftar!.</span> </strong></em>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-20141827430122406872011-02-10T18:17:00.000-08:002011-02-10T18:17:21.599-08:00Informasi: Pedang Bermata Dua<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2GuHElfez2w97S89vjAsPD-BlJa0I-Oew4PPLI-pCf9HfessgWhJnLe-3phoz7c4zuycjOITbPIPXSlr-vlhfDbNkV2ox_KcO6ZvyoxT_gh9SFwT1tsvlFUXUbRNCsMDKHY4LXiMizwzY/s1600/tuti.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="157" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2GuHElfez2w97S89vjAsPD-BlJa0I-Oew4PPLI-pCf9HfessgWhJnLe-3phoz7c4zuycjOITbPIPXSlr-vlhfDbNkV2ox_KcO6ZvyoxT_gh9SFwT1tsvlFUXUbRNCsMDKHY4LXiMizwzY/s200/tuti.jpg" width="200" /></a></div><span class="Apple-style-span" style="border-collapse: separate; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: small; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; orphans: 2; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Tahoma,Arial; font-size: 12px;"><b> Apakah</b><span class="Apple-converted-space"> </span>kebebasan informasi tidak mengenal batas? Pertanyaan itu muncul manakala kita merasa tidak nyaman oleh penyiaran informasi yang merugikan kita, tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut, atau yang kita anggap memihak saingan atau lawan. Maka kalau kita bicara soal politik-ekonomi internasional, misalnya, selalu ada pertanyaan: mungkinkah negara-negara maju dengan sengaja mengadakan kolonisasi informasi?<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Sampai sekarang masih saja ada anggapan, negara-negara maju meningkatkan arus informasinya demi kepentingan ekonomi-politiknya. Dengan komunikasi dan muatan politiknya, mereka ingin mengubah pendapat pihak yang menjadi objeknya. Informasi umumnya mencerminkan sebagian besar pikiran mereka. Komunikasi dipakai untuk mementaskan ide-ide yang mereka anut dan akui. Secara sengaja atau tidak, arus informasi dari mereka bisa mengarahkan pandangan dan jalan hidup kita, bisa membuat kita patuh pada norma-norma mereka. Dalam konstelasi politik dan ekonomi dunia sekarang, wajar kalau kita curiga. Zaman penjajahan baru selesai di abad 20. Luka akibat kolonialisme belum pulih benar.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Di sisi lain, masyarakat internasional umumnya berangsur meyakini bahwa kebebasan saluran informasi lebih besar manfaatnya daripada mudaratnya. Aliran informasi antarnegara memungkinkan pertukaran pemikiran dan pengenalan budaya antarmereka. Bahkan membuka kemungkinan kerja sama ekonomi untuk menghapus kemiskinan dan penderitaan. Trauma Perang Dunia II mendorong banyak negara untuk membuka saluran komunikasi secara bebas. Tanpa hambatan komunikasi, diharapkan akan terjalin saling pengertian yang bisa menghalau permusuhan yang mungkin berujung pada konflik antarnegara atau bahkan perang dunia III. Sebagai tindak lanjut, dibentuk berbagai perhimpunan dan konferensi demi mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat perselisihan atau beda pendapat.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Namun, mengingat kemajuan negara-negara berbeda satu sama lain, tetap saja ada kekhawatiran bahwa keterbukaan informasi tentang ketimpangan malahan akan dimanfaatkan negara-negara maju. Kebebasan informasi ibarat pedang bermata dua.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
<b>Meneliti saluran informasi</b><span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Penyaluran informasi ada sarananya. Yang perlu diwaspadai, sarananya belum tentu sempurna, sebab cara mengomunikasikan suatu pesan bisa menguntungkan atau, sebaliknya, bisa mencelakakan. Nasihat itu berlaku universal. Begitulah situasinya, apakah informasi itu lalu-lalang di ajang internasional, atau khusus dari dan untuk masyarakat sendiri.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Di era informasi, kita sulit menghindar dari dampak banjir informasi dari luar maupun dalam negeri. Beruntunglah kita kalau dampaknya positif. Bagaimana kalau dampaknya negatif? Menilai informasi yang datang di masyarakat kita tidak sederhana sebab penafsiran oleh para penerima informasi di masyarakat plural yang heterogen juga berbeda-beda. Philip Kotler PhD (1931-...), ahli pemasaran, dalam<span class="Apple-converted-space"> </span><i>Social Marketing</i>menyatakan masyarakat menafsirkan informasi sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya. Nuraninya pun berbicara.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Contoh soal: kasus Gayus yang mengganti pengacaranya. Lain pengacaranya, lain bicaranya. Mana yang kita percaya: Gayus yang dulu, atau Gayus yang sekarang? Apa bisikan nurani kita masing-masing? Masyarakat cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan pendapatnya. Sebaliknya dia cenderung menerima informasi yang sesuai dengan kebutuhan pikiran dan perasaannya.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
<b>Peran insan pers/media massa</b><span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Pemeran terpenting--walaupun bukan satu-satunya--dalam penyaluran informasi adalah insan pers/media massa. Belum lama ini ada eksekutif yang mengatakan dia tidak selalu percaya yang dikatakan wartawan. Pesan-pesan yang diberitakan wartawan sering kali membuat masyarakat bertambah resah. Bagi wartawan umumnya, pernyataan itu menyentak. Namun, tentu bukan dia saja yang berpendapat demikian. Faktanya, media massa memang biasa menjadi sasaran kecurigaan, bisa menjadi buron kecaman dan tidak jarang dikambinghitamkan. Tentu ada alasannya.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Introspeksi membuahkan kesimpulan: orang media massa tidak homogen. Kami memiliki konsep yang berbeda-beda tentang peran kami, walaupun tujuan kami sama. Wartawan ingin memberikan gambaran tentang keadaan politik, ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat. Namun, karena latar belakang pengalaman jurnalistik maupun pendidikan tidak sama, wajar bahwa ada nuansa yang beda dalam telaah atau penilaian masing-masing tentang banyak hal.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Yang mungkin sama adalah anggapan bahwa peran sebagai wartawan menggairahkan, khususnya bagi yang memilih karier ini sebagai jalan hidup. Mencatat kejadian-kejadian yang nantinya membentuk sejarah menjadi tugas yang memesona. Bahkan sebagian wartawan mungkin beranggapan, wartawan bukan hanya pelaku sejarah, melainkan secara tidak langsung ikut merintis jalannya sejarah. Karena sadar akan tugas itu, wartawan selalu mencari tahu tentang kebenaran dan berusaha bersikap objektif dalam menanggapinya; agar penilaian dan pemikiran wartawan bisa menjadi rujukan. Wartawan juga sadar, pesan atau informasi yang disampaikan bisa berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Beban tanggung jawabnya tidak sederhana dan etika harus selalu menjadi panduan sesuai dengan panggilan nurani dan karena diperlukan untuk melindungi asas demokrasi yang, menurut Presiden, kini sedang mekar di Indonesia.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Tokoh pers Amerika, Harry Scott Ashmore (1916-1998), pemenang Robert Kennedy Book Award Lifetime Achievement 1995-1996, pernah menyatakan: "Mungkin yang paling kita perlukan hanyalah keberanian sesuai pendirian kita sendiri--untuk menyadari bahwa 'berita' bukan hanya catatan fakta-fakta yang dapat dipastikan kebenarannya dan pendapat-pendapat yang muncul sebagai akibatnya, melainkan catatan rentetan kejadian di dunia yang kita tempati dilihat dari nilai-nilai moralnya. Kita bisa saja salah, itu pasti, dan kita juga bisa saja disalahgunakan—tetapi, paling tidak, kita akan menempati posisi di menara, dan berusaha menceritakan apa yang kita lihat dalam segenap dimensinya."<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Fakta bahwa ada yang masih curiga terhadap wartawan, harus kami terima dengan sikap terbuka dan malahan kami anggap sebagai dorongan untuk menyempurnakan diri. Jangan sampai kami wartawan tergoda untuk menjadi pedang bermata dua--mengatasnamakan tugas kewartawanan demi keuntungan pribadi. Malahan sebagai penyalur informasi, kami selalu mengusahakan jangan hanya menjadi penyampai informasi yang terampil dan efisien, tetapi harus mampu menjadi penyaring dan pengolah informasi yang berwawasan luas dan dalam.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Pada peringatan Hari Pers Nasional ke-65, kami percaya wartawan Indonesia masih memiliki komitmen untuk menyampaikan pesan-pesan demi kemaslahatan bersama; dan berpotensi menjadi penyalur informasi yang andal, yang diperlukan masyarakat sekarang.<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
<br />
Oleh Toeti Adhitama<span class="Apple-converted-space"> </span><br />
Anggota Dewan Redaksi Media Group. <b>Dipublikasikan di MEDIA INDONESIA edisi Sabtu, 12 Februari 2010</b></span></span><span class="Apple-style-span" style="border-collapse: separate; color: black; font-family: 'Times New Roman'; font-size: small; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; orphans: 2; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Tahoma, Arial; font-size: 12px;"><b></b></span></span>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-47846481758393281072011-02-10T03:13:00.000-08:002011-02-10T03:13:44.199-08:00Video Mesum; Cermin Buruk Pendidikan Moral<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWzS7VccgdQBmyea6e2sDAjBZTqjQiTK80FIvVGu1UxjNWlZu-g6NrYq99h0Jdu5njLMnP6txfyT76vnZWHFmEvTIN9BQZCgVouQ2jcah-HG3Bn6xYV8MwpgBZYH-Lb8AZ4kDlF_SX6Wfl/s1600/luna.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="370" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWzS7VccgdQBmyea6e2sDAjBZTqjQiTK80FIvVGu1UxjNWlZu-g6NrYq99h0Jdu5njLMnP6txfyT76vnZWHFmEvTIN9BQZCgVouQ2jcah-HG3Bn6xYV8MwpgBZYH-Lb8AZ4kDlF_SX6Wfl/s400/luna.jpg" width="400" /></a></div><div class="MsoPlainText">Wajah cantik Cut Tari yang biasanya sumringah tampak berurai air mata. Di televisi dia terbata-bata meminta maaf atas adegan pornonya dalam sebuah video dengan Ariel Peterpan. Penyesalan, rasa malu, dan duka senada ia ungkapkan. Tapi, rupanya itu tak cukup untuk membujuk hati sebagian warga republik ini untuk memaafkan perbuatannya, juga, tentu saja, Ariel dan Luna Maya. Meski berulang-ulang permintaan maaf ditayangkan, tuntutan hukum dan pencekalan terhadap para selebriti papan atas ini terus bergulir. </div><div class="MsoPlainText"><br />
</div><div class="MsoPlainText"><b>Oleh Hesma Eryani</b></div><div class="MsoPlainText"><i>Jurnalis, dosen Fisip Unila dan Fisip Universitas Bandar Lampung</i></div><div class="MsoPlainText"><br />
</div><div class="MsoPlainText">Fakta ini menggambarkan bahwa prilaku asusila tetaplah menjadi sesuatu yang tidak disukai publik. Kemarahan publik, dalam berbagai ekpresi adalah indikasi bahwa perbuatan asusila sangat mengganggu, dan sebab itu pelakunya harus dihukum.</div><div class="MsoPlainText">Perbuatan porno, mesum, perzinahan jelas salah. Dan ketika itu divideokan, bukan saja makin salah, juga melampaui batas ambang etika. Pinjam bahasa Rhoma Irama, sungguh terlalu!. Memang ada sebagian orang yang bersikap sebaliknya. Mereka menganggap perbuatan zinah, apalagi dilakukan atas dasar suka sama suka dan di tempat tertutup adalah hak pribadi, sekaligus ekspresi cinta.</div><div class="MsoPlainText">Tapi, buat saya pribadi, ini bukanlah soal kebebasan memilih, bukan soal hak azasi, atau privasi , melainkan soal moral, soal kepantasan dan kepatutan. Kalaupun itu sebuah kebebasan, hak privasi, atau azasi namun pun pada dasarnya ia tidak bebas sendirian, tidak berdiri sendiri melainkan terikat pada moralitas yang menyertainya.</div><div class="MsoPlainText">Ketika sepasang anak manusia melakukan perbuatan mesum, meski berada di ruang pribadi, dan atas dasar suka sama suka, mereka tetap berhadapan dengan moral dan nilai yakni moral dan nilai agama. Orang lain, adapt istiadat, masyarakat mungkin saja membolehkan (?), tapi saya percaya, agama apapun tidak membenarkan perzinahan. </div><div class="MsoPlainText">Fakta kemarahan public dan tuntutan hukum atas perbuatan mesum Cut Tari, Ariel, dan Luna Maya mencerminkan bahwa masyarakat kita sesungguhnya merindukan kehidupan yang bersih, mencerminkan masih banyak jiwa yang tidak kotor. Jauh sebelum ini sejumlah kasus video mesum dan perzinahan merebak di berbagai wilayah dengan pelaku dari berbagai kalangan mulai pelajar, mahasiswa, pejabat, guru, hingga anggota DPR. Terhadap mereka memang ada reaksi dan tuntutan hokum tapi memang tidak sedashyat terhadap tiga artis ini.</div><div class="MsoPlainText">Tentu ini bukan hal luar biasa mengingat tingkat keterkenalan mereka sebagai public memang luar biasa.Publik figure semacam Ariel cenderung diperlakukan penggemarnya sebagai idola. Keingintahuan public terhadap berbagai sepak terjang mereka cukup tinggi. Bahkan, sebagai idola berbagai perilaku mereka ditiru penggemarnya, mulai dari cara berpakaian, tatanan rambut, hingga perilaku di atas panggung. Jika yang ditiru itu hal baik mungkin memang positif, namun akan sangat kontraproduktif ketika itu negative.</div><div class="MsoPlainText">Pada kasus video mesum Ariel, keingintahuan public untuk menyaksikan adegan itu sangat besar dibanding jika pelakunya bukan mereka. Maka, tak pelak kita menyaksikan jutaan orang mengunduh video itu. Dan menjadi sangat fatal ketika yang menyaksikan itu anak-anak di bawah umur, yang sangat mudah tersangsang, dan menuntun naluriah mereka untuk melakukannya juga. Faktanya memang, setelah kasus ini mencuat ke permukaan, puluhan kasus perkosaan dan pelecehan seksual dilakukan anak-anak yang ditengarai (dan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia) akibat menonton video mesum Ariel tersebut. Jumlahnya meningkat lebih dari 20 persen dari sebelumnya</div><div class="MsoPlainText">Dampak seperti inilah yang sangat kita takutkan. Itu sebabnya tuntutan agar penegak hokum bertindak tegas atas kasus ini sangat penting. Sanksi tegas penting agar ada keteladanan hokum. Apalagi sudah ada bukti sosiologis bahwa video mesum, siapa pun, yang bisa diakses memiliki daya rusak dan melahirkan disoerientasi nilai.</div><div class="MsoPlainText"> Jika tidak, dampak turunan akan sangat dashyat. Kasus-kasus seperti ini akan selalu terulang dan orang-orang tidak merasa bersalah melakukan perzinahan. Perzinahan yang dianggap biasa akan melahirkan perilaku berzinah. Merebaknya perzinahan sangat mungkin meningkatkan angka aborsi, pelacuran, putus sekolah, serta merendahkan respek terhadap nilai sakral pernikahan. Tak hanya pelaku mesum yang kena hujat melainkan masyarakat pun ikut kena getahnya. Bukan tak mungkin, ini bisa mendorong meningkatnya perilaku amoral masyarakat. Bila sudah begini, bangsa ini tengah mengalami degradasi moral. </div><div class="MsoPlainText"><br />
</div><div class="MsoPlainText">Moral Yang Sakit</div><div class="MsoPlainText"><br />
</div><div class="MsoPlainText">Kasus video mesum, juga kasus-kasus lainnya termasuk korupsi, main hakim sendiri , dan berbagai tindak kekerasan di masyarakat mencerminkan moral dan jiwa yang sakit. Stadium penyakit itu kini sudah mencapai tingkat tinggi, dan akut. Dan, kita tentu saja tak boleh mendiamkan penyakit itu terus menggerogoti bangsa ini terus menerus. Harus ada upaya keras untuk menyembuhkannya. Berat memang, tapi kita tak punya pilihan jika tak ingin kematian pelan-pelan menjemput bangsa ini. Penyembuhannya yang tak mudah juga disebabkan akar persoalannya memang sangat kompleks dan tidak berdiri sendiri. Harus ada pembongkaran nilai, bahkan, bila perlu secara ekstrim.</div><div class="MsoPlainText">Degradasi dan disoerientasi moral itu juga mencerminkan ada yang salah dalam system kita, dan itu memerlukan koreksi secara komprehensif melibatkan seluruh elemen bangsa dalam berbagai skala dan lini. Sistem pendidikan, misalnya, mendesak dikoreksi. Masalah moral memang tak terlepas dari soal pendidikan</div><div class="MsoPlainText">Harus diakui secara jujur bahwa pendidikan kita lebih menekankan aspek intelektual, dan kurang memperhatikan aspek moral, olah rasa, dan olah jiwa. Ini potensial menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya dan kurang humanis. Akibat lain, banyak tingkah yang cerdas secara intelektual namun rusak secara moral.</div><div class="MsoPlainText">Cerminannya dapat kita amati dari berbagai tingkah laku masyarakat yang menyimpang, termasuk video mesum. Di sisi lain, kepercayaan masyarakat akan nilai-nilai pendidikan pun luntur hingga berakibat pada hilangnya motivasi untuk mengenyam pendidikan. Sebab itu, sostem pendidikan kita harus dikoreksi dengan menempatkan soal moral, nilai, dan agama sebagai prioritas. Atau, setidaknya seimbang dengan pendidikan aspek intelektual. Jika berhasil, kolaborasi antara </div><div class="MsoPlainText">intelektualitas dan moralitas bukan tak mungkin mampu mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan dihormati.</div><div class="MsoPlainText">Pendidikan agama di berbagai jenjang pendidikan yang sangat minim sudah seharusnya dikoreksi. Pendidikan agama sangat vital karena sangat signifikan dalam menekan lahirnya perilaku negative. Pendidikan moral dan agama memang bukan urusan lembaga pendidikan atau pemerintah saja, juga orang tua. Para orang tua mestilah sedini mungkin mendidik moral dan agama anak-anaknya.</div><div class="MsoPlainText">nilai.</div><div class="MsoPlainText">Penegakan hokum juga menjadi salah satu aspek yang harus terus menerus dibenahi. Undang-undang yang ada saat ini belum mampu mengakomodasi penegakan hokum, khususnya terkait kasus pornografi dan pornoaksi. Sebab itu, kasus video mesum Ariel hendaknya dapat menjadi momentum untuk merevisi kelemahan undang-undang, sekaligus menegakkan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini tak memiliki gigi dan lumpuh.</div><div class="MsoPlainText">Sepanjang undang-undang tersebut seperti ini, sepanjang itu pula berbagai kasus mesum akan muncul. Atas nama kebebasan berekspresi, sekelompok orang tertentu akan dengan licik melakukan penggerusan nilai dan moral masyarakat melalui berbagai jalan, khususnya dunia hiburan. Lebih keji lagi, ketika kasus video mesum, katakanlah kasus Arel, ada pula yang sengaja menggosok-gosok suasana agar “booming” perzinahan berjalan terus dengan cara mengeksploitasi kasus Ariel. Aroma kepentingan pragmatis dan kapitalis sangat menyengat di balik tindakan mereka ini.</div><div class="MsoPlainText">Aturan terhadap operasional warnet (yang cenderung mulai tak terkendali), dan pemblokiran atas situs-situs porno (meski kemungkinannya sanat kecil) juga patut dilakukan.</div><div class="MsoPlainText">Sekali lagi, ini memang tak mudah. Kontrol memang berangkat dari individu masing-masing. Kita jangan saling lempar bahwa ini tugas kelompok ini atau itu. Semua harus bergerak, semua harus melihat masalah ini secara konsekuen. Aparat hukum bergerak melakukan pengawasan dan mengedepankan sikap persuasif dan bijaksana. Para guru dan dosen harus dapat mengintegrasikan moral dengan nilai-nilai yang positif, agamis. Para orang tua harus mengawasi anak-anaknya dalam penggunaan teknologi informasi khususnya laptop dan internet. Kesibukan bekerja terkadang membuat orang tua kurang mengasai penggunaan internet pada anak baik di dalam maupun di luar rumah. </div><div class="MsoPlainText">Kemajuan teknologi yang beredar di masyarakat baik melalui ponsel maupun internet adalah dampak dRI kemajuan teknologi, namun teknologi tidak dapat disalahkan. Orang tua tak perlu mencegah anak-anak membawa ponsel dan berinteraksi dengan internet, melainkan memperketat pengawasan. Bahkan, jika anak-anak selalu ditanamkan pendidikan moral dan agama, pengaruh teknologi yang merusak dapat ditepis.</div><div class="MsoPlainText">Oran tua dan guru harus bisa menyiapkan mental anak untuk menerima kemajuan teknologi. Upaya pencegahan beredarnya video tak senonoh di tingkat keluarga memang yang paling baik. Kita juga berharap agar pemerintah bersama instansi terkait memperketat pengawasan teknologi</div><div class="MsoPlainText">Para pengelola media massa, khususnya elektronik terutama televisi, hendaknya menayangkan tayangan yang sehat, tidak mengarah pornografi dan porno aksi, tidak berbau kekerasan, dan merendahkan nilai-nilai agama. Peran televisi sangat vital dan menuntun masyarakat untuk bebas nilai, khususnya nilai moral, agama, dan masyarakat. Tayangkanlah film-film bersifat mendidik, yang menyalurkan nilai-nilai kemanusian, keberadaban, dan hati nurani.</div><div class="MsoPlainText"> ***</div><div class="MsoPlainText">Sejarah mengajarkan bahwa kehancuran suatu bangsa bukan karena ekonominya, melainkan karena moralnya. Jika moral seseorang sudah bobrok, dia akan dengan sangat mudah dikuasai. Jika moral sudah bobrok, perbuatan bejat apapun akan dengan mudah dilakukan. Jika kejahatan sudah menjadi hal biasa, norma-norma dan susila terkoyak, tata nilai rusak, dan bangsa inipun hancur. Mari bangkit sebelum kehancuran tiba. </div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-61302444383247155592011-02-10T03:08:00.000-08:002011-02-10T03:08:10.409-08:00Anda Punya Impian Meniti Karier di Media Online?<div class="entry"> <br />
<span style="text-decoration: underline;"><strong>REPORTER</strong></span><br />
Syarat:<br />
<ul><li>Pria/Wanita usia maksimal 27 tahun</li>
<li>Pendidikan minimal S1/D3</li>
<li>Paham dunia jurnalistik, terutama bidang politik dan hukum</li>
<li>Menguasai bahasa Inggris</li>
<li>Sanggup bekerja tim dan kreatif</li>
</ul><span style="text-decoration: underline;"><strong>REDAKTUR</strong></span><br />
Syarat:<br />
<ul><li>Pria/Wanita usia maksimal 35 tahun</li>
<li>Pendidikan minimal S1</li>
<li>Paham dunia redaksi online, terutama bidang politik dan hukum</li>
<li>Menguasai bahasa Inggris</li>
<li>Sanggup bekerja tim dan kreatif</li>
</ul><strong>SEKRETARIS REDAKSI</strong><br />
Syarat:<br />
<ul><li>Pria/Wanita usia maksimal 28 tahun</li>
<li>Pendidikan minimal D3</li>
<li>Menguasai Microsoft Office</li>
<li>Menguasai bahasa Inggris</li>
<li>Sanggup bekerja sistematis, gesit, teliti, serta komunikatif dalam ritme dan kultur redaksi</li>
</ul><strong><span style="text-decoration: underline;">WEB ADMINISTRATOR</span></strong><br />
Web administrator memiliki tugas utama melakukan <em>maintenance </em>situs <a href="http://matanews.com/"><strong>matanews.com</strong></a> dan melakukan pengembangan-pengembangan situs yang diperlukan sesuai kebutuhan.<br />
<ul><li>Lulusan perguruan tinggi strata satu (S1), diutamakan jurusan Ilmu Komputer atau Teknik Informatika;</li>
<li>Berusia maksimal 27 tahun saat mengajukan aplikasi;</li>
<li>Mengerti dan memahami pengembangan <em>web application</em> menggunakan PHP dan MySQL (berpengalaman dengan <em>framework </em>CodeIgniter menjadi nilai tambah);</li>
<li>Berpengalaman mengembangkan dan melakukan <em>maintenance </em>website menggunakan WordPress;</li>
<li>Menguasai penggunaan aplikasi Adobe Photoshop dan Flash;</li>
<li>Menguasai dasar-dasar Search Engine Optimization (SEO);</li>
<li>Mampu bekerja di bawah tekanan dan dapat memenuhi <em>deadline</em>;</li>
</ul><span style="text-decoration: underline;"><strong>MARKETING</strong></span><br />
<ul><li>Laki-laki/Perempuan, usia maksimal 35 tahun;</li>
<li>Pendidikan minimal S1 segala jurusan;</li>
<li>Menguasai bahasa Inggris dengan baik;</li>
<li>Berpengalaman minimal 1 tahun dibidang sales/marketing;</li>
<li>Mampu bekerja dalam tim dan berorientasi pada target;</li>
<li>Terbiasa melakukan presentasi dan membuat proposal kegiatan/event;</li>
<li>Memiliki networking yang luas;</li>
<li>Komunikatif dan percaya diri;</li>
<li>Lebih disukai dari industri media terutama media online.</li>
</ul>Kirimkan segera lamaran, CV, dan foto terbaru Anda via email ke <a href="mailto:redaksi@matanews.com"><strong>redaksi@matanews.com</strong></a> (cantumkan nama dan posisi yang diinginkan pada subjek email Anda), atau melalui surat ke:<br />
<strong>PT Newslink Convergency Media</strong><br />
Jalan Danau Limboto Blok B-1 No. 45<br />
Bendungan Hilir, Jakarta Pusat 10210<br />
</div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-83949310358865910612011-02-10T02:55:00.000-08:002011-02-10T02:55:49.851-08:00Kita Salah, Maka Kita Ada<span style="font-family: "Palatino Linotype"; mso-bidi-font-family: "Microsoft Sans Serif";">Pengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 14 Mei 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.</span><br />
<br />
<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <br />
<div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Semakin percuma saja semua upaya perbaikan terhadap kualitas Lampung Post karena realitas yang dialami tidak pernah bergeser dari kesalahan demi kesalahan yang sama. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Hal-hal yang justru menimbulkan kekesalan, yang membuat pembaca akan berpaling kepada koran lain. Ketika itu terjadi, tidak akan ada ucapan “sayonara”, tiba-tiba saja Lampung Post sudah kehilangan pembaca.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Sebab itu, mari belajar jadi wartawan dengan mengacu pada pesyaratan jadi wartawan seperti</span></div><div class="MsoNormal" style="tab-stops: list .5in;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Ditawarkan M. Djen Amar, S.H. dalam bukunya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Hukum Komunikasi Jurnalistik (1984), MELIPUTI: </i><b>BERSEMANGAT (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">ENTHUSIASM</i>), PRAKARSA (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">INITIATIVE</i>), AGRESIF (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">AGRESSIVINESS</i>), <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>BERKEPRIBADIAN (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">PERSONALITY</i>), RASA INGIN TAHU (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">CURIOSITY</i>), <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>JUJUR (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">FAIRNESS</i>), BERTANGGUNG JAWAB (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">RESPONSIBILITY</i>), <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>KEMAMPUAN BICARA/MENULIS (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">SPEAKING/WRITING</i>), <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>BERGAIRAH FAKTA (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">DESIRE FOR FACTS</i>), AKURAT (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">ACCURACY</i>), <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>PENDIDIKAN (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">EDUCATION</i>), DAN <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>HIDUNG BERITA (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">NOSE FOR NEWS</i>)</b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">BERITA GANDA.</span></b><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;"> Ini kesalahan fatal dalam berjurnalistik ria. </span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Ini bisa disebut <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">tidak responsibility</b>. Kepercayaan publik pembaca bisa runtuh karena kasus ini. Tapi, hal itulah yang kita lakukan, seolah-olah berita ganda itu telah menjadi tradisi. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Kita tahu, tradisi itu mesti diwariskan.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Sabtu, 12 Mei 2007, berita ganda terjadi.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Pada halaman 7 berjudul “Dinas Peternakan Kekurangan Penyuluh”. Hari ini, ada juga berita ganda, “Obituarium…..”. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Berita di halaman satu tentang Matori Abdul Djalil, sama dengan berita Matori Abdul Djalil di halaman 16. Editornya sama, U-1. </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Semula saya mengira tulisan di halaman 16 berjudul “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Matori Dikenal sebagai Pejuang Politik</b>” berupa tulisan obituari---mengenang jasa (sepak terjang) seserang almarhum selama hidupnya. Obituari galib dimunculkan pengelola media untuk mengenang orang-orang yang punya peran besar dalam kehidupan manusia. Obituari sering hanya melihat dari satu sisi agar tulisan lebih fokus dan detail, biasanya yang sangat terkait dengan momentum sejarah, entah sejarah personal atau sejarah universal. Teknik penulisannya pun lebh condong <i style="mso-bidi-font-style: normal;">views </i>ketimbang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">news</i>—sangat mengandalkan daya ingat, kenangan, memori, pengalaman bersama.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Pada banyak media, tulisan obituari sering ditulis oleh orang-orang dekat dengan almarhum. Setidaknya, orang yang mengenal secara pribadi. Ketika Sobron Aidit meninggal di Perancis, kawan dekatnya, Agam Wispi, menulis sosok Sobron Aidit. Orang tak akan mendebat, karena semua orang tahu kedekatan keduanya.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Defenisi soal obituari itu saya pungut dari esai Goenawan Mohamad, Rosihan Anwar, dan Muchtar Lubis. Ada banyak defenisi lain, tetap dari semua defenisi itu tidak ada yang menyebutkan “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">kalau ada tokoh meninggal, buat beritanya dua kali meskipun sama”.</b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Berdasarkan defenisi itu saya membaca Lampung Post dan sangat kecewa karena isinya sama seperti di halaman pertama. “Lucu sekali,” kata seorang pekerja pers dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">short massage service</i>, “koran seperti Lampung Post punya tradisi berita ganda.”</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Ini bukan lawakan, tetapi sepotog tabu. Ini akan berulang karena “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">tidak ada yang berani memberi sanksi</b>”. Karena pula, sanksi tidak penting di Lampung Post. Yang penting, koran terbit. Kesalahan fatal adalah anugerah terindah. Sebab itu, peliharalah kesalahan. Dalam rumusan Descartes, “kami salah maka kami ada”.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">NIR KOMUNIKASI DAN TAK KUKUH DENGAN PENDIRIAN. </span></b><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Lampung Post sebuah produk tim. Seluruh isinya dikelola secara bersama-sama. Begitu idealnya. Nyatanya, produk ini dikelola tanpa komunikasi antara <i style="mso-bidi-font-style: normal;">stake holder</i>.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Nirkomunikasi terasa saat membaca berita “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Korban Pencemaran Limbah Bertambah”. </b>Antara redaktur (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">U-1</b>) dengan wartawan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">LUT</b> dan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">AAN</b> tidak ada percakapan, sehingga <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">berita kita yang merupakan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">round up story </i>tentang pencemaran lingkungan oleh anak perusahan Grup Bumi Waras, dimentahkan oleh seorang Benny alias Abeng yang menyatakan “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">di lokasi itu sebenarnya tak terjadi apa-apa</i>”.</b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Lantas, warga mengungsi, sakit yang mereka derita, dan ludah yang terasa pahit, apakah semua itu bualan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></b>Lampung Post?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Berita kita, kita bantah sendiri. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Kita tidak kukuh dengan pendirian. Ada apa? Apakah wartawan tak cukup cerdas untuk bertanya kepada Benny alias Abeng tentang “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">apakah Abeng buta sehingga tak melihat kondisi warga yang mengungsi dan kini sakit-sakitan?” </b>Atau, redaktur tak cukup cerdas untuk menugaskan wartawan mengajukan pertanyaan di atas kepada Abeng?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Ini yang disebut rendah kemampuan berbicara (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">speaking), tidak ada desire for fact, tidak punya personality.</b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">TERLALU NARSIS. </span></b><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Ada ribuan orang datang ke arena Kreativitas Anak. Untuk sebuah kegiatan yang telah digelar lima kali, alangkah bagusnya bila kita <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">tidak narsis</b> memuji acara sendiri. Para orangtua peserta, peserta, pejabat, tokoh masyarakat, yan datang bisa jadi narasumber untuk memuji atau mengkritik tradisi lomba mewarnai ini. </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Sudah saatnya kita meminta advis dari orang lain, publik. Tapi berita kita Cuma bicara tentang diri kita sendiri.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Dalam dunia ilmu komunikasi, ada cara mengemas “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">agar orang memuji kita, bukan kita yang memuji diri sendiri.</b>”</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Narsis juga saat melihat photo di edisi <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Ekonomi Syariah. </b></span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Lihat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">caption foto </i>yang berbunyi: “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">PENJELASAN. </b></span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi sedang mendengarkan penjelasan mengenai asuransi syariah, Jumat (11-5)”.</span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Ini menunjukkan betapa Pemimpin Redaksi (representasi Lampung post), butuh penjelasan sangat serius soal asuransi syariah dari seseorang yang tidak dikenal. Apakah Lampung Post mau berubah buka devisi baru, Asuransi Syariah Lampung Post, sehingga butuh penjelasan serupa itu dan mesti dipublikasikan kepada publik lewat Lampung Post? </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Lampung Post koran publik. Kalau awak Lampung Post ingin tampil, mending buat Buletin Lampung Post. Jangan dijual kepada publik.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Ini yang disebut tidak <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">fairness</b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">KURANG TELITI. </span></b><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Tanggal 12 Mei 2007 itu hari Sabtu. Hari Minggu tanggal 13 Mei 2007. Tapi, di Lampung Post, hari Sabtu itu tanggal 13 Mei 2007. </span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Baca berita “Mahasiswa FKIP Juara” halaman 2. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Date line</i> menyebut Sabtu (13-5). </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Dengan redaktur K-2. Padahal di halaman yang sama dengan redaktur <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">K-2 </b>disebut bahwa hari Minggu tanggal 13 Mei 2007. Baca berita “KTM Direalisasikan 2007”.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Hal yang sama juga terjadi halaman PENDIDIKAN. Dengan redaktur <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">S-1 </b>dan wartawan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">AST </b>berita berjudul “Satono Terus Tingkatkan Pendidikan Lamtim” disebut Sabtu (13-5), mestinya hari Sabtu itu tanggal 12 Mei 2007. Di halaman yang sama, redaktur <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">S-1</b> mengedit berita “Dana Pendidikan Belum Sentuh Mahasiswa” dan menyebut hari Minggu tangal 13 Mei 2007.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Ini yang disebut kurang <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">responsibility.</b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">TERLALU BERPANJANG-PANJANG. </span></b><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Kalau bisa pendek, kenapa mesti panjang. Informasi yang didapat publik dengan membaca EDISI KHUSUS JEMBATAN SELAT SUNDA Cuma satu, yakni <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">JEMBATAN SELAT SUNDA AKAN DIBANGUN KARENA PENTING. </b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Ada tiga berita soal jembatan selat sunda. Ketiga berita sama saja: menawarkan mimpi. </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Inti berita berjudul “Tak Saja Menyatukan Dua Provinsi” berisi hal-hal, yakni: (1) Jika jembatan itu penting (2)jembatan itu keajaiban dunia (3)memacu pertumbuhan wilayah (4)meningkakan kesejahteraan rakyat (5)memperpendek jarak tempuh (6) dan lain-lain</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Dalam berita “Membangun Keajaiban Dunia” soal itu masih dikutif. Dalam “Menghidupkan Sebuah Mimpi” dikutif lagi soal-soal sama.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Inilah tripel berita dalam halaman yang sama.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Tak ada variasi. Misal, kita punya data tentang pulau-pulau di kawasan Selat Sunda, yang kini sudah jadi milik pribadi. Sejak isu jembatan akan dibangun, banyak pengusaha membeli pulau-pulau yang diperkirakan akan menjadi tiang pancang jembatan. Harapan mereka harga tanah lebih mahal.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Tanya Anshori Djausal yang punya pulau di sana. Tanya juga kasus ganti rugi yang pernah merebak pada tahun 1998, yang membuat kawan bernama Marsidi Hasan kaya raya saat menjadi Camat di Kalianda.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Tanya juga warga di sepanjang kawasan pembanguan Jembatan, yang sampai sekarang merasa dibohongi karena terlanjur menjual murah tanahnya.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Pertanyaan jembatan selat sunda itu penting bagi siapa? Kalaupun bicara soal sarana transfortasi, lantas untuk apa kapal ro ro di selat sunda. Mau ditaruh dimana pengusaha transportasi laut itu? Bagaimana pula analisis ekonomi (perbandingan) jika pengusaha mengirim barang lewat Jembatan Selat Sunda dengan jika mengirim lewat kapal. Berapa persentase keuntungan yang akan diraih. Sektor apa pula yang akan tumbuh oleh Jembatan Selat Sunda itu. Jangan-jangan pungutan retribusi akan banyak.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Apa kabar Pelabuhan Panjang nantinya? Banyak hal yang tidak jelas, yang justru memberi kesan edisi khusus ini menjadi <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">tak khusus.</b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Ditambah dengan desain halaman yang, entahlah, mengikuti konsep apa. </span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Semakin jelas betapa tidak khususnya halaman khusus ini.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: NO-BOK;">Seorang Roy Sembel datang ke Lampung. </span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10.0pt;">Kita tak ada beritanya. Apakah Lampung Post tak kenal Roy Sembel?</span></div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-50722729736450250502011-02-10T02:51:00.000-08:002011-02-10T02:52:03.199-08:00Pers Hilang dari Bumi LampungSIANG itu di sebuah kantin di Biro Humas Pemerintah Provinsi Lampung, beberapa wartawan memperbincangkan ihwal program jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah yang digulirkan Gubernur Lampung Sjachroeddin Z.P. ”Kalau tak sekarang, kapan lagi kita bisa umrah.” Seorang wartawan, koresponden sebuah koran mentereng di Jakarta memberi alasan yang menurutnya logis. Wartawan lain menimpali dengan semangat mirip pejuang pada perang kemerdekaan di tahun 1945. ”Kita jangan mundur!”<br />
<br />
Sikap keras ini muncul setelah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung menyatakan protes atas program itu. Dalam pandangan AJI, terutama karena beberapa anggota organisasi pers itu ditunjuk untuk diberangkatkan ke Malaysia dan umrah ke Makkah tanpa mengonfirmasi kepada wartawan bersangkutan lebih dahulu, pencantuman nama anggota AJI dapat merusak citra lembaga profesi ini.<br />
<br />
Tak urung, Budisantoso Budiman, salah seorang pengurus AJI Kota Bandarlampung memberi sikap tegas (baca: Kontroversi ’Jalan-Jalan’ Wartawan dalam Radar Lampung, 9 Juli 2007).<br />
<br />
Sekalipun demikian keras sikap AJI Kota Bandarlampung, namun soal jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah ini tidak kunjung dibatalkan pemerintah daerah. Padahal, program ini sama saja dengan menegasikan publik selaku pemilik dana yang akan digunakan—dana untuk program ini diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara hasil dari penggunaan dana publik ini tidak jelas out put-nya, kecuali satu hal, yakni agar wartawan merasa terpuaskan oleh elite pemerintah daerah.<br />
<br />
Tulisan ini untuk menegaskan betapa sikap Budisantoso Budiman sepantasnya membuka cakrawala para elite pemerintahan di provinsi ini, betapa profesi wartawan masih memiliki orang yang tak gampang disogok dan disuap. Sebab itu, jangan pernah memperlakukan para wartawan sama seperti perlakuan pemerintah terhadap entitas masyarakat lainnya, yang hanya melihat posisi seorang elite pejabat pemerintah daerah dari aspek politik pemerintahan negara.<br />
<br />
<br />
Wartawan Pejabat<br />
<br />
Di tengah-tengah iklim rusaknya mental para pekerja pers--juga mentalitas para elite pemerintahan--di era reformasi saat ini, soal sogok-menyogok menjadi rutinitas yang dianggap lumrah. Memberikan fasilitas dan kemudahan-kemudahan kepada golongan tertentu—yang diharapkan bakal memberi respons serupa--dianggap sebagai sebuah keharusan. Gubernur Sjachroeddin Z.P. sendiri acap mengatakan, ’’Saya berteman akrab dengan wartawan di mana pun saya bertugas. Apa salahnya bila saya mencoba memperlakukan wartawan sebagai sahabat akrab.”<br />
<br />
Ini membuktikan bahwa perspektif yang dimiliki oleh gubernur Lampung dalam melihat pers belum bergeser dari perspektif yang selama ini diyakini pemerintah, yakni sebagai institusi yang dapat merontokkan kekuasaan seorang elite pemerintah. Karena perspektif seperti itu, Gubernur Sjachroeddin menganggap akan lebih baik apabila dirinya berhubungan akrab dengan pers dan para pekerjanya. Tentu saja mudah menduganya bahwa Gubernur Sjachroeddin berpikir ’’seseorang yang diakrabi dan diberikan kebaikan-kebaikan akan bersikap sebagai penurut.”<br />
<br />
Itu sebabnya, Pemerintah Provinsi Lampung merasa ’’tidak bersalah” dan karena itu tidak perlu meralat meskipun mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk menyenangkan hati wartawan. Sebab, program jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah bagi wartawan ini diharapkan agar wartawan merasa terpuaskan dan tersenangkan oleh elite pejabat pemerintah, sehingga wartawan memberikan respons yang juga akan membuat elite pejabat pemerintah merasa terpuaskan dan tersenangkan. Alhasil, wartawan tidak akan bisa lagi bersikap sebagaimana seharusnya seorang wartawan yang mesi kritis dan menjadi penyambung aspirasi publik, melainkan lebih menempatkan diri sebagai ’’anjing penjaga” elite pejabat pemerintah tersebut.<br />
<br />
Sangat mungkin, alasan itulah yang membuat wajah dunia pers di provinsi ini menjadi seragam. Setiap hari kita membaca berita yang sama dalam beberapa produk industri pers, yang semuanya mencerminkan bahwa para pekerja pers telah memosisikan diri sebagai ’’tukang catat” bukan sebagai ’’tukang analisis”.<br />
<br />
Pemberitaaan soal Laporan Pertanggungjawaban (LPj.) Gubernur Lampung, misalnya, pers di provinsi ini lebih banyak menampilkan peristiwa persidangan di DPRD Lampung. Sementara subtansi pertanggungjawaban Gubernur Lampung tidak mendapat porsi maksimal, padahal publik ingin mengetahui apakah akuntabilitas anggaran pemerintah daerah sangat transparan atau abu-abu.<br />
<br />
Masyarakat tidak lagi menemukan fakta-fakta sebenarnya terkait kinerja para elite pemerintah daerah dalam pemberitaan pers. Elite pemerintah daerah dalam pers di provinsi ini tampak seperti ”malaikat” yang tidak pernah melakukan kesalahan. Bila ada pejabat yang mendapat penghargaan secara nasional, maka pers akan menampilkan beritanya dalam porsi sangat besar. Bahkan, akan muncul iklan ucapan selamat secara berulang-ulang, yang justru berdampak pada pengalihkan fakta.<br />
<br />
Artinya, pers seharusnya mengungkapkan betulkah prestasi (penghargaan) yang diperoleh elite pejabat pemerintah itu layak diterimanya atau tidak sama sekali. Sebab, realitas pemberian penghargaan di negeri ini sarat akan kolusi dan nepotisme. Seorang pejabat bisa memesan jenis-jenis penghargaan yang diinginkannya, tinggal memenuhi persyataran-persyaratan administrasi yang dibuat panitia pemberi penghargaan.<br />
<br />
Artinya, realitas di lingkungan masyarakat menunjukkan tidak banyak hal yang berubah sekalipun elite-elite pemerintah daerah terus berganti atau sebanyak apa pun penghargaan yang mereka peroleh. Pembangunan terlihat stagnan, ditandai dengan masih banyaknya rakyat yang hidup miskin, tidak terbukanya peluang-peluang kerja baru yang membuat angka pengangguran tetap tinggi, sulitnya masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintahan daerah, dan berbagai indikator pembangunan lainnya.<br />
<br />
Sebab itu, apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung dengan program memberangkatkan wartawan untuk jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah, salah satu bentuk bahwa elite-elite pemerintah punya andil untuk merusak wajah pers di provinsi ini. Elite pemerintah menghendaki agar pers tampil kalem dan lembut, sehingga elite pejabat pemerintah bisa menjadikan pers sebagai mitra untuk membodohi masyarakat.<br />
<br />
<br />
Pers APBD<br />
<br />
Pers selama ini memberikan kontribusi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat dunia, sehingga Thomas Jefferson mengklaim pers merupakan the fourth estate (kekuatan keempat), selain yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Tentu saja klaim seperti itu hanya melenakan pers, membuat para pekerja pers merasa diposisikan sebagai ”dewa penyelamat”.<br />
<br />
Para pekerja pers besar kepala, sehingga kesulitan untuk membawa kepalanya sendiri. Padahal, apa yang diungkapkan Thomas Jefferson itu hanya terealisasi pada sisi idealistis pers. Sementara sisi realistis justru memperlihatkan fakta yang berseberangan, karena pers di provinsi ini sejak mula dipersiapkan para entrepreneur bukan sebagai alat perjuangan. Pers di provinsi ini dibangun untuk menjadi jaring semacam trawl guna menjaring sekian banyak keuntungan komersial.<br />
<br />
Memang, awalnya sejarah pers di provinsi ini diletakkan di atas dasar-dasar idealis. Namun, peletakkan dasar idealisme itu dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah sebagai pihak yang mesti menggelontorkan dana APBD untuk pers. Tidak heran apabila banyak dana APBD di provinsi maupun kabupaten/kota dialokasikan guna menghidupi institusi pers. Bahkan, organisasi profesi wartawan tidak bisa hidup tanpa kucuran dana APBD sampai AJI Kota Bandarlampung muncul.<br />
<br />
Dari survei yang dilakukan penulis, sebagian besar institusi pers yang ada di provinsi ini tumbuh dan berkembang karena suntikan dana APBD. Sebab itu, mustahil mengharapkan pers di provinsi ini akan memainkan peran dan fungsinya sebagaimana seharusnya. Sebaliknya, pers selalu akan tampil sebagai ”anjing penjaga” pemerintah daerah yang senantiasa siap maju ke depan untuk mengubah citra seorang pejabat korup menjadi malaikat penyelamat.<br />
<br />
Sebuah buku berjudul Wartawan Membuka Cakrawala (2007), yang berisi puji-pujian wartawan terhadap sosok Sjachroeddin Z.P. selaku pribadi maupun gubernur Lampung, salah satu indikator betapa pers dan para wartawan di provinsi ini telah memosisikan diri sebagai ’’anjing penjaga” elite pemerintah. Tanpa merasa malu terhadap profesi yang ditekuninya, wartawan-wartawan yang menulis buku itu membuka aib yang merontokkan idealisme masing-masing.<br />
<br />
Realitas ini tentu sangat terkait dengan sejarah pers di provinsi ini yang tak akan pernah bisa menampilkan sosok pers yang sebenarnya. Di hadapan elite-elite pejabat pemerintah, pers di Lampung tidak dapat dijadikan acuan bagi publik untuk mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya.<br />
<br />
Kesimpulan ini akan semakin jelas bila kita lihat dari sektor penerimaan iklan institusi pers yang ada di provinsi ini. Dari sekian banyak item sumber iklan bagi pers, birokrasi pemerintahan daerah menempati posisi sebagai pemasok terbesar setelah sektor usaha. Karena itu, birokrasi pemerintahan daerah bagi pers adalah semacam sumber penghasilan, sehingga tidak perlu diganggu gugat. Tingkat ketergantungan pers terhadap pemerintah daerah sangat tinggi, yang membuat posisi tawar mereka sangat rendah. Karena itu, sisi idealisme pers di provinsi ini tak akan pernah mengedepan di hadapan pemerintah daerah.<br />
<br />
Mumpung<br />
<br />
Elite pejabat pemerintah bagi masyarakat umum memiliki kedudukan tinggi dalam stratifikasi sosial. Sebab itu, setiap entitas masyarakat selalu berupaya untuk dekat dengan para elite. Mereka bersedia melakukan apa saja, bahkan untuk melacurkan diri. Tidak heran bila seorang elite pemerintah secara tiba-tiba memiliki banyak saudara secara kultural. Secara mendadak seseorang yang baru dilantik sebagai pejabat publik akan dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kultural dengan dirinya, meskipun selama ini pejabat bersangkutan nyaris tidak pernah tahu dengan saudara-saudara kulturalnya.<br />
<br />
Bagi wartawan, seorang elite pejabat publik mestinya tetap dilihat dalam kapasitasnya sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan. Birokrasi adalah semacam mekanisme yang diciptakan agar elite mampu mengatur jajarannya dalam rangka melayani publik. Namun, wartawan di provinsi ini memiliki cara pandangan seperti yang diyakini masyarakat umum. Secara tiba-tiba wartawan melihat elite pejabat publik sebagai sebuah momentum, di mana dirinya dapat memanfaatkan posisi kepejabatan itu dengan memainkan peran sebagai ’’teman karib”, ’’pembisik”, dan ’’penjilat”.<br />
<br />
Inilah yang mendorong gubernur Lampung meluncurkan program jalan-jalan. Itu berarti, kita harus memberikan selamat kepada yang berkesempatan berangkat. Ucapan sebaliknya kita berikan kepada publik: ’’Kasihan deh lu!” (*)<br />
<br />
<br />
Tulisan ini dimuat Radar Lampung 15 Juli 2007Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-71742673326790871382011-02-10T02:45:00.000-08:002011-02-17T15:28:54.378-08:00Berangkat dari Sepenggal Tesis<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQXQD0wy61FRUapGFFRNjlX92TqpDhZMaquFIyK5J_341hualALrB1o1-ztkekSnGScE_PCv_mdYSFpx_ylAYJ8BblZ3qDKxLZTP6Q1i5ZnaQwYaMj4SqEpgPdDWh0q3l6hPiLOcLsfjx-/s1600/buku.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQXQD0wy61FRUapGFFRNjlX92TqpDhZMaquFIyK5J_341hualALrB1o1-ztkekSnGScE_PCv_mdYSFpx_ylAYJ8BblZ3qDKxLZTP6Q1i5ZnaQwYaMj4SqEpgPdDWh0q3l6hPiLOcLsfjx-/s320/buku.jpg" width="231" /></a></div><span style="font-family: "Palatino Linotype";"><b>Pengantar.</b> <i>Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 18 April 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.</i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Soal tesis pernah disinggung serba sangat sedikit dalam analisis atas edisi 3 April 2007. Barangkali itu yang membuat kesadaran atas tesis belum tumbuh dalam produk Lampung Post, meskipun tesis adalah syarat utama.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
<span style="font-family: "Palatino Linotype";"><b>BERANGKATLAH DARI TESIS </b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Palatino Linotype";">Tesis tak ada kaitannya dengan tulisan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan. Tesis dalam hal ini dimaknai sebagai “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">pendirian dasar yang mesti kita tegakkan sebagai pendapat atau opini</b>”. Tesis itu gagasan yang mengendalikan ide (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">controlling idea</i>) atas persoalan yang dipersoalkan dalam berita.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Palatino Linotype";">Lampung Post punya konsep untuk mengukur tesis, yakni navigasi. </span><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Navigasi berita Lampung Post sekaligus tesis dari persoalan. Tapi, navigasi bukan tesis. Judul pun bukan tesis. Tesis ditandai sebagai sikap terhadap suatu persoalan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Palatino Linotype";">Apa tujuan tesis dalam menulis. </span><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Ia menjadi semacam nalar, serupa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sense of purpose</i> guna melenyapkan hal-ihwal yang tak berjejak (mengambang). Ini pelajaran dari David Skwire dalam bukunya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Writing with a Thesis (1976<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">)</b></i>. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Apa syarat tesis menurut Skwire? (1)Tesis terbatas sifatnya; (2)Mempersatukan; dan (3)Spesifik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Berangkat dari soal tesis, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">head line </i>kita “UN Diwarnai Sejumlah Kasus” justru menampakkan kelemahan pada identifikasi tesis. Unsur spesifik terkait tesis, tak tertangkap dalam berita yang “hanya” berisi asumsi-asumsi itu. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Watawan berasumsi “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">kalau murid-murid berkumpul berarti mereka membocorkan soal ujian</b>”, “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">kalau pengawas hilir mudik berarti melanggar prosedur standar operasi</b>”, “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">kalau Sjachroeddin bilang tak ada pelanggaran, berarti tidak ada pelanggaran</b>” dan “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">kalau siswa tetap mengerjakan soal meski jam sudah habis berarti melanggar”</b>. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Itulah yang kita usung dalam berita, kemudian mendapat penjabaran dalam LIPUTAN KHUSUS. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Bila memang asumsi itu benar, kita harus mengikuti dengan data “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">apa yang dilanggar</b>”? Buat table, misalnya. Dengan table, pembaca bisa membuat perbandingan. Tapi, table dan statitik tak kita suguhkan, sehingga liputan hari ini terkesan mubajir karena tak variatif dari aspek isi. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Kata “sejumlah kasus” pada judul <i style="mso-bidi-font-style: normal;">headline </i>halaman pertama, <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">kontradiktif </b>dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">lead headline </i>LIPUTAN KHUSUS dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">headline </i>halaman dua. Di halaman utama kita bicara “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">ada pelanggaran</b>”, sedangkan di halaman LIPUTAN KHUSUS kita bicara “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">tak ada pelanggaran</b>” dan di halaman dua kita bicara “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">UN tertib dan lancar”</b>. Mana yang benar?</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Jangan-jangan kita tak ke lapangan. Atau, ke lapangan, tetapi ikut rombongan Gubernur. Jadi, ya, begitu deh…. Lebih pas sebagai Humas Gubernur. Lihat saja photo di halaman dua. Fokusnya Gubernur dan para pejabat. Humas banget!!!</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Satu lagi, mestinya berita UN tak muncul lagi di halaman lain selaian di LIPUTAN KHUSUS. Nyatanya, masih banyak meskipun berupa photo.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">PHOTO <i style="mso-bidi-font-style: normal;">head line </i>kita, sekali lagi, lebih mempertononkan diri bahwa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Lampung Post </i>tak memiliki tesis jelas. Lima kolom untuk focus seorang siswa yang sedang mengerjakan soal, sama sekali tak ada yang menarik. Mestinya, tukang jepret focus ke orang di belakangnya, yang melihat ke belakang. Saat ujian <i style="mso-bidi-font-style: normal;">plengak-plengok </i>itu mau apa?</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Palatino Linotype";">Ajaibnya lagi, itu photo <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Antara</i>. </span><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Lokasinya di Makasar pula. Kemana tukang jepret <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Lampung Post</i>?</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Palatino Linotype";">Jadi, kesimpulan atas liputan hari pertama UN, Lampung Post kedodoran karena tidak punya tesis yang jelas. </span><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Ini akibat tak ada perencanaan peliputan, meskipun dalam rapat finel checking sudah disampaikan perlu ada tim peliput. Tapi, ya, capek deh….</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Berita “Pria Asia Mengamuk di Kampus, 33 Tewas”, juga tanpa tesis. Untuk apa kita memberitakan soal pria Asia, padahal ada warga Indonesia yang jadi korban penembakan yaitu Partahi Lumbantoruan (34), mahasiswa Universitas Virginia Tech, tinggal di Blacsburgd selama 2,5 tahun.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Berita follow up IPDN, bagusnya, berita di kota berjudul “Sjachroedin tidak Setuju” lebih pas di halaman depan daripada berita “Tayangan Kekerasan Bisa Dijadikan Petunjuk Awal”. Bukankah kita harus konsisten dengan sikap sendiri? MENDUKUNG PEMBUBARAN IPDN?</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Soal tesis juga tak jelas dalam penggarapa halaman 3. Head line “Tim Gabungan Harus Verifikasi”, sudah tentu bukan tesis. Pasti, hasil temuan mesti diverifikasi, tanpa diminta DPRD pun. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Ada</span><span style="font-family: "Palatino Linotype";"> berita “Pemprov Anggarkan Rp3,5 Mliar”, sebetulnya berita bagus. Di halaman ini, kita pernah memberitakan tentang “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">tingginya angka pengangguran</b>”(edisi 2 April 207). Apakah ini solusi pemerintah atas tingginya angka pengangguran, yakni mengirimkan TKI. Bagaimana dengan kasus TKI asal Lampung yang banyak menderita selama ini? Apa yang ingin dicapai Pemda Provinsi dengan mengirim TKI. Apa Lampung sudah tidak bias lagi mengirim jagung ke luar negeri sehingga harus diganti dengan ekspor TKI? Kebijakan apa ini?</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Kalau data-data itu muncul, berita ini lebih layak headline. Kaitkan dnegan berita di halaman 6 berjudul “Penduduk Lampung Miskin Meningkat”. Tapi, tak ada koordinasi, mungkin. Lagi pula, berita ini tak ada dalam bujet.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">CAPTION photo halaman 3, lebih menunjukkan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Lampung Post sangat sibuk mengabsen orang. Untuk apa absensi itu bagi pembaca?</b></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Ada</span><span style="font-family: "Palatino Linotype";"> banyak berita dari acara Sosialisasi Hasil Konferensi Dewan Ketahanan Pangan. (1) Lingkungan Kurang Dipelihara (halaman 3), Sjachroeddin tak Setuju (Halaman 3) Satker Harus Tahu Tugas (Halaman 3), Penduduk Lampung Miskin Meningkat (Halaman 6). </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Dilihat dari variasi tempat kejadian, hari ini Lampung Post terfokus ke kejadian di acara Sosialisasi Hasil Konferensi Dewan Ketahanan Pangan. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Watawan kita kerja keras betul. Luar biasa. Cuma, beritanya lebih banyak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">talking</i>, tak ada perspektif dan tak jelas tesisnya. Sekedar supaya terlihat produktif saja.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Dalam BISNIS, halaman10, ada perubahan. Ternyata BISNIS masih bias bersemangat jurnalis, tidak melulu mendewakan iklan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">HALAMAN OPINI. Font di halaman ini tak stabil. Konsistenlah! </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">HALAMAN SHOWBIZ. Mana navigasinya?</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Palatino Linotype";">Ada</span><span style="font-family: "Palatino Linotype";"> tiga berita reshuffle hari ini. “Publik Jadikan Reshuffle Harapan Baru” (halaman16) dan “Presiden Mendadak Panggil Wapres” (Halaman 8). Kenapa tak digabung saja ini berita? Ditambah satu TAJUK.</span></div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-8545924623449738762011-02-10T02:43:00.000-08:002011-02-10T03:05:35.092-08:00Efek Jera dari BeritaPengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 17 April 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.<br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berita head line “Pembocor UN Kena Saksi Tegas”. Berita ini mengumumkan tentang sanksi bagi para pelanggar yang dampaknya akan membuat orang takut (khawatir) untuk melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan UN. Ada efek jera yang kita harapkan dari pemberitaan ini karena kita khawatir pelaksaaan UN terganggu.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Good! Inilah yang disebut punya sikap. Dilihat dari pilihan unsure pada lead, kita sudah masuk pada HOW dan WHY. Sikap ini harus dipertahankan, tapi harus diikuti dengan peliputan berita yang indep. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE">Untuk edisi 20 April 2007, kita sudah harus bicara tentang “ada atau tidak pelangar” dalam pelaksanaan UN. </span><span lang="IT">Kita tak usah membicarakan tentang UN digelar, karena itu sangat umum. Yang penting, kita beritahu apakah UN yang digelar hari ini berjalan lancar atau tidak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT">Head line kita sejalan juga dengan Buras. Buras, karena diletakkan di depan, adalah kolom yang pertama sekali dibaca. </span>Ada anggapan dari pembaca bahwa topik Buras adalah topik besar Lampung Post setiap hari.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berita “Pangkat Praja akan Dihilangkan”, tak seperti yang kita harapkan. Rencananya kita buat liputan yang berskala daerah dengan tema “apakah pemerintah daerah setuju IPDN dkembalikan ke daerah” . Ini mengacu ada pernyataan Ryass Rasyid selaku orang yang terlibat dalam pembangunan sekaligus mantan rector IPDN.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kita perlu mengalihkan persoalan ke daerah seperti yang sudah kita bicarakan. Untuk itu, perlu perencanaan peliputan yang memadai.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT">Berita “Presiden Nilai Kepala Daerah Kurang Loyal” berita ini tak ada dalam rapat bujet, juga final checking. Karena itu, berita ini tanpa perencanaan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Cropping photo halaman satu sangat parah. Usahakan menampilkan focus pada photo, karena focus (viuw ) akan terlihat gagasan yang ingin kita tawarkan. Photo kita (dijepret Rinda) dari segi tematik sangat actual. Cuma, teknik cropping embuat gambar itu tak fkus. Mestinya, fokuskan saja pada dua PNS yang meneliti berkas (kardus). Photo akan kuat, akan jelas pula bicara soal CHECK SOAL UJIAN. Dua orang yang berdiri di samping kanan dibuang saja, karena mengganggu latar belakang (berupa tumpukan kardus berisi soal/berkas).</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Mulailah, seperti kata BEW, munculkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">head shot</i>. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Tajuk kita “Kecemasan terhadap UN”, terlalu panjang. Tajuk kita, sesuai rapat tajuk sejak awal, panjangnya 55—60 baris.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Head line di halaman 2 berjudul “Gubernur Limpahkan Dua Kewenangan”, terlalu buru-buru untuk dijadikan head line. Berita “akan” bagusnya dipelajari lagi. Toh, dua kewenangan yang akan diberikan itu masih butuh pembicaraan lanjut.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">“Pelimphan wewenang ke bawahan…” selama ini selalu menjadi masalah. Dengan PERGUB ini berarti soal konflik antara WAGUB dengan GUBERNUR akan selesai. Artinya, selesai juga kerja WAGUB karena dia tak akan pernah BISA BICARA.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT">Photo di halaman 2 “JALAN PINTAS”, momentumnya sangat bagus. Tapi, sekali lagi, teknik cropping kurang mantap. Untuk apa photo pagar di samping kanan, sehingga phto jadi empat kolom.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT"> </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT">Halaman tiga, ada photo keluarga di sekilas. Apa ya maksudnya?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Head line halaman 3 “Kembalikan Mobil Dinas” masih sibuk menghitung jumlah demontran. Mestinya focus ke pokok persoalan, HOW dan WHY, sehingga jelas bagi pembaca apa persoalan, dan kenapa mesti jadi persoalan. “Tiga pemimpin DPRD Kota Bandar Lampung diminta....”</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Persoalan besar dalam berita “Makan Tumis Jamur, Sekeluarga Keracnan” adalah “keracunan”. Sama sekali tak bicara soal kesehatan. Jadi, navigasi bukan “kesehatan”.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berita itu pun tak memperhitungkan aspek pendidikan. Jamur, kenapa tak dijelaskan jamur apa. Bila perlu, cari nama Latinnya. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berita head line di halaman 4, “Bukan Salah Pengusaha Semata”. Tolong, berbuatlah seperti jurnalis. <span lang="IT">Berita kita, kentara sekali sangat pro-Dinamis. Jangan lupa, ada orang mati loh. Siapa punya proyek, dia harus bertanggung jawab. </span>Jangan-jangan Dinamis sengaja membuat proyek seperti itu untuk membunuh keempat orang tersebut. Pemerintah saja bisa digugat oleh pengendara sepeda motor yang kecelakaan akibat jalan berlobang.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Sejak awal kita PASANG BADAN untuk membela Dinamis. <span lang="IT">Kita tak perna bertanya bagaimana penyidikan polisi. Apakah betul robohnya papan reklame Dinamis karena faktor alam, atau karena faktor sengaja. Misal, ada yang merusak sebagai dampak persaingan bisnis. Atau, ada kesengajaan dari tenaga Dinamis yang mengerjakannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kita berbuat sebagai jurnalis sajalah. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Halaman 6 Ruwa Jurai. Masih ada penggunaan kata “kapal ro ro” setelah kita sepakat kata “feri”, lihat berita “Belum Ada Pengusaha Sewa Kapal Ro-ro”.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IT">Halaman 17 Nasional&Internasional. Masih ada saja berita tanpa navigasi, begitu juga dengan halaman 20, tak pernah mau membuat navigasi.</span></div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-52904867131859816332011-02-10T02:39:00.000-08:002011-02-10T02:41:03.730-08:00Hal Ahwal Lead, Hal Ahwal Bunyi<div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Pengantar.</span></b><b> </b><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 13 April 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.</span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Kata juga merupakan tanda (sign) bunyi. Dalam dunia penulisan, wartawan Ernest Hemingway dalam laporannya tentang perang di Italia untuk koran tempatnya bekerja, mengandalkan bunyi dari setiap kata yang dipergunakannya. Dengan bunyi (tone) itu, pembaca menjadi tahu berita itu ditulis oleh Hemingway, meskpun seandainya tak ada nama Hemingway dalam berita tersebut. Itulah yang disebut style (gaya), dan ini sangat khas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: Arial;">Bunyi (tone) sering diidentikan dengan rasa. </span><span style="font-family: Arial;">Pemahaman terhadap bunyi itu membuat kalimat yang dihasilkan menjadi enak dibaca. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Judul berita “Lapindo Rugikan Rp27,4 Triliun” yang menjadi head line Lampung Post edisi 13 April 2007, dibuat tanpa kesadaran akan bunyi (tone). Kalimat judul itu tak jelas “siapa yang dirugikan”, padahal ada kata “rugikan” yang mesti diikuti dengan objek. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Ini terjadi karena si pembuat judul terlalu focus pada jumlah baris yang disediakan, sehingga lebih memikirkan jumlah ketukan. Baiknya, lebih focus pada topic, tema, atau esensi berita, yakni “Lumpur merugikan negara”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: Arial;">Kalau subjek “Lapindo”—perusahaan—bagusnya kata “rugikan” diganti menjadi “rugi”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: Arial;">Jadi, tawaran judul “Lapindo Rugi Rp27,4 Triliun” atau “Lapindo Rugikan Negara Rp27,4 Triliun”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: Arial;">Lead berita sama seperti judul, tak jelas objeknya, meskipun sudah jelas subjeknya yakni “banjir lumpur Lapindo”. </span><span style="font-family: Arial;">Setelah memasuki alinea ke-2, baru jelas objeknya: Negara. Ini berdasarkan pada pernyataan Suprayoga Hadi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Tawaran lead:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Banjir lumpur Lapindo telah berlangsung sembilan bulan. Selama itu negara merugi Rp27, 4 triliun.”</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Demi bunyi (tone) agar pembaca merasa nikmat. Lead mestinya disiasati agar pembaca merasa nikmat. Untuk itu, setiap instiusi pers punya standar lead, sama seperti Lampung Post: <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Lead to the point</i></b>, <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">tidak berkepanjangan.</i></b></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: Arial;">Lead berita “Kapoltabes Siapkan Hukuman Maksimal” terdiri dari tiga kalimat, dan masing-masing kalimat terdiri dari 9—30 kata. </span><span style="font-family: Arial;">Kalimat pertama 9 kata, kalimat kedua 15 kata, dankalimat ketiga 30 kata.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dari jumlah kata saja lead ini sangat berkepanjangan. Apalagi bila dilihat dari jumlah tanda baca yang bisa memberi jedah bagi pemaca --- titik dan koma—jumlahnya 10: 3 titik, 7 koma. Lead ini menyusahkan pembaca, hal yang mestinya tidak kita lakukan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Beri pembaca kenyamanan membaca. Karena itu, lead serupa harusnya tidak dilakukan lagi di Lampung Post. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Alternatif lead:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial;">Kapoltabes Bandar Lampung Kombes Pol Endang Sanjaya akan memberikan hukuman maksimal bagi pelaku penculikan anak, apapun motif dari tindakannya.</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Ada</span><span style="font-family: Arial;"> banyak teknik pembuatan lead, dan masing-masing sangat tergantung pada topik yang diberiakan. Setiap topic punya pilihan lead yang cocok, karena begitulah formula-formula lead dirumuskan. Kita tinggal mengaflikasikannya. Ke dalam work setiap redaktur, Litbang pernah mengirimkannya. Kalau tidak ada, bisa diambil di work korektor.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Soal “Guru Besar IPDN TolakAutopsi Jenazah…..” bukan berita baru, tetapi hasil penyidikan polisi tentang keterlibatan pejaba IPDN dalam kasus kematian Cliff Muntu. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Berita “Kerusakan Jalintim Menggala Makin Parah” adalah berita yang selalu saja muncul setiap tahun. Jalan rusak bukan hal ang aneh di Menggala, sebaliknya “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">jika jalan itu bagus, baru aneh</b>”. Berita ini bagus untuk kapasitas feature, tinggal menyuruh wartawan memantau jalan itu dalam kurun waktu tertentu, lalu buat reportase tentang segala sesuatu di sana. Juga, dampaknya bagi perekonomian di daerah-daerah sekitar. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">“Sopir tak Pernah Munjur Lewat Lintas Timur”, bisa bercerita tentang pengalaman para sopir truk dan kerugian mereka. Lintas Timur adalah bagian dari megaproyek “Asia Ring Road” yang dibiayai oleh Bank Jepang dan dikerjakan oleh 10 kontraktor bertarap internasional. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> </span></div> <span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;"><br />
</span></div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-57005556093354870662011-02-10T02:35:00.000-08:002011-02-10T02:41:40.087-08:00Dari “Membesarkan” ala Mak Erot sampai “Mengecilkan” Pembaca yang Terdidik<div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Pengantar.</span></b><b> </b><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 11 Juni 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;"> </span> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">SEBUAH keberhasilankah ketika membaca Lampung Post kita menemukan banyak iklan Mak Erot, viagra, dan hal-ihwal yang biasa ditemukan pembaca di Misteri, Lampu Merah, Rakyat Merdeka, dan “media kuning” lainnya? Bagi Bagian Iklan Lampung Post, sangat pasti, ini keberhasilan. Semacam prestasi. Bisa dapat iklan di era persaingan bisnis media yang super ketat saat ini, tentu ini sebuah keberhasilan (?) </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Akan tetapi bagi sebuah industri penerbitan pers yang mengambil posisi “media kalangan terpelajar” (bacaan masyarakat terdidik), iklan serupa ini menjadi bukti bahwa manajen instuitusi pers bersangkutan sudah tak kuat lagi mempertahankan komitmennya. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Ini pun berarti, institusi pers tersebut “angkat tangan” menghadapi realitas persaingan bisnis iklan yang tajam dan keras.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Oleh sebab itu, sangat ganjil dan aneh kalau pembaca Lampung Post disuguhi iklan Mak Erot, viagra, pengobatan super sempurna—yang lebih banyak menawarkan mimpi dan omong kosong. Disamping tidak mendidik, kita pun terkesan “gagal” dalam persaingan merebut belanja iklan, sehingga terpaksa melakukan hal-hal yang pernah kita tolak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Kita harus memahami bahwa media cetak adalah sumber penting bagi pembaca untuk melunasi kehausannya akan informasi yang mendidik. Inilah hal penting yang tidak dimiliki dunia media di negeri ini. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Lihat iklan di halaman 4 dengan judul “Lelaki Sejati Harus Mampu Penuhi Kebutuhan Istri” atau iklan di halaman 5 berjudul “Sekarang, Istri Saya Tak Berani Lagi Meledek Saya”. Kedua iklan itu menwarkan “cara agar laki-laki menjadi perkasa, hebat di ranjang, dan dapat menjadi barang pemuas istri”. Iklan kolom pun banyak yang menawarkan kejantanan, Mak Erot, dan lain-lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Pantas dicurigai, jangan-jangan ini bukti Bagian Iklan Lampung Post tidak punya strategi bisnis yang mumpuni? </span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Kalau hal itu benar, perlu dadakan pelatihan bisnis periklanan bagi staff-staff marketing Lampung Post.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Bicara soal melunasi kehausan pembaca akan informasi, kita harus menyadari posisi kita sebagai pemuas “dahaga infomasi” yang dialami publik pembaca. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Akan tetapi posisi ini belum maksimal dipenuhi oleh Lampung Post. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Analisis ini sebuah contoh saja dari bagaimana Lampung Post melakukan kerja memuaskan “dahaga informasi” publik atas Pemilihan Rektor Unila. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Setelah berlangsung berbulan-bulan, mula dari tahap persiapan panitia, pendaftaran calon rektor, terpilih rektor, sampai pasca terpilih rektor, telah banyak kita sajikan berita baik erupa peristiwa seperti demontrasi mahasiswa sampai pada hasil pencarian wartawan. Namun, dari sekian banyak berita itu, jelas sekali bahwa perspektif yang diemban Lampung Post tidak “memandang Unila sebagai lembaga pendidikan tinggi untuk menggodok generasi muda di provinsi ini”. Kesimpulan ini untuk tidak menyebut bahwa Lampung Post tidak mengerti betul posisi Unila dalam pembangunan nasional di provinsi ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Serial Pemilihan Rektor Unila di Lampung Post merupakan serial liputan terpanjang yang pernah dilakukan, setelah serial yang melelahkan dan nyaris membosankan saat Lampung Post meliput peserta Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan peserta Idonesia Idol. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Mungkin, lantaran sangat berpengalaman menggiring Yuke AFI hingga sampai final, Lampung Post pun menjadi sangat akrab dengan pola peliputan berita yang disajikan saat mendukung peserta AFI asal Lampung. Pola itulah yang muncul saat Lampung Post menyajikan serial berita Pemilihan Rektor Unila, dimana setiap calon rektor disajikan sosok pribadinya, keluarganya, kebiasaannya, dan kehidpan keluarganya. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Salah seorang calon rektor, misalnya, dibeberkan berapa gajinya, berapa orang anaknya, dan siapa suaminya. Ada calon rektor yang disorot dari hal ihwal yang tak ada kaitannya dengan kualifikasi seorang rektor. Sangat khas liputan yang disajikan dalam semangat mendukung peserta AFI, bukan khas liputan untuk mendukung terpilihnya rektor yang mumpuni.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Mestinya, Lampung Post menyoroti perihal kualifikasi keilmuwan setiap calon dan bagaimana kaitannya dengan cara calon tersebut memajukan Unila nantinya. Dengan membeberkan hal itu, ribuwan mahasiswa pasti akan paham Rektor seperti apa yang akan mereka miliki nantinya. Akan tetapi tidak demikian. Sekarang, hanya mahasiswa di FMIPA yang paham rektor seperti apa yang mereka miliki, karena rektor terpilih berasal dari FMIPA.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Akhirnya Lampung Post sangat bersemangat membeberkan “kerusuhan” di Unila. Orientasi dan perspektif yang kita pilih sama sekali tak memandang Unila sebagai lembaga pendidikan. Kita memposisikan Unila tidak lebih seperti partai politik, karena unsur politisasi itu yang kita kedepankan. Kerusuhan, itu yang membuat kita hidup sebagai media publik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Sudah berulang kali disinggung, tajuk adalah sikap institusi pers, bukan sikap penulisnya. </span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Oleh karena itu, terhadap tajuk berjudul “Belajar dari Sudjarwo”, yang merupakan tulisan penutup serial liputan Rektor Unila, perlu dipertanyakan “sikap siapa yang diusung penulisnya”. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Kalau sikap Lampung Post, sangat aneh apabila Lampung Post setuju terhadap konsep BHPT (badan hukum perguruan tinggi) yang diprotes di seluruh Nusantara dan dikaji lagi oleh para ahli pendidikan. BHPT dinilai melakukan komersialisasi pendidikan, membuat kampus tidak berbeda dengan institusi bisnis, lebih berorientasi profit ketimbang mencerdaskan bangsa. Mahasiswa yang tak mampu bayar tidak akan pernah bisa kuliah di perguruan tinggi negeri. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Lantas, apa pijakan logika yang dimiliki penulis tajuk saat menyimpulkan BHPT dapat membuat pemilihan Rektor tidak lagi ribut-ribut. Sangat mungkin malah sebaliknya, kampus akan menjadi arena pertempuran dimana kepentingan pebisnis, institusi pendidikan, pemerintah daerah, kepentingan mahasiswa, kepentingan masyarakat akan bermain sehingga terjadi bentrok yang krusial.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Mungkin benar, pada tataran ini, Lampung Post tidak lagi menjadi “bacaan masyarakat terdidik”. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Evaluasi atas serial berita Pemilihan Rektor perlu dilakukan. Evaluasi akan membuat Lampung Post tumbuh lebih positif. Kita belajar dari kelemahan dan kekurangan. Ke depan, kita akan menjadi lebih matang dan dewasa. Sebab, kita pasti akan melakukan serial-serial liputan lain. Semoga, kita bisa menjadi lebih baik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Apapun alasannya, media cetak harus memiliki produk liputan yang mampu mengalihkan perhatian masyarakat dari media elektronik. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Soal kecepatan, media koran seperti Lampung Post pasti kalah dibandingkan televisi, radio, atau internet. Dengan begitu, syarat aktualtas berita, bagaimanapun, sulit terenuhi media koran. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Dengan serial liputan, koran punya peluang menguasai pasar. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, selalu ada ihwal yang dapat disajikan secara serial kepada pembaca. </span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Sebagai contoh, pada bulan Juni, Juli, Agustus, akan lebih bagus bila Lampung Post membuat serial tulisan tenang Kota Bandar Lampung karena saat itu, Kota Bandar Lampung ulang tahun. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Edisi Minggu, 10 Juni 2007</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Head line berjudul Olimpiade Sains Internasional, Dua Siswa Seleksi Akhir”, sebuah berita yang bagus bagi masyarakat. </span><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Ternyata, masih ada generasi muda yang bisa bicara di dunia internasional lahir di tengah-tengah kemiskinan Provinsi Lampung.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Itu soal kebermaknaan berita. Nah, soal penulisan berita tersebut, banyak kekurangan yang semestinya tidak muncul bila penulis dan pengedit menyadari apa itu berita. <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Pertama</b>, berita itu tidak jelas narasumbernya. <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Kedua</b>, teknik penulisannya lebih banyak mengandalkan opini. <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Ketiga</b>, konsistensi tidak terjaga.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Kita lihat lead berita yang merupakan”lead opini”. “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Dua siswa Lampung kembali mengukir prestasi dengan melangkah maju ke tahap penjaringan akhir olimpiade pelajar tingkat internasional”.</b></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Yang ingin disampaikan Lampung Post, dua siswa Lampng berprestasi internasional. Irfan Haris, siswa SMPN 1 Pringsewu, masuk empat besar International Junior Science Olmpiade (IJSO). Sedangkan Devianti Jacob, siswa SMP Xaverius I Bandar Lampung, masuk tujuh besar Olimpiade Fisika Internasional. </span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Narasumber berita kita tak jelas. Akibanya, penulisan berita versi piramida terbalik tak terwakilkan dalam berita ini. Beberapa unsur penting dari berita seperti siapa (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Who</b>) mengatakan apa (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">What</b>) tentang bagaimana (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">How</b>) dimana (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Where</b>) dalam keadaan seperti apa (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">When</b>) dan kenapa (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Why</b>).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Setelah selesai baca berita, baru <i style="mso-bidi-font-style: normal;">deh </i>ketahuan, narasumbernya Irfan dan Devianti. Lantas, mana photo kedua orang ini. Pembaca kan perlu tahu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Fokus kita soal Talangsari lagi. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Memang, ada cantelan Komnas HAM datang. Sayang, Lampung Post malah tidak ikut bareng Komnas HAM ke Talangsari. Wawancara dengan Zoemrotin saja dilakukan via telepon. Kurang gaul apa ya kita?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Anehnya lagi, ada percakapan wartawan kita dengan Zoemrotin di Talangsari. Itu artinya, dalam menulis, kita <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ndak </i>konsisten. Mestinya tidak perlu ada penulisan “… kata Zoemrotin saat dihubungi via ponsel….” </span><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Atau,…..</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Edisi Senin, 11 Juni 2007 </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Persoalan dalam head line pada hari Minggu, 10 Juni 2007, muncul lagi dalam head line Lampung Post berjudul “Bulog Gandeng Sarjana Unila”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Ini berita <i style="mso-bidi-font-style: normal;">wire service</i>, tetapi dialihkan jadi konteks Lampung. </span><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Itu sebabnya, porsi tentang Unila lebih besar. Cuma, teknik editingnya menyebabkan nara sumber berita baru muncul pada alinea ke-5. Lead, setidaknya, mengandung unsur-unsur berita 5W +1H seperti siapa (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Who</b>) mengatakan apa (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">What</b>) tentang bagaimana (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">How</b>) dimana (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Where</b>) dalam keadaan seperti apa (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">When</b>) dan kenapa (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Why</b>).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Pada 28 Mei 2007, ada analisis berjudul “Jangan Baca Lampun Post Hari Senin” dengan harapan agar persoalan yang dipersoalkan dalam analisis tidak muncul lagi. Ternyata, baca Lampung Post edisi Senin, 11 Juni 2007, masih ditemukan persoalan serupa. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Pertama, kekurangan berita. Ini bertalian dengan rendahnya kualitas getting berita. Akibatnya, berita yang tak aktual, terpaksa dimuat. Malah, harus dilakukan pemuatan ulang. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Lihat photo Lukman Hakim naik Singa dalam liputan HUT Kota Metro. </span><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Meskipun advertorial, photo itu sudah dimuat hari Minggu, 10 Juni 2007.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES-VE" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Persoalan ini bisa diatasi tanpa perlu repot-repot. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Jalankan saja strategi yang sudah disepakati. Setiap redaktur wajib membuat analisis atas persoalan yang aktual di bidang keredakturannya. Mudah kan. Itu lebih mudah ketimbang redaktur ditugasi menulis analisis di luar bidang yang digarapnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: "Trebuchet MS"; font-size: 10pt;">Karena analisis ini masih panjang dan saya takut semakin panjang, baiknya disudahi saja. Sekali lagi, ini bukan tulisan yang enak dibaca.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-87702739012912855142011-02-10T02:28:00.000-08:002011-02-10T02:31:01.376-08:00Menulis, Bukan Bakat<div style="text-align: left;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><div class="MsoNormal"><span lang="DE"><b>SATU</b>. Saat memberi pelatihan tentang menulis kepada para pengajar, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang panjang. Setelah saya simak, saya berkesimpulan pertanyaan itu bermakna seperti ini: Saya ingin menjadi penulis, tapi saya tidak punya bakat. </span>Apakah saya bisa menjadi penulis?</div><br />
Saya jawab dulu tentang bakat. Dalam kamus Bahasa Indonesia, bakat itu bisa diartikan “keterampilan bawaan sejak lahir”. Kalau menulis dikaitkan dengan bakat, kita bisa mengatakan sangat mustahil ada orang yang punya keterampilan menulis begitu dilahirkan. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;">Jadi, kita kesamping dulu soal bakat menulis itu. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;">Menulis itu hasil sebuah proses pembelajaran. Itu pun tak cukup, karena ia berkaitan dengan soal keterampilan. Untuk terampil, seseorang tidak cuma butuh belajar tetapi juga latihan. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;">Latihan, itulah intinya. <span lang="DE">Setiap kali Anda menulis, anggaplah sedang berlatih. Tentu, berlatihlah yang tekun. Tekun berarti Anda memahami setiap tahapan dari proses latihan. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="DE">Seperti pemain bola, Anda tidak cuma berusaha memahami bagaimana cara menendang atau menanduk bola. Anda juga akan memahami, kalau bola ditendang tepat di tengah dengan ujung sepatu, maka bola itu akan meluncur lurus dan deras. Anda pun akan memahami, kalau bola ditendang di bagian bawah, maka bola akan melambung ke atas. Anda pun akan paham, jika bola ditendang pada bagian sisi kiri dengan sepatu bagian sisi kanan, maka bola akan melambung dalam gerak melengkung (tendangan pisang).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="DE">Artinya, jika Anda tekun, Anda akan paham segala sesuatu secara rinci. Saat itulah, tanpa Anda sadari, sesungguhnya Anda sedang berproses menjadi seorang penulis. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="DE"><b>DUA</b>.Salah satu manfaat jika Anda tekun latihan. </span><span lang="IT">Saya bercerita tentang seorang sales. </span>Jika Anda seorang sales, tentu Anda akan berusaha mengenali produk yang ingin Anda jual. <span lang="DE">Sebelum mengenali betul produk itu, tentu Anda tidak akan berani menawarkannya. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="DE">Cukupkah hanya itu? Tidak. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="DE">Anda masih perlu mengenali konsumen seperti apa yang membutuhkan produk tersebut. (Anda jangan mengabaikan bahwa jutaan manusia memiliki keinginan-keinginan yang beragam, karena hakikat manusia adalah menemukan kebahagiaannya). Apakah produk Anda dapat membahagiakan manusia? Manusia yang mana yang dapat berbahagia karena produk Anda?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="DE">Apakah semua sales akan seperti itu? </span>Tidak. Memasarkan suatu produk adalah perkara yang tidak semua orang mampu melakukannya. Tapi, jika paham “cara”, “metoda”, atau “kiat” memasarkan produk, sangat pasti seorang sales akan sukses. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;">Oscar Schlinder, seorang entrepreneur yang tak sukses di Berlin, tetapi punya pengalaman matang dalam berbisnis. Di zaman Nazi, Schlinder berangkat ke Aukland, sebuah daerah Yahudi yang dijajah Nazi, dan di sana ada kamp pengungsi Yahudi. Di daerah perang itu, Schlinder menjadi sukses sebagai pebisnis meskipun modalnya tidak ada. “Saya tidak tahu bisnis, tetapi saya mampu presentasi,” kata Schlinder, tokoh utama dalam film <i>Schlinder Lits</i> karya sutradara penerima Oscar. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Apa pelajaran yang bisa diambil? Presentasi. Dengan presentasi, Schlinder mampu meyakinkan orang lain bahwa ia seorang pebisnis professional sehingga orang mau merogoh kocek untuk menanam saham. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Presentasi merupakan kegiatan menjelaskan, menguraikan, membeberkan, dan memengaruhi orang lain. </span><span lang="IT">Presentasi lebih pada persoalan oraliti. Karena Anda penulis, presentasi dalam bentuk tulisan. Anda punya gagasan tentang suatu hal, Anda presentasikan gagasan itu dalam bentuk tulisan. Jika gagasan Anda bagus dan cara Anda mempresentasikannya sangat menarik, maka tulisan Anda tidak akan ditolak siapa pun. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div>TIGA.<span lang="IT">Intinya, bagaimana Anda bisa meyakinkan orang lain (pembaca) tentang hal yang Anda sampaikan dalam bentuk tulisan? </span><span lang="ES-VE">Jika Anda bisa menjawab pertanyaan itu, berarti Anda seorang penulis yang baik.</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Tulisan yang bagus adalah tulisan yang bisa dicerna, dipahami, dan dinikmati oleh pembaca. Penulis yang bagus adalah penulis yang mampu mempresentasikan ide, gagasan, dan tema ke dalam bentuk tulisan, sehingga pembaca tidak merasa kesulitan untuk memahami, menikmati, dan mendapatkan pengetahuan baru dari bacaan tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Lantas, “cara”, “kiat”, “teknik”, atau “metoda” apa yang bisa diaflikasikan dalam menghasilkan sebuah karya tulis yang bagus? </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Cuma satu cara, Anda harus memahami bahwa Anda menulis dalam rangka berkomunikasi. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Ada satu perkara yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca., dan Anda harus yakin apa yang ingin Anda sampaikan akan mudah dicerna, dipahami, dinikmati, dan menjadi pengetahuan baru bagi pembaca.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Dengan begitu Anda punya dasar yang kokoh. Setelah itu, Anda bisa membuka literature tentang teknik menulis. </span><span lang="IT">Di Indonesia, ada banyak buku tentang “teknik menulis” yang bisa Anda baca. Dengan buku-buku itu Anda bisa mengasah, memperdalam, memperhalus, memperlembut, dan sebagainya, pengetahuan atau keterampilan yang Anda miliki.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="IT"><b>EMPAT.</b>Menulis adalah keterampilan. Seseorang yang sudah terbiasa mengorganisir pemikiran, ide, dan gagasan, akan sanggup menyampaikannya dalam bentuk lisan. Tapi, belum tentu sanggup menuangkannya dalam bentuk tulisan? Seorang penceramah, biasanya, bukan orang yang pintar menulis. Seorang penulis, biasanya, bukan orang yang pintar berbicara. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Meskipun begitu, ada penulis yang pintar berbicara dan ada pembicara yang cerdfas menulis.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="IT">Sebaiknya orang seperti itu ada di anatara Anda. </span><span lang="ES-VE">Pintar bicara, pintar juga menulis. Atau, sebaliknya, pintar menulis, pintar juga berbicara.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Elizabeth McMahan dan Susan Day dalam buku mereka <i><b>The Write’s Rhetoric and Handbook</b></i> membagi teknik menulis ke dalam 13 cara. Terlalu banyak teknik itu. Maka, kita kutif beberapa yang penting saja. (1)Menulis adalah cara berkomunikasi. (2)Gunakan bahasa yang baik dan benar ; (3)Diksi; (4)Komposisi; (5)Detail; dan (6)Revisi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Namun, yang sangat penting dicamkan, tulisan untuk dibaca. Di sini ditekankan, segala bentuk tulisan adalah untuk dibaca. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Untuk itu, Anda perlu memperhatikan tulisan seperti apa yang akan dibaca orang dan siapa yang akan membacanya. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Mengutif F.L. Lucas dalam makalahnya, “On the Fascination of Style”, disebutkan tulisan yang efektif setidaknya terdiri dari: “<i><b>Good humor, good sense, vitality, and imagination</b></i>”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Ketika orang membaca tulisan Anda, orang akan merasa terhibur, terimajinasi, dan vitalitas hidup makin tumbuh. Ada desire yang menyentuh hati. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Namun, sebelum menulis, Anda harus berpikir dan bertanya (1)Kenapa Anda menulis? </span>(2)Untuk siapa Anda menulis? (3)Bagaimana Anda akan menulis?</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><b>LIMA</b>.<span lang="DE">Soal menulis dalam hal ini tidak cuma berkaitan dengan media massa. Menulis di sini adalah menulis dalam pengertian sangat luas. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="DE">Anda tidak bisa hidup tanpa keterampilan menulis. Bayangkanlah saat Anda harus membuat makalah sebagai tugas kuliah, bayangkan juga saat Anda harus menyusun hasil pemikiran dan gagasan ke dalam disertasi atau tesis. Anda tak akan pernah bisa melakukannya tanpa menulis. </span><span lang="ES-VE">Anda tidak akan bisa menjadi apa pun yang Anda harapkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Pengalaman saya “membantu” menulis skripsi, disertasi, dan tesis beberapa kawan, sungguh suatu pengalaman yang sangat berguna. Saya prihatin terhadap mereka---yang oleh rekan-rekannya dipuji karena mampu mengenyam jenjang pendidikan sampai pascasarjana—ternyata kurang begitu memahami cara menulis.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="ES-VE">Bisa Anda bayangkan akan seperti apa karya ilmiah mereka? </span></div>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-25419065041595731942011-02-07T04:13:00.000-08:002011-02-07T04:14:06.983-08:00Sebuah Kegilaan di Simpang KraftCONTOH JURNALISME SASTRAWI<br />
Majalah PANTAU, Tahun II - Mei 2002<br />
<br />
Oleh: CHIK RINI<br />
<br />
SEBUAH bus memasuki terminal Lhokseumawe pada suatu<br />
pagi buta sekitar tiga tahun lalu. Terminal masih<br />
sibuk. Warung kopi dan rumah makan masih buka. Agen<br />
tiket bus masih melayani belasan penumpang, yang<br />
hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan<br />
becak mesin juga masih parkir depan terminal.<br />
Pengemudinya menunggu penumpang.<br />
<br />
Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari<br />
hamparan empang yang terletak di seberang terminal.<br />
Sejurus di kejauhan, di atas belukar hutan bakau,<br />
langit tampak merah membara oleh cahaya api. Semburan<br />
api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di<br />
ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.<br />
<br />
Lhokseumawe memang pusat industri Aceh. Ia kota kedua<br />
terbesar di Aceh sesudah ibukota Banda Aceh. Dalam<br />
perut bumi daerah ini terdapat kandungan gas alam<br />
terbesar di Indonesia. Sejak Exxon Mobil, sebuah<br />
perusahaan Amerika, menemukan sumur-sumur gas di Aceh<br />
Utara pada 1970-an, daerah ini dengan cepat melihat<br />
pertumbuhan industri hasil alam. Di bagian barat<br />
Lhokseumawe, terdapat kilang penyulingan gas alam cair<br />
PT Arun LNG, pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda,<br />
pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer, dan pabrik<br />
kertas PT Kertas Kraft Aceh. Sedang di bagian timur<br />
kota itu, terdapat ladang sumur gas milik Exxon Mobil.<br />
<br />
Ironisnya, Lhokseumawe bukan kota yang makmur. Orang<br />
Aceh banyak yang miskin, hidup di pinggiran<br />
pabrik-pabrik. Jakarta hanya memberi sedikit<br />
keuntungan penjualan gas alam, pupuk, dan kertas ke<br />
daerah itu.<br />
<br />
Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai<br />
timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh<br />
Merdeka, biasa disebut GAM, untuk memerdekakan Aceh<br />
dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer<br />
Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989<br />
dan 1998, daerah Lhokseumawe jadi sasaran utama<br />
operasi militer Indonesia, bersama Aceh Timur dan<br />
Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang<br />
dan 3.430 mengalami penganiayaan.<br />
<br />
Pada dini hari 3 Mei 1999 itu, di antara penumpang bus<br />
yang turun di Lhokseumawe, ada tiga pria yang membawa<br />
tas baju, kamera Betacam, dan peti berisi kabel,<br />
mikropon, dan perlengkapan penyuntingan video. Mereka<br />
wartawan RCTI, sebuah stasiun televisi Jakarta yang<br />
sebagian besar sahamnya dimiliki anak Presiden<br />
Soeharto, Bambang Trihatmodjo.<br />
<br />
"Oke, sekarang kita ke mana?" tanya Umar HN.<br />
<br />
"Pak Umar, tolong carikan hotel di sini yang aman,"<br />
jawab Imam Wahyudi.<br />
<br />
Fipin Kurniawan, orang ketiga dalam rombongan ini,<br />
diam saja dan sibuk mengecek alat-alat yang dibawanya<br />
dari Jakarta. Dia menenteng kamera Betacam yang<br />
beratnya hampir 20 kilogram.<br />
<br />
Umar H. Nurdin, populer sebagai Umar H.N., adalah<br />
koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995. Umar boleh<br />
dibilang wartawan senior. Jadi wartawan sejak 1970-an<br />
dan pernah jadi wartawan harian Waspada terbitan Medan<br />
selama 14 tahun. Umar juga mengambil gambar video<br />
maupun foto yang acapkali dijualnya kepada organisasi<br />
berita internasional Reuters dan Associated Press biro<br />
Jakarta. Umurnya sudah kepala empat. Tubuhnya tegap.<br />
Wajah sangat khas Aceh, rahang keras, berkumis tebal,<br />
rambut keriting, dan berkulit hitam. Perokok berat.<br />
<br />
Imam Wahyudi adalah koordinator liputan daerah RCTI<br />
Jakarta. Tugasnya mengatur koresponden-koresponden<br />
daerah. Pria berumur 34 tahun ini sudah bekerja di<br />
RCTI sejak 1994. Kariernya termasuk cepat. Dia<br />
reporter andalan RCTI untuk daerah-daerah konflik<br />
Indonesia. Imam bertubuh kecil, tapi sangat gesit di<br />
lapangan. Imam orang ramah. Tapi dia cerewet terhadap<br />
para korespondennya kalau mereka salah dalam mengambil<br />
gambar atau reportase. Imam sudah bolak-balik ke Papua<br />
dan Timor Timur di mana juga ada perlawanan bersenjata<br />
terhadap Jakarta. Datang ke Aceh adalah keinginannya<br />
sejak lama, karena belum sekali pun dia menginjakkan<br />
kakinya ke daerah ini.<br />
<br />
Ide meliput datang ketika Imam ikut pelatihan<br />
jurnalisme televisi di Medan, tiga hari sebelum<br />
kedatangannya ke Lhokseumawe. Di pelatihan itu ada<br />
Umar dan mereka diskusi banyak tentang Aceh.<br />
<br />
Saat itu di Aceh ada perlawanan terhadap pemilihan<br />
umum yang akan berlangsung pada Juli 1999. Kampanye di<br />
Aceh tak berjalan. Seruan boikot pemilihan umum gencar<br />
dilakukan oleh berbagai organisasi massa di Aceh.<br />
Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk<br />
menentukan nasib Aceh. Referendum untuk memilih<br />
merdeka atau tetap dalam negara Indonesia.<br />
<br />
Aceh memang makin memanas sesudah runtuhnya rezim<br />
Soeharto di Jakarta pada Mei 1998. Presiden B.J.<br />
Habibie, pengganti Soeharto, memutuskan mencabut<br />
status Daerah Operasi Militer untuk Aceh pada Agustus<br />
1998. Ironisnya, kekerasan masih berlangsung. GAM,<br />
kelompok separatis yang memproklamasikan kemerdekaan<br />
bangsa Aceh sejak 4 Desember 1978, juga makin<br />
meningkatkan perang gerilya, dari kota maupun di<br />
daerah pedesaan.<br />
<br />
Kekerasan militer Indonesia menimbulkan dendam dan<br />
luka di hati orang Aceh. Orang Aceh banyak yang tak<br />
suka militer Indonesia. Mereka mengungkapkannya lewat<br />
beberapa demonstrasi atau huru-hara. Kerusuhan massal<br />
pertama meletus saat terjadi penarikan pasukan<br />
Kopassus pada Agustus 1998. Kopassus dianggap pasukan<br />
elit yang banyak melakukan kekejaman di Aceh.<br />
Orang-orang menyerang dan melempari truk-truk Kopassus<br />
dengan batu. Pada November 1998, ada konvoi bersenjata<br />
oleh seratusan orang di Geudong, sebuah kota kecil<br />
dekat Lhokseumawe. Pada Januari 1999, massa membakar<br />
tiga kantor polisi dan delapan kantor pemerintah di<br />
Lhokseumawe. Aksi ini muncul sesudah militer Indonesia<br />
menyerang basis pertahanan Ahmad Kandang. Buntutnya,<br />
sembilan orang Aceh mati, 23 luka-luka, dan 132<br />
ditangkap. Ahmad Kandang seorang pentolan GAM yang<br />
berbasis di kecamatan Kandang, tiga kilometer arah<br />
timur Lhokseumawe. Tak lama berselang, polisi<br />
menangkap 40 orang simpatisan Ahmad Kandang. Penahanan<br />
ini jadi tragis setelah mereka dipindahkan ke gedung<br />
milik sebuah organisasi kepemudaan. Di tempat itu<br />
secara brutal, para tahanan dianiaya 50-an tentara<br />
Indonesia. Empat tahanan tewas dan 22 luka-luka.<br />
<br />
Umar banyak mengirim gambar kekerasan Aceh ke RCTI.<br />
Tapi Imam Wahyudi ingin sesuatu yang dianggapnya belum<br />
diberikan Umar. Imam mengatakan di antara sisi<br />
kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam<br />
masyarakatnya. Imam ingin gambaran itu kepada penonton<br />
RCTI.<br />
<br />
Dari Medan, Imam menelepon dan minta redaksi RCTI di<br />
Jakarta mengirim satu kame-rawan yang akan<br />
mendampinginya pergi ke Aceh. Fipin Kurniawan<br />
menyusulnya ke Medan. Fipin seorang pria yang agak<br />
pendiam. Tubuhnya jangkung, kurus, berhidung mancung,<br />
dan berkulit putih. Dia suka memakai kacamata hitam<br />
sehingga ada orang-orang yang menduganya kamerawan<br />
televisi luar negeri. Fipin sudah sembilan tahun jadi<br />
kamerawan RCTI. Dulu dia pernah ke Aceh ketika bekerja<br />
di salah satu rumah produksi.<br />
<br />
Mereka bertiga naik dua becak mesin dari terminal<br />
Lhokseumawe. Suaranya yang berisik memecah keheningan<br />
malam. Jalan sepi sekali. Imam duduk satu becak dengan<br />
Umar. Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata<br />
"referendum" di badan jalan. Grafiti-grafiti ini<br />
bertebaran tak hanya di badan jalan, tapi juga di<br />
tembok pasar dan papan reklame.<br />
<br />
Umar membawa Imam dan Fipin ke sebuah hotel. Umar<br />
meninggalkan kedua tamunya dan pulang ke rumahnya<br />
sendiri di Lhokseumawe. Dia sudah berada di Medan<br />
hampir seminggu dan rindu keluarganya. Imam dan Fipin<br />
tak banyak mengobrol karena sudah mengantuk. Tapi<br />
mereka sempat berkoordinasi untuk liputan esok,<br />
sebelum keduanya terlelap kelelahan.<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
TUJUHBELAS kilometer dari hotel, pada waktu yang<br />
hampir bersamaan, dini hari itu juga, di kota kecil<br />
Krueng Geukeuh, kecamatan Dewantara, ada sekitar<br />
300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga.<br />
Gardu itu mirip rumah panggung kecil tanpa dinding<br />
berukuran 2x1,5 meter. Orang Aceh biasa menyebutnya<br />
bale-bale.<br />
<br />
Bale-bale itu berdiri hanya 10 meter dari gerbang<br />
pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer. Di samping<br />
pabrik ada jalan masuk ke perkampungan Bangka Jaya.<br />
Keduanya dipisahkan oleh tembok setinggi satu meter.<br />
<br />
Bale-bale itu ada sejak masa Daerah Operasi Militer.<br />
Orang-orang Bangka Jaya biasa berjaga malam di situ.<br />
Tapi malam itu jumlahnya sangat banyak. Semua<br />
laki-laki. Suara mereka ramai. Semua bicara dengan<br />
bahasa Aceh.<br />
<br />
"Sudah, ambil saja truk itu. Kalau tidak dikasih bakar<br />
saja," seorang laki-laki berteriak.<br />
<br />
Orang-orang ribut lagi. Ada yang setuju ada yang<br />
tidak. Rencananya, mereka akan melakukan demonstrasi<br />
ke markas Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng<br />
Geukeuh dekat pasar Krueng Geukeuh. Mereka perlu truk<br />
untuk mengangkut orang dari kampung-kampung sekitar.<br />
<br />
Mereka memang sedang resah. Sejak lepas magrib ada<br />
beberapa laki-laki keliling kampung Bangka Jaya<br />
menyampaikan pengumuman. Laki-laki itu memerintahkan<br />
para perempuan keluar dari rumahnya untuk jaga malam.<br />
Perempuan yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga,<br />
disuruh bawa kayu atau parang, untuk jaga keselamatan.<br />
Mereka berkumpul dekat meunasah (masjid).<br />
<br />
"Tentara mau menyerang kampung," kata seorang pria.<br />
<br />
Di kampung lain, pengumuman diserukan dari pengeras<br />
suara meunasah. Siapa yang mengumumkannya tak jelas.<br />
Seorang pria yang tak dikenal warga masuk ke meunasah<br />
dan mengambil mik pengeras suara. Dia mengumandangkan<br />
azan. lalu membuat pengumuman. "Meunasah di Simpang<br />
Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) kita<br />
sudah tewas dibunuh."<br />
<br />
Orang-orang kampung mendengar itu. Seperti angin,<br />
informasi yang tak jelas kebenarannya itu, dengan<br />
cepat menyebar dari mulut ke mulut. Malam itu<br />
kebanyakan desa di kecamatan Dewantara mulai<br />
grasak-grusuk. Mereka merasa khawatir sehingga<br />
berjaga-jaga sepanjang malam.<br />
<br />
Di jalan lintas Banda Aceh-Medan, sekitaran Cot<br />
Murong, belasan laki-laki melakukan sweeping sejak<br />
lepas salat Isya. Cot Murong adalah sebuah pemukiman,<br />
empat kilometer arah barat Krueng Geukeuh. Di<br />
pemukiman itu terdapat tiga desa: Lancang Barat,<br />
Glumpang Sulu Timur, dan Glumpang Sulu Barat. Mereka<br />
menghentikan setiap kendaraan untuk mencari "anggota<br />
ABRI" -yang berasal dari singkatan Angkatan Bersenjata<br />
Republik Indonesia, nama resmi institusi militer<br />
Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional<br />
Indonesia karena kata "ABRI" dianggap punya reputasi<br />
buruk zaman rezim Orde Baru.<br />
<br />
Sebagian orang mendengar informasi bahwa ada warga<br />
desa Lancang Barat dipukuli dan ditangkap tentara. Dua<br />
hari terakhir tentara dari satuan Artileri Pertahanan<br />
Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal) 001/Pulo<br />
Rungkom Aceh Utara, masuk ke wilayah Cot Murong.<br />
Tentara-tentara itu mencari seorang rekan mereka,<br />
anggota Arhanud Rudal yang hilang beberapa hari<br />
sebelumnya.<br />
<br />
Detasemen Arhanud Rudal merupakan sebuah instalasi<br />
militer yang berfungsi melakukan pengamanan wilayah<br />
Indonesia, setidaknya Pulau Sumatera bagian utara,<br />
dari serangan udara negara lain. Markasnya sudah ada<br />
di sini sejak 1987. Selain dekat dengan perairan Selat<br />
Malaka, lokasi Krueng Geukeuh ini strategis karena di<br />
sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga<br />
keamanannya. Markas Arhanud Rudal terletak di sebuah<br />
perbukitan kecil dan menyimpan senjata-senjata berat<br />
termasuk peluru kendali.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
KEJADIAN dengan anggota Arhanud Rudal bermula beberapa<br />
hari sebelumnya. Pada Kamis malam, 30 April 1999, ada<br />
perayaan Maulid Nabi Muhammad di lapangan sepak bola<br />
Cot Murong. Acara itu diisi dengan pengajian dan<br />
dakwah. Banyak orang datang. Di Aceh, setiap ada<br />
kegiatan keagamaan, selalu dibanjiri orang. Orang Aceh<br />
kebanyakan beragama Islam dengan fanatik.<br />
<br />
Di antara kerumunan orang yang berdiri di lapangan,<br />
menyelinap Sersan Dua Aditia. Dia anggota bintara<br />
Arhanud Rudal yang markasnya hanya berjarak sekitar<br />
lima kilometer dari Cot Murong. Kabar dari mulut ke<br />
mulut menyebutkan Aditia sedang melakukan kegiatan<br />
mata-mata. Dia membawa radio komunikasi handy talky<br />
dan pistol.<br />
<br />
Aditia sering terlihat di sekitaran Krueng Geukeuh.<br />
Aditia banyak bergaul dan memiliki banyak akses dengan<br />
masyarakat di situ. Malam itu dia ditugaskan<br />
komandannya untuk memantau keramaian di Cot Murong.<br />
Arhanud Rudal merasa perlu mengawasi wilayah dalam<br />
radius lima kilometer dari markas mereka.<br />
<br />
Isi dakwah malam itu sangat panas. Militer Indonesia<br />
biasa menyebutnya sebagai "dakwah GAM." Dakwah itu<br />
berbau politik.<br />
<br />
Beberapa bulan terakhir di kampung-kampung Aceh Utara<br />
memang kerap dilaksanakan dakwah GAM. Acara itu selalu<br />
dihadiri oleh banyak orang. Biasanya dilaksanakan pada<br />
sore atau malam hari. Tempatnya bisa di lapangan<br />
ataupun meunasah. Dibuka dengan pengajian, lantas ada<br />
tengku (ulama) yang ceramah. Yang menarik, terkadang<br />
acara itu menghadirkan para korban militer Indonesia,<br />
yang berkisah tentang kekerasan militer terhadap<br />
keluarganya.<br />
<br />
Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan sejarah.<br />
Si penceramah bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah<br />
heroik para pahlawan Aceh ketika berperang dengan<br />
Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga<br />
tentang makna jihad fisabilillah atau berjuang di<br />
jalan Allah. Lantas diungkapkan pula<br />
perlakuan-perlakuan kejam dan tak adil dari<br />
"pemerintah Indonesia Jawa" sehingga orang tahu kenapa<br />
ada Aceh Merdeka dan kenapa mereka berjuang melepaskan<br />
diri dari Jakarta.<br />
<br />
Aditia sendirian. Tak banyak orang kampung yang<br />
memperhatikannya karena tak kenal. Tapi sejak malam<br />
itu Aditia hilang dan tak kembali ke markasnya.<br />
Padahal empat hari lagi dia akan dilantik sebagai<br />
sersan satu.<br />
<br />
Keesokan harinya, Jumat 31 April 1999 pagi. Tiga truk<br />
militer dan lima minibus Toyota Kijang dan Isuzu<br />
Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata<br />
lengkap, masuk ke Cot Murong. Mereka dari Arhanud<br />
Rudal. Mereka masuk ke kampung Cot Murong untuk<br />
mencari Sersan Aditia.<br />
<br />
Orang-orang kampung resah melihat patroli tentara.<br />
Mereka trauma melihat orang berbaju loreng hijau<br />
membawa senjata. Itu pemandangan yang menakutkan.<br />
Kekerasan oleh militer selama 1989 dan 1998<br />
menciptakan citra bahwa tentara jahat dan suka<br />
menyakiti rakyat. Mereka takut akan ada orang<br />
ditangkap, dipukuli, atau ditembak.<br />
<br />
Tentara-tentara itu menanyai setiap orang yang<br />
dijumpai tentang keberadaan Aditia. Tapi tak seorang<br />
pun mengaku melihat Aditia malam itu di kampung<br />
mereka. Apalagi tahu-menahu tentang hilangnya Aditia.<br />
<br />
Orang Cot Murong tak senang tentara masuk ke kampung<br />
mereka. Mereka kumpul di sepanjang jalan yang dilalui<br />
patroli tentara. Puluhan perempuan sempat mencoba<br />
berbaris menghalangi patroli tentara di jalan.<br />
<br />
Orang yang marah melakukan protes ke Camat Dewantara<br />
Marzuki Muhammad Amin minta tentara agar tak masuk ke<br />
kampung mereka lagi. Mereka tak tahu tentang hilangnya<br />
Aditia. Jadi tak ada alasan tentara menanyai dan bikin<br />
takut penduduk.<br />
<br />
Sorenya komandan Arhanud Rudal Mayor Santun Pakpahan<br />
menelepon Camat Marzuki untuk minta izin masuk kampung<br />
mencari sersan yang hilang. Tapi Marzuki minta tentara<br />
jangan dulu masuk kampung, karena orang mulai ribut.<br />
<br />
Keesokan harinya, Sabtu, 1 Mei 1999, diadakan<br />
pertemuan antara perwakilan warga Cot Murong, ulama,<br />
tentara, polisi, dan camat di kantor polisi Dewantara.<br />
Mereka menandatangani kesepakatan bahwa tentara tak<br />
akan masuk kampung lagi. Pencarian Sersan Aditia<br />
diteruskan oleh tokoh-tokoh kampung. Teungku Hanafiah,<br />
seorang ulama setempat, diutus ke Cot Murong untuk<br />
mencari si sersan hilang. Tapi seharian itu, dia gagal<br />
mendapat kabar keberadaan Aditia.<br />
<br />
Ketika tahu ketidakberhasilan Teungku Hanafiah, secara<br />
diam-diam tentara masuk ke kampung lagi pada Minggu 2<br />
Mei 1999. Tak begitu banyak jumlahnya dan mereka hanya<br />
naik satu Toyota Kijang. Mereka tampaknya khawatir<br />
Aditia diculik gerilyawan GAM. Mereka kembali menanyai<br />
orang-orang kampung. Orang-orang kembali resah.<br />
Beberapa laki-laki yang sedang duduk minum kopi di<br />
warung, lari tunggang-langgang melihat tentara. Mereka<br />
dibentak. Tentara bahkan sempat menampar seorang<br />
pemuda yang sedang menghitung nener (bibit ikan),<br />
karena mengatakan tak tahu tentang penculikan Aditia.<br />
<br />
Kabar penempelengan itu segera beredar. Orang-orang<br />
marah. Sebab sudah disepakati tentara tak masuk ke<br />
kampung mereka lagi. Apalagi ada bumbu informasi, yang<br />
tak jelas kebenarannya, ada penduduk desa Lancang<br />
Barat ditangkap dan dibawa pergi patroli tentara.<br />
Suasana memanas. Isu-isu yang tak jelas siapa<br />
sumbernya menyebar hingga ke kecamatan tetangga. Senin<br />
direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut<br />
pelepasan orang kampung yang ditangkap.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
SENIN pagi-pagi sekitar pukul 09:00. Azhari biasa<br />
mangkal di warung kopi langganannya dekat kantor<br />
polisi Lhokseumawe. Sebagai bujangan, tak ada yang<br />
menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya. Dia sarapan<br />
sepiring nasi gurih dan secangkir kopi. Azhari adalah<br />
asisten koresponden kantor berita Antara di Aceh. Dia<br />
baru tujuh bulan bekerja sebagai wartawan. Umurnya 32<br />
tahun. Azhari orang yang selalu berhati-hati dan<br />
cenderung penakut. Sebagai wartawan baru, dia<br />
ditugaskan di tempat berbahaya. Dia harus bekerja<br />
keras membuat laporan sebanyak mungkin, karena dia<br />
dibayar berdasarkan jumlah berita yang dibuatnya.<br />
Beberapa bulan terakhir dia bolak-balik Banda Aceh dan<br />
Lhokseumawe akibat situasi kota gas itu yang panas.<br />
<br />
Di Aceh, warung kopi jadi tempat yang sangat ramai<br />
dikunjungi orang laki-laki. Dari yang sekadar minum<br />
kopi, membaca koran gratis, nonton televisi, maupun<br />
mengobrol. Selagi minum kopi, Azhari menangkap<br />
pembicaraan beberapa orang yang duduk dekat mejanya.<br />
<br />
"Hai, kaa rame that ureueng di Krueng Geukeuh (Hei,<br />
ramai sekali orang di Krueng Geukeuh)."<br />
<br />
"Peu acara (Acara apa)?"<br />
<br />
"Naa awak geutanyou jidrop lee si Pa'i. Ramee ureueng<br />
jak demo ke Koramil (Ada orang kita ditangkap si Pa'i.<br />
Ramai orang pergi demo ke Koramil)."<br />
<br />
Azhari tertarik. Cepat dia kembali ke kantornya yang<br />
tak jauh dari warung kopi. Kantor Antara hanya sebuah<br />
rumah kontrakan. Kantor itu juga jadi tempat tinggal<br />
Azhari. Dia sendirian bekerja di situ.<br />
<br />
Azhari menelepon beberapa wartawan di kota itu untuk<br />
mencari kebenarannya. Azhari pun memutuskan ke Krueng<br />
Geukeuh. Disambarnya kamera di atas meja. Sudah terisi<br />
film, tinggal dipakai saja.<br />
<br />
Sabtu sebelumnya, Azhari sudah mendengar kabar ada<br />
intel tentara hilang di Cot Murong. Azhari memutuskan<br />
meliput. Biasanya kalau massa sudah berkumpul akan ada<br />
buntut peristiwa yang bisa diberitakan.<br />
<br />
Beberapa kilometer dari tempat Azhari, Imam Wahyudi<br />
dan Fipin masih bermalas-malasan di atas kasur. Imam<br />
menelepon Umar minta dia menemani mereka melakukan<br />
liputan suasana kota Lhokseumawe.<br />
<br />
Dengan mobil Isuzu Panther merah milik Umar, mereka<br />
keliling Lhokseumawe. Fipin mengambil gambar suasana<br />
kota. Spanduk tentang tuntutan referendum dan<br />
penolakan terhadap rencana pembentukan Komando Daerah<br />
Militer Aceh tergantung, melintang di atas jalan<br />
menuju pusat pasar. Pagi itu pasar ramai dengan orang<br />
dan kendaraan lalu lalang. Dari kota, Umar membawa<br />
Imam dan Fipin ke arah Kandang, di pinggiran<br />
Lhokseumawe. Mereka akan ambil gambar bendera GAM<br />
berlambang bulan bintang yang dipasang di tower RRI.<br />
<br />
"Saya masih trauma kalau memasuki daerah ini," kata<br />
Umar. Ia pernah terjebak dalam kontak senjata antara<br />
tentara Indonesia dan kelompok Ahmad Kandang.<br />
<br />
Dari Kandang mereka kembali ke Lhokseumawe. Mereka<br />
bertemu dengan Ali Raban yang menunggu dekat pasar.<br />
Ali Raban adalah kamerawan yang bekerja untuk Umar.<br />
Ali tak punya ikatan kerja langsung dengan RCTI. Ali<br />
membantu Umar sejak 1995 ketika RCTI mengudara pertama<br />
kali di Lhokseumawe.<br />
<br />
Ali Raban kamerawan yang nekat kalau di lapangan,<br />
sering mengabaikan keselamatan jiwa dan kurang<br />
perhitungan. Ali seorang yang berpenampilan sederhana.<br />
Umurnya sekitar 25 tahun. Dia ayah seorang bayi yang<br />
baru dua bulan lahir.<br />
<br />
Tiba-tiba penyeranta yang bergantung di pinggang Umar<br />
berbunyi. Pesan masuk dari seseorang. "Ada pemblokiran<br />
di Krueng Geukeuh," kata Umar.<br />
<br />
"Ayo cepat kita ke sana," sambut Imam, bersemangat.<br />
<br />
Umar belum berniat secepatnya ke Krueng Geukeuh. Tapi<br />
Ali mendesak. Sejak setengah jam lalu, Ali juga<br />
mendapat pesan serupa di penyerantanya.<br />
<br />
Umar dan Ali mempunyai orang-orang yang bisa jadi<br />
sumber informasi mereka hampir di tiap kota kecamatan.<br />
Terkadang Umar membayar orang-orang yang membantunya<br />
sebagai informan. "Channel" itulah yang jadi ujung<br />
tombak kecepatan mereka mengejar berita.<br />
<br />
Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar karena dia<br />
lupa membawa kamera foto. Di jalan mereka bertemu<br />
dengan sopir labi-labi (angkutan kota) trayek Krueng<br />
Geukeuh. Dari si sopir mereka melakukan verifikasi<br />
kalau memang ada pencegatan massa di sana dan<br />
kejadiannya masih baru.<br />
<br />
Mereka sepakat ke sana. Tapi tiba-tiba Umar bilang,<br />
"Kita cari makanan dulu."<br />
<br />
Umar mempunyai kebiasaan membawa makanan lebih kalau<br />
mau meliput jauh. Pengalamannya, kalau sudah masuk ke<br />
tempat konflik, akan susah cari makan. Dia termasuk<br />
orang yang susah kalau lapar.<br />
<br />
"Udah, kita jalan saja. Nanti terlambat dapat gambar,"<br />
bantah Raban.<br />
<br />
Umar dan Ali berdebat soal jadi tidaknya mereka beli<br />
makanan. Imam dan Fipin tak banyak komentar, walau<br />
sebenarnya mereka juga butuh makan. Imam dan Fipin<br />
belum sempat sarapan.<br />
<br />
Imam setuju dengan Raban. Imam adalah wartawan<br />
televisi tulen. Jika tak segera mengambil momentum<br />
pertama, maka mereka tak akan pernah mendapat momentum<br />
kedua. Waktu sudah terbuang.<br />
<br />
Di sepanjang jalan Ali merepet dengan bahasa Aceh pada<br />
Umar. Dia kesal karena Umar dianggapnya membuang waktu<br />
hanya karena membeli makanan. Itu peristiwa penting,<br />
dan mereka seharusnya mengejar waktu secepat mungkin<br />
menuju ke Krueng Geukeuh.<br />
<br />
"Uh, dasar yang dipikirin makan melulu," gerutu Raban.<br />
Mereka membeli nasi Padang di pasar.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
JAM sudah menunjukkan angka 10. Azhari berjalan kaki<br />
sejauh 100 meter sejak dia diturunkan dari sepeda<br />
motor temannya dekat tugu depan perumahan PT Pupuk<br />
Iskandar Muda. Temannya disuruhnya kembali ke<br />
Lhokseumawe, karena jalan sudah diblokir. Pemblokiran<br />
jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari<br />
depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat<br />
bandar udara Malikul Saleh. Di Bungkah, kendaraan umum<br />
yang hendak menuju Lhokseumawe, melintasi Krueng<br />
Geukeuh, juga dilarang lewat.<br />
<br />
Azhari berhenti di pinggir jalan depan sebuah<br />
pemakaman dan melihat sebuah bus kecil penuh penumpang<br />
berhenti. Beberapa pria, tak sampai 10 orang,<br />
menghadang bus yang datang dari arah Lhokseumawe. Bus<br />
itu hendak menuju ke Bireuen, sebuah kota 45 kilometer<br />
barat Lhokseumawe. Penumpangnya disuruh turun.<br />
<br />
"Kalau mau lanjutkan perjalanan, lewat Simpang Kraft<br />
bisa sambung bus lain," kata para penghadang. Mereka<br />
yang merasa harus sampai ke tempat tujuannya secepat<br />
mungkin, memutuskan jalan kaki ke Simpang Kraft, yang<br />
berjarak dua kilometer dari situ, dengan harapan bisa<br />
menyambung kendaraan lainnya. Banyak kendaraan yang<br />
terpaksa kembali ke Lhokseumawe karena tak diizinkan<br />
lewat.<br />
<br />
Tak lama, sebuah mobil Toyota Kijang berkaca gelap<br />
menepi tak jauh dari tempat Azhari berdiri. Dari<br />
dalamnya keluar delapan orang pasukan Gegana, pasukan<br />
elit polisi Indonesia khusus antipeledakan. Mereka<br />
berseragam kaos hitam berlambang burung walet dan<br />
memegang senjata jenis Styer. Wajah mereka tampak<br />
kebingungan melihat ramai orang di tengah jalan dan<br />
kendaraan banyak yang berhenti.<br />
<br />
Orang-orang yang menghadang bus tak peduli ada Gegana<br />
dekat mereka. Jalanan telah dikuasai warga. Mereka<br />
membuat barikade dari tumpukan ban bekas, dahan kayu,<br />
dan drum kosong. Yang ingin ke Krueng Geukeuh harus<br />
minta izin dulu kepada penghadang. Krueng Geukeuh<br />
berada di lintasan jalan Banda Aceh-Medan. Kawasan itu<br />
termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe sebab<br />
di sana berdiri pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda<br />
dan PT Asean Aceh Fertilizer serta pabrik kertas PT<br />
Kertas Kraft Aceh.<br />
<br />
Azhari berjalan pelan menuju persimpangan Krueng<br />
Geukeuh. Tak ada satu pun kendaraan berseliweran di<br />
jalanan. Yang ramai hanya orang-orang, yang ketika itu<br />
sudah berkeluaran dari rumah mereka. Mereka tertarik<br />
menonton keramaian. Beberapa laki-laki terlihat<br />
membawa senjata tajam.<br />
<br />
Tak ada orang yang menanyai identitas Azhari. Di<br />
dompet dalam saku celananya, hanya ada selembar kertas<br />
surat tugas dari Antara. Kamera yang dibawanya<br />
disimpan dalam tas pinggang. Azhari berpikir lebih<br />
baik tak ada yang tahu dia wartawan. Itu mungkin lebih<br />
aman baginya.<br />
<br />
Azhari menemukan massa sudah menumpuk di simpang empat<br />
Krueng Geukeuh. Simpang itu terletak dekat komplek<br />
perumahan karyawan PT Asean Aceh Fertilizer. Pusat<br />
kota Krueng Geukeuh masuk dari persimpangan jalan<br />
tersebut sekitar 500 meter ke arah dalam. Di sana<br />
terletak pasar, markas Koramil Krueng Geukeuh, kantor<br />
polisi, klinik kesehatan, kantor camat dan lapangan<br />
sepak bola. Bersebelahan berdiri pabrik pupuk PT Asean<br />
Aceh Fertilizer.<br />
<br />
Toko dan warung yang berderet sekitar persimpangan<br />
kebanyakan telah ditutup pemiliknya. Massa berdiri di<br />
sepanjang emperan toko. Tapi lebih banyak menumpuk di<br />
persimpangan.<br />
<br />
Di antara ratusan orang itu, Azhari berjumpa dengan<br />
Sabri, temannya yang sekolah di sebuah akademi di<br />
Banda Aceh. Sabri tak sempat bercakap lama dengan<br />
Azhari. Sabri sedang sibuk. Sabri dan beberapa pria<br />
sedang melakukan sweeping. Mereka naik ke sebuah bus<br />
besar yang berhenti dekat simpang empat. Kartu<br />
identitas penumpang diperiksa satu per satu. Mereka<br />
mencari kalau ada tentara Indonesia di dalamnya.<br />
<br />
Azhari berdiri diam di emperan toko dan memperhatikan<br />
keadaan. Sekitar pukul 11.00 Azhari melihat ada<br />
iringan mobil datang dari Lhokseumawe. Dengan<br />
kecepatan sedang sebuah Taft hijau tua dan Toyota<br />
Kijang penuh orang di dalamnya berusaha menerobos<br />
massa yang mengumpul di tengah jalan. Di belakang<br />
kedua mobil itu mengekor sebuah truk tanki minyak.<br />
<br />
Azhari kenal orang yang duduk di bangku depan mobil<br />
Taft. Itu komandan Komando Distrik Militer Aceh Utara<br />
Letnan Kolonel Sugiono. Penumpang dalam Kijang<br />
sepertinya tentara berpakaian preman, pengawal<br />
Sugiono. Massa menghentikan mobil. "Tidak bisa lewat,<br />
Pak."<br />
<br />
Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang Kraft.<br />
Alasannya, kedatangan mereka telah ditunggu. Massa<br />
tetap tak mengizinkan mobil lewat. Apalagi setelah<br />
tahu di dalamnya tentara. Terjadi perdebatan. Entah<br />
siapa yang duluan bergerak, mendadak puluhan massa<br />
mendekat ke mobil itu dengan marah. Melihat situasi<br />
tak menguntungkan, mobil itu tancap gas, lari dari<br />
massa yang mengejar dengan parang. "Kejar! Kejar!"<br />
teriak orang-orang.<br />
<br />
Bunyi decitan ban terdengar cukup keras. Kedua mobil<br />
itu dengan cepat memutar balik, lari kencang kembali<br />
ke arah Lhokseumawe. Truk tangki minyak yang sedari<br />
tadi mengekor hampir terbalik karena sopirnya terkejut<br />
dan hampir tak bisa mengendalikan setir. Truk itu<br />
secepatnya juga kembali ke arah Lhokseumawe.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
UMAR HN membawa mobilnya mengebut ke arah Krueng<br />
Geukeuh. Sudah pukul 11.00. Mereka sudah kehilangan<br />
banyak waktu, karena sibuk dengan hal-hal yang tak<br />
penting di Lhokseumawe. Ali sesekali masih merepet,<br />
mengeluarkan kedongkolannya terhadap Umar. Imam dan<br />
Fipin banyak tak mengerti dengan bahasa Aceh yang<br />
diucapkan Raban.<br />
<br />
Lewat pabrik Pupuk Iskandar Muda, mobil mereka tak<br />
boleh lewat. Umar menyimpan mobilnya di halaman sebuah<br />
tempat usaha sablon. Mereka pun berjalan kaki melewati<br />
banyak orang yang berkumpul di sepanjang jalan.<br />
Kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang.<br />
Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan. Imam<br />
membawa kaset dan mikrofon berlogo RCTI. Fipin dan Ali<br />
memanggul kamera berlambang RCTI. Umar dan Imam<br />
memakai rompi wartawan berwarna krem berlogo RCTI.<br />
<br />
Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang, kayu<br />
dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki itu<br />
seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas.<br />
<br />
Di simpang empat Krueng Geukeuh, massa sudah mencapai<br />
jumlah 1.000-an, memadati jalan dan emperan toko.<br />
Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak. Sekumpulan<br />
anak kecil berlari, mendekat ke arah Fipin dan Ali<br />
yang sedang mengambil gambar massa. Di depan kamera,<br />
mereka bersorak sambil meloncat-loncat, dan<br />
berteriak-teriak hingga memekakkan telinga. Anak-anak<br />
itu senang direkam gambarnya.<br />
<br />
"Merdeka! Merdeka!"<br />
<br />
"Hidup referendum!"<br />
<br />
"RCTI oke!"<br />
<br />
Suasana yang tadinya biasa saja jadi ribut, karena<br />
orang-orang dewasa turut berteriak-teriak seperti<br />
kelakuan anak-anak kecil di situ. Yang tadinya berdiri<br />
di emperan toko, mulai turun ke jalan sambil<br />
bersorak-sorak. Yang membawa kayu dan parang<br />
mengacungkannya ke udara. Mereka overacting karena ada<br />
liputan televisi.<br />
<br />
Umar mencium gelagat tak bagus. Jantungnya berdenyut<br />
keras. Ada yang mencegat dan menanyai identitas mereka<br />
berempat. Umar dan Ali yang bisa bahasa Aceh<br />
menjelaskan bahwa mereka wartawan.<br />
<br />
Umar tahu kalau tak bicara baik-baik akan susah dapat<br />
izin lewat. Walau banyak yang senang aksi mereka<br />
diliput wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang<br />
memandang curiga pada mereka. Orang menyamakan posisi<br />
mereka dengan tentara yang harus dimusuhi.<br />
<br />
"Itu Pa'i juga," ada yang menyeletuk di belakang. Pa'i<br />
sebutan kasar dalam bahasa Aceh untuk tentara atau<br />
polisi Indonesia.<br />
<br />
Sambutan tak ramah itu membuat Umar khawatir. Dengan<br />
berkata pelan, Umar mengingatkan Imam dan Fipin agar<br />
tak mengaku sebagai orang Jawa. Ada sikap anti orang<br />
Jawa di Aceh. Imam terkadang sulit menyembunyikan<br />
aksen Jawa dalam ucapannya.<br />
<br />
Seorang pria mendekati Imam, "Kamu siapa?"<br />
<br />
"Wartawan."<br />
<br />
"Wartawan dari mana?"<br />
<br />
"RCTI."<br />
<br />
"Orang mana?"<br />
<br />
"Melayu."<br />
<br />
"Melayu mana?"<br />
<br />
"Melayu Riau."<br />
<br />
Orang-orang itu menarik kartu identitas Imam dan Fipin<br />
yang menggantung di leher, melihatnya untuk memastikan<br />
apa betul mereka wartawan.<br />
<br />
Syukur, datang bantuan. Salah seorang tokoh yang jadi<br />
pengatur massa di situ, menghampiri Imam dan Umar. Dia<br />
kenal Umar sebagai wartawan. Mereka bersalaman. "Ini<br />
wartawan RCTI. Tidak apa-apa. Biarkan lewat," pria itu<br />
memberi instruksi pada orang-orang yang berkerumun<br />
dekatnya.<br />
<br />
Orang-orang yang tadinya sempat tak senang mendadak<br />
berubah sikap jadi baik. Mereka bilang, massa yang<br />
jumlahnya lebih besar lagi sudah berkumpul di Simpang<br />
Kraft. Mereka menawarkan diri untuk mengantar wartawan<br />
ke sana, karena jarak Simpang Kraft sekitar satu<br />
setengah kilometer dari situ.<br />
<br />
Raban sempat bertanya pada seorang pria muda yang<br />
dilihatnya membawa senjata tajam. "Kenapa bawa<br />
parang?"<br />
<br />
"Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang<br />
kampung," katanya.<br />
<br />
"Mereka cari anggota dia. Kami tidak tahu," kata yang<br />
lain.<br />
<br />
Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft dengan<br />
sepeda motor milik warga di situ. Tak ada kendaraan<br />
yang melintas di jalanan.<br />
<br />
Sepeda motor yang ditumpangi para wartawan itu harus<br />
berjalan zigzag, dengan kecepatan sedang. Tiap jarak<br />
yang dekat ada barikade yang dibuat dengan tumpukan<br />
ban bekas, kursi, kayu, dan drum. Bahkan menjelang<br />
Simpang Kraft jalan sepenuhnya telah ditutup, sehingga<br />
mereka harus minta izin dulu kepada orang-orang yang<br />
berjaga agar bisa lewat.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
SIMPANG Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang<br />
terletak di sebelah kiri jalan lintas Medan-Banda<br />
Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya sekitar 19 kilometer.<br />
Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik kertas<br />
PT Kertas Kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer<br />
masuk ke dalam. Di lintasan jalan menuju pabrik KKA,<br />
ada markas Arhanud Rudal yang cuma berjarak dua<br />
setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini<br />
menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.<br />
<br />
<br />
Di Simpang Kraft ada traffic light, yang cuma punya<br />
satu lampu kuning, yang terus berkedap-kedip. Itu<br />
lampu peringatan, agar para pengendara kendaraan yang<br />
melaju di lintasan Banda Aceh-Medan berhati-hati.<br />
Simpang itu merupakan jalur keluar masuk truk-truk<br />
tronton besar yang membawa gulungan-gulungan kertas<br />
raksasa.<br />
<br />
Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat melebar 10<br />
meter dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua<br />
jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok<br />
simpang, terdapat deretan toko dan warung. Di kiri,<br />
ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu,<br />
menjual barang-barang kelontong dan makanan ternak. Di<br />
sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya<br />
warung kopi. Di antara toko dan warung ada bale-bale<br />
yang berfungsi sebagai gardu jaga.<br />
<br />
Di sebelah kanan, berderet lima warung yang di<br />
antaranya berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan<br />
tukang jahit. Di depan deretan warung itu tumbuh<br />
beberapa pohon buah seri dan pohon ubi gadung. Lewat<br />
dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu<br />
dua rumah sederhana. Lima ratus meter kemudian<br />
terdapat hamparan sawah di kiri kanan jalan.<br />
<br />
Rumah-rumah orang lebih banyak berada di pinggiran<br />
jalan Banda Aceh-Medan. Orang di situ sudah terbiasa<br />
melihat truk-truk mengangkut sepasukan tentara<br />
melintas keluar masuk Simpang Kraft, karena di situ<br />
ada markas Arhanud Rudal.<br />
<br />
Pagi-pagi sekali, beberapa laki-laki melakukan<br />
sweeping di sekitaran Simpang Kraft. Mereka memeriksa<br />
setiap kendaraan yang lewat, memeriksa apakah ada<br />
tentara yang melintas. Pukul 08.00 empat truk militer<br />
membawa sepasukan tentara berbaju loreng hijau,<br />
bertopi rimba dan bersenjata masuk ke kecamatan<br />
Dewantara. Tentara itu datang dari Batalyon 113 Korem<br />
Lilawangsa yang markasnya terletak di Bireuen, 45<br />
kilometer barat Lhokseumawe. Pasukan Batalyon 113 itu<br />
biasanya bertugas sebagai pasukan pengaman<br />
proyek-proyek vital di sekitaran Lhokseumawe. Tapi<br />
pagi itu mereka didatangkan sebagai pasukan bala<br />
bantuan untuk pengamanan jalan masuk ke Arhanud Rudal.<br />
Jumlah tentara di Arhanud Rudal cuma ada satu kompi.<br />
Mereka bersiaga di Simpang Kraft. Bersamaan masuknya<br />
tentara-tentara itu, orang-orang di desa Lancang<br />
Barat, mengumandangkan azan di meunasah.<br />
<br />
Sejam kemudian gelombang massa pun berdatangan ke<br />
Krueng Geukeuh. Mulanya, 10 truk membawa ratusan<br />
laki-laki datang dari kampung-kampung. Mereka<br />
berkumpul di lapangan sepak bola, tak jauh dari kantor<br />
camat. Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin<br />
sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum. Rapat<br />
itu bubar, karena massa berdatangan ke kantor. Mereka<br />
menjemput Marzuki untuk dibawa ke Simpang Kraft. Di<br />
sana, orang Cot Murong dan tentara sudah saling<br />
berhadap-hadapan. Marzuki diminta datang untuk<br />
mendinginkan suasana yang memanas.<br />
<br />
Hingga pukul 11.00, ada dua konsentrasi massa di<br />
Krueng Geukeuh. Massa pertama ada di depan Koramil<br />
Dewantara, dekat pasar Krueng Geukeuh. Ratusan orang<br />
kebanyakan wanita, berkumpul melakukan demontrasi.<br />
Banyak yang membawa anaknya. Mereka datang dari<br />
kampung-kampung sekitar Krueng Geukeuh, dijemput<br />
dengan truk. Wanita-wanita itu bergerombol, ada yang<br />
berteriak-teriak. Tak ada tentara yang menghadapi<br />
demonstran. Mereka berdiam diri di dalam kantor<br />
Koramil Krueng Geukeuh yang tertutup rapat.<br />
Komandannya ada di Simpang Kraft.<br />
<br />
Menjelang pukul 12.00 massa mulai melempari kaca<br />
jendela koramil. Sebuah sepeda motor milik tentara<br />
yang diparkir di sekitar situ dibakar hingga hangus.<br />
Tentara memberi tembakan peringatan beberapa kali ke<br />
udara. Massa sempat lari.<br />
<br />
Peristiwa depan koramil tidak banyak diketahui oleh<br />
massa kedua di Simpang Kraft. Simpang Kraft bagai<br />
lautan manusia. Massa menumpuk dalam radius 300 meter.<br />
Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu<br />
orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak terus<br />
berdatangan secara bergelombang sejak pagi.<br />
Orang-orang itu tak hanya datang dari Dewantara, tapi<br />
juga dari kecamatan sekitar seperti Nisam, Muara Dua<br />
dan Sawang.<br />
<br />
Mereka tergerak ke sana karena spontanitas, merasa<br />
harus bersolidaritas terhadap sesama orang Aceh. Tak<br />
sedikit yang panas hatinya mendengar kabar tentara<br />
akan menyerang kampung sehingga mereka merasa perlu<br />
membawa senjata tajam untuk bela diri. Ada semacam<br />
pengerahan massa ke Simpang Kraft, karena sebagian<br />
besar orang yang datang ke situ dikoordinasi oleh<br />
sekelompok orang. Sejak pagi sejumlah truk masuk ke<br />
kampung-kampung menjemput orang diajak berdemonstrasi.<br />
<br />
Sebagian lagi, datang ke Simpang Kraft karena tertarik<br />
menonton keramaian yang tak biasa itu. Pemandangan itu<br />
jadi hal menarik bagi anak-anak kecil, perempuan, dan<br />
pelajar yang bersekolah di sekitarnya.<br />
<br />
Tak sedikit juga yang terjebak di Simpang Kraft. Yang<br />
terjebak adalah para penumpang yang tadinya berharap<br />
bisa menyambung perjalanan dengan naik bus di Simpang<br />
Kraft. Mereka berjalan kaki sejauh dua kilometer sejak<br />
dari simpang PT Pupuk Iskandar Muda di mana rombongan<br />
RCTI menyimpan mobil. Ternyata tak ada bus yang<br />
menunggu di Simpang Kraft seperti yang dibilang para<br />
penghadang di simpang Pupuk Iskandar Muda. Akhirnya,<br />
mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di<br />
situ.<br />
<br />
Keempat wartawan RCTI yang baru datang segera masuk di<br />
antara kerumunan massa. Mereka menyebar. Dua<br />
kamerawan, Ali dan Fipin, merekam gambar dari sudut<br />
yang berbeda.<br />
<br />
Di sebelah jalur kanan jalan, ada empat truk militer<br />
diparkir berjejer. Tentara-tentaranya sudah turun.<br />
Mereka berjaga di sekitar kawasan itu. Tentara-tentara<br />
itu berkelompok-kelompok, berdiri dekat sebuah tanah<br />
kosong, di depan warung dan dekat truk mereka. Ada<br />
banyak wanita dan anak-anak berdiri sangat dekat<br />
dengan tentara-tentara dari Batalyon 113.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
AGAK terpisah dari massa, di bawah sebuah pohon asam<br />
dekat sawah, 500 meter dari simpang, ada 20 tentara<br />
lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara<br />
kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an<br />
meter.<br />
<br />
Keempat wartawan itu melihat tentara yang berdiri<br />
dekat truk militer sudah terkepung massa. Tapi tak<br />
terlihat ketegangan serius antara tentara dan massa.<br />
Tentara-tentara itu tak bereaksi terhadap orang-orang<br />
yang bersorak-sorak di dekatnya. Dan massa pun tak<br />
mempedulikan kehadiran tentara-tentara.<br />
<br />
Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana<br />
berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera<br />
televisi merekam aksi mereka. Mereka jadi ribut<br />
sekali. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan<br />
apa saja yang mereka bawa. Cangkul, tombak, kayu, dan<br />
parang menyembul di antara ribuan kepala manusia.<br />
Anak-anak kecil melompat-lompat kegirangan setiap<br />
kamera menyorot mereka.<br />
<br />
"Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar," seruan itu<br />
bersahut-sahutan dari ujung ke ujung.<br />
<br />
Mereka juga berteriak-teriak, "Merdeka! Merdeka!"<br />
<br />
"Hidup referendum!"<br />
<br />
Imam dan Fipin naik ke atas salah satu truk tentara<br />
yang diparkir di pinggir jalan. Truk itu pun sudah<br />
penuh, dinaiki massa. Dari atas truk itu, Fipin<br />
kembali mengambil gambar lautan massa. Mereka makin<br />
ramai bersorak. Bunyinya bagai suara dengungan puluhan<br />
ribu lebah. "Allah Akbar!"<br />
<br />
Sudah pukul 12.00 siang. Langit biru cerah tanpa awan.<br />
Matahari tepat di atas kepala. Panasnya bagai membakar<br />
apa saja yang ada di permukaan bumi. Panas matahari<br />
juga dirasakan oleh massa. Tapi mereka seakan tak<br />
peduli. Panas matahari justru makin memanaskan<br />
suasana. Mereka makin ribut, bersorak dan<br />
loncat-loncat. Peluh mengucur deras dari tiap senti<br />
tubuh mereka. Mereka berteriak-teriak minta air.<br />
<br />
Beberapa tentara dekat truk tersenyum memperhatikan<br />
tingkah massa yang dianggap lucu, melompat-lompat<br />
seperti anak kecil. Tentara-tentara itu tak bergeming,<br />
kendati sesekali terdengar makian dari massa, "Pa'i"<br />
tapi mereka berdiri santai, sesekali bertukar api<br />
rokok dengan beberapa demonstran. Moncong senjata<br />
mereka jatuh ke tanah. Salah seorang, mungkin<br />
komandannya, sibuk berbicara melalui handy talky.<br />
<br />
Sebagian wanita berkerudung berteduh di pinggiran<br />
warung, bale-bale dan di bawah pohon. Lima orang<br />
wanita, ibu-ibu, dan anak gadis yang duduk di<br />
bale-bale, tertawa ceria sambil turut bersorak-sorak,<br />
ketika Fipin Kurniawan mengarahkan kameranya ke<br />
mereka.<br />
<br />
Imam Wahyudi melihat seorang pemuda berkemeja putih,<br />
memakai ikat kepala dari kain putih yang disobek,<br />
dielu-elukan massa yang mengangkat-angkat tangannya.<br />
Mungkin dia salah satu pemimpin di situ. Dia agak malu<br />
karena kamera Fipin lama menyorot ke arahnya.<br />
<br />
Azhari tiba di Simpang Kraft. Dia tadi jalan kaki<br />
mengikuti serombongan orang dari simpang empat Krueng<br />
Geukeuh. Azhari masuk dalam kerumunan massa. Tubuhnya<br />
yang pendek seakan tenggelam di sana. Dia agak sulit<br />
bernafas, karena massa demikian padat.<br />
<br />
Azhari melihat Umar di antara kerumunan orang. Tubuh<br />
Umar tampak agak lebih tinggi dari orang-orang<br />
sekitarnya. Azhari tak berusaha menghampiri Umar. Dia<br />
menganggap Umar wartawan yang tidak ingin disaingi<br />
dalam perolehan gambar dan berita. Selain itu, Azhari<br />
merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di<br />
sana banyak tentara.<br />
<br />
Ali Raban sendirian, terpisah dari teman-temannya. Ali<br />
naik ke atas sebuah drum yang diletakkan massa tepat<br />
di tengah jalan. Dia mengambil gambar tentara yang<br />
terkepung di antara massa yang menyemut.<br />
<br />
Raban turun dari drum dan bergerak masuk lebih jauh ke<br />
dalam kerumunan. Ali melihat camat Marzuki. Dia<br />
mengambil gambar Marzuki yang terduduk lemas di sebuah<br />
kursi depan warung kopi yang tutup.<br />
<br />
Marzuki ada dalam tekanan orang-orang sekitarnya.<br />
Lencana camatnya dicopot paksa oleh seseorang. Marzuki<br />
harus menanggalkan baju dinas camatnya, dan menjadi<br />
pusat perhatian orang karena cuma berkaos dalam dan<br />
bercelana pendek.<br />
<br />
Camat Marzuki, beberapa kali naik ke atas truk dan<br />
berbicara kepada massa di situ. Seorang pemuda<br />
berkulit hitam memegang megafone ada dekatnya. Namanya<br />
Faisal. Tampaknya Faisal koordinator lapangan. Marzuki<br />
dan Faisal bernegosiasi. Massa menuntut Marzuki segera<br />
menghadirkan perwakilan tentara, ulama, dan pemerintah<br />
di Simpang Kraft.<br />
<br />
Raban berlalu dari tempat Camat Marzuki. Dia<br />
menyeberang ke arah jalur kanan jalan. Mengambil<br />
gambar orang-orang yang berdiri di pinggir warung.<br />
Seorang anak kecil dengan wajah gembira minta ibunya<br />
mengangkat dirinya lebih ke atas, biar wajahnya<br />
terlihat jelas di kamera. Berkali-kali anak itu<br />
bersorak-sorak agar Ali melihat dirinya.<br />
<br />
Raban sangat kehausan. Dia melihat anak kecil tadi.<br />
Anak itu bercelana pendek dan memakai sandal jepit.<br />
Ibunya sudah tak terlihat lagi. Dia memegang botol<br />
Aqua ukuran 600 mililiter. Isinya tak sampai<br />
seperempat botol.<br />
<br />
Raban mencoba memintanya. "Dik, boleh minta airnya?"<br />
<br />
Anak itu memberi Ali botol air yang dibawanya. Ali<br />
meneguknya. Botol yang masih menyisakan sedikit air,<br />
diserahkan lagi ke anak itu.<br />
<br />
Umar berdiri di tengah massa. Beberapa orang yang<br />
melihatnya, datang dan minta Umar dan kawan-kawannya<br />
mewawancarai mereka. Umar tak menolaknya. Lebih baik<br />
menuruti orang-orang itu. Dia yakin di antara sekian<br />
banyak orang, banyak yang berpikiran kalut dan di luar<br />
kendali.<br />
<br />
Umar memanggil Ali yang jaraknya hanya belasan meter<br />
darinya. Imam dan Fipin sudah turun dari truk. Mereka<br />
berempat berkumpul di sebelah jalur kiri jalan. Mereka<br />
akan mewawancarai Faisal.<br />
<br />
Faisal masih muda, berhidung mancung dan berkulit<br />
hitam. Dia memakai jaket parasut hitam sepanjang lutut<br />
yang warnanya telah kusam. Faisal memakai topi hitam<br />
dililit pita putih. Dia memegang megafone.<br />
<br />
Pemuda-pemuda yang berada di sekelilingnya berteriak,<br />
"Hoi, hoi," berebutan mau bicara dan ingin masuk<br />
televisi. Faisal menolak memakai bahasa Indonesia.<br />
"Hana meuphoum lon." Dia tak bisa berbahasa Indonesia.<br />
<br />
Imam mewawancarai Faisal. Umar menterjemahkannya.<br />
Banyak orang yang tertarik melihat Faisal diwawancarai<br />
televisi. Keributan seketika berkurang, karena Faisal<br />
berteriak agar massa diam. Sejenak agak senyap.<br />
<br />
Si Faisal menjelaskan, "Rakyat bangsa Aceh yang ada di<br />
Lancang Barat dan Krueng Geukeuh ke luar ke lapangan,<br />
ke jalanan. Karena kami melihat banyak tentara Jawa,<br />
si Pa'i sudah masuk ke desa Teupin, menganiaya rakyat<br />
dan ada saksi mata."<br />
<br />
Faisal berkata lagi, semalam ada provokator yang<br />
menyusup ke kampung mereka, yang ditudingnya sebagai<br />
tentara yang menyamar.<br />
<br />
"Pa'i, pa'i," orang-orang di sekitar Faisal berteriak.<br />
<br />
"Dan si pa'i itu memancing kami masyarakat, sehingga<br />
kami menjadi berkelahi," sambungnya.<br />
<br />
Menurut Faisal, pagi itu ada empat truk tentara masuk<br />
ke desa Lancang Barat, bertujuan memancing emosi orang<br />
sehingga jadi ribut. "Padahal sudah janji sebelumnya<br />
tidak boleh masuk tentara lagi."<br />
<br />
Si pemuda mengatakan mereka saat ini sedang menunggu<br />
datangnya bupati, komandan korem, komandan kodim,<br />
komandan rudal, Palang Merah Internasional, ketua<br />
parlemen setempat, untuk menyelesaikan masalah.<br />
<br />
Faisal mengeluh capek, "Kami minta mobil pemadam<br />
kebakaran. Tapi sampai sekarang belum sampai. Kami<br />
sudah gerah sekali."<br />
<br />
Matahari memancarkan sinar yang cukup panas. Faisal<br />
dan massanya masih bertahan di tengah jalan, tak<br />
beranjak. Faisal membuka lembaran buku tulis yang<br />
sudah lecek oleh keringat dan memperlihatkannya kepada<br />
wartawan yang mewawancarainya. Di situ ada kesepakatan<br />
tertulis antara massa yang diwakilinya dengan Camat<br />
Marzuki, bahwa Marzuki telah menyatakan meletakkan<br />
jabatannya.<br />
<br />
"Kami dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh<br />
menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu menahu<br />
masalah itu," teriaknya dengan emosi dari megafone.<br />
<br />
Massa menyambut teriakan Faisal dengan gemuruh. Ribut<br />
lagi. Wawancara itu segera diakhiri.<br />
<br />
Keempat wartawan RCTI itu sepakat kembali ke<br />
Lhokseumawe untuk memburu pengiriman kaset ke Jakarta.<br />
Ali dan Fipin secara terpisah mengambil gambar<br />
terakhir kalinya. Umar masih tak beranjak dari posisi<br />
semula.<br />
<br />
Imam dan Fipin bergerak beberapa meter. Dekat mereka<br />
ada sebuah sepeda motor merek Honda keluaran 1970-an.<br />
Pemiliknya mengizinkan Fipin naik ke atas sadel<br />
belakang. Imam memegang sepeda motor itu agar Fipin<br />
tak jatuh. Imam memegang kaset baru, bersiap hendak<br />
menukarnya dengan kaset dalam kamera Fipin.<br />
<br />
Fipin berdiri di atas sepeda motor dengan agak<br />
gemetar. Dia masih bisa memanggul kamera yang berat<br />
walau tubuhnya sudah terasa lemas. Tadi pagi tak<br />
sempat sarapan. Dan kini dia sangat haus.<br />
<br />
Azhari berdiri dekat sebuah tembok kecil di sudut kiri<br />
jalan. Sedari tadi dia tak melakukan apapun, hanya<br />
menonton keramaian. Azhari tak berusaha mewawancarai<br />
orang-orang di situ, bahkan tak pula ingat<br />
mengeluarkan kameranya untuk memotret. Nalurinya<br />
sebagai wartawan sama sekali tak jalan. Padahal dia<br />
bisa memperoleh foto berita di situ.<br />
<br />
Tak ada yang tahu persis siapa yang memulai. Massa<br />
makin tak terkendali. Mulai saling dorong-dorongan.<br />
Tentara Batalyon 113 yang sedari tadi berdiri di<br />
tengah massa, mulai terjepit. Ada lemparan batu jatuh<br />
di depan deretan anak-anak dan ibu-ibu. Dua puluh<br />
meter dari barisan massa terdepan itu, berdiri pasukan<br />
Arhanud Rudal, jumlahnya berkisar 20-an.<br />
<br />
Anak-anak yang melihat ada batu jatuh di depan mereka,<br />
spontan mengambil batu dan melemparnya ke arah tentara<br />
Arhanud Rudal.<br />
<br />
Suasana memanas.<br />
<br />
Sebuah truk militer datang dari kejauhan. Truk itu<br />
datang dari markas Arhanud Rudal. Banyak tentara di<br />
dalamnya. Ali dan Fipin dalam posisi berbeda merekam<br />
kedatangan truk itu.<br />
<br />
Pandangan mata massa semuanya sudah terkonsentrasi ke<br />
arah truk yang datang itu. Mereka merasa ada sesuatu<br />
yang terjadi. Sebab beberapa orang ribut, "Ada truk<br />
datang, ada truk datang."<br />
<br />
Tentara mulai membentuk dua lapis barisan. Mereka<br />
seperti sedang bersiap-siap, karena ada keributan di<br />
tengah massa.<br />
<br />
Tiba-tiba ... trat .... trat .... trat .... suara<br />
senjata meletus dengan keras. Trat, trat, trat ....<br />
dengan cepat suara senjata susulan terdengar<br />
bersahut-sahutan. Suara itu bagaikan geledek yang<br />
menyambar. Semua terkejut. Orang-orang yang tadi<br />
berdiri menyemut di jalan, secara reflek tiarap. Tapi<br />
dengan cepat pula, banyak yang berlari berhamburan.<br />
Mereka lari tunggang-langgang menjauhi tentara-tentara<br />
yang mulai melepaskan peluru-peluru tajam dari moncong<br />
senjata mereka.<br />
<br />
Tembakan ini datang dari tentara Arhanud Rudal yang<br />
berdiri di kejauhan. Mereka yang pertama kali<br />
melepaskan tembakan itu. Mereka menembak ke atas<br />
dengan maksud membubarkan massa. Sejumlah tentara<br />
berteriak, "Bubar kalian! Bubar!"<br />
<br />
Tapi beberapa tentara mendadak seperti kesetanan<br />
mengejar orang-orang yang berlarian. Menembaknya<br />
dengan serabutan. Sementara, tentara-tentara dari<br />
Batalyon 113, yang tadi berdiri di antara massa dengan<br />
cepat menyebar, menyusup ke parit-parit. Mereka juga<br />
turut melepaskan tembakan. Mereka menembaki pohon<br />
kelapa yang tumbuh di sekitar lokasi, hingga daun dan<br />
buahnya berjatuhan.<br />
<br />
Kepanikan muncul di mana-mana. Laki-laki, perempuan,<br />
tua, muda, anak-anak, lari berhamburan menghindari<br />
peluru yang mereka tak bisa terka datangnya dari arah<br />
mana. Yang mereka tahu mereka harus menjauh dari<br />
tentara-tentara itu yang mendadak brutal menembaki<br />
mereka.<br />
<br />
Mereka ada yang berteriak ketakutan minta tolong.<br />
Perempuan dan anak-anak menjerit. Tapi kebanyakan tak<br />
mampu lagi bersuara. Suara rentetan senjata yang<br />
memekakkan telinga membuat semuanya tak berkutik.<br />
Banyak yang tiarap di jalanan. Yang lainnya<br />
bersembunyi di balik dinding warung. Ada juga yang<br />
memperosokkan diri ke parit.<br />
<br />
"Amin ya Allah, Allah Akbar,"seorang laki-laki<br />
berteriak dengan keras.<br />
<br />
"Allah Akbar, Allah Akbar," orang-orang mulai berseru.<br />
Korban mulai berjatuhan. Satu, dua, tiga, delapan<br />
orang rubuh di jalur kanan jalan. Yang lain, satu per<br />
satu jatuh, terutama yang jaraknya dekat dengan<br />
tentara.<br />
<br />
Massa menubruk apa saja. Fipin yang berdiri di atas<br />
sepeda motor jatuh terjengkang. Si empunya sepeda<br />
motor tanpa memberi aba-aba kepada Fipin, membawa lari<br />
sepeda motornya secepat kilat.<br />
<br />
Fipin jatuh tertidur di badan jalan bersebelahan<br />
dengan Imam yang tiarap. Dekat mereka ada beberapa<br />
orang yang juga melakukan hal yang sama. Fipin makin<br />
lemas saat melihat darah mulai keluar dari tubuh-tubuh<br />
orang yang rebah tak jauh darinya.<br />
<br />
Fipin mengangkat kameranya tinggi dan mengarahkannya<br />
ke tentara-tentara dekatnya yang sedang menembaki<br />
pohon-pohon kelapa, hingga buahnya berjatuhan dan<br />
daunnya rontok. Di kejauhan beberapa tentara lainnya<br />
sedang melepaskan tembakan secara brutal ke arah massa<br />
yang berlarian. Dia sudah tidak bisa berpikir apapun.<br />
Dia hanya merasa kameranya akan merekam semua adegan<br />
itu.<br />
<br />
Imam sejak tembakan pertama secara reflek merebahkan<br />
tubuhnya ke atas aspal. Dia berada di belakang Fipin.<br />
Kaset di tangan Imam terjatuh, tersepak-sepak oleh<br />
massa yang berlarian panik, melompati badan Imam yang<br />
jatuh. Berkali-kali Imam berusaha mengambil kaset itu.<br />
<br />
Hampir 10 menit berlalu, saat Imam berusaha memasukkan<br />
kabel mikrofon ke kamera yang dipegang Fipin. Imam<br />
ingin merekam dan membuat laporan langsung di tengah<br />
ributnya suara letusan senjata.<br />
<br />
"Mas, kameranya mati," mendadak Imam berteriak kepada<br />
Fipin. Imam melihat lampu kecil berwarna merah di<br />
kamera Fipin tak menyala. Seharusnya lampu itu<br />
berkedip-kedip jika kamera merekam gambar.<br />
<br />
Fipin tersadar. Dengan cepat dia menghidupkan tombol<br />
record kamera. Kamera itu tanpa diketahui mati ketika<br />
Fipin terjatuh dari sepeda motor. Selama 10 menit<br />
pertama ketika tembakan mulai Fipin tak merekam<br />
apa-apa.<br />
<br />
Tentara-tentara itu masih melepaskan tembakan, ketika<br />
seorang anak kecil, merayap dekat Imam. Ada seorang<br />
perempuan dekatnya, juga merayap. Mungkin itu bibinya.<br />
Anak itu kebingungan mencari perlindungan.<br />
<br />
"Sana kamu," Imam mendorong pantat anak itu.<br />
<br />
"Ke mana Bang?" tanyanya, bingung ketakutan.<br />
<br />
Imam menyuruhnya pergi ke arah deretan warung tak jauh<br />
dari situ. Paling tidak anak itu bisa berlindung di<br />
balik dinding. Dengan cepat anak laki-laki itu,<br />
bersama bibinya merangkak, dan menghilang ke samping<br />
warung.<br />
<br />
Imam kembali melihat ke arah tentara-tentara itu.<br />
Jaraknya kini hanya lima meter dari tempat Imam dan<br />
Fipin rebah. Perasaannya campur aduk saat melihat<br />
tentara melepaskan tembakan bertubi-tubi, mengarahkan<br />
muntahan peluru ke arah orang-orang yang sebagian<br />
masih berusaha lari dari tempat itu. Imam terpaku dan<br />
belum berpikir apa pun tentang peristiwa itu. Semua<br />
serba cepat.<br />
<br />
Ketika dia melihat ada tumpukan orang rebah di<br />
seberang jalan. "Ah, orang-orang itu cuma bersandiwara<br />
saja," kata Imam dalam hati. Dia sudah pernah<br />
mengalami situasi, di mana ada demontrasi dibubarkan<br />
aparat dengan tembakan. Tapi dia tak pernah melihat<br />
darah dalam peristiwa-peristiwa seperti itu.<br />
<br />
Saat tembakan agak mereda, Imam tergerak mendekat ke<br />
tumpukan manusia itu. Sambil berjongkok dia dan Fipin<br />
jalan ke sana. Fipin merekam semua gambar dengan baik.<br />
Sebagian tentara masih terus melepaskan tembakan. Tapi<br />
ada juga satu dua tentara yang masih berbaik hati,<br />
berusaha mengamankan beberapa wanita yang menggendong<br />
anak mereka yang sedang bersembunyi di balik sebuah<br />
gerobak. Mereka disuruh pergi cepat-cepat dari situ.<br />
<br />
Imam melihat seorang pemuda merangkak di depannya.<br />
Imam ingat, itu pemuda yang tadi dielu-elukan massa.<br />
Pemuda berikat kepala itu merangkak pelan bagai tak<br />
bertenaga. Dia berusaha menuju ke emperan warung. Dia<br />
terluka, celana putihnya penuh darah. Pemuda itu<br />
bersandar lemas di dinding warung yang dengan susah<br />
payah dicapainya.<br />
<br />
Imam menegurnya, "Apanya yang kena?"<br />
<br />
Pemuda itu tak menjawab. Wajahnya pucat. Ada seorang<br />
wanita berjilbab kuning di dekatnya, memperhatikannya<br />
dengan rasa khawatir.<br />
<br />
Cairan warna merah mengalir pelan ke arah Imam. Cairan<br />
itu keluar dari sela kaki pemuda itu. Imam<br />
mengambilnya sedikit di tangan. Menciumnya. "Tidak<br />
amis," pikirnya.<br />
<br />
Imam mengambil lagi. Tidak amis. Dia pikir darah pasti<br />
baunya amis. "Orang ini mau mendramatisasi," kata Imam<br />
dalam hati.<br />
<br />
Imam bergerak lagi, ke arah tumpukan orang yang sedari<br />
tadi mengusiknya. Tadi ada sekitar 10 orang rebah di<br />
situ. Tapi dengan cepat sebagian bangun dan lari saat<br />
Imam dan Fipin mendekat.<br />
<br />
Dari jauh, Imam seperti melihat sebuah boneka<br />
tergeletak di antara tumpukan orang itu. Imam<br />
mendekat, melihat lebih jelas. Imam terkejut bagai<br />
disambar petir. Itu seorang anak kecil yang bagian<br />
atas kuping kirinya sudah bolong setengah. Air otaknya<br />
terlihat jelas. Imam shock.<br />
<br />
"Tidak benar ini. Masya Allah. Ini gila," Imam<br />
berteriak dalam hati. Perasaan marah, benci tak<br />
percaya, bercampur aduk dalam diri Imam. "Ini tidak<br />
boleh terjadi, tak masuk akal."<br />
<br />
Itu bukan boneka. Itu anak kecil yang telah tak<br />
bernyawa. Peluru tentara telah menghancurkan kepala<br />
kirinya. Imam tak tahan dan menangis melihat itu.<br />
<br />
Fipin sendiri tak tega ketika mengarahkan kameranya ke<br />
arah anak kecil yang kepalanya telah bolong itu.<br />
Saking tak tahan melihat kesadisan itu, Fipin menutup<br />
matanya ketika kameranya mengambil gambar anak itu<br />
dari dekat.<br />
<br />
Fipin menjalankan tugasnya sebagai kamerawan dengan<br />
baik. Dia merekam semua yang dilihatnya. Dia terus<br />
berada bersama Imam. Dia merekam seorang pemuda yang<br />
sekarat, tersentak saat nyawanya hendak diambil<br />
malaikat pencabut nyawa.<br />
<br />
Umar dengan panik berlari ke depan sebuah toko penjual<br />
makanan ternak, ketika bunyi letusan senjata<br />
terdengar. Di depan toko yang ditutup pemiliknya itu,<br />
ada tumpukan karung berisi dedak makanan bebek. Umar<br />
bersembunyi di balik tumpukan karung. Tak hanya dia<br />
seorang di situ, karena ada beberapa orang lain yang<br />
berebutan tempat bersamanya. Umar terjepit di antara<br />
orang-orang yang takut itu.<br />
<br />
Umar juga sangat ketakutan. Bahkan dia seperti mau<br />
kencing dalam celana. Tapi dia berpikir cepat untuk<br />
segera memotret peristiwa itu. Umar menjepret apa pun<br />
yang dilihatnya, tentara yang menembak dan juga<br />
tumpukan orang yang rebah di jalan. Umar melihat Fipin<br />
dan Imam ada di sana juga. Tapi jepretan Umar banyak<br />
yang meleset tak tentu arah, ke langit dan ke atas<br />
pohon.<br />
<br />
Trat .... trat .... trat .... berondongan senjata<br />
terus terdengar. Umar memotret tanpa berpikir banyak<br />
apakah dia mendapat angle yang bagus atau tidak. Umar<br />
sangat terkejut ketika kameranya secara tak sengaja<br />
membidik seorang anak kecil di seberang jalan yang<br />
terjatuh. Kamera Umar mengabadikannya, tepat saat<br />
peluru menghantam kepalanya dan isi otaknya<br />
berhamburan. Umar terkejut luar biasa, hingga<br />
kameranya terjatuh dari pegangannya. Umar merasa<br />
kasihan terhadap anak itu.<br />
<br />
Ali Raban dalam posisi merekam gambar di sudut kanan<br />
Simpang Kraft, ketika tiba-tiba meletus suara senjata.<br />
Di depannya, massa secara reflek tiarap. Ali melihat<br />
tentara di depan warung, tak jauh darinya mulai<br />
berpencar. Massa kemudian dengan cepat bangun dan<br />
berlarian tak tentu arah.<br />
<br />
Raban tidak lari. Dia berdiri dengan tegap dan merekam<br />
orang-orang yang berlarian itu. Mereka panik dan<br />
berusaha mencari tempat perlindungan terdekat.<br />
<br />
Tiba-tiba ada yang mendorongnya dari belakang. Ali<br />
terjatuh. Tapi dia masih mampu mempertahankan<br />
kameranya tetap hidup. Ali jatuh tiarap dengan siku<br />
tertumpu di tanah. Di depannya wanita, pria dan<br />
anak-anak mulai berjatuhan. Mereka kena tembak.<br />
Jaraknya hanya sekian meter dari Raban.<br />
<br />
Beberapa menit berlalu. Tentara-tentara masih<br />
menembak. Sambil jongkok Ali lari ke tengah pertigaan<br />
jalan. Dia ingin mengambil gambar tentara. Dia merasa<br />
pengambilan gambar terhalang oleh truk-truk militer<br />
yang berderet di pinggir jalan. Ban-ban truk itu telah<br />
kempes, kena peluru nyasar. Dinding warung penuh<br />
lubang.<br />
<br />
Azhari kebingungan ketika mendengar suara letusan<br />
senjata. Dia berusaha melihat lebih jelas ke arah<br />
tentara-tentara yang jauh. Orang-orang sudah<br />
berlarian. Seruan "Allah Akbar," muncul dari antara<br />
orang-orang itu.<br />
<br />
Azhari kaget. Dia melihat ke arah tentara yang ada<br />
sekian puluh meter darinya. Tentara itu menembaki<br />
orang-orang yang berlarian. Suasana sangat kacau.<br />
Tadinya Azhari belum berpikir untuk lari. Rasa<br />
takutnya timbul ketika melihat di antara orang-orang<br />
yang berlarian, seorang pria jatuh tersungkur. Azhari<br />
melihat darah membasahi belakang bajunya.<br />
<br />
Dia pun dengan cepat lari, mengikuti orang-orang yang<br />
lari menyelamatkan diri ke arah Krueng Geukeuh.<br />
Melihat ada massa yang lari ke sebuah gang kecil, dia<br />
pun ikut ke sana, menganggap tempat itu pasti aman.<br />
<br />
Azhari merasa tentara itu bagai mengejar dirinya<br />
karena rentetan tembakan masih terus terdengar.<br />
Orang-orang berteriak histeris. "Tulong, ureung kaa<br />
ditimbak, kaa plung mandum (Tolong, orang sudah<br />
ditembaki, sudah lari semua)."<br />
<br />
Azhari berlari sepanjang satu kilometer, menyusup ke<br />
kebun, dan menerobos pagar berduri rumah penduduk<br />
tanpa sadar. Ada ratusan orang lain berlarian seperti<br />
dirinya. Azhari menemukan sebuah riol tak berair. Lalu<br />
bersembunyi di situ. Ada tiga orang lain melihat<br />
Azhari bersembunyi. Mereka ikut menyusup dekat Azhari.<br />
Suara tembakan masih terdengar. Orang-orang melompati<br />
riol yang disusupi Azhari. Mereka berlarian susul<br />
menyusul. Selesai istirahat untuk sekadar tarik nafas,<br />
Azhari keluar dari riol itu dan kembali lari.<br />
<br />
Sudah lebih dari setengah jam ketika tembakan mulai<br />
mereda. Fipin mengeluh ke Imam. Dia mulai limbung<br />
karena dia tak tahan dengan rasa haus. Mereka mencari<br />
minum ke sebuah warung.<br />
<br />
Keempat wartawan itu kembali berkumpul. Mereka tak<br />
banyak berbicara. Mereka masih tegang karena masih ada<br />
tentara di situ. Tapi Imam dan Umar tak bisa<br />
menyembunyikan kesedihan mereka. Mata mereka berair.<br />
Menangis.<br />
<br />
Di tempat itu tidak ada lagi massa. Lengang sekali.<br />
Yang tersisa di situ hanya para korban yang terkapar<br />
dan keempat wartawan itu. Sepeda kecil, sandal, kayu,<br />
batu, parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh<br />
pemiliknya yang tadi panik berlarian. Mungkin mereka<br />
sudah tewas dan mungkin ada yang selamat. Jerit<br />
kesakitan dari orang-orang yang kena tembak mulai<br />
terdengar sayup-sayup. Tapi suara-suara itu jauh, tak<br />
jelas dari mana saja.<br />
<br />
Tentara-tentara datang mendekat. Mereka melakukan<br />
penyisiran, hingga ke persimpangan. Ada yang naik<br />
truk, ada yang jalan kaki. Keempat wartawan RCTI itu<br />
berkumpul di pojok kiri simpang. Mereka belum tahu mau<br />
berbuat apa, karena masih ada tentara yang kalap dekat<br />
mereka.<br />
<br />
Mendadak dua tentara bertopi rimba datang mendekati<br />
wartawan dengan berlari. Wajah kedua tentara itu<br />
sangat marah. Entah disengaja atau tidak, moncong<br />
senjata keduanya terarah kepada keempat wartawan itu.<br />
Mereka memaki-maki keempat wartawan yang terdiam itu.<br />
Umar, Raban, dan Imam berdiri, sedang Fipin<br />
berjongkok, melindungi kameranya seperti dia<br />
melindungi bayinya.<br />
<br />
Tentara itu berteriak dengan marah kepada<br />
wartawan-wartawan itu, "Ini kan yang kalian inginkan?"<br />
Ia mencecar mereka dengan marah.<br />
<br />
Satunya lagi menimpali. "Apa shooting-shooting.<br />
Memangnya kita cover boy?"<br />
<br />
Imam berbisik pada Fipin, "Record, Mas." Imam ingin<br />
tentara yang marah itu terekam dalam kamera. Tapi<br />
Fipin tak mengerjakannya. Dia berpikir akan ketahuan<br />
kalau dia merekam sebab lampu merah akan<br />
berkedip-kedip. Ali juga sudah mengingatkan agar dia<br />
menutup kameranya.<br />
<br />
Dua tentara itu masih marah-marah, saat komandannya,<br />
seorang perwira berpangkat letnan datang mendekati.<br />
Dia berusaha mendinginkan kedua anak buahnya. "Sudah.<br />
Sudah sana," dia mendorong pergi kedua anak buahnya<br />
itu kembali ke pasukan mereka.<br />
<br />
"Hati-hati, Dik. Ada tembakan dari luar," katanya<br />
memperingatkan keempat wartawan itu. Lalu dia pergi<br />
kembali ke pasukannya.<br />
<br />
Imam merasa begitu sangat tolol karena sedari tadi tak<br />
segera menyimpan kaset video yang masih tersimpan di<br />
kamera. Imam merasa ajaib bahwa tentara-tentara itu<br />
tak merampas kaset rekaman mereka.<br />
<br />
Sepeninggal tentara-tentara itu, Umar dan Imam berlari<br />
ke arah bale-bale. Di sana ada seorang ibu mengerang.<br />
Pinggang kirinya tertembak. Dekatnya seorang anak laki<br />
berseragam sekolah menengah pertama tergeletak. Anak<br />
itu mengaduh kesakitan.<br />
<br />
"Tulong Pak," anak itu mengerang.<br />
<br />
Satu dua orang mulai berdatangan, mencoba menolong<br />
korban. Imam berteriak, "Pak Umar, telepon ambulans."<br />
<br />
Umar juga sedang panik menelepon istrinya di rumah<br />
lewat telepon seluler. Umar menyuruh istrinya<br />
menelepon ambulans dari Palang Merah Indonesia. Di<br />
Lhokseumawe, istri Umar, Rusni, juga berusaha<br />
menelepon Umar karena mendengar ada keributan di<br />
Krueng Geukeuh. Berita peristiwa itu cepat menyebar ke<br />
Lhokseumawe.<br />
<br />
Evakuasi korban pertama terjadi pukul 13.05. Yang<br />
datang pertama kali adalah sebuah labi-labi yang<br />
datang dari arah Krueng Geukeuh. Labi-labi itu datang<br />
dengan kecepatan tinggi, menikung dan berhenti. Semula<br />
orang-orang mau mengangkat mayat, tapi Imam<br />
mencegahnya.<br />
<br />
"Selamatkan dulu yang masih hidup," katanya. Imam<br />
memimpin evakuasi itu dengan cepat. Syukur orang-orang<br />
di situ menuruti perintahnya.<br />
<br />
Selain beberapa labi-labi dari Krueng Geukeuh,<br />
beberapa mobil milik orang dekat lokasi juga<br />
dikerahkan untuk mengangkat korban. Orang sudah mulai<br />
ramai datang ke Simpang Kraft. Korban satu per satu<br />
dievakuasi. Para korban diangkat dari jalan, parit,<br />
sawah, kebun, halaman dan dalam rumah penduduk. Mereka<br />
kritis. Anak-anak dan wanita merintih kesakitan.<br />
<br />
Orang-orang mengerubungi mayat anak kecil yang<br />
tertembak kepalanya. Tangannya sudah dilipat ke dada,<br />
seperti seharusnya orang meninggal. Orang-orang di<br />
situ hanya mampu berseru, "Laillahaillah."<br />
<br />
Raban masih merekam gambar korban-korban yang<br />
tergeletak di jalan, dan di parit-parit. Saat itu dia<br />
melihat seorang anak kecil di tengah jalan, merangkak<br />
karena kakinya tertembak. Ali mengambil gambarnya.<br />
Tapi dia tak tahan membiarkan anak itu terus merangkak<br />
sementara dia merekam adegan itu. Ali mengambilnya dan<br />
membopong anak itu ke mobil bak terbuka yang dipakai<br />
untuk mengevakuasi korban.<br />
<br />
Tak lama datang ambulans. Sirenenya mengaung-aung<br />
serasa menyayat hati orang-orang yang ada di lokasi<br />
penembakan. Di kejauhan puluhan tentara bergerak<br />
perlahan pulang ke markas Arhanud Rudal.<br />
<br />
Imam dan Umar turut mengangkat korban. Imam mengangkat<br />
korban ke dalam ambulans. Umar memotretnya. Foto itu<br />
kemudian yang jadi headline di media massa Indonesia.<br />
<br />
Di antara orang-orang yang datang menolong, Imam<br />
melihat seorang pria yang seperti sok jagoan. Belum<br />
lagi mengangkat korban, pria itu membuka bajunya dan<br />
melumuri dadanya dengan darah korban. Beberapa pemuda,<br />
sibuk mengumpulkan selongsong peluru yang berserak di<br />
jalan. Mereka datang ke Imam dan Fipin, untuk<br />
memperlihatkannya. Tapi Imam sudah tidak peduli lagi.<br />
Dia masih terbawa emosi. Bahkan dia harus menenangkan<br />
dirinya sendiri.<br />
<br />
Di tengah suara sirene ambulans yang mengaung-ngaung,<br />
Imam berbicara di depan kamera. "Pemirsa, jatuhnya<br />
korban di simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari<br />
seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan<br />
lebih dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan<br />
Umar HN melaporkan dari Lhokseumawe."<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
SIANG itu, bagai ada perang besar di Aceh Utara.<br />
Korban-korban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi<br />
ke beberapa rumah sakit dan klinik sekitar Krueng<br />
Geukeuh, Batuphat, dan Lhokseumawe. Mobil-mobil yang<br />
membawa korban lari kencang melintasi jalan antara<br />
Krueng Geukeuh-Lhokseumawe. Sirene mengaung-ngaung,<br />
menarik perhatian orang. Ruang gawat darurat rumah<br />
sakit penuh sesak oleh korban-korban yang kritis.<br />
Mereka harus antre untuk mendapat pertolongan.<br />
Sebagian korban terpaksa dijejer di lantai karena<br />
tempat tidur tak cukup. Kejadian itu mendadak. Para<br />
medis kewalahan.<br />
<br />
Keempat wartawan itu berada di rumah sakit PT Arun<br />
LNG. Mereka mengambil gambar dan data korban. Dokter<br />
dan perawat tampak sangat sibuk. Mereka sempat<br />
melarang wartawan mengambil gambar. Tapi Fipin<br />
merekamnya diam-diam.<br />
<br />
Di lantai rumah sakit itu, beberapa korban yang sudah<br />
tak bernyawa digeletakkan berjejer di lantai sebuah<br />
ruangan. Darah mengotori lantai dan bau amisnya<br />
tercium sangat kuat, bercampur dengan bau keringat dan<br />
debu yang lengket di tubuh korban. Perempuan,<br />
anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan<br />
kondisi mengenaskan.<br />
<br />
Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah<br />
jerit tangis keluarga korban yang mulai berdatangan ke<br />
rumah sakit. Suasana agak kacau.<br />
<br />
Para wartawan itu mulai merasa ada kenal satu per satu<br />
dengan korban. Ali terpaku, saat melihat anak kecil<br />
yang kepalanya bolong itu, ternyata yang tadi memberi<br />
air padanya. Imam baru tahu, kalau ibu yang tadi<br />
tergeletak di gardu, ternyata kena tembak ginjalnya.<br />
Padahal baru beberapa jam lalu si ibu masih tertawa<br />
gembira, bersorak-sorak bersama massa. Imam lagi-lagi<br />
mengangis melihat itu.<br />
<br />
Keluar dari rumah sakit, mereka berhenti di masjid<br />
Batu Phat. Istirahat sekalian makan nasi bungkus.<br />
Mereka sudah sangat lemas. Imam menelepon RCTI<br />
Jakarta. Beritanya cuma satu. "Ada kejadian mirip<br />
Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up.<br />
Aku akan segera mengirim materinya. Tapi situasi<br />
sangat berbahaya."<br />
<br />
Santa Cruz adalah nama sebuah kuburan di Dili, Timor<br />
Timur, di mana pada 12 November 1991, pasukan<br />
Indonesia menembaki orang-orang Timor yang<br />
berdemonstrasi di pemakaman itu, memperingati empat<br />
puluh hari terbunuhnya seorang aktifis pro<br />
kemerdekaan.<br />
<br />
Imam merasa ada bahaya yang menunggunya. Dia<br />
menyempatkan menelepon seorang temannya untuk memberi<br />
kabar ke istrinya. Dia ingin istrinya tahu bahwa<br />
keadaannya baik-baik saja.<br />
<br />
Salah seorang anggota redaksi RCTI mengingatkan Imam,<br />
"Kau harus segera pergi dari Lhokseumawe."<br />
<br />
Mereka merasa harus segera mengamankan kaset rekaman<br />
Fipin dan Raban. Sebab itu merupakan gambar yang<br />
ekslusif yang pasti jadi incaran militer. Umar<br />
kemudian menitipkan kaset rekaman mereka ke salah<br />
seorang saudaranya.<br />
<br />
Imam terus bergerak mencari data korban ke rumah sakit<br />
Cut Mutia di Lhokseumawe. Di sana situasinya lebih<br />
dahsyat. Korban lebih banyak. Hampir tak bisa<br />
tertampung. Mereka ditidurkan di lantai lorong rumah<br />
sakit. Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara<br />
Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah<br />
sakit Cut Mutia, justru sunyi. Pintu pagarnya tertutup<br />
dan tampak beberapa pasukan marinir berjaga di gardu.<br />
<br />
Azhari masih sedikit tegang ketika dia tiba di<br />
Lhokseumawe pukul tiga siang. Dia tadi menumpang<br />
sebuah mobil sedan yang hendak ke Lhokseumawe. Dia<br />
mendatangi rumah sakit Cut Mutia untuk mencari data<br />
korban. Berita pertamanya di Antara telah naik. Berita<br />
itu berjudul, "Tentara Membubarkan Demonstran di<br />
Simpang Kraft dengan Tembakan." Azhari menyebutkan,<br />
belasan orang meninggal dan puluhan lain luka-luka.<br />
<br />
Hingga malam, Azhari masih bekerja sendiri di<br />
kantornya. Dia melaporkan jumlah korban yang terus<br />
bertambah. Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya<br />
tewas dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa<br />
penembakan tadi siang.<br />
<br />
Azhari seperti orang linglung setelah kerja maraton,<br />
mencari data berulang-ulang ke rumah sakit. Dia<br />
tersentak ketika kepala biro Antara Banda Aceh<br />
menelepon menanyakan foto peristiwa itu. Di situ baru<br />
disadarinya, ternyata tustelnya masih tersimpan di tas<br />
yang masih menggantung di pinggangnya. Dia bahkan lupa<br />
memotret korban di rumah sakit.<br />
<br />
Malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam. Hanya<br />
suara sirene ambulans terdengar sampai pukul 10 malam.<br />
Jalanan sepi. Tak ada mobilitas tentara. Markas polisi<br />
dan tentara di Lhokseumawe dijaga ketat aparat<br />
keamanan. Keramaian malam itu terkonsentrasi di rumah<br />
sakit. Keluarga korban dan orang-orang terus<br />
berdatangan, untuk menyumbangkan darah, memberikan<br />
bantuan uang, atau sekadar menunjukkan rasa simpati.<br />
Persediaan darah di palang merah kosong. Hingga tengah<br />
malam, dokter dan paramedis masih melakukan operasi<br />
mengeluarkan butir-butir peluru dari tubuh korban yang<br />
kritis.<br />
<br />
Orang-orang di Lhokseumawe terus menunggu perkembangan<br />
berita. Mereka menunggunya di televisi dan radio.<br />
Berita pertama muncul di acara Seputar Indonesia RCTI<br />
pukul 18.30. Peristiwa itu muncul sebagai headline.<br />
Redaksi RCTI melakukan telewicara dengan Komandan<br />
Korem 011/Lilawangsa Kolonel Jhonny Wahab dan juga<br />
laporan telepon dari Imam Wahyudi langsung dari<br />
Lhokseumawe. Sampai di situ para petinggi militer di<br />
Lhokseumawe belum mengetahui bahwa ada wartawan RCTI<br />
jadi saksi mata peristiwa itu.<br />
<br />
Malam itu banyak orang di Lhokseumawe menonton siaran<br />
RCTI. Mereka kembali mendengar berita tentang<br />
penembakan orang-orang di Simpang Kraft. Pukul 21.00<br />
RCTI dan semua stasiun televisi merelai siaran Dunia<br />
Dalam Berita milik TVRI. Isi berita itu ditekankan<br />
pada pernyataan resmi militer Indonesia. Juru bicara<br />
militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan<br />
tentara terpaksa menembak karena massa hendak<br />
menyerang markas Arhanud Rudal, sehingga mereka<br />
bentrok dengan tentara yang berjaga.<br />
<br />
Orang-orang yang menonton berita itu melalui RCTI<br />
marah. Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita<br />
bohong. Tak ada satu pun orang yang menyerang Arhanud<br />
Rudal. Mereka tidak mengerti, kalau sebenarnya itu<br />
berita TVRI.<br />
<br />
Kegusaran orang itu tidak diketahui Imam, Umar dan<br />
Fipin. Malam itu, mereka sedang menikmati ikan<br />
panggang di pantai Ujung Blang.<br />
<br />
Pukul 22.00 kaset rekaman yang berharga itu dikirim<br />
melalui bus ke Medan untuk dikargokan dengan pesawat<br />
ke Jakarta. Imam menitipkan kaset yang direkam Fipin.<br />
Ada tiga kaset dengan alamat yang berbeda yang dikirim<br />
Umar. Satu untuk RCTI, satu untuk Associated Press dan<br />
satu untuk Reuters. Umar menggandakan rekaman milik<br />
Ali untuk dikirimnya ke dua kantor berita<br />
internasional. Ali sempat protes.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
SELASA 4 Mei 1999 pukul 06.00 berita Nuansa Pagi RCTI<br />
kembali menyiarkan laporan langsung Imam dari<br />
Lhokseumawe. Wawancara telepon dengan Kolonel Jhonny<br />
Wahab juga dimunculkan. Jhonny Wahab mengatakan<br />
tentara bertindak sesuai prosedur dalam peristiwa<br />
Simpang Kraft siang kemarin.<br />
<br />
Umar tergopoh-gopoh datang bersama Ali ke hotel. Dia<br />
mengabarkan kepada Imam dan Fipin, bahwa orang-orang<br />
di Lhokseumawe marah pada RCTI karena pemberitaan<br />
semalam.<br />
<br />
Ketika mereka berada di rumah sakit Cut Mutia semua<br />
itu jadi jelas. Imam merasa dr. Mulya Hasjmy, pemimpin<br />
rumah sakit, tak bebas bicara ketika Imam<br />
mewawancarainya. Ada yang mengikuti mereka sejak di<br />
rumah sakit. Seorang pemuda bertopi taliban.<br />
<br />
Pemuda itu terus mengekor keempat wartawan itu. Di<br />
pelataran rumah sakit, Imam dicerca seorang aktivis<br />
mahasiswi yang membuka pos kemanusiaan.<br />
<br />
"RCTI pembohong," tuding gadis berjilbab itu.<br />
<br />
Orang-orang mulai mengerubungi Imam. Imam seperti<br />
dikeroyok, oleh si gadis, pemuda bertopi taliban, dan<br />
seorang bapak. Umar, Raban, dan Fipin berdiri memisah,<br />
menonton Imam yang mulai dikecam dengan berbagai<br />
tudingan.<br />
<br />
"RCTI pembohong," kata bapak itu.<br />
<br />
"Itu bukan kami, itu TVRI," kata Imam.<br />
<br />
"Kalau begitu saya mau diwawancara."<br />
<br />
"Wawancara soal apa?" tanya Imam.<br />
<br />
"Soal Simpang Kraft."<br />
<br />
"Kemarin Bapak di mana? Saya ada di sana. Tidak perlu<br />
mewawancarai Bapak. Saya tahu kejadiannya."<br />
<br />
"Ya, tapi berita RCTI itu bohong."<br />
<br />
"Itu bukan berita kami. Berita kami menyebutkan berapa<br />
korbannya. Saya punya data dari rumah sakit," sahut<br />
Imam.<br />
<br />
"Kalau begitu saya mau diwawancara soal Aceh," bapak<br />
itu masih berkeras juga.<br />
<br />
"Kalau soal Aceh, kalau saya wawancara bapak, saya<br />
punya kewajiban untuk mewawancarai pihak lain yang<br />
menjadi lawan bapak. Mungkin ini militer," kata Imam<br />
lagi.<br />
<br />
"Ya, tapi RCTI ....."<br />
<br />
Imam cepat memotong, "Begini Pak. Saya menghadapi<br />
situasi seperti ini bukan yang pertama. Sebelumnya<br />
saya sudah mengalami kejadian serupa, termasuk di<br />
Timor Timur. Bapak tahu Timor Timur? Di sana orangnya<br />
Kristen. Tapi di sana saya memberitakan apa adanya.<br />
Kemudian saya menjadi tidak disukai oleh kalangan<br />
militer, saya tempuh risiko itu. Itu orang Kristen,<br />
Pak. Ini Aceh, Islam. Saya Islam."<br />
<br />
"Ya tapi kan berita itu bohong. Tidak perlu takut."<br />
<br />
"Pak, saya kasih tahu. Bahwa wartawan itu harus<br />
berpijak pada kebenaran, pada apa yang terjadi. Apa<br />
yang terjadi itulah kebenaran. Dan bagi saya<br />
menyuarakan kebenaran itu jihad," Imam berkata sambil<br />
mendorong telunjuknya ke dada bapak itu. Orang-orang<br />
yang semula mencecar Imam terdiam.<br />
<br />
Kebanyakan keluarga korban yang memenuhi rumah sakit<br />
bereaksi keras terhadap media. Tidak hanya televisi<br />
tapi juga koran yang terbit pagi itu. Mereka protes<br />
karena menganggap jumlah korban lebih banyak dari yang<br />
diberitakan media. Tak semua korban tewas dibawa ke<br />
rumah sakit. Beberapa anggota keluarga yang tewas ada<br />
yang membawa pulang langsung mayat karena ketakutan.<br />
<br />
Jumlah korban masih simpang siur. Berbagai versi<br />
berkembang, baik di Simpang Kraft, maupun di rumah<br />
sakit. Bahkan para mahasiswa yang membuka pos<br />
kemanusiaan, mengklaim jumlah yang tewas sampai<br />
seratus orang. Tapi data lengkap dari tim pencari<br />
fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan<br />
sepuluh orang hilang.<br />
<br />
Sempat muncul rasa tidak senang terhadap wartawan,<br />
sehingga siapa pun wartawan yang datang ke rumah<br />
sakit, diperiksa identitasnya dengan ketat. Sejumlah<br />
wartawan dari Jakarta, sudah berdatangan ke<br />
Lhokseumawe untuk meliput peristiwa penembakan Simpang<br />
Kraft. Umar sempat berdebat dengan beberapa orang yang<br />
mencurigai seorang wartawan radio lokal. "Itu wartawan<br />
juga. Saya kenal mereka," katanya.<br />
<br />
Azhari dan seorang temannya yang juga wartawan lokal,<br />
baru sampai di ruang gawat darurat dan sedang mencatat<br />
data korban, saat dua pria menghampirinya. Salah<br />
satunya, seorang pria bertubuh tinggi, berkulit hitam<br />
dan memakai jaket panjang hingga ke mata kaki. Dia<br />
mengintrograsi Azhari. "Dari mana?"<br />
<br />
"Wartawan Antara."<br />
<br />
"Coba tulis sedikit," dia menyodorkan kertas ke<br />
Azhari.<br />
<br />
"Abang dari mana kok tanya identitas saya?" Azhari<br />
mengira orang itu intel polisi.<br />
<br />
"Saya dari Angkatan Aceh Merdeka," lelaki itu menyibak<br />
belahan jaketnya. Tampak senjata laras panjang jenis<br />
AK 47 yang gagangnya terlipat.<br />
<br />
Azhari sempat terpelongo karena baru kali itu dia<br />
melihat ada orang dari Aceh Merdeka. Azhari merasa<br />
perlu bicara baik-baik dengan mereka. Di koridor rumah<br />
sakit belasan laki-laki lainnya datang mendekat. Pria<br />
dari Aceh Merdeka itu marah. "Wartawan kenapa buat<br />
berita begini. Orang yang mati banyak sekali, kenapa<br />
ditulis cuma 20?"<br />
<br />
"Begini, Teungku. Jangan salahkan wartawan, data ini<br />
dari rumah sakit."<br />
<br />
"Enggak, korban banyak lebih dari 40 orang."<br />
<br />
"Oke, sekarang kita buat perjanjian. Kami menulis apa<br />
adanya. Sebab seandainya kami menulis lebih, orang<br />
bisa menuntut kami. Kami enggak punya apa-apa. Gaji<br />
kami tak seberapa. Kami hanya mengabdi untuk<br />
masyarakat," Azhari melawan argumentasi orang-orang<br />
itu.<br />
<br />
Umar sendiri panik ketika istrinya melaporkan sambil<br />
menangis bahwa ada beberapa orang yang terus menelepon<br />
ke rumah mereka sejak siang. Orang itu mengancam akan<br />
membakar rumah, karena Umar dianggap membuat berita<br />
bohong di RCTI. Umar resah dan dia sampai terpikir<br />
untuk membuat selebaran bahwa RCTI bukan TVRI.<br />
<br />
Rasa tidak aman setelah peristiwa itu dirasakan oleh<br />
keempat wartawan RCTI tersebut. Orang dari Korem<br />
Lilawangsa berkali-kali menelepon Umar, ingin bertemu<br />
Imam Wahyudi untuk minta rekaman gambar peristiwa.<br />
"Dia sudah pulang ke Jakarta dan terus ke Singapura<br />
untuk berlibur," Umar berbohong.<br />
<br />
Ray Wijaya, produser Seputar Indonesia di Jakarta<br />
berkali-kali mengingatkan Imam, "Kau harus segera<br />
pergi dari situ." Sore itu juga, Imam dan Fipin<br />
berangkat ke Banda Aceh dengan bus. Mereka berusaha<br />
menyamarkan atribut RCTI agar orang-orang tidak tahu<br />
keberadaan mereka.<br />
<br />
Di kantornya Azhari mulai menerima telepon-telepon<br />
misterius dengan nada mengancam dirinya. Tidak jelas<br />
siapa mereka. Azhari selalu berangkat tidur dengan<br />
rasa takut yang tinggi. Sehingga dia terpaksa minta<br />
seorang saudaranya menemaninya.<br />
<br />
Rabu, 5 Mei 1999, setelah mencapai Jakarta, gambar<br />
video penembakan orang-orang sipil di Simpang Kraft<br />
muncul di televisi-televisi nasional. Itu gambar Ali<br />
Raban yang disiarkan Reuters ke pelanggannya di<br />
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pemandangan saat<br />
ratusan orang berhamburan dengan panik saat tentara<br />
menembak sungguh membangkitkan emosi siapa saja yang<br />
menontonnya. Tragedi ini kemudian lebih dikenal<br />
sebagai Peristiwa Simpang Kraft.<br />
<br />
RCTI ketinggalan satu setengah jam dari berita pukul<br />
17.00 di Anteve yang menyiarkan gambar Reuters. Gambar<br />
Fipin Kurniawan naik pada siaran berita Seputar<br />
Indonesia pukul 18.30. Imam dan Fipin kecapekan di<br />
Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana sebuah drama<br />
berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari<br />
Aceh. Peristiwa Simpang Kraft sudah diberitakan.<br />
Sisanya sejarah.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Epilog<br />
<br />
Pascaperistiwa itu Imam Wahyudi mengalami trauma.<br />
Hampir setahun dia merasa dikejar-kejar bayangan<br />
orang-orang yang ditembak di depan matanya. Setiap<br />
datang ke Lhokseumawe, Imam menyempatkan diri datang<br />
ke Simpang Kraft. Di situ, dia bisa lama menghabiskan<br />
waktunya, duduk, berdiri, diam, seakan hendak<br />
mengulang kembali semua yang dilihat dan dirasakannya<br />
ketika peristiwa itu berlangsung.<br />
<br />
Imam tak pernah bisa menyembunyikan emosinya ketika<br />
menceritakan peristiwa penembakan itu kepada saya<br />
dalam dua kali pertemuan bersama Fipin Kurniawan di<br />
Jakarta pada November 2001. Saat saya menonton rekaman<br />
video Simpang Kraft, mulanya Imam menemani saya di<br />
ruang editing. Tapi ketika layar monitor mulai<br />
memperlihatkan gambar-gambar penembakan itu, Imam<br />
menghilang keluar ruangan tanpa saya ketahui.<br />
<br />
Fipin Kurniawan mendapat IJTI Award dari Ikatan<br />
Jurnalis Televisi Indonesia sebagai kamerawan terbaik<br />
pada 1999. Ali Raban kurang beruntung tak mendapatkan<br />
penghargaan walau Ali lebih berhasil merekam dalam<br />
adegan penembakan. Ali merasa kecewa.<br />
<br />
Ali Raban dan Umar HN telah pecah kongsi. Ali jadi<br />
kamerawan Metro TV Lhokseumawe. Umar jadi koresponden<br />
Lativi. Saya mewawancarai mereka secara terpisah di<br />
Lhokseumawe pada Desember 2001.<br />
<br />
Umar dan Ali Raban sering mengalami intimidasi bahkan<br />
kekerasan oleh aparat keamanan Indonesia ketika<br />
meliput di lapangan. Tak mudah jadi wartawan di Aceh.<br />
Sangat tidak mudah. Umar berkali-kali minta saya agar<br />
menulis cerita ini secara hati-hati. Dia dan<br />
keluarganya tak mau diteror lagi.<br />
<br />
Simpang Kraft masih seperti tiga tahun lalu. Bale-bale<br />
di sudut kiri simpang masih berdiri. Toko dan warung<br />
berdinding papan, yang berdiri di sepanjang kiri kanan<br />
simpang, masih membuka usahanya. Tanah kosong di<br />
samping warung belum berubah fungsi. Dulu di sana ada<br />
sebuah rumah panggung sederhana. Tapi sudah dibongkar<br />
si empunya rumah, setelah anak gadisnya turut tewas<br />
dalam penembakan. Gadis malang itu, baru pulang<br />
sekolah, dan hendak menukar baju di kamarnya, ketika<br />
mendadak peluru nyasar menembus dinding rumah dan<br />
menerjang tubuh si gadis.<br />
<br />
Pada suatu siang berudara mendung Januari lalu, saya<br />
duduk persis menghadap Simpang Kraft. Di bawah pohon<br />
rindang, saya bersama Muhajir, anak muda yang jadi<br />
pemandu saya. Mei berdarah itu Muhajir masih murid<br />
sekolah menengah. Dia baru pulang ujian ketika ikut<br />
membaur dengan ribuan orang di Simpang Kraft. Ketika<br />
tentara menembak, Muhajir tiarap bersama ribuan orang.<br />
Beberapa kawan baiknya tewas dan luka-luka. Muhajir<br />
yang menemani saya mewawancara orang-orang kampung dan<br />
beberapa korban yang dikenalnya.<br />
<br />
Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit<br />
dan komandan di institusi militer setempat<br />
dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit<br />
Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah<br />
baru. Orang-orang militer yang bertanggung jawab dalam<br />
peristiwa itu, entah di mana kini bertugas. Mereka tak<br />
tersentuh hukum. Tapi Sersan Dua Aditia juga tak<br />
ketahuan rimbanya. Dia dinyatakan hilang.<br />
<br />
Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan<br />
Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi<br />
massa. Tentara menembak karena ada tembakan yang<br />
ditujukan kepada mereka. Peristiwa itu bermula ketika<br />
muncul tembakan ke arah massa dari sebuah bukit kecil<br />
di kiri jalan. Akibatnya, sebagian massa lari ke arah<br />
aparat untuk mencari perlindungan. Suasana kacau dan<br />
memanas. Di tengah kerumunan massa yang mulai panik,<br />
tentara melihat ada orang yang membawa senjata AK 47,<br />
yang umum dipakai GAM. Orang ini melepaskan tembakan<br />
ke arah tentara.<br />
<br />
Karena diserang, tentara membalas tembakan yang<br />
ditujukan ke tengah massa. Maka terjadilah korban.<br />
Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai<br />
prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi<br />
massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal.<br />
Berbahaya jika terjadi penyerangan karena markas itu<br />
menyimpan senjata berat dan amunisi termasuk peluru<br />
kendali. Jika meledak, akan terjadi bencana besar yang<br />
memakan korban dalam radius lima kilometer dari<br />
markas.<br />
<br />
Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin, saya jumpai<br />
seminggu sebelum keberangkatannya ke tanah suci Mekkah<br />
untuk menunaikan ibadah haji. "Tembakan pertama itu<br />
datang dari pasukan Arhanud Rudal yang berdiri dekat<br />
pohon asam. Mungkin mereka panik karena dilempari batu<br />
oleh massa," kata Marzuki. Marzuki selamat, karena dia<br />
berlindung di balik sebuah pohon. Pohon itu berlubang<br />
sembilan dihantam peluru tentara.<br />
<br />
Marzuki bertemu Faisal, si koordinator lapangan, di<br />
ruang gawat darurat rumah sakit PT Arun LNG. Mereka<br />
sama-sama dalam pengobatan. Faisal tertembak kakinya.<br />
"Di situ Faisal memperlihatkan pada saya segenggam<br />
peluru yang ternyata disimpan dalam kantong jaketnya,"<br />
kata Marzuki. Kepada Marzuki, Faisal mengaku dari<br />
Gerakan Aceh Merdeka. Faisal menghilang dari rumah<br />
sakit sebelum orang-orang mendatanya. Selang beberapa<br />
bulan, Faisal menemui Marzuki di kantornya. Faisal<br />
minta maaf kepada Marzuki. Sejak itu Marzuki tak<br />
pernah lagi melihat Faisal.<br />
<br />
Kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam oleh<br />
berbagai kasus kekerasan lain yang terus bermunculan<br />
di Aceh selama tiga tahun terakhir. Kasus pembantaian<br />
itu rupanya bukan akhir dari cerita sedih yang menimpa<br />
orang Aceh. Tak lama, giliran Teungku Bantaqiah,<br />
seorang ulama di Beutong Ateuh, sebuah wilayah<br />
pegunungan terpencil di Aceh Barat, ditembak mati<br />
tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999.<br />
Walau banyak yang tak puas, 24 prajurit lapangan yang<br />
terlibat dalam kasus Bataqiah akhirnya dihukum.<br />
<br />
Hampir tiga tahun lebih para korban Peristiwa Simpang<br />
Kraft mencari keadilan. Koalisi NGO HAM Aceh adalah<br />
organisasi nonpemerintah di Banda Aceh yang selama ini<br />
berupaya melakukan advokasi terhadap para korban.<br />
Upaya hukum pertama dilakukan pada September 1999<br />
bersama Lembaga Studi Advokasi Masyarakat Jakarta.<br />
Mereka mendaftarkan gugatan perdata terhadap Presiden,<br />
Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Panglima Kodam Bukit<br />
Barisan, Komandan Korem Lilawangsa, dan Komandan Kodim<br />
Aceh Utara, dengan tuntutan Rp 83 miliar. Peradilan<br />
itu belum pernah berlangsung karena pengadilan Banda<br />
Aceh beralasan ketiadaan hakim setelah hampir seluruh<br />
perangkat hukum di Aceh lumpuh total.<br />
<br />
Sejak Januari 2002, sidang gugatan perdata Peristiwa<br />
Simpang Kraft berlangsung di pengadilan Jakarta Pusat.<br />
"Ini bukan masalah uang, tapi lebih dari upaya kita<br />
untuk memberikan keadilan untuk para korban. Tapi<br />
sayang, pemerintah tampaknya tidak serius menegakkan<br />
keadilan untuk rakyat Aceh," kata ketua Koalisi NGO<br />
HAM Aceh Maimul Fidar.<br />
<br />
"Sebenarnya para korban sudah pesimis untuk mencari<br />
keadilan. Selain itu mereka juga takut karena jika<br />
memberi kesaksian akan ada tekanan dari pihak-pihak<br />
yang terlibat dalam kasus itu," kata Maimul Fidar.<br />
<br />
Rasa curiga itulah yang saya tangkap pada seorang anak<br />
muda. Dia teman Muhajir. Kami menemuinya sedang duduk<br />
bersama sejumlah anak muda lain di sebuah warung rokok<br />
tak jauh dari Simpang Kraft. Kata Muhajir, anak muda<br />
itu ikut tertembak. Ajaib dia selamat, padahal<br />
sejumlah peluru bersarang di punggungnya. Tapi dia<br />
menolak bicara dengan saya. "Kami sudah terlalu banyak<br />
bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan<br />
wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak<br />
kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang<br />
Aceh."<br />
<br />
Saya terpaku dan tak banyak berkata. Saya bahkan tak<br />
sempat menanyakan namanya, karena secara halus dia<br />
mengusir saya pergi. ***Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4703257070236639648.post-81746864966641275042011-02-07T03:25:00.000-08:002011-02-07T03:25:34.534-08:00Andreas Harsono Luncurkan Buku Jurnalisme<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-XGwmzHNV3qxtSjSeAFRt2LrpilQx7k7PAKMxMk0DoohWV_-vGAgq3upyNGtawEX1ypdHxGSFpivYl6zmYuBthrpsmjf3mBzuZBZg5oabvI18ULyondVnttpTGlL9Yrtqu0s3QDIIqBlb/s1600/adreas.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-XGwmzHNV3qxtSjSeAFRt2LrpilQx7k7PAKMxMk0DoohWV_-vGAgq3upyNGtawEX1ypdHxGSFpivYl6zmYuBthrpsmjf3mBzuZBZg5oabvI18ULyondVnttpTGlL9Yrtqu0s3QDIIqBlb/s1600/adreas.jpg" /></a></div><span class="post-content" style="margin-top: 20px;">Praktisi pers Andreas Harsono meluncurkan buku yang berjudul "Agama Saya Adalah Jurnalisme" yang berisi 34 dari 200 naskah yang disusunnya sepanjang 1999-2010 di Pekanbaru, Minggu siang.<br />
<br />
Peluncuran buku ini ditandai dengan penandatanganan sampul buku tersebut dan diiringi dengan teaterikal yang memaparkan pentingnya keberadaaan jurnalisme dalam kehidupan berdemokrasi.<br />
<br />
Andreas sesaat usai peluncuran menjelaskan mengapa buku tersebut berjudul Agama Saya Adalah Jurnalisme. Ia mengaku bosan selalu ditanya mengenai agama yang dianutnya, ketika ia dipaksa oleh seorang rekan dalam suatu wawancara, akhirnya ia menjawab bahwa agamanya adalah jurnalisme.<br />
<br />
Menurutnya, jurnalisme sangat bermanfaat bagi orang banyak terutama jika jurnalisme tersebut benar-benar bermutu.<br />
<br />
"Jadi pemilihan judul ini bukan mencari sensasi melainkan sesuatu yang biasa-biasa saja," tukas penulis yang terkenal dengan buku Jurnalisme Sastrawi yang ditulis dengan beberapa rekan-rekannya.<br />
<br />
Dikatakan, seperti halnya agama, jurnalisme juga mempunyai "nabi" , yakni Bill Kovach, wartawan asal Amerika yang nyaris tanpa cacat. Andreas menyebut sekitar 47 nama Bill Kovach hanya dalam 30 halaman bukunya.<br />
<br />
"Buku ini juga menjawab beberapa pertanyaan yang sering kali muncul dalam kepala wartawan, mulai dari amplop hingga kepentingan bisnis perusahaan," ujar Andreas tentang bukunya setebal 268 halaman tersebut.<br />
<br />
Ia menyebut buku tersebut sebagai "buku-bukuan", karena bukan menyajikannya secara utuh, melainkan antologi. Proses pembuatan naskah ini juga dilakukan di berbagai tempat seperti Jakarta, Banda Aceh, Cambridge, Ende, London, Yogyakarta, Merauke, Pontianak, Semarang, Singapura dan sebagainya.<br />
<br />
"Selain itu mengapa saya memilih meluncurkan di Pekanbaru, karena saya kaget di Sumatera ternyata ada gedung perpustakaan yang megah dan sayangnya belum terlalu ramai. Akhirnya setelah berbincang dengan adik-adik di Bahana Mahasiswa, diputuskan untuk meluncurkan buku di sini. Tujuannya, untuk membikin ramai gedung perpustakaan ini,"kata dia.<br />
<br />
Buku yang diterbitkan Kanisius Yogyakarta pada akhir 2010 ini mendapat ranking bintang tiga setengah di situs http://www.goodreads.com. <br />
<br />
Salah seorang pengunjung laman tersebut, Homer Harianja, menyebutkan jika buku tersebut bak surat-surat Paulus kepada jemaatnya untuk mengajar, membangun dan lalu membentuk pribadi yang militan.<br />
<br />
"Mengacu kepada Sembilan Elemen Jurnalismenya Bill Kovach, Andreas Harsono menjalankan fungsi kerasulannya itu," tulisnya dalam situs tersebut.(*) </span>Belajar Jurnalistikhttp://www.blogger.com/profile/07633004764049574070noreply@blogger.com0