Kamis, 10 Februari 2011

Indonesia tak Merdeka di Arab Saudi


Setiap hari, mereka harus mengatasi rasa takut dan rasa lapar yang datang selalu bersamaan, yang membuat hidup mereka jauh dari segala kemerdekaan untuk hidup. Mereka seolah-olah bukan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka. Nasib burung-burung merpati atau pepohonan di Tanah Harom jauh lebih dilindungi daripada nasib manusia yang berasal dari Indonesia dan hidup sebagai warga ilegal di Arab Saudi.

Seorang kawan baru--yang kemudian menjadi sangat dekat dengan saya--membantu saya bertamu ke rumah-rumah warga negara Indonesia yang menjadi ilegal di Tanah Harom. Mereka, sebagian besar para tenaga kerja Indonesia perempuan maupun laki-laki, awalnya datang ke Arab Saudi secara legal. Datang melalui perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang menjalin kerja sama pengiriman tenaga kerja dengan grup perusahaan Bin Laden, Bin Dawood, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan berskala internasional ini menguasai berbagai sektor usaha di Saudi Arabia, mulai dari perhotelan, konstruksi, super market, transportasi, dan lain sebagainya. Mereka dikirim ke Arab Saudi untuk dipekerjakan pada level-level paling bawah, mulai dari penjaga toko, tukang sapu, buruh kasar, sampai sopir.

Lowongan pekerjaan pada level paling rendah di Arab Saudi sangat melimpah, karena warga Arab Saudi sendiri tidak pernah bersedia bekerja pada level itu. Bangsa Arab Saudi, secara kultural, merupakan bangsa yang sangat bangga akan sejarah yang membangun bangsanya. Bangsa yang warganya memiliki standar sosial sangat tinggi sebagai kaum bangsawan meskipun perilaku sosialnya dalam banyak hal sangat tidak bangsawan. Salah satu contohnya, dialami rombongan jemaah haji kloter 19 JKG asal Lampung. Saat hendak menuju bandara di Jeddah, mendadak sebuah sedan berhenti di tengah jalan menghalangi bus para jemaah. Entah apa sebabnya, si sopir marah-marah kepada sopir bus karena mengaku mobilnya diserempet. Tapi, karena seluruh jemaah kloter 19 JKG keluar dari bus, si sopir ketakutan dan pergi.

Penilaian yang miring juga datang dari sebagian besar warga Indonesia yang saya kunjungi. Sebut saja warga Indonesia yang tinggal di Misfalah, beberapa ratus meter dari Tanah Harom. Di dalam apartemen yang ada di lereng bukit itu--saya mesti jalan kaki menanjak melewati tumpukan sampah dan aroma busuk untuk sampai ke apartemen--tinggal enam orang warga Indonesia yang bekerja sebagai pembantu di berbagai rumah majikan. Pemilik apartemen merupakan suami-istri asal Jawa Barat, sedangkan empat lagi merupakan pengontrak yang berasal dari Jawa Tengah dan Banten. Dua diantara empat warga Indonesia itu belum tiga bulan kabur dari majikan, dan kini hidup ilegal di Tanah Harom.

Salah seorang bernama Dewi. Usianya baru 20 tahun. Ia datang ke Tanah Harom melalui PJTKI yang ada di Jakarta untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Baru dua tahun bekerja, Dewi merasa hidupnya selalu terancam. Karena majikan perempuannya, seorang perempuan keturunan Syria, seorang pencemburu yang luar biasa. Ia selalu mencurigai Dewi, seolah-olah Dewi akan merebut suaminya yang asli orang Arab Saudi itu.

Suami majikannya, seorang polisi yang bertugas di Masjidil Harom, seorang laki-laki yang jarang berada di rumah karena waktunya banyak habis untuk bekerja. Dewi sendiri jarang berhubungan dengan suami majikannya, karena Dewi bekerja mengurus lima anak majikannya, selain mengurus semua keperluan rumah tangga--mulai dari memasak, mencuci, menyapu, sampai mengurus seorang kakek jompo yang merupakan ayah dari suami majikannya.

Semua urusan rumah tangga dikerjakan Dewi sendirian. Hal yang sesungguhnya tak bisa dikerjakan sendirian. Tapi Dewi tetap melakukannya meskipun tak pernah istirahat. Majikannya yang pencemburu, berkali-kali berusaha untuk menekannya, mengingatkannya agar jangan pernah melirik suaminya.  Peringatan itu disampaikan sambil mengancam akan menyiksa Dewi sehingga Dewi merasa sangat tertekan sampai akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari majikan. Resiko yang diterima Dewi kalau melarikan diri, ia menjadi warga illegal karena passpoort ditahan oleh majikan. Tapi, Dewi merasa menjadi lebih merdeka dan bisa menentukan nasibnya sendiri.

Ada ratusan komunitas warga Indonesia yang illegal di Tanah Harom. Setiap komunitas itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Mereka saling membantu mencarikan majikan baru untuk teman-temannya agar tetap bisa melanjutkan kehidupan. Meskipun begitu, mereka tetap dirundung was-was kalau-kalau ada razia. Karena itu, mereka akan sangat peka saat melihat polisi Arab Saudi. Mereka cepat mengenali polisi meskipun si polisi tidak berseragam polisi. Mereka tahu membedakan warga Arab Saudi yang polisi dan yang bukan polisi. Ketika melihat polisi, mereka akan cepat-cepat menghindar dengan tubuh yang gemetaran.

Hidup dalam ketakutan merupakan hidup yang tak memberi kebebasan. Mereka melakukan apa saja untuk tetap bertahan. Tidak sedikit yang kemudian bertindak nekat dengan memilih majikan yang suaminya bekerja sebagai polisi. Mereka punya prinsip, tempat paling aman di Arab Saudi adalah rumah para polisi. Sebab, polisi Arab Saudi yang ketahuan mempekerjakan warga illegal akan mendapat hukuman, sehingga si polisi akan berusaha menutupi kalau ia mempekerjakan warga ilegal. Polisi Arab Saudi suka mempekerjakan warga ilegal asal Indonesia, karena mereka menurut dan patuh.

Dari Misfalah, saya berkunjung ke rumah komunitas-komunitas Indonesia yang ada di Distrik Bahutmah, Nakasah, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara. Masing-masing punya riwayat pilu tentang hubungan yang tak harmonis dengan mantan majikan. Beberapa dari mereka pernah mendapat siksaan dari majikan.

Soal siksaan majikan, perkara yang selalu menghantui warga Indonesia di Arab Saudi. Jika seorang majikan sudah menyiksa, itu berarti neraka hidup sudah membentang. Upaya untuk mencari bantuan dari Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi acap berbalik. Tidak sedikit dari para pekerja Indonesia di Arab Saudi yang justru dipersalahkan, lalu diantar kembali ke majikannya jika mereka mengadu ke Kedutaan Besar di Arab Saudi.

Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi bukanlah tempat untuk mengadukan nasib dan masa depan. Tempat itu hanya bagian lain dari kerangkeng rumah majikan.

Seorang petugas di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi, yang bertemu dengan saya saat di Armina, mengatakan para tenaga kerja Indonesia tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Mereka sering kabur dari majikan karena alasan jatuh cinta dan untuk menikah. Kalau tetap di rumah majikan, mereka tidak diperbolehkan menikah. Makanya, mereka memilih kabur. Dengan menikah, mereka berharap mendapat izin tinggal.

Agak aneh juga kesimpulan itu. Sebab, banyak dari anggota komunitas warga Indonesia yang ilegal masih berstatus gadis. Tidak sedikit pula para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi sudah berstatus istri orang sejak dari Indonesia. *

Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees