Rabu, 23 Februari 2011

Kritik Versi Pers Kita


ANCAMAN yang disampaikan Sekretaris Kabinet Dipo Alam agar pemerintah dan lembaga negara tak memasang iklan dan tidak memberikan informasi kepada media yang selalu mengkritisi pemerintah (Metro TV, Media Indonesia, dan TV One), sangat mengejutkan banyak kalangan.  Kalangan media bereaksi keras. Kuasa hukum Grup Media Indonesia, O.C. Kaligis, mensomasi Dipo Alam dengan tuntutan meminta Sekretaris Negara itu mencabut pernyataannya.
Reaksi tak kalah garang ditunjukkan kalangan politisi, budayawan, aktivis demokrasi, agaman, dan lain sebagainya. Semua kalangan menilai ancaman Dipo Alam sebagai sebentuk sikap Pemerintah SBY anti-kritik, semacam paranoia seorang bawahan agar atasannya merasa senang. Semua kalangan mendeskriditkan Dipo Alam.
Padahal, ada niat lain yang hendak disampaikan Dipo Alam di balik pernyataannya itu. Yakni, terkait pengungkapan realitas dunia media kita akhir-akhir ini. Dinamika pertumbuhan media massa yang begitu pesat di era reformasi, tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme kerja yang memadai.
Para pengelola media tidak lagi memikirkan persaingan ide dan gagasan dalam pemasaran media.  Produk media yang satu dengan media lainnya tidak lagi dapat dibedakan. Secara perlahan-lahan bisnis media kita menghilangkan segmentasinya. Pada posisi pembaca, tidak ada alasan kuat untuk membeli media massa lebih dari satu.
Media massa mainstream memang masih saja memainkan peran penting, tapi jumlahnya cenderung tak bertambah setiap tahun meskipun media masa bar uterus bertambah. Kehadiran media-media massa baru sifatnya menjadi pelengkap media-media mainstream. Kondisi ini semakin jelas jika kita memahami bagaimana jaringan media terbentuk di lingkungan masyarakat. Media yang tak memiliki jaringan, akan terjerembab menjadi media yang partisan.
Sumber daya manusia yang  dimiliki para pengelola media, bukanlah para professional yang memahami betul subtansi media. Tingkat pengetahuan mereka tentang media hanya berlandaskan pada pemahaman-pemahaman umum yang cenderung memosisikan media pada kedudukan sangat tinggi sebagai salah satu pilar demokrasi.  Mereka cenderung mengamini peran kesejarahan media daripada menganalisis apakah peran itu masih bisa berkembang atau akan mengalami kemunduran pada akhirnya. Banyak sistem media tidak lagi sesuai dengan klasifikasi lama dari Four Theori of Press.
Untuk menjadi pilar demokrasi,  menjadi kritis saja bukanlah jaminan.  Harus juga diikuti dengan kesadaran tinggi bahwa media massa telah menjadi kebutuhan paling primer bagi masyarakat saat ini. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap media massa juga tinggi, karena media massa mampu menyajikan informasi yang sulit didapat masyarakat dalam situasi apapun.
Pada tataran ini, bukan hal yang mustahil jika banyak kalangan yang berkepentingan mengambil hati public, merebut hati public dengan cara menguasai media massa. Menyampaikan berbagai hal penting melalui media massa, merupakan cara paling praktis untuk mensosialisasikan hal-hal terbaru. Termasuk menyampaikan pesan-pesan idiologis yang syarat akan kepentingan politis, yang oleh banyak kalangan dipahami sebagai semacam kritik.
Sebab itu, sangat beralasan jika kita mencurigai media-media kritis sebagai media yang sudah terkontaminasi kepentingan-kepentingan tertentu. Pemahaman ini pula yang hendak disampaikan Dipo Alam ketika dia menjelaskan latar belakang pemilik tiga media (Metro TV, Media Indonesia, dan TV One). Publik bisa menyimak, bahwa Partai Golkar yang ada di belakang ketiga media itu merupakan partai politik yang telah beroposisi dengan Pemerintah SBY. 
Dengan latar belakang politik yang beroposisi dengan Pemerintah SBY  sangat beralasan jika kemudian pengelola media  mendisain pesan sedemikian rupa untuk mempertajam kedudukan opisisi tersebut.  Publik bisa memahami sebuah institusi media itu beroposisi dengan Pemerintah SBY atau tidak dengan cara mengukur orientasi yang diperlihatkan dalam editorial, berita utama, dan kolom dalam menanggapi persoalan tertentu. “Pandangan institusi media tidak akan menimbulkan pembohongan,” tulis Warren Breed dalam artikelnya “Sosicial Control in the Newsroom” (1995), “tetapi akan melakukan penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan prefensial”.
Oposisi memiliki alasan yang kuat untuk memperkokoh posisi dan pendiriannya bila berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah SBY. Salah satunya karena sifat kebijakan pemerintah selalu terselubung, sehingga kebijakan itu rentan disimpangkan dalam pemberitaan media massa. Penyimpangan itu sendiri dilakukan dengan cara mengungkapkan realitas yang berlawanan dari kebijakan yang dibuat pemerintah, sehingga ia menjadi semacam kritik yang memosisikan pemerintah sebagai pelaku pembohongan public.
Inilah yang didefenisikan Dipo Alam sebagai kritik media terhadap Pemerintah SBY.  Meskipun pada satu sisi kentara bahwa Dipo Alam agak kurang memahami subtasial kerja media, di sisi lain ia memiliki dasar legitimasi yang kuat atas pernyataannya yang mendeskriditkan media.  Namun, tingkat pemahamannya sangat kuat didasari pada realitas media di era reformasi, sehingga lebih pantas diarahkan kepada pengelola media yang muncul belakangan. Pengelola media yang hadir justru menyebabkan dunia media tidak lagi memperdulikan segmentasi dan persaingan antarmedia.
Media-media baru yang sesungguhnya menjadi penyebab bangsa kita belum memperoleh kebebasan pers, karena kebebasan pers kita menjadi sangat tergantung pada pemerintah. Memang, bentuknya bukan karena pemerintah sangat represip, dikatator, dan hagemonik. Tapi, karena hampir tidak ada industri pers di negeri ini yang tak hidup tanpa dana mengandalkan dari pemerintah.  Bentuknya berupa iklan yang  dibayar dengan uang rakyat,  kerja sama pemberitaan berupa sosialisasi program-program pemerintah dengan total rupiah tertentu, dan kontrak pembelian media oleh pemerintah untuk bacaan masyarakat tertentu.
Tingginya ketergantungan pers terhadap pemerintah memaksa pengelola pers permisif terhadap kinerja pemerintah. Sulit menemukan pers yang kritis. Apalagi jika institusi pers bersangkutan sudah terikat berbagai kontrak kerja dengan pemerintah. Pemerintah mampu menguasai pers lewat rente ekonomi pers. Sebab itulah Dipo Alam percaya diri dengan pernyataannya. Sebagai bagian dari Pemerintah SBY, ia merasa telah bersikap sangat baik untuk menghidupi industri pers dengan iklan-iklan dari pemerintah.
Kesimpulan ini tidak selalu senyampang dengan realitas pers kita. Meskipun ketergantungan terhadap iklan pemerintah sangat tinggi, ada juga pengelola pers yang tidak perduli dengan iklan pemerintah. Institusi pers semacam ini memiliki modal yang kuat sebagai sebuah bisnis, lebih mengandalkan kemampuan merauf belanja iklan dari sektor swasta. ****


Kamis, 10 Februari 2011

Video Mesum; Cermin Buruk Pendidikan Moral


Wajah cantik Cut Tari yang biasanya sumringah tampak berurai air mata. Di televisi dia terbata-bata meminta maaf atas adegan pornonya dalam sebuah video dengan Ariel Peterpan. Penyesalan, rasa malu, dan duka senada ia ungkapkan. Tapi, rupanya itu tak cukup untuk membujuk hati sebagian warga republik ini untuk memaafkan perbuatannya, juga, tentu saja, Ariel dan Luna Maya. Meski berulang-ulang permintaan maaf ditayangkan, tuntutan hukum dan pencekalan terhadap para selebriti papan atas ini terus bergulir.

Oleh Hesma Eryani
Jurnalis, dosen Fisip Unila dan Fisip Universitas Bandar Lampung

Fakta ini menggambarkan bahwa prilaku asusila tetaplah menjadi sesuatu yang tidak disukai publik. Kemarahan publik, dalam berbagai ekpresi adalah indikasi bahwa perbuatan asusila sangat mengganggu, dan sebab itu pelakunya harus dihukum.
Perbuatan porno, mesum, perzinahan jelas salah. Dan ketika  itu divideokan, bukan saja makin salah, juga melampaui batas ambang etika. Pinjam bahasa Rhoma Irama,  sungguh terlalu!. Memang ada sebagian orang yang bersikap sebaliknya. Mereka menganggap perbuatan zinah, apalagi dilakukan atas dasar suka sama suka dan di tempat tertutup adalah hak pribadi, sekaligus ekspresi cinta.
Tapi, buat saya pribadi, ini bukanlah soal kebebasan memilih, bukan soal hak  azasi, atau privasi , melainkan soal moral, soal kepantasan dan kepatutan. Kalaupun itu sebuah kebebasan, hak privasi, atau azasi namun pun pada dasarnya ia tidak bebas sendirian, tidak berdiri sendiri melainkan terikat pada moralitas yang menyertainya.
Ketika sepasang anak manusia  melakukan perbuatan mesum, meski berada di ruang pribadi, dan atas dasar suka sama suka, mereka  tetap berhadapan dengan moral dan nilai yakni moral dan nilai agama. Orang lain, adapt istiadat, masyarakat mungkin saja membolehkan (?), tapi saya percaya, agama apapun tidak membenarkan perzinahan. 
Fakta kemarahan public dan tuntutan hukum atas perbuatan mesum Cut Tari, Ariel, dan Luna Maya mencerminkan bahwa masyarakat kita sesungguhnya merindukan kehidupan yang bersih, mencerminkan masih banyak jiwa yang tidak kotor. Jauh sebelum ini sejumlah kasus video mesum dan perzinahan merebak di berbagai wilayah dengan pelaku dari berbagai kalangan mulai pelajar, mahasiswa, pejabat, guru, hingga anggota DPR. Terhadap mereka memang ada reaksi dan tuntutan hokum tapi memang tidak sedashyat terhadap tiga artis ini.
Tentu ini bukan hal luar biasa mengingat tingkat keterkenalan mereka sebagai public memang luar biasa.Publik figure semacam Ariel cenderung diperlakukan penggemarnya sebagai idola. Keingintahuan public terhadap berbagai sepak terjang mereka cukup tinggi. Bahkan, sebagai idola berbagai perilaku mereka ditiru penggemarnya, mulai dari cara berpakaian, tatanan rambut, hingga perilaku di atas panggung. Jika yang ditiru itu hal baik  mungkin memang positif, namun akan sangat kontraproduktif ketika itu negative.
Pada kasus video mesum Ariel, keingintahuan public untuk menyaksikan adegan itu sangat besar dibanding jika pelakunya bukan mereka. Maka, tak pelak kita menyaksikan jutaan orang mengunduh video itu. Dan menjadi sangat fatal ketika yang menyaksikan itu anak-anak di bawah umur, yang sangat mudah tersangsang, dan menuntun naluriah mereka untuk melakukannya juga. Faktanya memang, setelah kasus ini mencuat ke permukaan, puluhan kasus perkosaan dan pelecehan seksual dilakukan anak-anak yang ditengarai (dan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia) akibat menonton video mesum Ariel tersebut. Jumlahnya meningkat lebih dari 20 persen dari sebelumnya
Dampak seperti inilah yang sangat kita takutkan. Itu sebabnya tuntutan agar penegak hokum bertindak tegas atas kasus ini sangat penting. Sanksi tegas penting agar ada keteladanan hokum. Apalagi sudah ada bukti sosiologis bahwa video mesum, siapa pun, yang bisa diakses memiliki daya rusak dan melahirkan disoerientasi nilai.
 Jika tidak, dampak turunan akan sangat dashyat. Kasus-kasus seperti ini akan selalu terulang dan orang-orang tidak merasa bersalah melakukan perzinahan. Perzinahan yang dianggap biasa akan melahirkan perilaku berzinah. Merebaknya perzinahan sangat mungkin meningkatkan angka aborsi, pelacuran, putus sekolah, serta merendahkan respek terhadap nilai sakral pernikahan.  Tak hanya pelaku mesum yang kena hujat melainkan masyarakat pun ikut kena getahnya. Bukan tak mungkin, ini bisa mendorong meningkatnya perilaku amoral masyarakat. Bila sudah begini, bangsa ini tengah mengalami degradasi moral.

Moral Yang Sakit

Kasus video mesum, juga kasus-kasus lainnya termasuk korupsi, main hakim sendiri , dan berbagai tindak kekerasan di masyarakat mencerminkan moral  dan jiwa yang sakit. Stadium penyakit itu kini sudah mencapai tingkat tinggi, dan akut. Dan, kita tentu saja tak boleh mendiamkan penyakit itu terus menggerogoti bangsa ini terus menerus. Harus ada upaya keras untuk menyembuhkannya. Berat memang, tapi kita tak punya pilihan jika tak ingin kematian pelan-pelan menjemput bangsa ini.  Penyembuhannya yang tak mudah juga disebabkan akar persoalannya memang sangat kompleks dan tidak berdiri sendiri. Harus ada pembongkaran nilai, bahkan, bila perlu secara ekstrim.
Degradasi dan disoerientasi moral itu juga mencerminkan ada yang salah dalam system kita, dan itu memerlukan koreksi secara komprehensif melibatkan seluruh elemen bangsa dalam berbagai skala dan lini. Sistem pendidikan, misalnya, mendesak dikoreksi. Masalah moral memang tak terlepas dari soal pendidikan
Harus diakui secara jujur bahwa pendidikan kita lebih menekankan aspek intelektual, dan  kurang memperhatikan aspek moral, olah rasa, dan olah jiwa. Ini potensial menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya dan kurang humanis. Akibat lain,  banyak tingkah yang cerdas secara intelektual namun rusak secara moral.
Cerminannya dapat kita amati dari berbagai tingkah laku masyarakat yang menyimpang, termasuk video mesum.  Di sisi lain,  kepercayaan masyarakat akan nilai-nilai pendidikan pun luntur hingga berakibat pada hilangnya motivasi untuk mengenyam pendidikan. Sebab itu, sostem pendidikan kita harus dikoreksi dengan menempatkan soal moral, nilai, dan agama sebagai prioritas. Atau, setidaknya seimbang dengan pendidikan aspek intelektual. Jika berhasil, kolaborasi antara
intelektualitas dan moralitas bukan tak mungkin mampu mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan dihormati.
Pendidikan agama di berbagai jenjang pendidikan yang sangat minim sudah seharusnya dikoreksi. Pendidikan agama sangat vital karena sangat signifikan dalam menekan lahirnya perilaku negative. Pendidikan moral dan agama memang bukan urusan lembaga pendidikan atau pemerintah saja, juga orang tua. Para orang tua mestilah sedini mungkin mendidik moral dan agama anak-anaknya.
nilai.
Penegakan hokum juga menjadi salah satu aspek yang harus terus menerus dibenahi. Undang-undang yang ada saat ini belum mampu mengakomodasi penegakan hokum, khususnya terkait kasus pornografi dan pornoaksi. Sebab itu, kasus video mesum Ariel hendaknya dapat menjadi momentum untuk merevisi kelemahan undang-undang, sekaligus menegakkan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini tak memiliki gigi dan lumpuh.
Sepanjang undang-undang tersebut seperti ini, sepanjang itu pula berbagai kasus mesum akan muncul. Atas nama kebebasan berekspresi, sekelompok orang tertentu akan dengan licik melakukan penggerusan nilai dan moral masyarakat melalui berbagai jalan, khususnya dunia hiburan. Lebih keji lagi, ketika kasus video mesum, katakanlah kasus Arel, ada  pula yang sengaja menggosok-gosok  suasana agar “booming” perzinahan berjalan terus dengan cara mengeksploitasi kasus  Ariel. Aroma kepentingan pragmatis dan kapitalis sangat menyengat di balik tindakan mereka ini.
Aturan terhadap operasional warnet (yang cenderung mulai tak terkendali), dan pemblokiran atas situs-situs porno (meski kemungkinannya sanat kecil) juga patut dilakukan.
Sekali lagi, ini memang tak mudah. Kontrol memang berangkat dari individu masing-masing. Kita jangan  saling lempar bahwa ini tugas kelompok ini atau itu. Semua harus bergerak, semua harus melihat masalah ini secara konsekuen. Aparat hukum bergerak melakukan pengawasan dan mengedepankan sikap persuasif dan bijaksana. Para  guru dan dosen harus  dapat mengintegrasikan moral dengan nilai-nilai yang positif, agamis. Para orang tua harus mengawasi anak-anaknya dalam penggunaan teknologi informasi khususnya laptop dan internet. Kesibukan bekerja terkadang membuat orang tua kurang mengasai penggunaan internet pada anak baik di dalam maupun di luar rumah.
Kemajuan teknologi yang beredar di masyarakat baik melalui ponsel maupun internet adalah dampak dRI kemajuan teknologi, namun teknologi tidak dapat disalahkan. Orang tua tak perlu mencegah anak-anak membawa ponsel dan berinteraksi dengan internet, melainkan memperketat pengawasan. Bahkan, jika anak-anak selalu ditanamkan pendidikan moral dan agama, pengaruh teknologi yang merusak dapat ditepis.
Oran tua dan guru harus bisa menyiapkan mental anak untuk menerima kemajuan teknologi. Upaya pencegahan beredarnya video tak senonoh di tingkat keluarga memang yang paling baik. Kita juga berharap agar pemerintah bersama instansi terkait memperketat pengawasan teknologi
Para pengelola media massa, khususnya elektronik terutama televisi, hendaknya menayangkan tayangan yang sehat, tidak mengarah pornografi dan porno aksi, tidak berbau kekerasan, dan merendahkan nilai-nilai agama. Peran televisi sangat vital dan menuntun masyarakat untuk bebas nilai, khususnya nilai moral, agama, dan masyarakat. Tayangkanlah film-film bersifat mendidik, yang menyalurkan nilai-nilai kemanusian, keberadaban, dan  hati nurani.
                            ***
Sejarah mengajarkan bahwa  kehancuran suatu bangsa bukan karena ekonominya, melainkan karena moralnya. Jika moral seseorang sudah bobrok, dia akan dengan sangat mudah dikuasai. Jika moral sudah bobrok, perbuatan bejat apapun akan dengan mudah dilakukan. Jika kejahatan sudah menjadi hal biasa, norma-norma dan susila terkoyak, tata nilai rusak, dan bangsa inipun hancur. Mari bangkit sebelum kehancuran tiba.


Pers Hilang dari Bumi Lampung


SIANG itu di sebuah kantin di Biro Humas Pemerintah Provinsi Lampung, beberapa wartawan memperbincangkan ihwal program jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah yang digulirkan Gubernur Lampung Sjachroeddin Z.P. ”Kalau tak sekarang, kapan lagi kita bisa umrah.” Seorang wartawan, koresponden sebuah koran mentereng di Jakarta memberi alasan yang menurutnya logis. Wartawan lain menimpali dengan semangat mirip pejuang pada perang kemerdekaan di tahun 1945. ”Kita jangan mundur!”

Sikap keras ini muncul setelah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung menyatakan protes atas program itu. Dalam pandangan AJI, terutama karena beberapa anggota organisasi pers itu ditunjuk untuk diberangkatkan ke Malaysia dan umrah ke Makkah tanpa mengonfirmasi kepada wartawan bersangkutan lebih dahulu, pencantuman nama anggota AJI dapat merusak citra lembaga profesi ini.

Tak urung, Budisantoso Budiman, salah seorang pengurus AJI Kota Bandarlampung memberi sikap tegas (baca: Kontroversi ’Jalan-Jalan’ Wartawan dalam Radar Lampung, 9 Juli 2007).

Sekalipun demikian keras sikap AJI Kota Bandarlampung, namun soal jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah ini tidak kunjung dibatalkan pemerintah daerah. Padahal, program ini sama saja dengan menegasikan publik selaku pemilik dana yang akan digunakan—dana untuk program ini diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara hasil dari penggunaan dana publik ini tidak jelas out put-nya, kecuali satu hal, yakni agar wartawan merasa terpuaskan oleh elite pemerintah daerah.

Tulisan ini untuk menegaskan betapa sikap Budisantoso Budiman sepantasnya membuka cakrawala para elite pemerintahan di provinsi ini, betapa profesi wartawan masih memiliki orang yang tak gampang disogok dan disuap. Sebab itu, jangan pernah memperlakukan para wartawan sama seperti perlakuan pemerintah terhadap entitas masyarakat lainnya, yang hanya melihat posisi seorang elite pejabat pemerintah daerah dari aspek politik pemerintahan negara.


Wartawan Pejabat

Di tengah-tengah iklim rusaknya mental para pekerja pers--juga mentalitas para elite pemerintahan--di era reformasi saat ini, soal sogok-menyogok menjadi rutinitas yang dianggap lumrah. Memberikan fasilitas dan kemudahan-kemudahan kepada golongan tertentu—yang diharapkan bakal memberi respons serupa--dianggap sebagai sebuah keharusan. Gubernur Sjachroeddin Z.P. sendiri acap mengatakan, ’’Saya berteman akrab dengan wartawan di mana pun saya bertugas. Apa salahnya bila saya mencoba memperlakukan wartawan sebagai sahabat akrab.”

Ini membuktikan bahwa perspektif yang dimiliki oleh gubernur Lampung dalam melihat pers belum bergeser dari perspektif yang selama ini diyakini pemerintah, yakni sebagai institusi yang dapat merontokkan kekuasaan seorang elite pemerintah. Karena perspektif seperti itu, Gubernur Sjachroeddin menganggap akan lebih baik apabila dirinya berhubungan akrab dengan pers dan para pekerjanya. Tentu saja mudah menduganya bahwa Gubernur Sjachroeddin berpikir ’’seseorang yang diakrabi dan diberikan kebaikan-kebaikan akan bersikap sebagai penurut.”

Itu sebabnya, Pemerintah Provinsi Lampung merasa ’’tidak bersalah” dan karena itu tidak perlu meralat meskipun mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk menyenangkan hati wartawan. Sebab, program jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah bagi wartawan ini diharapkan agar wartawan merasa terpuaskan dan tersenangkan oleh elite pejabat pemerintah, sehingga wartawan memberikan respons yang juga akan membuat elite pejabat pemerintah merasa terpuaskan dan tersenangkan. Alhasil, wartawan tidak akan bisa lagi bersikap sebagaimana seharusnya seorang wartawan yang mesi kritis dan menjadi penyambung aspirasi publik, melainkan lebih menempatkan diri sebagai ’’anjing penjaga” elite pejabat pemerintah tersebut.

Sangat mungkin, alasan itulah yang membuat wajah dunia pers di provinsi ini menjadi seragam. Setiap hari kita membaca berita yang sama dalam beberapa produk industri pers, yang semuanya mencerminkan bahwa para pekerja pers telah memosisikan diri sebagai ’’tukang catat” bukan sebagai ’’tukang analisis”.

Pemberitaaan soal Laporan Pertanggungjawaban (LPj.) Gubernur Lampung, misalnya, pers di provinsi ini lebih banyak menampilkan peristiwa persidangan di DPRD Lampung. Sementara subtansi pertanggungjawaban Gubernur Lampung tidak mendapat porsi maksimal, padahal publik ingin mengetahui apakah akuntabilitas anggaran pemerintah daerah sangat transparan atau abu-abu.

Masyarakat tidak lagi menemukan fakta-fakta sebenarnya terkait kinerja para elite pemerintah daerah dalam pemberitaan pers. Elite pemerintah daerah dalam pers di provinsi ini tampak seperti ”malaikat” yang tidak pernah melakukan kesalahan. Bila ada pejabat yang mendapat penghargaan secara nasional, maka pers akan menampilkan beritanya dalam porsi sangat besar. Bahkan, akan muncul iklan ucapan selamat secara berulang-ulang, yang justru berdampak pada pengalihkan fakta.

Artinya, pers seharusnya mengungkapkan betulkah prestasi (penghargaan) yang diperoleh elite pejabat pemerintah itu layak diterimanya atau tidak sama sekali. Sebab, realitas pemberian penghargaan di negeri ini sarat akan kolusi dan nepotisme. Seorang pejabat bisa memesan jenis-jenis penghargaan yang diinginkannya, tinggal memenuhi persyataran-persyaratan administrasi yang dibuat panitia pemberi penghargaan.

Artinya, realitas di lingkungan masyarakat menunjukkan tidak banyak hal yang berubah sekalipun elite-elite pemerintah daerah terus berganti atau sebanyak apa pun penghargaan yang mereka peroleh. Pembangunan terlihat stagnan, ditandai dengan masih banyaknya rakyat yang hidup miskin, tidak terbukanya peluang-peluang kerja baru yang membuat angka pengangguran tetap tinggi, sulitnya masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintahan daerah, dan berbagai indikator pembangunan lainnya.

Sebab itu, apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung dengan program memberangkatkan wartawan untuk jalan-jalan ke Malaysia dan umrah ke Makkah, salah satu bentuk bahwa elite-elite pemerintah punya andil untuk merusak wajah pers di provinsi ini. Elite pemerintah menghendaki agar pers tampil kalem dan lembut, sehingga elite pejabat pemerintah bisa menjadikan pers sebagai mitra untuk membodohi masyarakat.


Pers APBD

Pers selama ini memberikan kontribusi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat dunia, sehingga Thomas Jefferson mengklaim pers merupakan the fourth estate (kekuatan keempat), selain yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Tentu saja klaim seperti itu hanya melenakan pers, membuat para pekerja pers merasa diposisikan sebagai ”dewa penyelamat”.

Para pekerja pers besar kepala, sehingga kesulitan untuk membawa kepalanya sendiri. Padahal, apa yang diungkapkan Thomas Jefferson itu hanya terealisasi pada sisi idealistis pers. Sementara sisi realistis justru memperlihatkan fakta yang berseberangan, karena pers di provinsi ini sejak mula dipersiapkan para entrepreneur bukan sebagai alat perjuangan. Pers di provinsi ini dibangun untuk menjadi jaring semacam trawl guna menjaring sekian banyak keuntungan komersial.

Memang, awalnya sejarah pers di provinsi ini diletakkan di atas dasar-dasar idealis. Namun, peletakkan dasar idealisme itu dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah sebagai pihak yang mesti menggelontorkan dana APBD untuk pers. Tidak heran apabila banyak dana APBD di provinsi maupun kabupaten/kota dialokasikan guna menghidupi institusi pers. Bahkan, organisasi profesi wartawan tidak bisa hidup tanpa kucuran dana APBD sampai AJI Kota Bandarlampung muncul.

Dari survei yang dilakukan penulis, sebagian besar institusi pers yang ada di provinsi ini tumbuh dan berkembang karena suntikan dana APBD. Sebab itu, mustahil mengharapkan pers di provinsi ini akan memainkan peran dan fungsinya sebagaimana seharusnya. Sebaliknya, pers selalu akan tampil sebagai ”anjing penjaga” pemerintah daerah yang senantiasa siap maju ke depan untuk mengubah citra seorang pejabat korup menjadi malaikat penyelamat.

Sebuah buku berjudul Wartawan Membuka Cakrawala (2007), yang berisi puji-pujian wartawan terhadap sosok Sjachroeddin Z.P. selaku pribadi maupun gubernur Lampung, salah satu indikator betapa pers dan para wartawan di provinsi ini telah memosisikan diri sebagai ’’anjing penjaga” elite pemerintah. Tanpa merasa malu terhadap profesi yang ditekuninya, wartawan-wartawan yang menulis buku itu membuka aib yang merontokkan idealisme masing-masing.

Realitas ini tentu sangat terkait dengan sejarah pers di provinsi ini yang tak akan pernah bisa menampilkan sosok pers yang sebenarnya. Di hadapan elite-elite pejabat pemerintah, pers di Lampung tidak dapat dijadikan acuan bagi publik untuk mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya.

Kesimpulan ini akan semakin jelas bila kita lihat dari sektor penerimaan iklan institusi pers yang ada di provinsi ini. Dari sekian banyak item sumber iklan bagi pers, birokrasi pemerintahan daerah menempati posisi sebagai pemasok terbesar setelah sektor usaha. Karena itu, birokrasi pemerintahan daerah bagi pers adalah semacam sumber penghasilan, sehingga tidak perlu diganggu gugat. Tingkat ketergantungan pers terhadap pemerintah daerah sangat tinggi, yang membuat posisi tawar mereka sangat rendah. Karena itu, sisi idealisme pers di provinsi ini tak akan pernah mengedepan di hadapan pemerintah daerah.

Mumpung

Elite pejabat pemerintah bagi masyarakat umum memiliki kedudukan tinggi dalam stratifikasi sosial. Sebab itu, setiap entitas masyarakat selalu berupaya untuk dekat dengan para elite. Mereka bersedia melakukan apa saja, bahkan untuk melacurkan diri. Tidak heran bila seorang elite pemerintah secara tiba-tiba memiliki banyak saudara secara kultural. Secara mendadak seseorang yang baru dilantik sebagai pejabat publik akan dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kultural dengan dirinya, meskipun selama ini pejabat bersangkutan nyaris tidak pernah tahu dengan saudara-saudara kulturalnya.

Bagi wartawan, seorang elite pejabat publik mestinya tetap dilihat dalam kapasitasnya sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan. Birokrasi adalah semacam mekanisme yang diciptakan agar elite mampu mengatur jajarannya dalam rangka melayani publik. Namun, wartawan di provinsi ini memiliki cara pandangan seperti yang diyakini masyarakat umum. Secara tiba-tiba wartawan melihat elite pejabat publik sebagai sebuah momentum, di mana dirinya dapat memanfaatkan posisi kepejabatan itu dengan memainkan peran sebagai ’’teman karib”, ’’pembisik”, dan ’’penjilat”.

Inilah yang mendorong gubernur Lampung meluncurkan program jalan-jalan. Itu berarti, kita harus memberikan selamat kepada yang berkesempatan berangkat. Ucapan sebaliknya kita berikan kepada publik: ’’Kasihan deh lu!” (*)


Tulisan ini dimuat Radar Lampung 15 Juli 2007


 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees