SUATU kali saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi tentang dunia perbukuan di Lampung, seorang peserta berkata: “Penerbit di Indonesia, apalagi di Lampung, tak menghargai hak karya ilmiah para penulis buku.”
Jawaban saya ketika itu seperti ini. “Tidak ada yang salah dari penilaian itu.”
Sampai sekarang penilaian itu tetap tidak salah. Karena begitulah realitasnya. Hak penulis yang disebut royalti atas hasil penjualan buku yang ditulisnya bukan saja rendah, tetapi sangat tidak bisa diandalkan untuk menghasilkan buku-buku selanjutnya.
Jika kita sepakat bahwa tanggung jawab terbesar seorang penulis buku, selain mempertahankan tesis dalam bukunya, juga menghasilkan buku-buku baru berikutnya. Karena itu, sebagian besar penulis segera menjadi jera setelah buku pertamanya terbit.
Kenapa hal demikian bisa terjadi? Penyebabnya, tiras buku yang diterbitkan di Indonesia, sangat kecil. Para penerbit besar umumnya menerbitkan buku dengan tiras tidak lebih dari 3.000 eksemplar. Untuk buku yang bagus, buku-buku itu baru habis setelah enam bulan. Dan, penerbit rata-rata memberikan royalti 10 persen brutto dikurangi pajak penghasilan 10 persen atau 15 persen neto.
Jika buku baru itu dijual Rp50.000 per buku, misalnya, penulis akan mendapatkan royalti Rp 4.250 per buku, yaitu 10 persen dari harga buku dikurangi pajak penghasilan 10 persen. Jika semua bukunya habis terjual, maka seorang penulis akan memperoleh penghasilan Rp12.750.000.
Jika buku itu best seller dalam waktu satu bulan, maka uang sebanyak Rp12.750.000 itu menjadi penghasilan sebulan. Seorang penulis akan cepat kaya raya. Tapi, setiap penulis akan mendapat pemberitahuan dari penerbit setiap enam bulan sekali.
Bagaimana kalau 3.000 judul buku itu baru laku selama satu tahun? Atau dua tahun? Atau tiga tahun?
Dalam hal penerbitan buku, umumnya penerbit menangani semua seluk-beluk penerbitan sejak naskah disetujui, digarap tata letak dan sampul, pencetakan, hingga distribusi. Penerbit pula yang menentukan harga buku. Penentuan harga buku dilakukan berdasarkan besarnya biaya produksi ditambah kualitas isi buku tersebut.
Kenapa royalti penulis cuma 10% dari harga jual buku?
Toko buku mengambil keuntungan 30 persen dari setiap buku jika buku itu dipajang di toko buku tersebut. Sedangkan distributor mengambil keuntungan 30% dari harga jual buku, karena jasa mendistribusikan ke seluruh daerah. Dengan demikian, penerbit mengantongi 30 persen dari harga buku.
Keuntungan 30% dari harga buku yang diperoleh penerbit, masih dibagi untuk promosi buku tersebut yang akan menghabiskan 10% keuntungan penerbit.
Bagaimana halnya penerbit buku di Lampung?
Sejarah penerbitan buku di Lampung bukanlah industri skala besar seperti penerbitan buku di Pulau Jawa. Penerbitan buku di Lampung dikelola dengan modal cekak. Satu-satunya alasan tetap eksis agar Lampung terekam dalam sejumlah buku yang dapat dibaca dan disimpan oleh masyarakat.
Idealisme semacam ini tak akan mendongkrak penerbitan buku menjadi sebuah industri besar. Setidaknya, kehadiran penerbitan di Lampung telah membuat banyak hal tentang Lampung terekam dalam sejumlah buku.
Sebut saja Penerbit Cendekia yang khusus menerbitkan biografi-biografi para elite di Lampung seperti biografi Andy Ahmad Sampoernajaya dan Abdurrahman Sarbini. Penerbit Warna, yang tidak mengkhususkan diri, dan banyak menghasilkan buku tentang tokoh-tokoh Lampung. Penerbit Siger, yang khusus menerbitkan karya sastra. Penerbit BE Press yang menerbitkan naskah-naskah lokal Lampung dan beberapa dari karyanya mendapat perhatian secara nasional seperti Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi yang mendapat Rancange Award 2007.
Ada juga Penerbit MataKata, yang awalnya 2004 merupakan devisi penerbitan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL). Sejak 2007 telah melepaskan diri Yayasan SKL dan banyak bergerak di bidang penerbitan buku lokal di Lampung maupun luar Lampung. Penerbit MataKata sejak berdiri 2004, sudah memproduksi sebanyak 20 judul buku yang dijual di berbagai toko buku di seluruh Indonesia.
Penerbit MataKata yang semula berada di Lampung dan awalnya bermoto “Melampungkan Buku dan Membukukan Lampung”, tidak mampu mewujudkan motto tersebut karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perbukuan. Penerbit MataKata lebih memilih menerbitkan buku apa saja dengan mencari naskah ke seluruh Nusantara.
Berbeda dengan penerbit umumnya, pengelola Penerbit MataKata tidak mengandalkan pengumpulan naskah, tetapi memiliki devisi yang melakukan riset dan menulis sendiri naskah yang hendak diterbitkan. Dengan cara seperti ini, Penerbit MataKata bisa eksis dan tetap menghasilkan buku, meskipun tidak lagi memikirkan hanya ”menerbitkan buku tentang Lampung”.
Penerbit lain yang mengambil pola seperti Penerbit MataKata adalah Penerbit Melayu, yang muncul di Lampung, tetapi banyak beropersi di Sumatra Selatan.
Sebetulnya, dunia penerbitan buku sudah mulai sejak era 1980-an dengan kehadiran Penerbit Pesagi. Penerbit yang mengkhususkan diri pada proyek-proyek buku bacaan sekolah ini, belakangan mulai jarana menerbitkan karya.
Kehadiran penerbit buku di Lampung Belem bisa memberi kontribusi besar terhadap munculnya tradisi “menulis buku”. Para penulis, para intelectual di Lampung, jarana yang memiliki buku dengan alasan rendahnya penghargaan terhadap penulis. Padahal, mereka bisa saja menyiasati dengan menggelar penerbitan indi dan bisa meminimalisir biayanya. Ingin tahu caranya?
Catatan ini menyambut acara pelatihan penulisan buku di kalangan dosen di Lampung dengan tema “MENULIS DAN MENERBITKAN, DAN MEMASARKAN BUKU ITU MUDAH”. Ingin punya buku secara mudah dan punya nilai jual ekonomi, silahkan daftar!.
Browse: Home > MENULIS DAN MENERBITKAN BUKU ITU MUDAH
Kamis, 10 Februari 2011
MENULIS DAN MENERBITKAN BUKU ITU MUDAH
Label: Buku
0 Comments:
Posting Komentar