Kamis, 10 Februari 2011

Burung Beo


Burung beo itu diajari tuannya. “Selamat pagi, tuan!” kata tuannya. Burung beo itu mengikuti. “Selamat pagi, tuan.”
Begitulah setiap pagi, si burung beo mengatakan hal yang sama. Siapa saja yang datang, dia mengatakan “selamat pagi, tuan.” Tak perduli pada waktu malam, sore, siang,.... Burung beo itu selalu bilang “selamat pagi, tuan.”
Suatu hari seorang tamu yang datang pada malam hari, protes kepada si tuan burung beo. “Kenapa, bro? Kenapa setiap kali saya datang, burung beo itu selalu bilang selamat pagi, tuan. Padahal, saya datang malam hari.”
Si tuan burung beo tergelak. “Itulah burung beo.”
“Berarti dikau harus mengajarinya kembali, bro.”
“Percuma. Kalau saya ajari dia mengatakan ‘selamat malam, tuan’, dia pasti bisa.”
“Berarti tidak percuma.”
“Dia akan mengatakan ‘selamat malam, tuan’ pada pagi hari.”
“Ajari dia soal waktu, bro,” kata tamunya.
“Bukankah sebaiknya saya taruh jam di dalam sangkarnya. Jadi dia bisa bilang ‘selamat pagi, tuan’ kalau jarum jam menunjukkan pagi hari. Begitu sebaliknya.”
Si tamu tertawa. “Semakin ngawur dikau, bro.”
“Dikau juga, bro, terlalu memaksakan diri. Burung beo itu tidak akan pernah ngerti soal waktu. Karena bukan waktu yang menjadi esensi persoalannya.”
“Lantas apa?”
“Kebeoannya. Saya menyukai kebeoannya. Burung itu seperti anak buah saya. Setiap kali saya suruh ini, dia pasti mengerjakan ini. Dia tidak pernah mengerjakan itu.”
“Itu namanya patuh perintah atasan.”
“Itu namanya nurut perintah atasan, bukan patuh. Pasti di dalam hatinya dia bilang, alangkah tololnya atasan saya ini. Tapi, dia tidak pernah berani mengatakannya secara lugas.”
“Kenapa?”
“Itu pertanyaan saya. Saya sengaja menyuruhnya mengerjakan ini meskipun saya tahu tidak logis, tetapi saya tahu dia akan mengerjakannya.”
“Dikau juga salah, bro.”
“Atasan tidak pernah salah, bro.”
“Dikau terlalu egois, bro.”
“Saya kan yang punya modal. Saya kan penguasa. Saya boleh saja menguji orang yang saya gaji. Kalau saya suruh hal yang tak logis ternyata anak buah saya melakukannya meskipun hasilnya buruk, saya kan bisa menyimpulkan bahwa dia tidak jauh berbeda dengan burung beo.”
“Kenapa burung beo itu tidak digaji saja, bro.”
“Rencananya bulan depan. Dia jauh lebih patuh ketimbang anak buah saya.”


Membawa Es Balok di Tangan


Tak elok betul elite negeri ini. Merencanakan program selalu dengan asumsi bahwa rakyat itu "sangat bodoh" dan kebodohannya membuatnya miskin. Maka dibuat program yang ada kata "gratis", "bantuan", "hibah", dan sejenisnya di dalamnya. Biar agak mirim World Bank, pakai kata "grand".

Program yang digagas Fraksi partai Golkar, yang disebut dana aspirasi, juga menganggap rakyat itu sangat bodoh. Dan saya tersentak ketika membaca sebuah tulisan intelektual Partai Golkar di Koran Tempo, yang mensejajaran Satgab bentukan Partai Golkar itu sebagai "upaya nasionalisme untuk memperkuat pemerintah" dan bukan intervensi parati politik ke dalam sistem pemerintahan negara.

Mungkin mereka berpikir, rakyat yang bodoh itu tidak bisa membedakan "intervensi" dan bukan intervensi. Dan kini, terbukti, intervensi Partai Golkar itu diawali dengan pengusulan dana aspirasi. Jelas, ini tak tahu diri, seolah negara reformasi ini masih saja negara orde baru. Negara lama, dimana Partai Golkar tegak serupa tiang agung yang tak bisa digoyahkan. Partai yang semua isi kepalanya merupakan isi kepala negara ini, tak boleh dibantah, tak boleh ditentang.

Mungkin benar prediksi banyak pengamat. Ada upaya menghidupkan Orde Baru dengan kemasan baru, dan kita bisa menyebutnya new-Orde Baru. Karena Orde Baru adalah isme, kekuasaan, kekekalan, keabadian, dan kebal hukum.

Sungguh tak tahu diri, memang. Partai yang bukan pemenang Pemilu 2009 itu, berperilaku sebagai pemenang sebenarnya. Tapi, mungkin juga betul. Lantas, kita sebut apa Partai Demokrat?

Satgab punya otak di kepala Partai Golkar. Dana aspirasi hasil olah otak partai itu. Seperti di zaman Orde Baru, dana aspirasi itu tak jauhy berbeda dengan Bantuan Desa (Bandes), yang diberikan untuk desa-desa tetapi dihabiskan para pejabatnya. Kita tahu, pejabat saat itu, pastilah memberi hormat yang luar biasa kepada Partai Golongan karya.

Membantu rakyat sebanyak Rp1 M per desa dari dana aspirasi itu adalah mengulangi kebodohan di masa lalu. Menambah daftar panjang dana rakyat yang habis dalam rumitnya birokrasi pemerintah.

Soal dana APBN/APBD, bisa diibaratkan seperti seseorang membawa es balok di tangan. Semakin jauh es itu dibawa, akan semakin mengecil balok es itu.

Apakah kita akan membiarkannya? Betapa malang, sesungguhnya, mereka yang menganggap rakyat ini bodoh.


 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees