Kamis, 10 Februari 2011

Lafran Pane Tidak Dikenal di Kampung Sendiri


Setiap 25 Januari, sebuah organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akan mengenang satu orang: Prof.Drs.H.Lafran Pane. Dia pemrakarsa berdirinya HMI, organisasi yang banyak melahirkan sumber daya manusia (SDM) terbaik di negeri ini, juga punya andil besar terhadap lahirnya proklamasi.

Pada 25 Januari 1991, beliau meninggal dunia. Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, hal 502 menyebutkan: Lafran Pane sebagai generasi ketiga inteligensia muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim,dll), generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an).

Meskipun Lafran Pane menyejarah, tetapi di kampung kelahirannya, di Desa Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, nama itu hampir tidak pernah disebutkan dalam berbagai kegiatan. Tapi, bukan cuma Lafran Pane, juga semua anggota keluarga besar Sutan Pangurabaan Pane.

Setiap orang di Kota Sipirok paham kalau Pane berasal dari Desa Pangurabaan. Masyarakat marga Pane konon berasal dari Utara, merantau ke wilah Selatan melalui jalur sungai Bila (Aek Bila) di Kecamatan Biru. Dari daerah itu, leluhur marga Pane kemudian menetap di Kecamatan Arse, lantas menyebar ke wilayah Kecamatan Sipirok, tinggal dan beranak-pinak di Desa Pangurabaan.

Awalnya, Desa Pangurabaan dominan dihuni masyarakat bermarga Pane. Dalam perkembangan kemudian terjadi asimilasi budaya akibat perkawinan dan arus pendatang, Desa Pangurabaan tidak identik lagi dengan marga Pane.

Desa ini dibelah dua jalur Jalan Lintas Sumatra, sekitar 5 km dari ibu kota Sipirok, Kelurahan Pasar Sipirok, ke arah Utara. Bertetangga dengan Desa Bagas Nagodang, sebuah desa yang merupakan salah satu desa pertama di Kecamatan Sipirok. Kehadiran masyarakat marga Pane di Kecamatan Sipirok erat kaitannya dengan tradisi persaudaraan yang dibangun dengan masyarakat marga Siregar, yakni masyarakat yang dominan menghuni Desa Bagas Na Godang.

Di pinggir jalan, di salah satu rumah tua bercata hijau yang kurang terawat, di sanalah Lafran Pane lahir. Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, seorang budayawan, sastrawan, wartawan, intelektual, dan tokoh pergerakan terkenal dari Partai Indonesia (PARTINDO) di Sumatera Utara. Dari tangan Sutan Pangurabaan Pane telah lahir banyak buku berupa novel yang ditulis dalam bahasa Batak dari lingkungan masyarakat beradat Angkola--yakni masyarakat Batak yang tinggal di Kecamatan Sipirok.

Salah satunya karya Sutan Pangurabaan Pane adalah Tolbok Haleon (Hati yang Kemarau) diterbitkan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah 1982 dalam katagori naskah kuno. Naskah novel ini pertama kali terbit 1933 di Medan, dan sampai tahun 1980-an masih dipakai sebagai bacaan di sekolah. Tolbok Haleon berkisah tentang kehidupan Lilian Lolosan dan Sitti Bajani pada masa kolonial di Tapanuli Selatan. Novel ini terbit Sutan Pangurabaan Pane tidak berbicara tentang kawin paksa dan pertentangan adat seperti kebanyak novel yang muncul saat itu. Dia bercerita tentang nasib cinta tokohnya yang mesti mengungsi akibat peperangan melawan Belanda.

Lafran Pane adalah anak keenam Sutan Pangurabaan Pane. Di tangan Sutan Pangurabaan Pane yang bervisi jauh ke depan dan sudah membayangkan masa depan sebuah negeri yang merdeka, anak-anaknya dididik menjadi generasi muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi tokoh nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan sejarawan nasional), dan juga Lafran Pane.

Tapi keluarga para tokoh nasional ini tidak begitu dikenal di kampungnya, di Desa Pangurabaan. Tidak banyak yang tahu kalau Sutan Pangurabaan Pane pernah hidup di antara mereka sebagai figur ayah yang keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil sebagai tokoh nasional.

Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923. Sebelum masuk Sekolah Tinggi Islam (STI) latar belakang pendidikan yang utama dari Lafran Pane adalah Pesantren, HIS, MULO, dan AMS Muhammadiyah. Dia juga pernah belajar di sekolah-sekolah nasionalis, seperti Taman Aksara di Sipirok dan Taman Siswa di Medan (Agussalim Sitompul 1976).

Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (HESP). Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu 26 Januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran Pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.

Mengenai Lafran Pane, Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :“ Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.

Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam. HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi fondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.

Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya.

Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.

Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan.

Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W.

Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).

Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Lafran sendiri meyakini bahwa agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan Islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.

Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, pada pidato pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), Kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:

“Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) Negara “. (hal.6)

Dari sepak terjang Lafran Pane dan sumbangannya yang luar biasa terhadap negara, sangat layak putra daerah dari Kecamatan Sipirok ini menjadi PAHLAWAN NASIONAL.


Di Entikong, Kaki Kanan di Malaysia, Sebelah Lagi di Indonesia


Nurhayati tersenyum. Kaki kanan perempuan berusia 58 tahun itu menjejak di Serawak, Malaysia, sedang kaki lainnya berada di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, Indonesia. Sementara laki-laki berseragam militer berusaha mencegatnya.

Pertengahan Juli 2008 lalu, Nurhayati tiba di perbatasan Indonesia-Malaysia atau Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Pos itu berada di Dusun Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Entikong berjarak sekitar 312, 4 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, ke arah timur.

Ia tidak sedang berniat mau ke Malaysia. Bersama seluruh anggota keluarga, ia hanya menghabiskan waktu selama mengunjungi famili di Sanggau. Kebetulan familinya menawarkan jalan-jalan ke Entikong, sebuah kawasan yang juga sering dijadikan objek wisata di daerah itu. Karena belum pernah ke Entikong, dan didorong rasa ingin tahu tentang daerah perbatasan, ajakan itu tidak ditolaknya.

Mengendarai mobil dari Sanggau, layaknya sedang berwisata, tawa mereka pecah. Keluarga Nurhayati—suami, enam anak, dan dua cucu ditambah seorang menantunya--memang membutuhkan wisata.

Kesibukan sehari-hari di tempat tinggalnya, di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara, membuat ia tak pernah memikirkan liburan. Untung ada kesempatan dari anak ke-5, Muhammad Yunus, yang berniat menikahi seorang gadis asal Sanggau, Diana. Usai acara pernikahan dengan tata cara adat khas Melayu Sanggau, ditutup dengan kegiatan berwisata.

***

Bayangan tentang Entikong, yang diceritakan famili barunya (besan), berlintasan. Sebuah tempat yang akan menjadi sangat menyenangkan.

Entikong merupakan satu dari beberapa tempat di Kalimantan Barat yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Entikong di Kabupaten Sanggau. Nanga Badau di Kabuapaten Kapuas Hulu. Paloh dan Aruk di Kabupaten Sambas. Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang. Dan, Senaning di Kabupaten Sintang.

Hanya di Entikong terdapat PPLB. Lainnya masih belum dibuka, dan masih berupa Pos Lintas Batas (PLB). Pembukaan masalah lintas batas, harus ada kesepakatan dari kedua belah negara berdaulat.

Entikong tak pernah sepi. Di daerah perbatasan ini, segala sesuatu menggeliat. Orang-orang selalu datang, mengendarai angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Mobil-mobil keluar dan masuk kawasan, tapi hanya sebatas tempat parker yang terlihat seperti terminal.

“Tempat ini memang berfungsi sebagai terminal angkutan umum. Angkutan trayek Entikong-Sanggau berhenti di sini,” kata Marzuki, petugas parker.

Ia tinggal di Desa Entikong itu bersama istrinya, Hanna, yang membuka salah satu warung makan di kawasan tersebut. “Dua puluh empat jam. Tempat ini selalu ramai,” katanya.

Sekitar setengah kilometer sebelum mobil yang dikendarai Nurhayati memasuki kawasan PPLB, mulai terasa aroma perbatasan. Entikong terlihat berbeda dengan kebanyakan perkampungan yang telah dilewati. Ia seperti sebuah kota yang baru tumbuh dengan infrastruktur jalan yang jauh lebih mulus.

Segala fasilitas bisa ditemukan. Ruko-ruko yang menyajikan berbagai jenis barang belanjaan, gedung imigrasi yang mentereng, dan pos-pos polisi. Semua terlihat masih baru. Beberapa bangunan baru sedang diselesaikan para pekerja. Daerah ini, Kecamatan Entikong, jadi tampak seperti make up.

Mereka yang datang dari Malaysia, yang melintasi PPLB, segera akan berada di Kecamatan Entikong dan melihat sebuah kota yang baru tumbuh. Mana kala mereka mulai melewati pusat kota, akan membentang potret yang bertolak-belakang. Kemiskinan penduduk disembunyikan di balik bangunan-bangunan mentereng di kawasan pertasan itu.

Mobil yang ditumpangi Nurhayati berhenti. Dengan gesit Nurhayati turun. Setelah berfoto beberapa kali jepret di tugu nama bertulis Entikong, ia mengajak suaminya, Rencong Hutasuhut, ke pos penjaga.

“Saya ingin menginjakkan kaki sebelah di Malaysia, sebelah lagi tetap di Indonesia,” kata Nurhayati.

Anak-anak dan cucu Nurhayati sibuk mengambil gambar. Mengabadikan keberadaan mereka di Entikong. Ada kegembiraan memancar. Ada tawa lepas. Semua yang tampak pada keluarga itu adalah kekhasan orang yang sedang berwisata.

Meskipun kebahagiaan itu hampir tidak ditemukan pada sebagian besar masyarakat Entikong. Karena beberapa orang yang ditemui mengaku, keberadaan PPBL di Entikong telah mengungkap potret ketimpangan perhatian pemerintah pusat dua negara berbeda. Di wilayah Malaysia, kawasan Serawak, geliat pembangunan melonjak drastic sejak pembukaan PPBL disepakati kedua negara. Sementara di wilayah Indonesia, nyaris tidak ada geliat ekonomi.

***

Pemerintah Malaysia menangkap potensi besar ekonomi dari pembukaan PPBL di Entikong. Kawasan Serawak, yang semula hanya daerah tempat tinggal, belakangan menggeliat menjadi salah satu kawasan industri di Malaysia. Perkembangan sector industri ini, yang cuma berjarah beberapa kilometer dari Indonesia, menjadi daya tarik baru bagi orang Indonesia untuk menguji peruntungan dan nasib sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).

Malaysia memang super ketat soal ini. Tapi, di Entikong, mereka bisa dengan mudah menyeberang ke Malaysia. Berbekal passport dari kantor imigrasi di daerah itu. Soal surat-surat dan dokumen pribadi, ada cerita yang sangat menarik.

Meskipun pemerintah pusat sudah memperketat kehadiran para calo, tetapi menjadi calo merupakan pilihyan utama bagi masyarakat Entikong. Hanya pekerjaan itu, yang cuma bermodalkan kemampuan merayu dan menyuap petugas—dan petugas memang menyukainya—seseorang akan mendapat keuntungan besar.

“Dalam sehari, paling sedikit 10 orang mengurus passport,” kata Firkah, seorang calo, yang sudah menekuni kariernya selama bertahun-tahun.

Banyak calon TKI yang ingin menyeberang ke Malaysia untuk memanfaatkan ruang-ruang kosong pada sector tenaga kerja (buruh) di sejumlah pabrik yang baru dibuka. Sektor tenaga kerja lapis bawah itu, biasanya membuka diri untuk tenaga-tenaga murah dari Entikong. Yang penting, mereka punya dokumen pribadi yang sah. Tanpa itu, mereka tak akan bisa melwati adangan para askar di perbatasan.

Kehadiran pabrik-pabrik baru di Serawak, bukan cuma membuat calon TKI tergiur. Tapi, juga membuat para pengusaha berbagai komoditas mentah mencium ada potensi ekonomi besar untuk memasok bahan baku. Para pengusaha dari Kalimantan Barat, kemudian mengupayakan pengiriman berbagai jenis bahan baku ke Serawak melalui PPBL.

Sebaliknya, para pengusaha di Serawak melihat potensi pasar yang besar di wilayah Kalimantan Barat. Melalui jalur PPBL, sering terlihat truk-truk bermuatan barang-barang produksi asal Serawak masuk ke Entikong. Kalimantan Barat pun berubah menjadi pasar potensial bagi Malaysia dengan produk yang sesungguhnya bisa diproduksi masyarakat Entikong. Sebut saja bidai atau tikar, juga sandal jepit.

Dua produk itu sangat diminati masyarakat Kalimantan Barat. Karena produk serupa dari Indonesia, harganya mahal. Sedang produk dari Malaysia, harganya murah dan meriah.

Tingginya perhatian Pemerintah Malaysia terhadap daerah perbatasan, berbanding terbalik dengan buruknya perhatian Pemerintah Indonesia. Sebagian masyarakat Entikong akhirnya lebih tertarik memasuki Malaysia, karena di sana mereka bisa menikmati apa yang tidak bisa mereka nikmati di Indonesia.

Dalam hal kemajuan teknologi komunikasi, misalnya. Teknologi itu tak tumbuh subur di sana. Masyarakat tidak bisa mengakses informasi dari TV, radio, koran Indonesia, tetapi mudah mengakses informasi dari Malaysia. Perhatian mereka selalu tertuju pada setiap informasi baru dari Malaysia seperti pembangunan kawasan industri baru di Serawak itu.

***

Nurhayati ngotot ketika petugas berseragam militer di pos jaga menghalangi niatnya menginjakkan kaki. Ia dan suaminya tidak hilang akal. Mengeluarkan kamera saku, suami Nurhanyati menyuruh istrinya mendekati pos jaga. Tiga aparat militer, yang masih muda usia, diminta ikut berpose.

“Ini kenang-kenangan bahwa saya pernah sampai ke Entikong,” kata Nurhayati.

Petugas itu tersenyum. “Tetap tidak boleh ibu ke sana. Ibu hanya boleh di garis netral ini.”

Nurhayati pun maju ke garis netral. Lalu memasukkan sebelah kakinya ke wilayah Malaysia, dan sebelah lagi tetap di Indonesia. Suaminya dengan gesit memotret, sementara aparat militer mencoba menghalangi.


Bumi Dipasena yang Merana


Awan bergelayut di langit. Cuaca berkabung. Masih siang, tetapi terasa malam sudah datang. Sunyi mendesak ke semua ruang di Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulangbawang.  Mendesak juga ke dalam dada semua orang.

Lihatlah Fendi (40), kehilangan gairah.  Rustam (45), Marwan (39), Yunus (38), dan 7.000 keluarga petambak di areal pertambakan yang kini dikelola PT Aruna Wijaya Sakti (AWS),  telah kehilangan semangat yang pernah memacu mereka membangun tambak udang terbesar di kawasan Asia Tenggara itu. Wajah-wajah mereka terlipat dalam duka memikirkan kesulitan hidup yang mendera. Kesulitan yang sukar diatasi, karena tambak-tambak belum beroperasi.

Sejak Konsorsium Renaissance Capital (atau PT Recapital Advisors) dinyatakan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) sebagai pengambil alih asset  Grup Dipasena,  situasi di Bumi Dipasena tidak lebih baik. PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), anak perusahaan PT Central Proteinaprima, Tbk, yang ditunjuk sebagai pengelola menggantikan PT Dipasena Citra Darmaja, setali tiga uang dengan yang digantikan. Sejak 2005 hingga kini, perusahaan ini belum melakukan revitalisasi pengelolaan tambak udang sebagaimana disyaratkan pemerintah melalui PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada tahun 2007.

Tidak ada pekerjaan, tidak ada penghasilan. Petambak pusing tujuh keliling. Hidup harus terus berjalan, tetapi tambak udang yang diharapkan sebagai jalan, tidak kunjung direvitalisasi. “Kami butuh makan. Kami butuh hidup,” kata Purdianto, kepala Kampung Bumi Dipasena Agung.

Bertahun-tahun tidak punya pekerjaan, hanya berharap serupa pungguk merindu bulan, sebanyak 40,000 jiwa di Kecamatan Rawajitu Timur  hidup nelangsa. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk mendesak PT Aruna Wijaya Sakti agar mempercepat revitalisasi. Tidak cuma bicara langsung dengan direksi, petambak pun sudah menyampaikan keluhan ke DPR.  Tapi, karena mereka miskin, tidak ada yang mendengarkan.

Jangankan bersikap, DPR terkesan diam. Boro-boru mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membela. Gubernur Lampung Sjachroedin ZP malah lebih mengurusi masalah pembangunan megaproyek Jembatan Selat Sunda. Kemiskinan petambak, makin miskin karena tidak ada yang memperhatikan.

Fendi betul-betul hilang gairah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghidupi anak dan istri. Telah dicobanya hidup sebagai nelayan, tetapi hasil yang didapat tidak mencukupi. Rustam jadi petani sayur-mayur. Joko menanam jagung. Marwan setiap hari mencemplungkan joran di kanal.  Memang ada hasil, tetapi tidak seberapa. Hidup terus berlanjut dengan kemiskinan yang semakin parah.

“Sebagian petambak akhirnya mengelola sendiri tambak yang ada agar bisa bertahan hidup. Tapi, hasilnya tidak seberapa, padahal modalnya sangat besar,” kata Purdianto.


Dituduh Mencuri

Lantaran petambak mengelola areal tambak yang belum direvitalisasi, manajemen PT Aruna Wijaya Sakti merasa bahwa hasil tambak yang dikelola petani itu merupakan milik perusahaan dan harus dijual ke perusahaan. Tapi, petambak yang memodali sendiri pengelolaan tambak, merasa punya hak atas hasil budidayanya. Sebab itu, semua hasil panen udang itu dijual keluar lewat Agus Timbul.

Merasa udang-udang itu dibudidayakan di areal milik PT Aruna Wijaya Sakti, perusahaan itu mengadukan Agus Timbul ke Polsek Rawajitu. Laki-laki 40 tahun yang tinggal di Bumi Dipasena Agung Blok 5 Jalur 37 No. 8, Kecamatan Rawajitu Timur, itu sehari-hari bekerja sebagai penampung udang hasil budidaya petambak. Pekerjaan itu ia lakukan untuk membantu para petambak. Tetapi pada Selasa (31/8) malam, saat Agus Timbul hendak mengirim udang-udang hasil pengumpulannya, semua kerja Agus Timbul menjadi salah di mata hukum.

Aparat dari Polsek Rawajitu mengerubukinya, menangkapnya, dan menggiringnya ke bui. Agus Timbul dijadikan tersangka pencuri udang milik PT Aruna Wijaya Sakti.

Kabar penangkapan Agus Timbul cepat menyebar di Bumi Dipasena. Para petambak yang telah kehilangan gairah hidup akibat kegagalan PT Aruna Wijaya Sakti merevitalisasi tambak, mendadak merasa kehilangan segalanya. Satu-satunya sumber bagi mereka untuk tetap bisa bertahan hidup adalah Agus Timbul, tetapi polisi telah menangkap Agus Timbul seolah penjahat  kambuhan.

“Kami protes dan meminta polisi melepaskan Agus Timbul,” kata Syukri J. Bintoro, salah seorang pengurus Perhimpunan Petani Petambak Udang Windu (P3UW). “Bagaimana mungkin polisi menuduh Agus Timbul menadah udang hasil curian, sedangkan udang itu hasil budidaya para petambak anggota P3UW”.

Selain meminta polisi membebaskan Agus Timbul, P3UW juga meminta PT Aruna Wijaya Sakti mencabut tuduhan terhadap Agus Timbul. Sebab, Agus Timbul tidak pernah menadah udang milik perusahaan. Agus Timbul menampung udang hasil budidaya petambak yang dimodali dengan dana milik petambak. “Kami tidak pernah mengancam akan mengerahkan massa,” kata Syukri.

Polisi akhirnya membebaskan Agus Timbul, tetapi dengan catatan proses hokum tetap dilanjutkan. Meresa bahwa polisi tidak menyimak, mendadak seluruh petambak emosional. Hidup yang sudah tertekan, makin tertekan. Tidak ada yang memperhatikan, malah semua orang mendeskriditkan.

Rusuh Dipasena

Mendadak semua petambak berkumpul. Tidak ada komando. Fendi, Rustam, Marwan, Yunus, dan ratusan petambak seolah menemukan gairah kembali untuk hidup. Kabar tentang Agus Timbul memicu semangat baru. Semangat perlawanan, yang sempat redup selama beberapa tahu. Perlawanan yang berhasil ditenangkan sambil menunggu PT Aruna Wijaya Sakti menyelesaikan revitalisasi tambak.

Tapi malam itu, tak ada yang bisa meredakan. Massa berteriak-teriak. Bergerak serentak. Lalu, massa aksi agar Agus Timbul dibebaskan dari segala tuntutan hokum. Orasi memicu sumbu-sumbu kemarahan akibat terlalu lama dimiskinkan.  Massa makin garang. Mereka mulai merangsek merusak ruang Puskodal.

Tak cukup hanya itu, dari Puskodal, massa menuju Pos Tanggul Penangkis. Di sini, massa merobohkan pos. Tak puas, massa membakarnya. Ini pun tak cukup, massa lalu bergerak menuju Pos Cold Storage. Di tempat ini, massa merusak dua Pos Security dan Office Receiver. Massa juga merusak Kantor Operasional Transportasi Kanal T. Masih emosional, massa kemudian merusak Pos Mess Gajah (kaca dilempar hingga pecah), Pos Blok 3 (dirobohkan), dan Pos Alpha Blok 16 (dibakar).

Polisi Membela Diri

Kapolsek Rawajitu AKP Sulpandi menilai, persoalan sebetulnya persoalan pencuri udang milik PT Aruna Wijaya Sakti. Dalam catatan polisi, Agus Timbul telah dua kali tertangkap. Yang pertama sekitar bulan Maret dengan barang bukti (BB) 1 ton udang, dan yang kedua pada Agustus dengan BB sekitar 1,8 ton udang tersebut.

“Kami tetap memproses Agus Timbul,” kata Kapolsek.


Riwayat Pemburu Sedekah


Setiap sudut Kota Bandar Lampung kini dipenuhi para pemburu sedekah.  Di pasar, terminal, tempat jajanan buka puasa, jalan raya, masjid, sekolah, kantor pemerintah, kampus, kantor polisi, kantor pos, di tangga penyeberangan, dan bahkan di rumah-rumah penduduk.  Mereka muncul lengkap dengan segenap keluhannya, penderitaannya, dan rasa sakit yang membekas di wajahnya—entah benar atau tidak. Mereka bertampang memelas, kumal, dan selalu menadahkan tangan kepada siapa saja. Ada juga bertampang penipu, berpura-pura kehilangan sesuatu.

Dari sisi keimanan, tidak jadi soal apakah para pemburu sedekah itu kalangan yang pantas menerima sedekah atau tidak. Sebab, bersedekah tidak harus memilih-pilih. Jika memang ingin memberi, maka lakukanlah. Ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu mengetahuinya.

Tapi, dilihat dari perspektif pembangunan, kehadiran para pemburu sedekah ini seolah menegaskan betapa pertumbuhan Kota Bandar Lampung telah memiskinkan penduduknya. Mungkin saja memang benar jika kita melihat dinamika pembangunan di Kota Bandar Lampung. Perkembangan infrastruktur kota, misalnya, tak mampu menggenjot pertumbuhan investasi. Akibatnya, pertumbuhan dunia usaha sangat minim, dan kita kesulitan menemukan sector produksi di lingkungan masyarakat.

Kota Bandar Lampung kini menjelma sebagai kota konsumsi. Semua jenis barang konsumsi dapat dijumpai dengan mudah. Kehadiran minimarket di lingkungan rumah tangga yang menawarkan berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, punya andil tidak sedikit dalam mengubah perilaku ekonomi masyarakat. Belum lagi jika kita mengukur dari kehadiran sejumlah gerai telepon seluler, yang membuat masyarakat lebih mengutamakan membeli telepon seluler atau pulsa telepon seluler daripada memikirkan menabung untuk masa depannya.

Pertumbuhan ekonomi di Kota Bandar Lampung banyak ditopang oleh sector konsumsi. Kita paham, sebuah kota yang tak memproduksi tetapi banyak mengkonsumsi, cepat atau lambat akan berkembang menjadi kota yang memiskinkan warganya. Sebab, setiap warga akan mengutamakan konsumsi dan menjelma menjadi konsumtif atas segala sesuatunya. Kondisi ini membuat mereka abai terhadap produksi.

Tiap hari, ada saja warga yang Kota Bandar Lampung yang menjadi miskin karena lebih memilih menghabiskan apa yang ada daripada menghasilkan sesuatu. Ketika situasi ini terus berlanjut, bukan mustahil jika warga yang semakin miskin akan mencari alternative yang lebih mudah dan tanpa perlu mengeluarkan banyak modal.

Menjadi pemburu sedekah merupakan pilihan logis.

***

BEBERAPA hari lalu, Provinsi Lampung mendapat kabar gembira dari Departemen Sosial. Departemen itu mengalokasikan dana dekonsentrasi bidang social untuk masyarakat di provinsi ini. Dana yang tidak sedikit itu, sudah tentu bertujuan untuk mengatasi maslah-maslah kesejahteraan yang diderita masyarakat.

Dengan kata lain, Departemen Sosial mengucurkan dana dekonsentrasi untuk Provinsi Lampung karena menyakini bahwa data statistic tentang ketidaksejahteraan masyarakat di provinsi ini merupakan persoalan yang harus diselesaikan. Artinya, pemerintah pusat mengakui bahwa masyarakat di Provinsi Lampung masih banyak yang belum sejahtera hidupnya sehingga harus dibantu dengan mengalokasikan dana dekonsentrasi.

Sulit memang membantah hal itu  apalagi jika kita ajukan fakta tentang semakin banyaknya warga yang berubah menjadi pemburu sedekah. Barangkali bagi banyak kalangan kehadiran para pemburu sedekah berkaitan dengan watak masyarakat yang pemalas dan tidak mau bekerja keras, tetapi asumsi semacam itu tidak sepenuhnya benar. Sangat mungkin, mereka yang memilih menjadi pemburu sedekah merupakan entitas yang secara psikososial telah patah arang menghadapi realitas kehidupannya. Setelah bekerja keras dan berusaha sebagaimana layaknya, mereka tetap kesulitan mengatasi masalah-masalah kehidupan sehari-hari dan terus-menerus berada dalam tekanan ekonomi yang sangat keras.

Trauma psikososial mendorong masyarakat menjadi pemburuh sedekah. Pilihan ini berkorelasi  positif dengan watak warga Kota Bandar Lampung yang cenderung memiliki rasa prososial yang tinggi, yang sangat kuat menjaga nilai-nilai social yang berelasi dengan nilai-nilai agama. Artinya, memberikan sedekah bagi sebagaian warga Kota Bandar Lampung merupakan pengamalan dari ajaran-ajaran agama yang telah mendarah daging, selain juga sebagai wujud rasa social yang tinggi terhadap penderitaan sesamanya.

Memang, setiap pilihan yang dibuat warga Kota Bandar Lampung akan membawa dampak yang serius bagi segala realitas kehidupan masyarakat. Memberi sedekat kepada para pemburu sedekah dapat membawa dampak negative terhadap pembiasaan, pewajaran, dan melenakan. Para pemburu sedekah akan merasa jauh lebih nikmat menadahkan tangan ketimbang menggosokkan tangan dalam sebuah rutinitas kerja. Bahkan, tak jarang dari para pemburu rezeki yang merasa pilihan hidupnya juga merupakan profesi yang perlu ditekuni secara serius. Untuk itu, setiap pemburu sedekah harus membekali diri dengan kemampuan merangsang rasa prososial setiap orang yang ditemuinya.

***

KEHADIRAN para pemburu sedekah memang meresahkan banyak kalangan. Keluhan pun tidak sedikit disampaikan masyarakat. Apalagi akhir-akhir ini, terutama menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Di setiap sudut Kota Bandar Lampung, para pemburu sedekah tampil dengan daya juang yang sangat tangguh. Mereka memburu siapa saja yang diharapkan akan memberikan sekeping uang.

Tidak cuma orang catat yang selama ini menjadi pelaku utama pemburu sedekah. Banyak juga orang sehat, muda, segar, dan sesungguhnya memiliki cukup tenaga untuk menekuni bidang pekerjaan seperti pembantu rumah tangga atau tukang cuci. Tidak sedikit pula kaum pria yang sehat tetapi mengubah penampilannya menjadi sangat tidak sehat. Anak-anak pun acap menjadi pemburu sedekah, meskipun sebagian besar dari mereka bukanlah anak-anak yang dimanfaatkan orang lain.

Munculnya para pemburu sedekah adalah konsekuensi paling logis dari perkembangan Kota Bandar Lampung yang tidak mengindahkan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Di tangan pemerintah daerah, bisa dibilang Kota Bandar Lampung telah berkembang menjadi kota yang hanya berpihak kepada masyarakat yang secara ekonomi mampu untuk mengkonsumsi berbagai jenis barang dan jasa. Mereka yang tidak memiliki kemampuan sebagai konsumen,  akan tersingkir sebagai warga yang hanya bias meratapi realitas kesejahteraannya sambil berusaha menjadi pemburu sedekah dengan teknik dan cara yang lain.

Tidak sedikit dari pemburu sedekah di Kota Bandar Lampung yang kemudian memilih menjadi ahli dalam bidang membuat proposal permintaan dana yang diajukan ke pemerintah daerah. Proposal kegiatan yang sesungguhnya fiktif itu, entah kenapa banyak yang disetujui dan dananya dicairkan, meskipun kemudian terungkap bahwa proposal itu akal-akalan antara masyarakat dengan petugas dalam mengeruk dana APBD.

Sebab itulah, terhadap bantuan dana dekonsentrasi Departemen Sosial untuk Provinsi Lampung, ada baiknya Dinas Sosial Provinsi Lampung tidak lagi terjebak dalam korupsi. Sebaikn ya dana dekonsentrasi dari pusat itu dialokasikan sesuai peruntukan dengan orientasi bukan untuk memperkaya diri sendiri, melainkan mengubah pola piker masyarakat yang terlanjur patah arang menghadapi realitas kehidupan sehingga lebih memilih menjadi pemburu sedekah. ***


Di Ranau-Seminung, Mereka Butuh Disetrum


Kedatangan malam senantiasa disambut suara binatang di Kecamatan Lumbok-Seminung, Kabupaten Lampung Barat.  Bukan keriuhan yang terdengar, tetapi sayatan-sayatan sunyi yang memberkaskan kesenyapan. Dingin bangkit dari permukaan Danau Ranau, melangkah pelan dan  bersijingkat di atas rumput-rumput air, lalu menakik jalan menanjak menuju dinding-dinding rumah penduduk. Lewat celah-selah antarbilah papan yang menjadi dinding, angin masuk dan memaksa api lampu-lampu teplok menari-nari.

Azan Magrib baru lepas. Jalan-jalan di Kecamatan Lumbok-Seminung, terutama di sepanjang Danau Ranau, sudah sepi. Satu dua manusia terlihat bergegas menuju rumah masing-masing. Diburu oleh jadwal yang  sudah pasti: menyalakan lampu teplok agar gelap tidak memerangkap.Yang lainnya, terutama anak-anak, sudah lebih dahulu masuk rumah.

Mereka harus melakukan itu, karena di kecamatan yang baru dan merupakan pemekaran Kecamatan Sukau itu, listrik tak pernah sampai. Kalau pun ada bola lampu yang menyala, pijar itu dihela dari tenaga genset. Tidak semua penduduk punya dana untuk membeli genset, apalagi menyalakannya malam hari. Butuh sedikitnya Rp100.000 untuk membeli bensin sebagai bahan bakar jika genset hendak dinyalakan selama semalam.

Kecamatan itu pun berubah seperti kawasan yang lama mati. Tenggelam dalam kesenyapan dan kekelaman. Padahal, di sepanjang jalan menuju kecamatan itu, sudah berdiri tiang-tiang listrik sebanyak 150 unit. Tiang-tiang yang ditanam sepanjang jalan dan merupakan pilar penyanggah jaringan kabel listrik yang terpasang.

"Infrastruktur sudah ada, tapi belum ada setrumnya," kata Syarifuddin, warga setempat. "Entahlah, PLN tidak pernah mau menyetrum kami."

Hidup tanpa listrik, membuat pekon-pekon (sebutan desa adalah pekon) di Kecamatan Lumbok-Seminung bagai tenggelam dalam kemelaratan. Seolah mereka tidak mampu membayar setrum listrik. Padahal, hampir setyiap rumah di pekon-pekon itu, memiliki antena parabola yang mengarah ke langit. Antena-antena yang berjejaring ke pesawat-pesawat televisi, meskipun pesawat-pesawat televisi itu lebih sering mati daripada dinyalakan.

Mahmud pun tak habis pikir. Dua tahun lalu, ia bekerja menanam tiang-tiang listrik di pinggir jalan. Membangun jaringan kabel sebagai buruh dari pengusaha kontraktor listrik yang ditunjuk Pemda Lampung Barat, dan memasang trafo untuk menampung setrum. Dari segi infrastruktur, sesungguhnya sangat memadai. Tapi, dua tahun lalu, ketika PLN diminta menyetrum, badan usaha milik negara (BUMN) yang memonopoli urusan setrum-menyetrum di negeri ini, malah tak mau menyetrum.

Tiang-tiang listrik yang menjadi pilar jaringan kabel listrik, terlihat seperti hiasan saja. Tiang dan kabel tanpa setrum itu menjadi saksi betapa buruk komunikasi yang dijalin PLN dengan Pemda Lampung Barat. Soalnya, dana untuk membangun jaringan infrastruktur itu ternyata tidak dirogoh dari kocek PLN, tapi dikeruk dari APBD Pemda Lampung Barat.

Pemda Lampung Barat, lantaran sangat berharap semua warga di Kecamatan Lumbok-Seminung memiliki setrum untuk kebutuhan sehari-hari, membantu PLN dengan memasang jaringan infrastruktur. Tapi, niat baik Pemda Lampung Barat itu tidak ditanggapi PLN dengan mengalirkan setrum.

"Saya tak tahu kenapa PLN nggak mau," kata pengusaha kontraktor yang memsang jaringan infrastruktur itu. "Terakhir saya data, ribuan warga sudha mengajukan diri agar PLN menyetrum mereka," katanya.

Bagi PLN, keinginan warga itu tidak berarti. Aneh juga, perusahaan itu menolak warga yang ingin menjadi konsumen. ......


Indonesia tak Merdeka di Arab Saudi


Setiap hari, mereka harus mengatasi rasa takut dan rasa lapar yang datang selalu bersamaan, yang membuat hidup mereka jauh dari segala kemerdekaan untuk hidup. Mereka seolah-olah bukan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka. Nasib burung-burung merpati atau pepohonan di Tanah Harom jauh lebih dilindungi daripada nasib manusia yang berasal dari Indonesia dan hidup sebagai warga ilegal di Arab Saudi.

Seorang kawan baru--yang kemudian menjadi sangat dekat dengan saya--membantu saya bertamu ke rumah-rumah warga negara Indonesia yang menjadi ilegal di Tanah Harom. Mereka, sebagian besar para tenaga kerja Indonesia perempuan maupun laki-laki, awalnya datang ke Arab Saudi secara legal. Datang melalui perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang menjalin kerja sama pengiriman tenaga kerja dengan grup perusahaan Bin Laden, Bin Dawood, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan berskala internasional ini menguasai berbagai sektor usaha di Saudi Arabia, mulai dari perhotelan, konstruksi, super market, transportasi, dan lain sebagainya. Mereka dikirim ke Arab Saudi untuk dipekerjakan pada level-level paling bawah, mulai dari penjaga toko, tukang sapu, buruh kasar, sampai sopir.

Lowongan pekerjaan pada level paling rendah di Arab Saudi sangat melimpah, karena warga Arab Saudi sendiri tidak pernah bersedia bekerja pada level itu. Bangsa Arab Saudi, secara kultural, merupakan bangsa yang sangat bangga akan sejarah yang membangun bangsanya. Bangsa yang warganya memiliki standar sosial sangat tinggi sebagai kaum bangsawan meskipun perilaku sosialnya dalam banyak hal sangat tidak bangsawan. Salah satu contohnya, dialami rombongan jemaah haji kloter 19 JKG asal Lampung. Saat hendak menuju bandara di Jeddah, mendadak sebuah sedan berhenti di tengah jalan menghalangi bus para jemaah. Entah apa sebabnya, si sopir marah-marah kepada sopir bus karena mengaku mobilnya diserempet. Tapi, karena seluruh jemaah kloter 19 JKG keluar dari bus, si sopir ketakutan dan pergi.

Penilaian yang miring juga datang dari sebagian besar warga Indonesia yang saya kunjungi. Sebut saja warga Indonesia yang tinggal di Misfalah, beberapa ratus meter dari Tanah Harom. Di dalam apartemen yang ada di lereng bukit itu--saya mesti jalan kaki menanjak melewati tumpukan sampah dan aroma busuk untuk sampai ke apartemen--tinggal enam orang warga Indonesia yang bekerja sebagai pembantu di berbagai rumah majikan. Pemilik apartemen merupakan suami-istri asal Jawa Barat, sedangkan empat lagi merupakan pengontrak yang berasal dari Jawa Tengah dan Banten. Dua diantara empat warga Indonesia itu belum tiga bulan kabur dari majikan, dan kini hidup ilegal di Tanah Harom.

Salah seorang bernama Dewi. Usianya baru 20 tahun. Ia datang ke Tanah Harom melalui PJTKI yang ada di Jakarta untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Baru dua tahun bekerja, Dewi merasa hidupnya selalu terancam. Karena majikan perempuannya, seorang perempuan keturunan Syria, seorang pencemburu yang luar biasa. Ia selalu mencurigai Dewi, seolah-olah Dewi akan merebut suaminya yang asli orang Arab Saudi itu.

Suami majikannya, seorang polisi yang bertugas di Masjidil Harom, seorang laki-laki yang jarang berada di rumah karena waktunya banyak habis untuk bekerja. Dewi sendiri jarang berhubungan dengan suami majikannya, karena Dewi bekerja mengurus lima anak majikannya, selain mengurus semua keperluan rumah tangga--mulai dari memasak, mencuci, menyapu, sampai mengurus seorang kakek jompo yang merupakan ayah dari suami majikannya.

Semua urusan rumah tangga dikerjakan Dewi sendirian. Hal yang sesungguhnya tak bisa dikerjakan sendirian. Tapi Dewi tetap melakukannya meskipun tak pernah istirahat. Majikannya yang pencemburu, berkali-kali berusaha untuk menekannya, mengingatkannya agar jangan pernah melirik suaminya.  Peringatan itu disampaikan sambil mengancam akan menyiksa Dewi sehingga Dewi merasa sangat tertekan sampai akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari majikan. Resiko yang diterima Dewi kalau melarikan diri, ia menjadi warga illegal karena passpoort ditahan oleh majikan. Tapi, Dewi merasa menjadi lebih merdeka dan bisa menentukan nasibnya sendiri.

Ada ratusan komunitas warga Indonesia yang illegal di Tanah Harom. Setiap komunitas itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Mereka saling membantu mencarikan majikan baru untuk teman-temannya agar tetap bisa melanjutkan kehidupan. Meskipun begitu, mereka tetap dirundung was-was kalau-kalau ada razia. Karena itu, mereka akan sangat peka saat melihat polisi Arab Saudi. Mereka cepat mengenali polisi meskipun si polisi tidak berseragam polisi. Mereka tahu membedakan warga Arab Saudi yang polisi dan yang bukan polisi. Ketika melihat polisi, mereka akan cepat-cepat menghindar dengan tubuh yang gemetaran.

Hidup dalam ketakutan merupakan hidup yang tak memberi kebebasan. Mereka melakukan apa saja untuk tetap bertahan. Tidak sedikit yang kemudian bertindak nekat dengan memilih majikan yang suaminya bekerja sebagai polisi. Mereka punya prinsip, tempat paling aman di Arab Saudi adalah rumah para polisi. Sebab, polisi Arab Saudi yang ketahuan mempekerjakan warga illegal akan mendapat hukuman, sehingga si polisi akan berusaha menutupi kalau ia mempekerjakan warga ilegal. Polisi Arab Saudi suka mempekerjakan warga ilegal asal Indonesia, karena mereka menurut dan patuh.

Dari Misfalah, saya berkunjung ke rumah komunitas-komunitas Indonesia yang ada di Distrik Bahutmah, Nakasah, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara. Masing-masing punya riwayat pilu tentang hubungan yang tak harmonis dengan mantan majikan. Beberapa dari mereka pernah mendapat siksaan dari majikan.

Soal siksaan majikan, perkara yang selalu menghantui warga Indonesia di Arab Saudi. Jika seorang majikan sudah menyiksa, itu berarti neraka hidup sudah membentang. Upaya untuk mencari bantuan dari Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi acap berbalik. Tidak sedikit dari para pekerja Indonesia di Arab Saudi yang justru dipersalahkan, lalu diantar kembali ke majikannya jika mereka mengadu ke Kedutaan Besar di Arab Saudi.

Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi bukanlah tempat untuk mengadukan nasib dan masa depan. Tempat itu hanya bagian lain dari kerangkeng rumah majikan.

Seorang petugas di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi, yang bertemu dengan saya saat di Armina, mengatakan para tenaga kerja Indonesia tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Mereka sering kabur dari majikan karena alasan jatuh cinta dan untuk menikah. Kalau tetap di rumah majikan, mereka tidak diperbolehkan menikah. Makanya, mereka memilih kabur. Dengan menikah, mereka berharap mendapat izin tinggal.

Agak aneh juga kesimpulan itu. Sebab, banyak dari anggota komunitas warga Indonesia yang ilegal masih berstatus gadis. Tidak sedikit pula para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi sudah berstatus istri orang sejak dari Indonesia. *


 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees