Kamis, 10 Februari 2011

Kita Salah, Maka Kita Ada


Pengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 14 Mei 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.


Semakin percuma saja semua upaya perbaikan terhadap kualitas Lampung Post karena realitas yang dialami tidak pernah bergeser dari kesalahan demi kesalahan yang sama. Hal-hal yang justru menimbulkan kekesalan, yang membuat pembaca akan berpaling kepada koran lain. Ketika itu terjadi, tidak akan ada ucapan “sayonara”, tiba-tiba saja Lampung Post sudah kehilangan pembaca.

Sebab itu, mari belajar jadi wartawan dengan mengacu pada pesyaratan jadi wartawan seperti
Ditawarkan M. Djen Amar, S.H. dalam bukunya Hukum Komunikasi Jurnalistik (1984), MELIPUTI: BERSEMANGAT (ENTHUSIASM), PRAKARSA (INITIATIVE), AGRESIF (AGRESSIVINESS),  BERKEPRIBADIAN (PERSONALITY), RASA INGIN TAHU (CURIOSITY),  JUJUR (FAIRNESS), BERTANGGUNG JAWAB (RESPONSIBILITY),  KEMAMPUAN BICARA/MENULIS (SPEAKING/WRITING),  BERGAIRAH FAKTA (DESIRE FOR FACTS), AKURAT (ACCURACY),  PENDIDIKAN (EDUCATION), DAN  HIDUNG BERITA (NOSE FOR NEWS)

BERITA GANDA. Ini kesalahan fatal dalam berjurnalistik ria. Ini bisa disebut tidak responsibility. Kepercayaan publik pembaca bisa runtuh karena kasus ini. Tapi, hal itulah yang kita lakukan, seolah-olah berita ganda itu telah menjadi tradisi. Kita tahu, tradisi itu mesti diwariskan.

Sabtu, 12 Mei 2007, berita ganda terjadi.  Pada halaman 7 berjudul “Dinas Peternakan Kekurangan Penyuluh”. Hari ini, ada juga berita ganda, “Obituarium…..”.  Berita di halaman satu tentang Matori Abdul Djalil, sama dengan berita Matori Abdul Djalil di halaman 16. Editornya sama, U-1.

Semula saya mengira tulisan di halaman 16 berjudul “Matori Dikenal sebagai Pejuang Politik” berupa tulisan obituari---mengenang jasa (sepak terjang) seserang almarhum selama hidupnya. Obituari galib dimunculkan pengelola media untuk mengenang orang-orang yang punya peran besar dalam kehidupan manusia. Obituari sering hanya melihat dari satu sisi agar tulisan lebih fokus dan detail, biasanya yang sangat terkait dengan momentum sejarah, entah sejarah personal atau sejarah universal. Teknik penulisannya pun lebh condong views ketimbang news—sangat mengandalkan daya ingat, kenangan, memori, pengalaman bersama.

Pada banyak media, tulisan obituari sering ditulis oleh orang-orang dekat dengan almarhum. Setidaknya, orang yang mengenal secara pribadi. Ketika Sobron Aidit meninggal di Perancis, kawan dekatnya, Agam Wispi, menulis sosok Sobron Aidit. Orang tak akan mendebat, karena semua orang tahu kedekatan keduanya.

Defenisi soal obituari itu saya pungut dari esai Goenawan Mohamad, Rosihan Anwar, dan Muchtar Lubis. Ada banyak defenisi lain, tetap dari semua defenisi itu tidak ada yang menyebutkan “kalau ada tokoh meninggal, buat beritanya dua kali meskipun sama”.

Berdasarkan defenisi itu saya membaca Lampung Post dan sangat kecewa karena isinya sama seperti di halaman pertama. “Lucu sekali,” kata seorang pekerja pers dalam short massage service, “koran seperti Lampung Post punya tradisi berita ganda.”

Ini bukan lawakan, tetapi sepotog tabu. Ini akan berulang karena “tidak ada yang berani memberi sanksi”. Karena pula, sanksi tidak penting di Lampung Post. Yang penting, koran terbit. Kesalahan fatal adalah anugerah terindah. Sebab itu, peliharalah kesalahan. Dalam rumusan Descartes, “kami salah maka kami ada”.

NIR KOMUNIKASI DAN TAK KUKUH DENGAN PENDIRIAN. Lampung Post sebuah produk tim. Seluruh isinya dikelola secara bersama-sama. Begitu idealnya. Nyatanya, produk ini dikelola tanpa komunikasi antara stake holder.

Nirkomunikasi terasa saat membaca berita “Korban Pencemaran Limbah Bertambah”. Antara redaktur (U-1) dengan wartawan LUT dan AAN tidak ada percakapan, sehingga berita kita yang merupakan round up story tentang pencemaran lingkungan oleh anak perusahan Grup Bumi Waras, dimentahkan oleh seorang Benny alias Abeng yang menyatakan “di lokasi itu sebenarnya tak terjadi apa-apa”.

Lantas, warga mengungsi, sakit yang mereka derita, dan ludah yang terasa pahit, apakah semua itu bualan  Lampung Post?

Berita kita, kita bantah sendiri. Kita tidak kukuh dengan pendirian. Ada apa? Apakah wartawan tak cukup cerdas untuk bertanya kepada Benny alias Abeng tentang “apakah Abeng buta sehingga tak melihat kondisi warga yang mengungsi dan kini sakit-sakitan?” Atau, redaktur tak cukup cerdas untuk menugaskan wartawan mengajukan pertanyaan di atas kepada Abeng?

Ini yang disebut rendah kemampuan berbicara (speaking), tidak ada desire for fact, tidak punya personality.

TERLALU NARSIS. Ada ribuan orang datang ke arena Kreativitas Anak. Untuk sebuah kegiatan yang telah digelar lima kali, alangkah bagusnya bila kita tidak narsis memuji acara sendiri. Para orangtua peserta, peserta, pejabat, tokoh masyarakat, yan datang bisa jadi narasumber untuk memuji atau mengkritik tradisi lomba mewarnai ini.

Sudah saatnya kita meminta advis dari orang lain, publik. Tapi berita kita Cuma bicara tentang diri kita sendiri.

Dalam dunia ilmu komunikasi, ada cara mengemas “agar orang memuji kita, bukan kita yang memuji diri sendiri.

Narsis juga saat melihat photo di edisi Ekonomi Syariah. Lihat caption foto yang berbunyi: “PENJELASAN. Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi sedang mendengarkan penjelasan mengenai asuransi syariah, Jumat (11-5)”.

Ini menunjukkan betapa Pemimpin Redaksi (representasi Lampung post), butuh penjelasan sangat serius soal asuransi syariah dari seseorang yang tidak dikenal. Apakah Lampung Post mau berubah buka devisi baru, Asuransi Syariah Lampung Post, sehingga butuh penjelasan serupa itu dan mesti dipublikasikan kepada publik lewat Lampung Post?

Lampung Post koran publik. Kalau awak Lampung Post ingin tampil, mending buat Buletin Lampung Post. Jangan dijual kepada publik.  Ini yang disebut tidak fairness

KURANG TELITI. Tanggal 12 Mei 2007 itu hari Sabtu. Hari Minggu tanggal 13 Mei 2007. Tapi, di Lampung Post, hari Sabtu itu tanggal 13 Mei 2007. Baca berita “Mahasiswa FKIP Juara” halaman 2. Date line menyebut Sabtu (13-5). Dengan redaktur K-2. Padahal di halaman yang sama dengan redaktur K-2 disebut bahwa hari Minggu tanggal 13 Mei 2007. Baca berita “KTM Direalisasikan 2007”.

Hal yang sama juga terjadi halaman PENDIDIKAN. Dengan redaktur S-1 dan wartawan AST berita berjudul “Satono Terus Tingkatkan Pendidikan Lamtim” disebut Sabtu (13-5), mestinya hari Sabtu itu tanggal 12 Mei 2007. Di halaman yang sama, redaktur S-1 mengedit berita “Dana Pendidikan Belum Sentuh Mahasiswa” dan menyebut hari Minggu tangal 13 Mei 2007.

Ini yang disebut kurang responsibility.

TERLALU BERPANJANG-PANJANG. Kalau bisa pendek, kenapa mesti panjang. Informasi yang didapat publik dengan membaca EDISI KHUSUS JEMBATAN SELAT SUNDA Cuma satu, yakni JEMBATAN SELAT SUNDA AKAN DIBANGUN KARENA PENTING.

Ada tiga berita soal jembatan selat sunda. Ketiga berita sama saja: menawarkan mimpi.

Inti berita berjudul “Tak Saja Menyatukan Dua Provinsi” berisi hal-hal, yakni: (1) Jika jembatan itu penting (2)jembatan itu keajaiban dunia (3)memacu pertumbuhan wilayah (4)meningkakan kesejahteraan rakyat (5)memperpendek jarak tempuh (6) dan lain-lain

Dalam berita “Membangun Keajaiban Dunia” soal itu masih dikutif. Dalam “Menghidupkan Sebuah Mimpi” dikutif lagi soal-soal sama.

Inilah tripel berita dalam halaman yang sama.  Tak ada variasi. Misal, kita punya data tentang pulau-pulau di kawasan Selat Sunda, yang kini sudah jadi milik pribadi. Sejak isu jembatan akan dibangun, banyak pengusaha membeli pulau-pulau yang diperkirakan akan menjadi tiang pancang jembatan. Harapan mereka harga tanah lebih mahal.

Tanya Anshori Djausal yang punya pulau di sana. Tanya juga kasus ganti rugi yang pernah merebak pada tahun 1998, yang membuat kawan bernama Marsidi Hasan kaya raya saat menjadi Camat di Kalianda.

Tanya juga warga di sepanjang kawasan pembanguan Jembatan, yang sampai sekarang merasa dibohongi karena terlanjur menjual murah tanahnya.

Pertanyaan jembatan selat sunda itu penting bagi siapa? Kalaupun bicara soal sarana transfortasi, lantas untuk apa kapal ro ro di selat sunda. Mau ditaruh dimana pengusaha transportasi laut itu? Bagaimana pula analisis ekonomi (perbandingan) jika pengusaha mengirim barang lewat Jembatan Selat Sunda dengan jika mengirim lewat kapal. Berapa persentase keuntungan yang akan diraih. Sektor apa pula yang akan tumbuh oleh Jembatan Selat Sunda itu. Jangan-jangan pungutan retribusi akan banyak.

Apa kabar Pelabuhan Panjang nantinya? Banyak hal yang tidak jelas, yang justru memberi kesan edisi khusus ini menjadi tak khusus.

Ditambah dengan desain halaman yang, entahlah, mengikuti konsep apa. Semakin jelas betapa tidak khususnya halaman khusus ini.

Seorang Roy Sembel datang ke Lampung. Kita tak ada beritanya. Apakah Lampung Post tak kenal Roy Sembel?

Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees