Kamis, 10 Februari 2011

Pers Hilang dari Bumi Lampung


SIANG itu di sebuah kantin di Biro Humas Pemerintah Provinsi Lampung, beberapa wartawan memperbincangkan ihwal program jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah yang digulirkan Gubernur Lampung Sjachroeddin Z.P. ”Kalau tak sekarang, kapan lagi kita bisa umrah.” Seorang wartawan, koresponden sebuah koran mentereng di Jakarta memberi alasan yang menurutnya logis. Wartawan lain menimpali dengan semangat mirip pejuang pada perang kemerdekaan di tahun 1945. ”Kita jangan mundur!”

Sikap keras ini muncul setelah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung menyatakan protes atas program itu. Dalam pandangan AJI, terutama karena beberapa anggota organisasi pers itu ditunjuk untuk diberangkatkan ke Malaysia dan umrah ke Makkah tanpa mengonfirmasi kepada wartawan bersangkutan lebih dahulu, pencantuman nama anggota AJI dapat merusak citra lembaga profesi ini.

Tak urung, Budisantoso Budiman, salah seorang pengurus AJI Kota Bandarlampung memberi sikap tegas (baca: Kontroversi ’Jalan-Jalan’ Wartawan dalam Radar Lampung, 9 Juli 2007).

Sekalipun demikian keras sikap AJI Kota Bandarlampung, namun soal jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah ini tidak kunjung dibatalkan pemerintah daerah. Padahal, program ini sama saja dengan menegasikan publik selaku pemilik dana yang akan digunakan—dana untuk program ini diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara hasil dari penggunaan dana publik ini tidak jelas out put-nya, kecuali satu hal, yakni agar wartawan merasa terpuaskan oleh elite pemerintah daerah.

Tulisan ini untuk menegaskan betapa sikap Budisantoso Budiman sepantasnya membuka cakrawala para elite pemerintahan di provinsi ini, betapa profesi wartawan masih memiliki orang yang tak gampang disogok dan disuap. Sebab itu, jangan pernah memperlakukan para wartawan sama seperti perlakuan pemerintah terhadap entitas masyarakat lainnya, yang hanya melihat posisi seorang elite pejabat pemerintah daerah dari aspek politik pemerintahan negara.


Wartawan Pejabat

Di tengah-tengah iklim rusaknya mental para pekerja pers--juga mentalitas para elite pemerintahan--di era reformasi saat ini, soal sogok-menyogok menjadi rutinitas yang dianggap lumrah. Memberikan fasilitas dan kemudahan-kemudahan kepada golongan tertentu—yang diharapkan bakal memberi respons serupa--dianggap sebagai sebuah keharusan. Gubernur Sjachroeddin Z.P. sendiri acap mengatakan, ’’Saya berteman akrab dengan wartawan di mana pun saya bertugas. Apa salahnya bila saya mencoba memperlakukan wartawan sebagai sahabat akrab.”

Ini membuktikan bahwa perspektif yang dimiliki oleh gubernur Lampung dalam melihat pers belum bergeser dari perspektif yang selama ini diyakini pemerintah, yakni sebagai institusi yang dapat merontokkan kekuasaan seorang elite pemerintah. Karena perspektif seperti itu, Gubernur Sjachroeddin menganggap akan lebih baik apabila dirinya berhubungan akrab dengan pers dan para pekerjanya. Tentu saja mudah menduganya bahwa Gubernur Sjachroeddin berpikir ’’seseorang yang diakrabi dan diberikan kebaikan-kebaikan akan bersikap sebagai penurut.”

Itu sebabnya, Pemerintah Provinsi Lampung merasa ’’tidak bersalah” dan karena itu tidak perlu meralat meskipun mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk menyenangkan hati wartawan. Sebab, program jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah bagi wartawan ini diharapkan agar wartawan merasa terpuaskan dan tersenangkan oleh elite pejabat pemerintah, sehingga wartawan memberikan respons yang juga akan membuat elite pejabat pemerintah merasa terpuaskan dan tersenangkan. Alhasil, wartawan tidak akan bisa lagi bersikap sebagaimana seharusnya seorang wartawan yang mesi kritis dan menjadi penyambung aspirasi publik, melainkan lebih menempatkan diri sebagai ’’anjing penjaga” elite pejabat pemerintah tersebut.

Sangat mungkin, alasan itulah yang membuat wajah dunia pers di provinsi ini menjadi seragam. Setiap hari kita membaca berita yang sama dalam beberapa produk industri pers, yang semuanya mencerminkan bahwa para pekerja pers telah memosisikan diri sebagai ’’tukang catat” bukan sebagai ’’tukang analisis”.

Pemberitaaan soal Laporan Pertanggungjawaban (LPj.) Gubernur Lampung, misalnya, pers di provinsi ini lebih banyak menampilkan peristiwa persidangan di DPRD Lampung. Sementara subtansi pertanggungjawaban Gubernur Lampung tidak mendapat porsi maksimal, padahal publik ingin mengetahui apakah akuntabilitas anggaran pemerintah daerah sangat transparan atau abu-abu.

Masyarakat tidak lagi menemukan fakta-fakta sebenarnya terkait kinerja para elite pemerintah daerah dalam pemberitaan pers. Elite pemerintah daerah dalam pers di provinsi ini tampak seperti ”malaikat” yang tidak pernah melakukan kesalahan. Bila ada pejabat yang mendapat penghargaan secara nasional, maka pers akan menampilkan beritanya dalam porsi sangat besar. Bahkan, akan muncul iklan ucapan selamat secara berulang-ulang, yang justru berdampak pada pengalihkan fakta.

Artinya, pers seharusnya mengungkapkan betulkah prestasi (penghargaan) yang diperoleh elite pejabat pemerintah itu layak diterimanya atau tidak sama sekali. Sebab, realitas pemberian penghargaan di negeri ini sarat akan kolusi dan nepotisme. Seorang pejabat bisa memesan jenis-jenis penghargaan yang diinginkannya, tinggal memenuhi persyataran-persyaratan administrasi yang dibuat panitia pemberi penghargaan.

Artinya, realitas di lingkungan masyarakat menunjukkan tidak banyak hal yang berubah sekalipun elite-elite pemerintah daerah terus berganti atau sebanyak apa pun penghargaan yang mereka peroleh. Pembangunan terlihat stagnan, ditandai dengan masih banyaknya rakyat yang hidup miskin, tidak terbukanya peluang-peluang kerja baru yang membuat angka pengangguran tetap tinggi, sulitnya masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintahan daerah, dan berbagai indikator pembangunan lainnya.

Sebab itu, apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung dengan program memberangkatkan wartawan untuk jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah, salah satu bentuk bahwa elite-elite pemerintah punya andil untuk merusak wajah pers di provinsi ini. Elite pemerintah menghendaki agar pers tampil kalem dan lembut, sehingga elite pejabat pemerintah bisa menjadikan pers sebagai mitra untuk membodohi masyarakat.


Pers APBD

Pers selama ini memberikan kontribusi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat dunia, sehingga Thomas Jefferson mengklaim pers merupakan the fourth estate (kekuatan keempat), selain yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Tentu saja klaim seperti itu hanya melenakan pers, membuat para pekerja pers merasa diposisikan sebagai ”dewa penyelamat”.

Para pekerja pers besar kepala, sehingga kesulitan untuk membawa kepalanya sendiri. Padahal, apa yang diungkapkan Thomas Jefferson itu hanya terealisasi pada sisi idealistis pers. Sementara sisi realistis justru memperlihatkan fakta yang berseberangan, karena pers di provinsi ini sejak mula dipersiapkan para entrepreneur bukan sebagai alat perjuangan. Pers di provinsi ini dibangun untuk menjadi jaring semacam trawl guna menjaring sekian banyak keuntungan komersial.

Memang, awalnya sejarah pers di provinsi ini diletakkan di atas dasar-dasar idealis. Namun, peletakkan dasar idealisme itu dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah sebagai pihak yang mesti menggelontorkan dana APBD untuk pers. Tidak heran apabila banyak dana APBD di provinsi maupun kabupaten/kota dialokasikan guna menghidupi institusi pers. Bahkan, organisasi profesi wartawan tidak bisa hidup tanpa kucuran dana APBD sampai AJI Kota Bandarlampung muncul.

Dari survei yang dilakukan penulis, sebagian besar institusi pers yang ada di provinsi ini tumbuh dan berkembang karena suntikan dana APBD. Sebab itu, mustahil mengharapkan pers di provinsi ini akan memainkan peran dan fungsinya sebagaimana seharusnya. Sebaliknya, pers selalu akan tampil sebagai ”anjing penjaga” pemerintah daerah yang senantiasa siap maju ke depan untuk mengubah citra seorang pejabat korup menjadi malaikat penyelamat.

Sebuah buku berjudul Wartawan Membuka Cakrawala (2007), yang berisi puji-pujian wartawan terhadap sosok Sjachroeddin Z.P. selaku pribadi maupun gubernur Lampung, salah satu indikator betapa pers dan para wartawan di provinsi ini telah memosisikan diri sebagai ’’anjing penjaga” elite pemerintah. Tanpa merasa malu terhadap profesi yang ditekuninya, wartawan-wartawan yang menulis buku itu membuka aib yang merontokkan idealisme masing-masing.

Realitas ini tentu sangat terkait dengan sejarah pers di provinsi ini yang tak akan pernah bisa menampilkan sosok pers yang sebenarnya. Di hadapan elite-elite pejabat pemerintah, pers di Lampung tidak dapat dijadikan acuan bagi publik untuk mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya.

Kesimpulan ini akan semakin jelas bila kita lihat dari sektor penerimaan iklan institusi pers yang ada di provinsi ini. Dari sekian banyak item sumber iklan bagi pers, birokrasi pemerintahan daerah menempati posisi sebagai pemasok terbesar setelah sektor usaha. Karena itu, birokrasi pemerintahan daerah bagi pers adalah semacam sumber penghasilan, sehingga tidak perlu diganggu gugat. Tingkat ketergantungan pers terhadap pemerintah daerah sangat tinggi, yang membuat posisi tawar mereka sangat rendah. Karena itu, sisi idealisme pers di provinsi ini tak akan pernah mengedepan di hadapan pemerintah daerah.

Mumpung

Elite pejabat pemerintah bagi masyarakat umum memiliki kedudukan tinggi dalam stratifikasi sosial. Sebab itu, setiap entitas masyarakat selalu berupaya untuk dekat dengan para elite. Mereka bersedia melakukan apa saja, bahkan untuk melacurkan diri. Tidak heran bila seorang elite pemerintah secara tiba-tiba memiliki banyak saudara secara kultural. Secara mendadak seseorang yang baru dilantik sebagai pejabat publik akan dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kultural dengan dirinya, meskipun selama ini pejabat bersangkutan nyaris tidak pernah tahu dengan saudara-saudara kulturalnya.

Bagi wartawan, seorang elite pejabat publik mestinya tetap dilihat dalam kapasitasnya sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan. Birokrasi adalah semacam mekanisme yang diciptakan agar elite mampu mengatur jajarannya dalam rangka melayani publik. Namun, wartawan di provinsi ini memiliki cara pandangan seperti yang diyakini masyarakat umum. Secara tiba-tiba wartawan melihat elite pejabat publik sebagai sebuah momentum, di mana dirinya dapat memanfaatkan posisi kepejabatan itu dengan memainkan peran sebagai ’’teman karib”, ’’pembisik”, dan ’’penjilat”.

Inilah yang mendorong gubernur Lampung meluncurkan program jalan-jalan. Itu berarti, kita harus memberikan selamat kepada yang berkesempatan berangkat. Ucapan sebaliknya kita berikan kepada publik: ’’Kasihan deh lu!” (*)


Tulisan ini dimuat Radar Lampung 15 Juli 2007

Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees