Kamis, 10 Februari 2011

Informasi: Pedang Bermata Dua


Apakah kebebasan informasi tidak mengenal batas? Pertanyaan itu muncul manakala kita merasa tidak nyaman oleh penyiaran informasi yang merugikan kita, tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut, atau yang kita anggap memihak saingan atau lawan. Maka kalau kita bicara soal politik-ekonomi internasional, misalnya, selalu ada pertanyaan: mungkinkah negara-negara maju dengan sengaja mengadakan kolonisasi informasi? 

Sampai sekarang masih saja ada anggapan, negara-negara maju meningkatkan arus informasinya demi kepentingan ekonomi-politiknya. Dengan komunikasi dan muatan politiknya, mereka ingin mengubah pendapat pihak yang menjadi objeknya. Informasi umumnya mencerminkan sebagian besar pikiran mereka. Komunikasi dipakai untuk mementaskan ide-ide yang mereka anut dan akui. Secara sengaja atau tidak, arus informasi dari mereka bisa mengarahkan pandangan dan jalan hidup kita, bisa membuat kita patuh pada norma-norma mereka. Dalam konstelasi politik dan ekonomi dunia sekarang, wajar kalau kita curiga. Zaman penjajahan baru selesai di abad 20. Luka akibat kolonialisme belum pulih benar. 

Di sisi lain, masyarakat internasional umumnya berangsur meyakini bahwa kebebasan saluran informasi lebih besar manfaatnya daripada mudaratnya. Aliran informasi antarnegara memungkinkan pertukaran pemikiran dan pengenalan budaya antarmereka. Bahkan membuka kemungkinan kerja sama ekonomi untuk menghapus kemiskinan dan penderitaan. Trauma Perang Dunia II mendorong banyak negara untuk membuka saluran komunikasi secara bebas. Tanpa hambatan komunikasi, diharapkan akan terjalin saling pengertian yang bisa menghalau permusuhan yang mungkin berujung pada konflik antarnegara atau bahkan perang dunia III. Sebagai tindak lanjut, dibentuk berbagai perhimpunan dan konferensi demi mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat perselisihan atau beda pendapat. 

Namun, mengingat kemajuan negara-negara berbeda satu sama lain, tetap saja ada kekhawatiran bahwa keterbukaan informasi tentang ketimpangan malahan akan dimanfaatkan negara-negara maju. Kebebasan informasi ibarat pedang bermata dua. 

Meneliti saluran informasi 

Penyaluran informasi ada sarananya. Yang perlu diwaspadai, sarananya belum tentu sempurna, sebab cara mengomunikasikan suatu pesan bisa menguntungkan atau, sebaliknya, bisa mencelakakan. Nasihat itu berlaku universal. Begitulah situasinya, apakah informasi itu lalu-lalang di ajang internasional, atau khusus dari dan untuk masyarakat sendiri. 

Di era informasi, kita sulit menghindar dari dampak banjir informasi dari luar maupun dalam negeri. Beruntunglah kita kalau dampaknya positif. Bagaimana kalau dampaknya negatif? Menilai informasi yang datang di masyarakat kita tidak sederhana sebab penafsiran oleh para penerima informasi di masyarakat plural yang heterogen juga berbeda-beda. Philip Kotler PhD (1931-...), ahli pemasaran, dalam Social Marketingmenyatakan masyarakat menafsirkan informasi sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya. Nuraninya pun berbicara. 

Contoh soal: kasus Gayus yang mengganti pengacaranya. Lain pengacaranya, lain bicaranya. Mana yang kita percaya: Gayus yang dulu, atau Gayus yang sekarang? Apa bisikan nurani kita masing-masing? Masyarakat cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan pendapatnya. Sebaliknya dia cenderung menerima informasi yang sesuai dengan kebutuhan pikiran dan perasaannya. 

Peran insan pers/media massa 

Pemeran terpenting--walaupun bukan satu-satunya--dalam penyaluran informasi adalah insan pers/media massa. Belum lama ini ada eksekutif yang mengatakan dia tidak selalu percaya yang dikatakan wartawan. Pesan-pesan yang diberitakan wartawan sering kali membuat masyarakat bertambah resah. Bagi wartawan umumnya, pernyataan itu menyentak. Namun, tentu bukan dia saja yang berpendapat demikian. Faktanya, media massa memang biasa menjadi sasaran kecurigaan, bisa menjadi buron kecaman dan tidak jarang dikambinghitamkan. Tentu ada alasannya. 

Introspeksi membuahkan kesimpulan: orang media massa tidak homogen. Kami memiliki konsep yang berbeda-beda tentang peran kami, walaupun tujuan kami sama. Wartawan ingin memberikan gambaran tentang keadaan politik, ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat. Namun, karena latar belakang pengalaman jurnalistik maupun pendidikan tidak sama, wajar bahwa ada nuansa yang beda dalam telaah atau penilaian masing-masing tentang banyak hal. 

Yang mungkin sama adalah anggapan bahwa peran sebagai wartawan menggairahkan, khususnya bagi yang memilih karier ini sebagai jalan hidup. Mencatat kejadian-kejadian yang nantinya membentuk sejarah menjadi tugas yang memesona. Bahkan sebagian wartawan mungkin beranggapan, wartawan bukan hanya pelaku sejarah, melainkan secara tidak langsung ikut merintis jalannya sejarah. Karena sadar akan tugas itu, wartawan selalu mencari tahu tentang kebenaran dan berusaha bersikap objektif dalam menanggapinya; agar penilaian dan pemikiran wartawan bisa menjadi rujukan. Wartawan juga sadar, pesan atau informasi yang disampaikan bisa berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Beban tanggung jawabnya tidak sederhana dan etika harus selalu menjadi panduan sesuai dengan panggilan nurani dan karena diperlukan untuk melindungi asas demokrasi yang, menurut Presiden, kini sedang mekar di Indonesia. 

Tokoh pers Amerika, Harry Scott Ashmore (1916-1998), pemenang Robert Kennedy Book Award Lifetime Achievement 1995-1996, pernah menyatakan: "Mungkin yang paling kita perlukan hanyalah keberanian sesuai pendirian kita sendiri--untuk menyadari bahwa 'berita' bukan hanya catatan fakta-fakta yang dapat dipastikan kebenarannya dan pendapat-pendapat yang muncul sebagai akibatnya, melainkan catatan rentetan kejadian di dunia yang kita tempati dilihat dari nilai-nilai moralnya. Kita bisa saja salah, itu pasti, dan kita juga bisa saja disalahgunakan—tetapi, paling tidak, kita akan menempati posisi di menara, dan berusaha menceritakan apa yang kita lihat dalam segenap dimensinya." 

Fakta bahwa ada yang masih curiga terhadap wartawan, harus kami terima dengan sikap terbuka dan malahan kami anggap sebagai dorongan untuk menyempurnakan diri. Jangan sampai kami wartawan tergoda untuk menjadi pedang bermata dua--mengatasnamakan tugas kewartawanan demi keuntungan pribadi. Malahan sebagai penyalur informasi, kami selalu mengusahakan jangan hanya menjadi penyampai informasi yang terampil dan efisien, tetapi harus mampu menjadi penyaring dan pengolah informasi yang berwawasan luas dan dalam. 

Pada peringatan Hari Pers Nasional ke-65, kami percaya wartawan Indonesia masih memiliki komitmen untuk menyampaikan pesan-pesan demi kemaslahatan bersama; dan berpotensi menjadi penyalur informasi yang andal, yang diperlukan masyarakat sekarang. 

Oleh Toeti Adhitama 
Anggota Dewan Redaksi Media Group. Dipublikasikan di MEDIA INDONESIA edisi Sabtu, 12 Februari 2010

Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees