Wajah cantik Cut Tari yang biasanya sumringah tampak berurai air mata. Di televisi dia terbata-bata meminta maaf atas adegan pornonya dalam sebuah video dengan Ariel Peterpan. Penyesalan, rasa malu, dan duka senada ia ungkapkan. Tapi, rupanya itu tak cukup untuk membujuk hati sebagian warga republik ini untuk memaafkan perbuatannya, juga, tentu saja, Ariel dan Luna Maya. Meski berulang-ulang permintaan maaf ditayangkan, tuntutan hukum dan pencekalan terhadap para selebriti papan atas ini terus bergulir.
Oleh Hesma Eryani
Jurnalis, dosen Fisip Unila dan Fisip Universitas Bandar Lampung
Fakta ini menggambarkan bahwa prilaku asusila tetaplah menjadi sesuatu yang tidak disukai publik. Kemarahan publik, dalam berbagai ekpresi adalah indikasi bahwa perbuatan asusila sangat mengganggu, dan sebab itu pelakunya harus dihukum.
Perbuatan porno, mesum, perzinahan jelas salah. Dan ketika itu divideokan, bukan saja makin salah, juga melampaui batas ambang etika. Pinjam bahasa Rhoma Irama, sungguh terlalu!. Memang ada sebagian orang yang bersikap sebaliknya. Mereka menganggap perbuatan zinah, apalagi dilakukan atas dasar suka sama suka dan di tempat tertutup adalah hak pribadi, sekaligus ekspresi cinta.
Tapi, buat saya pribadi, ini bukanlah soal kebebasan memilih, bukan soal hak azasi, atau privasi , melainkan soal moral, soal kepantasan dan kepatutan. Kalaupun itu sebuah kebebasan, hak privasi, atau azasi namun pun pada dasarnya ia tidak bebas sendirian, tidak berdiri sendiri melainkan terikat pada moralitas yang menyertainya.
Ketika sepasang anak manusia melakukan perbuatan mesum, meski berada di ruang pribadi, dan atas dasar suka sama suka, mereka tetap berhadapan dengan moral dan nilai yakni moral dan nilai agama. Orang lain, adapt istiadat, masyarakat mungkin saja membolehkan (?), tapi saya percaya, agama apapun tidak membenarkan perzinahan.
Fakta kemarahan public dan tuntutan hukum atas perbuatan mesum Cut Tari, Ariel, dan Luna Maya mencerminkan bahwa masyarakat kita sesungguhnya merindukan kehidupan yang bersih, mencerminkan masih banyak jiwa yang tidak kotor. Jauh sebelum ini sejumlah kasus video mesum dan perzinahan merebak di berbagai wilayah dengan pelaku dari berbagai kalangan mulai pelajar, mahasiswa, pejabat, guru, hingga anggota DPR. Terhadap mereka memang ada reaksi dan tuntutan hokum tapi memang tidak sedashyat terhadap tiga artis ini.
Tentu ini bukan hal luar biasa mengingat tingkat keterkenalan mereka sebagai public memang luar biasa.Publik figure semacam Ariel cenderung diperlakukan penggemarnya sebagai idola. Keingintahuan public terhadap berbagai sepak terjang mereka cukup tinggi. Bahkan, sebagai idola berbagai perilaku mereka ditiru penggemarnya, mulai dari cara berpakaian, tatanan rambut, hingga perilaku di atas panggung. Jika yang ditiru itu hal baik mungkin memang positif, namun akan sangat kontraproduktif ketika itu negative.
Pada kasus video mesum Ariel, keingintahuan public untuk menyaksikan adegan itu sangat besar dibanding jika pelakunya bukan mereka. Maka, tak pelak kita menyaksikan jutaan orang mengunduh video itu. Dan menjadi sangat fatal ketika yang menyaksikan itu anak-anak di bawah umur, yang sangat mudah tersangsang, dan menuntun naluriah mereka untuk melakukannya juga. Faktanya memang, setelah kasus ini mencuat ke permukaan, puluhan kasus perkosaan dan pelecehan seksual dilakukan anak-anak yang ditengarai (dan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia) akibat menonton video mesum Ariel tersebut. Jumlahnya meningkat lebih dari 20 persen dari sebelumnya
Dampak seperti inilah yang sangat kita takutkan. Itu sebabnya tuntutan agar penegak hokum bertindak tegas atas kasus ini sangat penting. Sanksi tegas penting agar ada keteladanan hokum. Apalagi sudah ada bukti sosiologis bahwa video mesum, siapa pun, yang bisa diakses memiliki daya rusak dan melahirkan disoerientasi nilai.
Jika tidak, dampak turunan akan sangat dashyat. Kasus-kasus seperti ini akan selalu terulang dan orang-orang tidak merasa bersalah melakukan perzinahan. Perzinahan yang dianggap biasa akan melahirkan perilaku berzinah. Merebaknya perzinahan sangat mungkin meningkatkan angka aborsi, pelacuran, putus sekolah, serta merendahkan respek terhadap nilai sakral pernikahan. Tak hanya pelaku mesum yang kena hujat melainkan masyarakat pun ikut kena getahnya. Bukan tak mungkin, ini bisa mendorong meningkatnya perilaku amoral masyarakat. Bila sudah begini, bangsa ini tengah mengalami degradasi moral.
Moral Yang Sakit
Kasus video mesum, juga kasus-kasus lainnya termasuk korupsi, main hakim sendiri , dan berbagai tindak kekerasan di masyarakat mencerminkan moral dan jiwa yang sakit. Stadium penyakit itu kini sudah mencapai tingkat tinggi, dan akut. Dan, kita tentu saja tak boleh mendiamkan penyakit itu terus menggerogoti bangsa ini terus menerus. Harus ada upaya keras untuk menyembuhkannya. Berat memang, tapi kita tak punya pilihan jika tak ingin kematian pelan-pelan menjemput bangsa ini. Penyembuhannya yang tak mudah juga disebabkan akar persoalannya memang sangat kompleks dan tidak berdiri sendiri. Harus ada pembongkaran nilai, bahkan, bila perlu secara ekstrim.
Degradasi dan disoerientasi moral itu juga mencerminkan ada yang salah dalam system kita, dan itu memerlukan koreksi secara komprehensif melibatkan seluruh elemen bangsa dalam berbagai skala dan lini. Sistem pendidikan, misalnya, mendesak dikoreksi. Masalah moral memang tak terlepas dari soal pendidikan
Harus diakui secara jujur bahwa pendidikan kita lebih menekankan aspek intelektual, dan kurang memperhatikan aspek moral, olah rasa, dan olah jiwa. Ini potensial menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya dan kurang humanis. Akibat lain, banyak tingkah yang cerdas secara intelektual namun rusak secara moral.
Cerminannya dapat kita amati dari berbagai tingkah laku masyarakat yang menyimpang, termasuk video mesum. Di sisi lain, kepercayaan masyarakat akan nilai-nilai pendidikan pun luntur hingga berakibat pada hilangnya motivasi untuk mengenyam pendidikan. Sebab itu, sostem pendidikan kita harus dikoreksi dengan menempatkan soal moral, nilai, dan agama sebagai prioritas. Atau, setidaknya seimbang dengan pendidikan aspek intelektual. Jika berhasil, kolaborasi antara
intelektualitas dan moralitas bukan tak mungkin mampu mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan dihormati.
Pendidikan agama di berbagai jenjang pendidikan yang sangat minim sudah seharusnya dikoreksi. Pendidikan agama sangat vital karena sangat signifikan dalam menekan lahirnya perilaku negative. Pendidikan moral dan agama memang bukan urusan lembaga pendidikan atau pemerintah saja, juga orang tua. Para orang tua mestilah sedini mungkin mendidik moral dan agama anak-anaknya.
nilai.
Penegakan hokum juga menjadi salah satu aspek yang harus terus menerus dibenahi. Undang-undang yang ada saat ini belum mampu mengakomodasi penegakan hokum, khususnya terkait kasus pornografi dan pornoaksi. Sebab itu, kasus video mesum Ariel hendaknya dapat menjadi momentum untuk merevisi kelemahan undang-undang, sekaligus menegakkan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini tak memiliki gigi dan lumpuh.
Sepanjang undang-undang tersebut seperti ini, sepanjang itu pula berbagai kasus mesum akan muncul. Atas nama kebebasan berekspresi, sekelompok orang tertentu akan dengan licik melakukan penggerusan nilai dan moral masyarakat melalui berbagai jalan, khususnya dunia hiburan. Lebih keji lagi, ketika kasus video mesum, katakanlah kasus Arel, ada pula yang sengaja menggosok-gosok suasana agar “booming” perzinahan berjalan terus dengan cara mengeksploitasi kasus Ariel. Aroma kepentingan pragmatis dan kapitalis sangat menyengat di balik tindakan mereka ini.
Aturan terhadap operasional warnet (yang cenderung mulai tak terkendali), dan pemblokiran atas situs-situs porno (meski kemungkinannya sanat kecil) juga patut dilakukan.
Sekali lagi, ini memang tak mudah. Kontrol memang berangkat dari individu masing-masing. Kita jangan saling lempar bahwa ini tugas kelompok ini atau itu. Semua harus bergerak, semua harus melihat masalah ini secara konsekuen. Aparat hukum bergerak melakukan pengawasan dan mengedepankan sikap persuasif dan bijaksana. Para guru dan dosen harus dapat mengintegrasikan moral dengan nilai-nilai yang positif, agamis. Para orang tua harus mengawasi anak-anaknya dalam penggunaan teknologi informasi khususnya laptop dan internet. Kesibukan bekerja terkadang membuat orang tua kurang mengasai penggunaan internet pada anak baik di dalam maupun di luar rumah.
Kemajuan teknologi yang beredar di masyarakat baik melalui ponsel maupun internet adalah dampak dRI kemajuan teknologi, namun teknologi tidak dapat disalahkan. Orang tua tak perlu mencegah anak-anak membawa ponsel dan berinteraksi dengan internet, melainkan memperketat pengawasan. Bahkan, jika anak-anak selalu ditanamkan pendidikan moral dan agama, pengaruh teknologi yang merusak dapat ditepis.
Oran tua dan guru harus bisa menyiapkan mental anak untuk menerima kemajuan teknologi. Upaya pencegahan beredarnya video tak senonoh di tingkat keluarga memang yang paling baik. Kita juga berharap agar pemerintah bersama instansi terkait memperketat pengawasan teknologi
Para pengelola media massa, khususnya elektronik terutama televisi, hendaknya menayangkan tayangan yang sehat, tidak mengarah pornografi dan porno aksi, tidak berbau kekerasan, dan merendahkan nilai-nilai agama. Peran televisi sangat vital dan menuntun masyarakat untuk bebas nilai, khususnya nilai moral, agama, dan masyarakat. Tayangkanlah film-film bersifat mendidik, yang menyalurkan nilai-nilai kemanusian, keberadaban, dan hati nurani.
***
Sejarah mengajarkan bahwa kehancuran suatu bangsa bukan karena ekonominya, melainkan karena moralnya. Jika moral seseorang sudah bobrok, dia akan dengan sangat mudah dikuasai. Jika moral sudah bobrok, perbuatan bejat apapun akan dengan mudah dilakukan. Jika kejahatan sudah menjadi hal biasa, norma-norma dan susila terkoyak, tata nilai rusak, dan bangsa inipun hancur. Mari bangkit sebelum kehancuran tiba.
0 Comments:
Posting Komentar