Kamis, 10 Februari 2011

Kita Salah, Maka Kita Ada


Pengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 14 Mei 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.


Semakin percuma saja semua upaya perbaikan terhadap kualitas Lampung Post karena realitas yang dialami tidak pernah bergeser dari kesalahan demi kesalahan yang sama. Hal-hal yang justru menimbulkan kekesalan, yang membuat pembaca akan berpaling kepada koran lain. Ketika itu terjadi, tidak akan ada ucapan “sayonara”, tiba-tiba saja Lampung Post sudah kehilangan pembaca.

Sebab itu, mari belajar jadi wartawan dengan mengacu pada pesyaratan jadi wartawan seperti
Ditawarkan M. Djen Amar, S.H. dalam bukunya Hukum Komunikasi Jurnalistik (1984), MELIPUTI: BERSEMANGAT (ENTHUSIASM), PRAKARSA (INITIATIVE), AGRESIF (AGRESSIVINESS),  BERKEPRIBADIAN (PERSONALITY), RASA INGIN TAHU (CURIOSITY),  JUJUR (FAIRNESS), BERTANGGUNG JAWAB (RESPONSIBILITY),  KEMAMPUAN BICARA/MENULIS (SPEAKING/WRITING),  BERGAIRAH FAKTA (DESIRE FOR FACTS), AKURAT (ACCURACY),  PENDIDIKAN (EDUCATION), DAN  HIDUNG BERITA (NOSE FOR NEWS)

BERITA GANDA. Ini kesalahan fatal dalam berjurnalistik ria. Ini bisa disebut tidak responsibility. Kepercayaan publik pembaca bisa runtuh karena kasus ini. Tapi, hal itulah yang kita lakukan, seolah-olah berita ganda itu telah menjadi tradisi. Kita tahu, tradisi itu mesti diwariskan.

Sabtu, 12 Mei 2007, berita ganda terjadi.  Pada halaman 7 berjudul “Dinas Peternakan Kekurangan Penyuluh”. Hari ini, ada juga berita ganda, “Obituarium…..”.  Berita di halaman satu tentang Matori Abdul Djalil, sama dengan berita Matori Abdul Djalil di halaman 16. Editornya sama, U-1.

Semula saya mengira tulisan di halaman 16 berjudul “Matori Dikenal sebagai Pejuang Politik” berupa tulisan obituari---mengenang jasa (sepak terjang) seserang almarhum selama hidupnya. Obituari galib dimunculkan pengelola media untuk mengenang orang-orang yang punya peran besar dalam kehidupan manusia. Obituari sering hanya melihat dari satu sisi agar tulisan lebih fokus dan detail, biasanya yang sangat terkait dengan momentum sejarah, entah sejarah personal atau sejarah universal. Teknik penulisannya pun lebh condong views ketimbang news—sangat mengandalkan daya ingat, kenangan, memori, pengalaman bersama.

Pada banyak media, tulisan obituari sering ditulis oleh orang-orang dekat dengan almarhum. Setidaknya, orang yang mengenal secara pribadi. Ketika Sobron Aidit meninggal di Perancis, kawan dekatnya, Agam Wispi, menulis sosok Sobron Aidit. Orang tak akan mendebat, karena semua orang tahu kedekatan keduanya.

Defenisi soal obituari itu saya pungut dari esai Goenawan Mohamad, Rosihan Anwar, dan Muchtar Lubis. Ada banyak defenisi lain, tetap dari semua defenisi itu tidak ada yang menyebutkan “kalau ada tokoh meninggal, buat beritanya dua kali meskipun sama”.

Berdasarkan defenisi itu saya membaca Lampung Post dan sangat kecewa karena isinya sama seperti di halaman pertama. “Lucu sekali,” kata seorang pekerja pers dalam short massage service, “koran seperti Lampung Post punya tradisi berita ganda.”

Ini bukan lawakan, tetapi sepotog tabu. Ini akan berulang karena “tidak ada yang berani memberi sanksi”. Karena pula, sanksi tidak penting di Lampung Post. Yang penting, koran terbit. Kesalahan fatal adalah anugerah terindah. Sebab itu, peliharalah kesalahan. Dalam rumusan Descartes, “kami salah maka kami ada”.

NIR KOMUNIKASI DAN TAK KUKUH DENGAN PENDIRIAN. Lampung Post sebuah produk tim. Seluruh isinya dikelola secara bersama-sama. Begitu idealnya. Nyatanya, produk ini dikelola tanpa komunikasi antara stake holder.

Nirkomunikasi terasa saat membaca berita “Korban Pencemaran Limbah Bertambah”. Antara redaktur (U-1) dengan wartawan LUT dan AAN tidak ada percakapan, sehingga berita kita yang merupakan round up story tentang pencemaran lingkungan oleh anak perusahan Grup Bumi Waras, dimentahkan oleh seorang Benny alias Abeng yang menyatakan “di lokasi itu sebenarnya tak terjadi apa-apa”.

Lantas, warga mengungsi, sakit yang mereka derita, dan ludah yang terasa pahit, apakah semua itu bualan  Lampung Post?

Berita kita, kita bantah sendiri. Kita tidak kukuh dengan pendirian. Ada apa? Apakah wartawan tak cukup cerdas untuk bertanya kepada Benny alias Abeng tentang “apakah Abeng buta sehingga tak melihat kondisi warga yang mengungsi dan kini sakit-sakitan?” Atau, redaktur tak cukup cerdas untuk menugaskan wartawan mengajukan pertanyaan di atas kepada Abeng?

Ini yang disebut rendah kemampuan berbicara (speaking), tidak ada desire for fact, tidak punya personality.

TERLALU NARSIS. Ada ribuan orang datang ke arena Kreativitas Anak. Untuk sebuah kegiatan yang telah digelar lima kali, alangkah bagusnya bila kita tidak narsis memuji acara sendiri. Para orangtua peserta, peserta, pejabat, tokoh masyarakat, yan datang bisa jadi narasumber untuk memuji atau mengkritik tradisi lomba mewarnai ini.

Sudah saatnya kita meminta advis dari orang lain, publik. Tapi berita kita Cuma bicara tentang diri kita sendiri.

Dalam dunia ilmu komunikasi, ada cara mengemas “agar orang memuji kita, bukan kita yang memuji diri sendiri.

Narsis juga saat melihat photo di edisi Ekonomi Syariah. Lihat caption foto yang berbunyi: “PENJELASAN. Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi sedang mendengarkan penjelasan mengenai asuransi syariah, Jumat (11-5)”.

Ini menunjukkan betapa Pemimpin Redaksi (representasi Lampung post), butuh penjelasan sangat serius soal asuransi syariah dari seseorang yang tidak dikenal. Apakah Lampung Post mau berubah buka devisi baru, Asuransi Syariah Lampung Post, sehingga butuh penjelasan serupa itu dan mesti dipublikasikan kepada publik lewat Lampung Post?

Lampung Post koran publik. Kalau awak Lampung Post ingin tampil, mending buat Buletin Lampung Post. Jangan dijual kepada publik.  Ini yang disebut tidak fairness

KURANG TELITI. Tanggal 12 Mei 2007 itu hari Sabtu. Hari Minggu tanggal 13 Mei 2007. Tapi, di Lampung Post, hari Sabtu itu tanggal 13 Mei 2007. Baca berita “Mahasiswa FKIP Juara” halaman 2. Date line menyebut Sabtu (13-5). Dengan redaktur K-2. Padahal di halaman yang sama dengan redaktur K-2 disebut bahwa hari Minggu tanggal 13 Mei 2007. Baca berita “KTM Direalisasikan 2007”.

Hal yang sama juga terjadi halaman PENDIDIKAN. Dengan redaktur S-1 dan wartawan AST berita berjudul “Satono Terus Tingkatkan Pendidikan Lamtim” disebut Sabtu (13-5), mestinya hari Sabtu itu tanggal 12 Mei 2007. Di halaman yang sama, redaktur S-1 mengedit berita “Dana Pendidikan Belum Sentuh Mahasiswa” dan menyebut hari Minggu tangal 13 Mei 2007.

Ini yang disebut kurang responsibility.

TERLALU BERPANJANG-PANJANG. Kalau bisa pendek, kenapa mesti panjang. Informasi yang didapat publik dengan membaca EDISI KHUSUS JEMBATAN SELAT SUNDA Cuma satu, yakni JEMBATAN SELAT SUNDA AKAN DIBANGUN KARENA PENTING.

Ada tiga berita soal jembatan selat sunda. Ketiga berita sama saja: menawarkan mimpi.

Inti berita berjudul “Tak Saja Menyatukan Dua Provinsi” berisi hal-hal, yakni: (1) Jika jembatan itu penting (2)jembatan itu keajaiban dunia (3)memacu pertumbuhan wilayah (4)meningkakan kesejahteraan rakyat (5)memperpendek jarak tempuh (6) dan lain-lain

Dalam berita “Membangun Keajaiban Dunia” soal itu masih dikutif. Dalam “Menghidupkan Sebuah Mimpi” dikutif lagi soal-soal sama.

Inilah tripel berita dalam halaman yang sama.  Tak ada variasi. Misal, kita punya data tentang pulau-pulau di kawasan Selat Sunda, yang kini sudah jadi milik pribadi. Sejak isu jembatan akan dibangun, banyak pengusaha membeli pulau-pulau yang diperkirakan akan menjadi tiang pancang jembatan. Harapan mereka harga tanah lebih mahal.

Tanya Anshori Djausal yang punya pulau di sana. Tanya juga kasus ganti rugi yang pernah merebak pada tahun 1998, yang membuat kawan bernama Marsidi Hasan kaya raya saat menjadi Camat di Kalianda.

Tanya juga warga di sepanjang kawasan pembanguan Jembatan, yang sampai sekarang merasa dibohongi karena terlanjur menjual murah tanahnya.

Pertanyaan jembatan selat sunda itu penting bagi siapa? Kalaupun bicara soal sarana transfortasi, lantas untuk apa kapal ro ro di selat sunda. Mau ditaruh dimana pengusaha transportasi laut itu? Bagaimana pula analisis ekonomi (perbandingan) jika pengusaha mengirim barang lewat Jembatan Selat Sunda dengan jika mengirim lewat kapal. Berapa persentase keuntungan yang akan diraih. Sektor apa pula yang akan tumbuh oleh Jembatan Selat Sunda itu. Jangan-jangan pungutan retribusi akan banyak.

Apa kabar Pelabuhan Panjang nantinya? Banyak hal yang tidak jelas, yang justru memberi kesan edisi khusus ini menjadi tak khusus.

Ditambah dengan desain halaman yang, entahlah, mengikuti konsep apa. Semakin jelas betapa tidak khususnya halaman khusus ini.

Seorang Roy Sembel datang ke Lampung. Kita tak ada beritanya. Apakah Lampung Post tak kenal Roy Sembel?


Berangkat dari Sepenggal Tesis


Pengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 18 April 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.

Soal tesis pernah disinggung serba sangat sedikit dalam analisis atas edisi 3 April 2007. Barangkali itu yang membuat kesadaran atas tesis belum tumbuh dalam produk Lampung Post, meskipun tesis adalah syarat utama.


BERANGKATLAH DARI TESIS

Tesis tak ada kaitannya dengan tulisan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan. Tesis dalam hal ini dimaknai sebagai “pendirian dasar yang mesti kita tegakkan sebagai pendapat atau opini”. Tesis itu gagasan yang mengendalikan ide (controlling idea) atas persoalan yang dipersoalkan dalam berita.

Lampung Post punya konsep untuk mengukur tesis, yakni navigasi. Navigasi berita Lampung Post sekaligus tesis dari persoalan. Tapi, navigasi bukan tesis. Judul pun bukan tesis. Tesis ditandai sebagai sikap terhadap suatu persoalan.

Apa tujuan tesis dalam menulis. Ia menjadi semacam nalar, serupa sense of purpose guna melenyapkan hal-ihwal yang tak berjejak (mengambang). Ini pelajaran dari David Skwire dalam bukunya Writing with a Thesis (1976).

Apa syarat tesis menurut Skwire? (1)Tesis terbatas sifatnya; (2)Mempersatukan; dan (3)Spesifik.

Berangkat dari soal tesis, head line kita “UN Diwarnai Sejumlah Kasus” justru menampakkan kelemahan pada identifikasi tesis. Unsur spesifik terkait tesis, tak tertangkap dalam berita yang “hanya” berisi asumsi-asumsi itu.

Watawan berasumsi “kalau murid-murid berkumpul berarti mereka membocorkan soal ujian”, “kalau pengawas hilir mudik berarti melanggar prosedur standar operasi”, “kalau Sjachroeddin bilang tak ada pelanggaran, berarti tidak ada pelanggaran” dan “kalau siswa tetap mengerjakan soal meski jam sudah habis berarti melanggar”.

Itulah yang kita usung dalam berita, kemudian mendapat penjabaran dalam LIPUTAN KHUSUS.
Bila memang asumsi itu benar, kita harus mengikuti dengan data “apa yang dilanggar”? Buat table, misalnya. Dengan table, pembaca bisa membuat perbandingan. Tapi, table dan statitik tak kita suguhkan, sehingga liputan hari ini terkesan mubajir karena tak variatif dari aspek isi.
Kata “sejumlah kasus” pada judul headline halaman pertama, kontradiktif dengan lead headline LIPUTAN KHUSUS dan headline halaman dua. Di halaman utama kita bicara “ada pelanggaran”, sedangkan di halaman LIPUTAN KHUSUS kita bicara “tak ada pelanggaran” dan di halaman dua kita bicara “UN tertib dan lancar”. Mana yang benar?
Jangan-jangan kita tak ke lapangan. Atau, ke lapangan, tetapi ikut rombongan Gubernur. Jadi, ya, begitu deh…. Lebih pas sebagai Humas Gubernur. Lihat saja photo di halaman dua. Fokusnya Gubernur dan para pejabat. Humas banget!!!
Satu lagi, mestinya berita UN tak muncul lagi di halaman lain selaian di LIPUTAN KHUSUS. Nyatanya, masih banyak meskipun berupa photo.
PHOTO head line kita, sekali lagi, lebih mempertononkan diri bahwa Lampung Post tak memiliki tesis jelas. Lima kolom untuk focus seorang siswa yang sedang mengerjakan soal, sama sekali tak ada yang menarik. Mestinya, tukang jepret focus ke orang di belakangnya, yang melihat ke belakang. Saat ujian plengak-plengok itu mau apa?
Ajaibnya lagi, itu photo Antara. Lokasinya di Makasar pula. Kemana tukang jepret Lampung Post?
Jadi, kesimpulan atas liputan hari pertama UN, Lampung Post kedodoran karena tidak punya tesis yang jelas. Ini akibat tak ada perencanaan peliputan, meskipun dalam rapat finel checking sudah disampaikan perlu ada tim peliput. Tapi, ya, capek deh….
Berita “Pria Asia Mengamuk di Kampus, 33 Tewas”, juga tanpa tesis. Untuk apa kita memberitakan soal pria Asia, padahal ada warga Indonesia yang jadi korban penembakan yaitu Partahi Lumbantoruan (34),  mahasiswa Universitas Virginia Tech, tinggal di Blacsburgd selama 2,5 tahun.
Berita follow up IPDN, bagusnya, berita di kota berjudul “Sjachroedin tidak Setuju” lebih pas di halaman depan daripada berita “Tayangan Kekerasan Bisa Dijadikan Petunjuk Awal”. Bukankah kita harus konsisten dengan sikap sendiri? MENDUKUNG PEMBUBARAN IPDN?
Soal tesis juga tak jelas dalam penggarapa halaman 3. Head line “Tim Gabungan Harus Verifikasi”, sudah tentu bukan tesis. Pasti, hasil temuan mesti diverifikasi, tanpa diminta DPRD pun.
Ada berita “Pemprov Anggarkan Rp3,5 Mliar”, sebetulnya berita bagus. Di halaman ini, kita pernah memberitakan tentang “tingginya angka pengangguran”(edisi 2 April 207). Apakah ini solusi pemerintah atas tingginya angka pengangguran, yakni mengirimkan TKI. Bagaimana dengan kasus TKI asal Lampung yang banyak menderita selama ini? Apa yang ingin dicapai Pemda Provinsi dengan mengirim TKI. Apa Lampung sudah tidak bias lagi mengirim jagung ke luar negeri sehingga harus diganti dengan ekspor TKI? Kebijakan apa ini?
Kalau data-data itu muncul, berita ini lebih layak headline. Kaitkan dnegan berita di halaman 6 berjudul “Penduduk Lampung Miskin Meningkat”. Tapi, tak ada koordinasi, mungkin. Lagi pula, berita ini tak ada dalam bujet.
CAPTION photo halaman 3, lebih menunjukkan Lampung Post sangat sibuk mengabsen orang. Untuk apa absensi itu bagi pembaca?
Ada banyak berita dari acara Sosialisasi Hasil Konferensi Dewan Ketahanan Pangan. (1) Lingkungan Kurang Dipelihara (halaman 3), Sjachroeddin tak Setuju (Halaman 3) Satker Harus Tahu Tugas (Halaman 3), Penduduk Lampung Miskin Meningkat (Halaman 6).
Dilihat dari variasi tempat kejadian, hari ini Lampung Post terfokus ke kejadian di acara Sosialisasi Hasil Konferensi Dewan Ketahanan Pangan.
Watawan kita kerja keras betul. Luar biasa. Cuma, beritanya lebih banyak talking, tak ada perspektif dan tak jelas tesisnya. Sekedar supaya terlihat produktif saja.
Dalam BISNIS, halaman10, ada perubahan. Ternyata BISNIS masih bias bersemangat jurnalis, tidak melulu mendewakan iklan.
HALAMAN OPINI. Font di halaman ini tak stabil. Konsistenlah!
HALAMAN SHOWBIZ. Mana navigasinya?
Ada tiga berita reshuffle hari ini. “Publik Jadikan Reshuffle Harapan Baru” (halaman16)  dan “Presiden Mendadak Panggil Wapres” (Halaman 8). Kenapa tak digabung saja ini berita? Ditambah satu TAJUK.


Efek Jera dari Berita


Pengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 17 April 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.

Berita head line “Pembocor UN Kena Saksi Tegas”. Berita ini mengumumkan tentang sanksi bagi para pelanggar yang dampaknya akan membuat orang takut (khawatir) untuk melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan UN. Ada efek jera yang kita harapkan dari pemberitaan ini karena kita khawatir pelaksaaan UN terganggu.

Good! Inilah yang disebut punya sikap. Dilihat dari pilihan unsure pada lead, kita sudah masuk pada HOW dan WHY. Sikap ini harus dipertahankan, tapi harus diikuti dengan peliputan berita yang indep.

Untuk edisi 20 April 2007, kita sudah harus bicara tentang “ada atau tidak pelangar” dalam pelaksanaan UN. Kita tak usah membicarakan tentang UN digelar, karena itu sangat umum. Yang penting, kita beritahu apakah UN yang digelar hari ini berjalan lancar atau tidak.

Head line kita sejalan juga dengan Buras. Buras, karena diletakkan di depan, adalah kolom yang pertama sekali dibaca. Ada anggapan dari pembaca bahwa topik Buras adalah topik besar Lampung Post setiap hari.

Berita “Pangkat Praja akan Dihilangkan”, tak seperti yang kita harapkan. Rencananya kita buat liputan yang berskala daerah dengan tema “apakah pemerintah daerah setuju IPDN dkembalikan ke daerah” . Ini mengacu ada pernyataan Ryass Rasyid selaku orang yang terlibat dalam pembangunan sekaligus mantan rector IPDN.

Kita perlu mengalihkan persoalan ke daerah seperti yang sudah kita bicarakan. Untuk itu, perlu perencanaan peliputan yang memadai.

Berita “Presiden Nilai Kepala Daerah Kurang Loyal” berita ini tak ada dalam rapat bujet, juga final checking. Karena itu, berita ini tanpa perencanaan.

Cropping photo halaman satu sangat parah. Usahakan menampilkan focus pada photo, karena focus (viuw ) akan terlihat gagasan yang ingin kita tawarkan. Photo kita (dijepret Rinda) dari segi tematik sangat actual. Cuma, teknik cropping embuat gambar itu tak fkus. Mestinya, fokuskan saja pada dua PNS yang meneliti berkas (kardus). Photo akan kuat, akan jelas pula bicara soal CHECK SOAL UJIAN. Dua orang yang berdiri di samping kanan dibuang saja, karena mengganggu latar belakang (berupa tumpukan kardus berisi soal/berkas).

Mulailah, seperti kata BEW, munculkan head shot.

Tajuk kita “Kecemasan terhadap UN”, terlalu panjang. Tajuk kita, sesuai rapat tajuk sejak awal, panjangnya 55—60 baris.

Head line di halaman 2 berjudul “Gubernur Limpahkan Dua Kewenangan”, terlalu buru-buru untuk dijadikan head line. Berita “akan” bagusnya dipelajari lagi. Toh, dua kewenangan yang akan diberikan itu masih butuh pembicaraan lanjut.

“Pelimphan wewenang ke bawahan…” selama ini selalu menjadi masalah. Dengan PERGUB ini berarti soal konflik antara WAGUB dengan GUBERNUR akan selesai. Artinya, selesai juga kerja WAGUB karena dia tak akan pernah BISA BICARA.

Photo di halaman 2 “JALAN PINTAS”, momentumnya sangat bagus. Tapi, sekali lagi, teknik cropping kurang mantap. Untuk apa photo pagar di samping kanan, sehingga phto jadi empat kolom.
           
Halaman tiga, ada photo keluarga di sekilas. Apa ya maksudnya?

Head line halaman 3 “Kembalikan Mobil Dinas” masih sibuk menghitung jumlah demontran. Mestinya focus ke pokok persoalan, HOW dan WHY, sehingga jelas bagi pembaca apa persoalan, dan kenapa mesti jadi persoalan. “Tiga pemimpin DPRD Kota Bandar Lampung diminta....”

Persoalan besar dalam berita “Makan Tumis Jamur, Sekeluarga Keracnan” adalah “keracunan”. Sama sekali tak bicara soal kesehatan. Jadi, navigasi bukan “kesehatan”.

Berita itu pun tak memperhitungkan aspek pendidikan. Jamur, kenapa tak dijelaskan jamur apa. Bila perlu, cari nama Latinnya.

Berita head line di halaman 4, “Bukan Salah Pengusaha Semata”. Tolong, berbuatlah seperti jurnalis. Berita kita, kentara sekali sangat pro-Dinamis. Jangan lupa, ada orang mati loh. Siapa punya proyek, dia harus bertanggung jawab. Jangan-jangan Dinamis sengaja membuat proyek seperti itu untuk membunuh keempat orang tersebut. Pemerintah saja bisa digugat oleh pengendara sepeda motor yang kecelakaan akibat jalan berlobang.

Sejak awal kita PASANG BADAN untuk membela Dinamis. Kita tak perna bertanya bagaimana penyidikan polisi. Apakah betul robohnya papan reklame Dinamis karena faktor alam, atau karena faktor sengaja. Misal, ada yang merusak sebagai dampak persaingan bisnis. Atau, ada kesengajaan dari tenaga Dinamis yang mengerjakannya.

Kita berbuat sebagai jurnalis sajalah.

Halaman 6 Ruwa Jurai. Masih ada penggunaan kata “kapal ro ro” setelah kita sepakat kata “feri”, lihat berita “Belum Ada Pengusaha Sewa Kapal Ro-ro”.

Halaman 17 Nasional&Internasional. Masih ada saja berita tanpa navigasi, begitu juga dengan halaman 20, tak pernah mau membuat navigasi.


Hal Ahwal Lead, Hal Ahwal Bunyi


Pengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 13 April 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.
Kata juga merupakan tanda (sign) bunyi. Dalam dunia penulisan, wartawan Ernest Hemingway dalam laporannya tentang perang di Italia untuk koran tempatnya bekerja, mengandalkan bunyi dari setiap kata yang dipergunakannya. Dengan bunyi (tone) itu, pembaca menjadi tahu berita itu ditulis oleh Hemingway, meskpun seandainya tak ada nama Hemingway dalam berita tersebut. Itulah yang disebut style (gaya), dan ini sangat khas.

Bunyi (tone) sering diidentikan dengan rasa. Pemahaman terhadap bunyi itu membuat kalimat yang dihasilkan menjadi enak dibaca.

Judul berita “Lapindo Rugikan Rp27,4 Triliun” yang menjadi head line Lampung Post edisi 13 April 2007, dibuat tanpa kesadaran akan bunyi (tone). Kalimat judul itu tak jelas “siapa yang dirugikan”, padahal ada kata “rugikan” yang mesti diikuti dengan objek. 

Ini terjadi karena si pembuat judul terlalu focus pada jumlah baris yang disediakan, sehingga lebih memikirkan jumlah ketukan. Baiknya, lebih focus pada topic, tema, atau esensi berita, yakni “Lumpur merugikan negara”

Kalau subjek “Lapindo”—perusahaan—bagusnya kata “rugikan” diganti menjadi “rugi”.

Jadi, tawaran judul “Lapindo Rugi Rp27,4 Triliun” atau “Lapindo Rugikan Negara Rp27,4 Triliun”.

Lead berita sama seperti judul, tak jelas objeknya, meskipun sudah jelas subjeknya yakni “banjir lumpur Lapindo”.  Setelah memasuki alinea ke-2, baru jelas objeknya: Negara. Ini berdasarkan pada pernyataan Suprayoga Hadi.

Tawaran lead:

“Banjir lumpur Lapindo telah berlangsung sembilan bulan. Selama itu negara merugi Rp27, 4 triliun.”

Demi bunyi (tone) agar pembaca merasa nikmat. Lead mestinya disiasati agar pembaca merasa nikmat. Untuk itu, setiap instiusi pers punya standar lead, sama seperti Lampung Post: Lead to the point, tidak berkepanjangan.

Lead berita “Kapoltabes Siapkan Hukuman Maksimal” terdiri dari tiga kalimat, dan masing-masing kalimat terdiri dari 9—30 kata. Kalimat pertama 9 kata, kalimat kedua 15 kata, dankalimat ketiga 30 kata.

Dari jumlah kata saja lead ini sangat berkepanjangan. Apalagi bila dilihat dari jumlah tanda baca yang bisa memberi jedah bagi pemaca --- titik dan koma—jumlahnya 10: 3 titik, 7 koma. Lead ini menyusahkan pembaca, hal yang mestinya tidak kita lakukan.

Beri pembaca kenyamanan membaca. Karena itu, lead serupa harusnya tidak dilakukan lagi di Lampung Post.

Alternatif lead:

Kapoltabes Bandar Lampung Kombes Pol Endang Sanjaya akan memberikan hukuman maksimal bagi pelaku penculikan anak, apapun motif dari tindakannya.

Ada banyak teknik pembuatan lead, dan masing-masing sangat tergantung pada topik yang diberiakan. Setiap topic punya pilihan lead yang cocok, karena begitulah formula-formula lead dirumuskan. Kita tinggal mengaflikasikannya. Ke dalam work setiap redaktur, Litbang pernah mengirimkannya. Kalau tidak ada, bisa diambil di work korektor.

Soal “Guru Besar IPDN TolakAutopsi Jenazah…..” bukan berita baru, tetapi hasil penyidikan polisi tentang keterlibatan pejaba IPDN dalam kasus kematian Cliff Muntu.

Berita “Kerusakan Jalintim Menggala Makin Parah” adalah berita yang selalu saja muncul setiap tahun. Jalan rusak bukan hal ang aneh di Menggala, sebaliknya “jika jalan itu bagus, baru aneh”. Berita ini bagus untuk kapasitas feature, tinggal menyuruh wartawan memantau jalan itu dalam kurun waktu tertentu, lalu buat reportase tentang segala sesuatu di sana. Juga, dampaknya bagi perekonomian di daerah-daerah sekitar.              

“Sopir tak Pernah Munjur Lewat Lintas Timur”, bisa bercerita tentang pengalaman para sopir truk dan kerugian mereka. Lintas Timur adalah bagian dari megaproyek “Asia Ring Road” yang dibiayai oleh Bank Jepang dan dikerjakan oleh 10 kontraktor bertarap internasional.
             
 


Dari “Membesarkan” ala Mak Erot sampai “Mengecilkan” Pembaca yang Terdidik


Pengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 11 Juni 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.
 
SEBUAH keberhasilankah ketika membaca Lampung Post kita menemukan banyak iklan Mak Erot, viagra, dan hal-ihwal yang biasa ditemukan pembaca di Misteri, Lampu Merah, Rakyat Merdeka, dan “media kuning” lainnya? Bagi Bagian Iklan Lampung Post, sangat pasti, ini keberhasilan. Semacam prestasi. Bisa dapat iklan di era persaingan bisnis media yang super ketat saat ini, tentu ini sebuah keberhasilan (?)

Akan tetapi bagi sebuah industri penerbitan pers yang mengambil posisi “media kalangan terpelajar” (bacaan masyarakat terdidik), iklan serupa ini menjadi bukti bahwa manajen instuitusi pers bersangkutan sudah tak kuat lagi mempertahankan komitmennya. Ini pun berarti, institusi pers tersebut “angkat tangan” menghadapi realitas persaingan bisnis iklan yang tajam dan keras.

Oleh sebab itu, sangat ganjil dan aneh kalau pembaca Lampung Post disuguhi iklan Mak Erot, viagra, pengobatan super sempurna—yang lebih banyak menawarkan mimpi dan omong kosong. Disamping tidak mendidik, kita pun terkesan “gagal” dalam persaingan merebut belanja iklan, sehingga terpaksa melakukan hal-hal yang pernah kita tolak.

Kita harus memahami bahwa media cetak adalah sumber penting bagi pembaca untuk melunasi kehausannya akan informasi yang mendidik. Inilah hal penting yang tidak dimiliki dunia media di negeri ini.

Lihat iklan di halaman 4 dengan judul “Lelaki Sejati Harus Mampu Penuhi Kebutuhan Istri” atau iklan di halaman 5 berjudul “Sekarang, Istri Saya Tak Berani Lagi Meledek Saya”. Kedua iklan itu menwarkan “cara agar laki-laki menjadi perkasa, hebat di ranjang, dan dapat menjadi barang pemuas istri”. Iklan kolom pun banyak yang menawarkan kejantanan, Mak Erot, dan lain-lain.

Pantas dicurigai, jangan-jangan ini bukti Bagian Iklan Lampung Post tidak punya strategi bisnis yang mumpuni? Kalau hal itu benar, perlu dadakan pelatihan bisnis periklanan bagi staff-staff marketing Lampung Post.

Bicara soal melunasi kehausan pembaca akan informasi, kita harus menyadari posisi kita sebagai pemuas “dahaga infomasi” yang dialami publik pembaca. Akan tetapi posisi ini belum maksimal dipenuhi oleh Lampung Post.

Analisis ini sebuah contoh saja dari bagaimana Lampung Post melakukan kerja memuaskan “dahaga informasi” publik atas Pemilihan Rektor Unila.

Setelah berlangsung berbulan-bulan, mula dari tahap persiapan panitia, pendaftaran calon rektor, terpilih rektor, sampai pasca terpilih rektor, telah banyak kita sajikan berita baik erupa peristiwa seperti demontrasi mahasiswa sampai pada hasil pencarian wartawan. Namun, dari sekian banyak berita itu, jelas sekali bahwa perspektif yang diemban Lampung Post tidak “memandang Unila sebagai lembaga pendidikan tinggi untuk menggodok generasi muda di provinsi ini”. Kesimpulan ini untuk tidak menyebut bahwa Lampung Post tidak mengerti betul posisi Unila dalam pembangunan nasional di provinsi ini.

Serial Pemilihan Rektor Unila di Lampung Post merupakan serial liputan terpanjang yang pernah dilakukan, setelah serial yang melelahkan dan nyaris membosankan saat Lampung Post meliput peserta Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan peserta Idonesia Idol.

Mungkin, lantaran sangat berpengalaman menggiring Yuke AFI hingga sampai final, Lampung Post pun menjadi sangat akrab dengan pola peliputan berita yang disajikan saat mendukung peserta AFI asal Lampung. Pola itulah yang muncul saat Lampung Post menyajikan serial berita Pemilihan Rektor Unila, dimana setiap calon rektor disajikan sosok pribadinya, keluarganya, kebiasaannya, dan kehidpan keluarganya.

Salah seorang calon rektor, misalnya, dibeberkan berapa gajinya, berapa orang anaknya, dan siapa suaminya. Ada calon rektor yang disorot dari hal ihwal yang tak ada kaitannya dengan kualifikasi seorang rektor. Sangat khas liputan yang disajikan dalam semangat mendukung peserta AFI, bukan khas liputan untuk mendukung terpilihnya rektor yang mumpuni.

Mestinya, Lampung Post menyoroti perihal kualifikasi keilmuwan setiap calon dan bagaimana kaitannya dengan cara calon tersebut memajukan Unila nantinya. Dengan membeberkan hal itu, ribuwan mahasiswa pasti akan paham Rektor seperti apa yang akan mereka miliki nantinya. Akan tetapi tidak demikian. Sekarang, hanya mahasiswa di FMIPA yang paham rektor seperti apa yang mereka miliki, karena rektor terpilih berasal dari FMIPA.

Akhirnya Lampung Post sangat bersemangat membeberkan “kerusuhan” di Unila. Orientasi dan perspektif yang kita pilih sama sekali tak memandang Unila sebagai lembaga pendidikan. Kita memposisikan Unila tidak lebih seperti partai politik, karena unsur politisasi itu yang kita kedepankan. Kerusuhan, itu yang membuat kita hidup sebagai media publik.

Sudah berulang kali disinggung, tajuk adalah sikap institusi pers, bukan sikap penulisnya. Oleh karena itu, terhadap tajuk berjudul “Belajar dari Sudjarwo”, yang merupakan tulisan penutup serial liputan Rektor Unila, perlu dipertanyakan “sikap siapa yang diusung penulisnya”.

Kalau sikap Lampung Post, sangat aneh apabila Lampung Post setuju terhadap konsep BHPT (badan hukum perguruan tinggi) yang diprotes di seluruh Nusantara dan dikaji lagi oleh para ahli pendidikan. BHPT dinilai melakukan komersialisasi pendidikan, membuat kampus tidak berbeda dengan institusi bisnis, lebih berorientasi profit ketimbang mencerdaskan bangsa. Mahasiswa yang tak mampu bayar tidak akan pernah bisa kuliah di perguruan tinggi negeri.

Lantas, apa pijakan logika yang dimiliki penulis tajuk saat menyimpulkan BHPT dapat membuat pemilihan Rektor tidak lagi ribut-ribut. Sangat mungkin malah sebaliknya, kampus akan menjadi arena pertempuran dimana kepentingan pebisnis, institusi pendidikan, pemerintah daerah, kepentingan mahasiswa, kepentingan masyarakat akan bermain sehingga terjadi bentrok yang krusial.

Mungkin benar, pada tataran ini, Lampung Post tidak lagi menjadi “bacaan masyarakat terdidik”.

Evaluasi atas serial berita Pemilihan Rektor perlu dilakukan. Evaluasi akan membuat Lampung Post tumbuh lebih positif. Kita belajar dari kelemahan dan kekurangan. Ke depan, kita akan menjadi lebih matang dan dewasa. Sebab, kita pasti akan melakukan serial-serial liputan lain. Semoga, kita bisa menjadi lebih baik.



Apapun alasannya, media cetak harus memiliki produk liputan yang mampu mengalihkan perhatian masyarakat dari media elektronik. Soal kecepatan, media koran seperti Lampung Post pasti kalah dibandingkan televisi, radio, atau internet. Dengan begitu, syarat aktualtas berita, bagaimanapun, sulit terenuhi media koran.

Dengan serial liputan, koran punya peluang menguasai pasar. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, selalu ada ihwal yang dapat disajikan secara serial kepada pembaca. Sebagai contoh, pada bulan Juni, Juli, Agustus, akan lebih bagus bila Lampung Post membuat serial tulisan tenang Kota Bandar Lampung karena saat itu, Kota Bandar Lampung ulang tahun.

Edisi Minggu, 10 Juni 2007

Head line berjudul Olimpiade Sains Internasional, Dua Siswa Seleksi Akhir”, sebuah berita yang bagus bagi masyarakat. Ternyata, masih ada generasi muda yang bisa bicara di dunia internasional lahir di tengah-tengah kemiskinan Provinsi Lampung.

Itu soal kebermaknaan berita. Nah, soal penulisan berita tersebut, banyak kekurangan yang semestinya tidak muncul bila penulis dan pengedit menyadari apa itu berita. Pertama, berita itu tidak jelas narasumbernya. Kedua, teknik penulisannya lebih banyak mengandalkan opini. Ketiga, konsistensi tidak terjaga.

Kita lihat lead berita yang merupakan”lead opini”. “Dua siswa Lampung kembali mengukir prestasi dengan melangkah maju ke tahap penjaringan akhir olimpiade pelajar tingkat internasional”.

Yang ingin disampaikan Lampung Post, dua siswa Lampng berprestasi internasional. Irfan Haris, siswa SMPN 1 Pringsewu, masuk empat besar International Junior Science Olmpiade (IJSO). Sedangkan Devianti Jacob, siswa SMP Xaverius I Bandar Lampung, masuk tujuh besar Olimpiade Fisika Internasional.

Narasumber berita kita tak jelas. Akibanya, penulisan berita versi piramida terbalik tak terwakilkan dalam berita ini. Beberapa unsur penting dari berita seperti siapa (Who) mengatakan apa (What) tentang bagaimana (How) dimana (Where) dalam keadaan seperti apa (When) dan kenapa (Why).

Setelah selesai baca berita, baru deh ketahuan, narasumbernya Irfan dan Devianti. Lantas, mana photo kedua orang ini. Pembaca kan perlu tahu.

Fokus kita soal Talangsari lagi. Memang, ada cantelan Komnas HAM datang. Sayang, Lampung Post malah tidak ikut bareng Komnas HAM ke Talangsari. Wawancara dengan Zoemrotin saja dilakukan via telepon. Kurang gaul apa ya kita?

Anehnya lagi, ada percakapan wartawan kita dengan Zoemrotin di Talangsari. Itu artinya, dalam menulis, kita ndak konsisten. Mestinya tidak perlu ada penulisan “… kata Zoemrotin saat dihubungi via ponsel….” Atau,…..

Edisi Senin, 11 Juni 2007

Persoalan dalam head line pada hari Minggu, 10 Juni 2007, muncul lagi dalam head line Lampung Post berjudul “Bulog Gandeng Sarjana Unila”.

Ini berita wire service, tetapi dialihkan jadi konteks Lampung. Itu sebabnya, porsi tentang Unila lebih besar. Cuma, teknik editingnya menyebabkan nara sumber berita baru muncul pada alinea ke-5.  Lead, setidaknya, mengandung unsur-unsur berita 5W +1H seperti siapa (Who) mengatakan apa (What) tentang bagaimana (How) dimana (Where) dalam keadaan seperti apa (When) dan kenapa (Why).

Pada 28 Mei 2007, ada analisis berjudul “Jangan Baca Lampun Post Hari Senin” dengan harapan agar persoalan yang dipersoalkan dalam analisis tidak muncul lagi. Ternyata, baca Lampung Post edisi Senin, 11 Juni 2007, masih ditemukan persoalan serupa.

Pertama, kekurangan berita. Ini bertalian dengan rendahnya kualitas getting berita. Akibatnya, berita yang tak aktual, terpaksa dimuat. Malah, harus dilakukan pemuatan ulang. Lihat photo Lukman Hakim naik Singa dalam liputan HUT Kota Metro. Meskipun advertorial, photo itu sudah dimuat hari Minggu, 10 Juni 2007.

Persoalan ini bisa diatasi tanpa perlu repot-repot. Jalankan saja strategi yang sudah disepakati. Setiap redaktur wajib membuat analisis atas persoalan yang aktual di bidang keredakturannya. Mudah kan. Itu lebih mudah ketimbang redaktur ditugasi menulis analisis di luar bidang yang digarapnya.

Karena analisis ini masih panjang dan saya takut semakin panjang, baiknya disudahi saja. Sekali lagi, ini bukan tulisan yang enak dibaca.


 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees