Senin, 28 Februari 2011

Kisah Inspiratif Merayakan Kehidupan


Indonesia boleh dibagi secara artifisial menjadi dua dunia. Katakanlah dunia politis dan sosiologis. Kalau anda membaca koran halaman politik hari-hari ini, yang tersaji tentang Indonesia tak lain dunia yang warna dominannya adalah kelam kelabu. Sebaliknya, Indonesia yang bewarna utama cerah cemerlang, terbentang di ranah sosiologis.
Oleh Mulyo Sunyoto
Sebuah buku yang diterbitkan Antara Publishing, berjudul "Kisah-kisah Inspiratif Anak Bangsa, Kumpulan Tulisan LKBN ANTARA 2000-2010, dengan penyunting Maria D. Andriana, berisi 50 karangan hasil reportase sang wartawan, boleh dibilang menjadi saksi bahwa Indonesia masih menyimpan optimisme dan dunia penuh harapan dimiliki warga yang tersebar di seantero nusantara.

Oleh penyunting, buku ini dibagi menjadi empat bagian utama: kisah tentang ketegaran warga, tokoh yang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain, kekuatan bangkit dari bencana dan kisah tentang warisan budaya. Sebagian "feature" yang dimuat dalam buku ini merupakan karya terbaik yang diperlombakan dalam sayembara yang diadakan setiap tahun oleh lembaga kantor berita yang kini berstatus badan usaha milik negara itu.

Kisah-kisah yang tersaji, dari segi kedalaman, tentu bisa dimaklumi jika terkesan sebatas sketsa. Itu disebabkan oleh ruang terbatas yang disediakan dalam rubrik karangan khas di ANTARA, yang rata-rata tak bisa lebih dari 1.200 kata. Makanya, bagi yang pernah terpukau oleh kisah lima keluarga karangan Oscar Lewis, tak perlulah melakukan komparasi di level kedalaman isi kisah.

Terlepas dari sifatnya yang sekadar berkabar, 50 kisah dalam buku ini bisa dipakai untuk membaca situasi kemasyarakatan di tanah air, daya dan kedigdayaan orang-orang yang hidup tanpa menunggu bantuan dari pemerintah. Salah satu figur yang bisa dicatat di sini adalah pastor Samuel Oton Sidin yang tergerak untuk memulihkan lahan kritis di Pontianak.

Yang mengagumkan dari usaha sang pastor bukan kesuksesannya dalam mengolah lahan kritis menjadi lahan yang bertumbuh aneka tanaman. Tapi ketegarannya untuk terus bekerja ketika usahanya kurang mendapat perhatian dari warga sekitar. Sang pastor yang visioner ini tidak melihat hasil kekiniannya tapi prospek jangka panjangnya. Dia yakin, jerih payahnya akan dinikmati anak-anak masa depan.

Kalau pastor Samuel bekerja atas dasar kerusakan yang ditimbulkan deforestasi, Topo, tetua adat komunitas Ammatoa di kawasan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengerjakan aksi prolingkungannya atas dasar tradisi.

Dialah figur yang menerapkan filsafat kenalilah lingkunganmu untuk hidup lebih arif dan tak destruktif. Dia mencoba sintas, "survive", dengan menanam, mengolah tanah dan beternak.

Memang tak semua kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh alam sekitarnya, tapi setidaknya dia melakukan perlawanan terhadap intrusi produk manufaktur. Dia masih mengikat tidak dengan tali rapiah, tapi tali yang dibuatnya sendiri dari pelepah pisang. Atap dari rumbai masih bertahan di rumahnya yang sebagian besar materinya didapat dari alam sekitar.

Jika Samuel dan Topo bergerak di ranah darat untuk menyelamatkan lingkungan, Nicodemus Manu mewarnai hidupnya dengan menjaga kelestarian terumbu karang di ranah laut Pulau Flores. Profesi utama Nico sebagai Kepala Konservasi Sumber Daya Alam di Taman Wisata Alam Laut Riung, Pulau Flores. Tapi kecintaannya pada alam itulah yang membuat Nico gigih bekerja untuk menyelamatkan terumbu karang dan biota di laut. Dengan kecintaan semacam itu, Nico tak perlu menggugat, sedikitnya bertanya, apakah gaji yang diterimanya sepadan dengan pengorbanan yang dilakukannya dan risiko yang dihadapinya dalam menjalankan tugasnya.

Kisah inspiratif tentu tak cuma di wilayah nun jauh dari pusat kekuasaan. Kisah penjaga pintu air Manggarai, Jakarta, yang sering didamprat warga juga menjadi salah satu isi buku yang terbit Desember 2010 itu. Gus Haryanto (43) ini menunaikan pekerjaannya, yang di musim hujan, dengan mengorbankan waktu normalnya bersama keluarga. Ketika ketinggian debit Sungai Ciliwung sudah di angka yang mengkhawatirkan, piket 24 jam adalah keniscayaan bagi pria Purworejo, Jawa Tengah ini.

Kisah inspiratf yang berakhir dengan kesuksesan material terjadi pada diri Asril Das (55), yang memulai usahanya sebagai tukang cukur keliling di Kotobaru, Kabupaten Solok, Sumbar.

Asril Das adalah salah satu prototipe perantau Minang, yang dengan etos kerja kerasnya, jatuh bangun, dan berhasil melewati banyak rintangan sebelum akhirnya menjadi sorang hartawan, dengan sukses di bidang percetakan, penerbitan dan perhotelan.

Tentu masih ada 45 kisah inspiratif lain, di berbagai bidang kehidupan, yang dikemas buku yang diberi pengantar oleh Dirut Perum LKBN ANTARA Ahmad Mukhlis Yusuf itu. Mukhlis mengawali pengantarnya dengan mengutip sajak WS Rendra. Pesan sajak itu berbunyi: Kita menyandang tugas demi kehormatan seorang manusia. Ya kehormatan manusia.

Ke-50 kisah inspiratif dalam buku ini adalah kisah manusia terhormat, yang menjaga kehormatannya itu dengan cara mereka masing-masing namun memiliki satu titik temu, atau benang merah yang bernama keutamaan atau kebajikan dalam merayakan kehidupan.


Rabu, 23 Februari 2011

Kritik Versi Pers Kita


ANCAMAN yang disampaikan Sekretaris Kabinet Dipo Alam agar pemerintah dan lembaga negara tak memasang iklan dan tidak memberikan informasi kepada media yang selalu mengkritisi pemerintah (Metro TV, Media Indonesia, dan TV One), sangat mengejutkan banyak kalangan.  Kalangan media bereaksi keras. Kuasa hukum Grup Media Indonesia, O.C. Kaligis, mensomasi Dipo Alam dengan tuntutan meminta Sekretaris Negara itu mencabut pernyataannya.
Reaksi tak kalah garang ditunjukkan kalangan politisi, budayawan, aktivis demokrasi, agaman, dan lain sebagainya. Semua kalangan menilai ancaman Dipo Alam sebagai sebentuk sikap Pemerintah SBY anti-kritik, semacam paranoia seorang bawahan agar atasannya merasa senang. Semua kalangan mendeskriditkan Dipo Alam.
Padahal, ada niat lain yang hendak disampaikan Dipo Alam di balik pernyataannya itu. Yakni, terkait pengungkapan realitas dunia media kita akhir-akhir ini. Dinamika pertumbuhan media massa yang begitu pesat di era reformasi, tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme kerja yang memadai.
Para pengelola media tidak lagi memikirkan persaingan ide dan gagasan dalam pemasaran media.  Produk media yang satu dengan media lainnya tidak lagi dapat dibedakan. Secara perlahan-lahan bisnis media kita menghilangkan segmentasinya. Pada posisi pembaca, tidak ada alasan kuat untuk membeli media massa lebih dari satu.
Media massa mainstream memang masih saja memainkan peran penting, tapi jumlahnya cenderung tak bertambah setiap tahun meskipun media masa bar uterus bertambah. Kehadiran media-media massa baru sifatnya menjadi pelengkap media-media mainstream. Kondisi ini semakin jelas jika kita memahami bagaimana jaringan media terbentuk di lingkungan masyarakat. Media yang tak memiliki jaringan, akan terjerembab menjadi media yang partisan.
Sumber daya manusia yang  dimiliki para pengelola media, bukanlah para professional yang memahami betul subtansi media. Tingkat pengetahuan mereka tentang media hanya berlandaskan pada pemahaman-pemahaman umum yang cenderung memosisikan media pada kedudukan sangat tinggi sebagai salah satu pilar demokrasi.  Mereka cenderung mengamini peran kesejarahan media daripada menganalisis apakah peran itu masih bisa berkembang atau akan mengalami kemunduran pada akhirnya. Banyak sistem media tidak lagi sesuai dengan klasifikasi lama dari Four Theori of Press.
Untuk menjadi pilar demokrasi,  menjadi kritis saja bukanlah jaminan.  Harus juga diikuti dengan kesadaran tinggi bahwa media massa telah menjadi kebutuhan paling primer bagi masyarakat saat ini. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap media massa juga tinggi, karena media massa mampu menyajikan informasi yang sulit didapat masyarakat dalam situasi apapun.
Pada tataran ini, bukan hal yang mustahil jika banyak kalangan yang berkepentingan mengambil hati public, merebut hati public dengan cara menguasai media massa. Menyampaikan berbagai hal penting melalui media massa, merupakan cara paling praktis untuk mensosialisasikan hal-hal terbaru. Termasuk menyampaikan pesan-pesan idiologis yang syarat akan kepentingan politis, yang oleh banyak kalangan dipahami sebagai semacam kritik.
Sebab itu, sangat beralasan jika kita mencurigai media-media kritis sebagai media yang sudah terkontaminasi kepentingan-kepentingan tertentu. Pemahaman ini pula yang hendak disampaikan Dipo Alam ketika dia menjelaskan latar belakang pemilik tiga media (Metro TV, Media Indonesia, dan TV One). Publik bisa menyimak, bahwa Partai Golkar yang ada di belakang ketiga media itu merupakan partai politik yang telah beroposisi dengan Pemerintah SBY. 
Dengan latar belakang politik yang beroposisi dengan Pemerintah SBY  sangat beralasan jika kemudian pengelola media  mendisain pesan sedemikian rupa untuk mempertajam kedudukan opisisi tersebut.  Publik bisa memahami sebuah institusi media itu beroposisi dengan Pemerintah SBY atau tidak dengan cara mengukur orientasi yang diperlihatkan dalam editorial, berita utama, dan kolom dalam menanggapi persoalan tertentu. “Pandangan institusi media tidak akan menimbulkan pembohongan,” tulis Warren Breed dalam artikelnya “Sosicial Control in the Newsroom” (1995), “tetapi akan melakukan penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan prefensial”.
Oposisi memiliki alasan yang kuat untuk memperkokoh posisi dan pendiriannya bila berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah SBY. Salah satunya karena sifat kebijakan pemerintah selalu terselubung, sehingga kebijakan itu rentan disimpangkan dalam pemberitaan media massa. Penyimpangan itu sendiri dilakukan dengan cara mengungkapkan realitas yang berlawanan dari kebijakan yang dibuat pemerintah, sehingga ia menjadi semacam kritik yang memosisikan pemerintah sebagai pelaku pembohongan public.
Inilah yang didefenisikan Dipo Alam sebagai kritik media terhadap Pemerintah SBY.  Meskipun pada satu sisi kentara bahwa Dipo Alam agak kurang memahami subtasial kerja media, di sisi lain ia memiliki dasar legitimasi yang kuat atas pernyataannya yang mendeskriditkan media.  Namun, tingkat pemahamannya sangat kuat didasari pada realitas media di era reformasi, sehingga lebih pantas diarahkan kepada pengelola media yang muncul belakangan. Pengelola media yang hadir justru menyebabkan dunia media tidak lagi memperdulikan segmentasi dan persaingan antarmedia.
Media-media baru yang sesungguhnya menjadi penyebab bangsa kita belum memperoleh kebebasan pers, karena kebebasan pers kita menjadi sangat tergantung pada pemerintah. Memang, bentuknya bukan karena pemerintah sangat represip, dikatator, dan hagemonik. Tapi, karena hampir tidak ada industri pers di negeri ini yang tak hidup tanpa dana mengandalkan dari pemerintah.  Bentuknya berupa iklan yang  dibayar dengan uang rakyat,  kerja sama pemberitaan berupa sosialisasi program-program pemerintah dengan total rupiah tertentu, dan kontrak pembelian media oleh pemerintah untuk bacaan masyarakat tertentu.
Tingginya ketergantungan pers terhadap pemerintah memaksa pengelola pers permisif terhadap kinerja pemerintah. Sulit menemukan pers yang kritis. Apalagi jika institusi pers bersangkutan sudah terikat berbagai kontrak kerja dengan pemerintah. Pemerintah mampu menguasai pers lewat rente ekonomi pers. Sebab itulah Dipo Alam percaya diri dengan pernyataannya. Sebagai bagian dari Pemerintah SBY, ia merasa telah bersikap sangat baik untuk menghidupi industri pers dengan iklan-iklan dari pemerintah.
Kesimpulan ini tidak selalu senyampang dengan realitas pers kita. Meskipun ketergantungan terhadap iklan pemerintah sangat tinggi, ada juga pengelola pers yang tidak perduli dengan iklan pemerintah. Institusi pers semacam ini memiliki modal yang kuat sebagai sebuah bisnis, lebih mengandalkan kemampuan merauf belanja iklan dari sektor swasta. ****


Kamis, 10 Februari 2011

Sebuah Buku, Sipirok Nauli


Sipirok , tempat penelitian ini dilakukan, terletak di bagian selatan dari Provinsi Sumatra Utara, sebuah kota kecil di cekungan Bukit Barisan yang membentuk sebuah kuali besar. Matahari selalu terlambat terbit di kota kecil itu, karena cahayanya terhalang punggung Gunung Sibualbuali yang memiliki ketinggian 4.500 meter dari permukaan laut. Inilah gunung terakhir dalam jejeran Bukit Barisan yang memanjang di Pulau Sumatra bagian Utara.

Pada pagi, sebelum matahari muncul, kabut tebal merangkak turun dari lereng-lereng gunung itu, ditiup oleh angin yang berembus dari sebelah Barat. Dari puncak Gunung Sibualbuali, menatap ke sebelah Barat, akan tampak bentangan hutan kawasan yang menghijau sejauh mata memandang sampai menghilang di pesisir Barat. Jika sore tiba, meski hari sebetulnya masih sekitar pukul 17. 00 Wib, segalanya tampak meremang. Matahari cepat sekali tenggelam, meninggalkan berkas-berkas cahaya warna senja yang membuat puncak-puncak bukit barisan itu seperti menyala.

Kabut tebal itu terkadang bertahan di permukaan jalan raya, membuat jarak pandang para pengemudi sangat pendek, dan mesti ekstra hati-hati melintasi jalur dengan kelokan dan patahan yang tajam. Kabut itu meninggalkan udara dingin yang memaksa para penghuninya membungkus diri rapat-rapat dalam kain sarung hingga menutupi kepala. Mereka berjalan dan beraktivitas dengan tubuh terbungkus kain sarung, sehingga kain sarung mengandung banyak makna filosofi bagi masyarakatnya --- baca bab tentang Halak Sipirok dan Kearifan Kain Sarung.

Dengan tubuh dibalut kain sarung sampai kepala, masyarakat mulai keluar rumah untuk menjalankan aktivitasnya yang paling umum ketika hari masih gelap. Kaum bapak akan berangkat ke masjid untuk menyalakan tape recorder, memutar kaset mengaji, dan menggemakan asmah-asmah Allah itu lewat corong-corong mikrofon yang ada di menara-menara setiap masjid. Kabut tebal, udara dingin, dan lantunan ayat-ayat Alquran menggema dari corong-corong mikrofon yang ada pada setiap masjid di kota itu, menjadi hal yang paling umum—baca bab tentang Masojid, Geliat Pagi, dan Gema Mikrofon.

Gema ayat-ayat Alquran itu memenuhi ruang-ruang udara yang ada, membuat suasana kota menjadi riuh, dan setiap penduduknya akan terbangun untuk segera keluar rumah menjalankan ibadah sholat Subuh berjamaah. Sehabis ibadah Subuh, tak seperti kaum perempuan yang langsung ke rumah untuk menanak nasi dan mengurus anak-anak, kaum laki-laki akan mendatangi lopo (warung) kopi di lingkungan mereka. Lopo kopi bagi masyarakat bukan sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi--karena secangkir kopi bisa didapat di rumah--tetapi sebuah arena untuk berdiskusi tentang persoalan-persoalan krusial yang terjadi di lingkungannya. Tidak jarang mereka membicarakan situasi politik dalam negeri, yang sering berakhir menjadi acara saling mengejek di antara mereka dalam semangat bergurau—baca bab tentang Lopo, Kombur, dan Masyarakat Lisan.

Kain-kain sarung itu baru dilepas dan dibelitkan di pinggang manakala cahaya matahari mulai menusuk gumpalan kabut, membentuk batang-batang cahaya yang terang. Bersamaan dengan itu, dari hutan-hutan di Gunung Siabualbuali akan terdengar raung Siamang sahut-bersahutan. Ada tiga kelompok siamang, masing-masing kelompok memiliki daerah territorial, dan setiap ketua kelompok siamang merupakan pemimpin kelompok yang akan meraung member tahu kelompok lain mengenai keberadaan mereka. Tapi, bagi masyarakat kota suara Siamang adalah sebuah isyarat yang selalu dibaca sebagai jadwal untuk memulai aktivitas mencari nafkah: sebagai petani, pedagang, penderes nira aren, buruh, penarik becak, pegawai negeri sipil, pengawai swasta, buruh tani, tukang kayu, pengrajin, datu (dukun), ustad, guru, dan lain sebagainya.

Selalu sekitar pukul 8.00, desa-desa di Sipirok akan terlihat sepi: para orang tua berangkat bekerja, anak-anak pergi sekolah. Bukan cuma pada Siamang, masyarakat juga sangat perduli dengan hal-hal berbau mistis terkait gejala-gejala alam semesta. Berbagai aktivitas kehidupan, sekalipun mereka sudah hidup di era modern dengan penguasaan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sama seperti daerah-daerah lain, kesadaran mistis mereka tetap bertahan. Dalam hal menjemur padi hasil panen, masyarakat sangat percaya bahwa cabai merah yang diletakkan di atas padi yang sedang dijemur mampu menjaga matahari untuk tetap menyala —baca bab tentang Mistik, dari Begu Ganjang sampai Sirungguk.

Dengan Ibu kota Kelurahan Pasar Sipirok, kota ini memiliki luas 577,18 km per segi dan dihuni 30.554 jiwa yang tinggal di 100 desa. Tingkat kepadatan penduduk 52,94 meter per segi. Komposisi penduduk dominan (90%) merupakan halak (orang) Batak dari sub etnik Angkola, Mandailing, Toba, Simalungun, dan Karo. Sebanyak 10% merupakan masyarakat keturunan Padang, mereka biasa disebut halak (orang) Daret. Setiap masyarakat memiliki kegiatan komersial yang khas. Halak Batak dari sub-etnik Angkola, merupakan warga dominan dan pembuka kampong yang disebut panusunan bulung, mengandalkan sektor pertanian berupa budidaya padi. Budidaya padi baru dilakukan masyarakat sekitar akhir abad ke-19 setelah pengaruh Pemerintah Hindia Belanda masuk, dan awalnya bukan kegiatan komersial melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Di kota ini sebagain besar lahan pesawahan merupakan lahan tadah hujan. Masyarakat mengelola lahan-lahan sawahnya hanya sekali dalam setahun, sedang total lahan yang dikuasai masyarakat sangat sedikit, tak sampai satu hectare per keluarga. Sebagian besar lahan yang ada merupakan lahan keluarga, warisan-warisan keluarga yang sudah dibagi-bagi oleh para ahliwarisnya. Para ahli waris yang sebagian besar tidak tinggal lagi di kota itu, memberikan hak kelola atas lahan miliki kepada orang lain—lebih banyak terhadap orang yang tidak ada kaitannya dengan ikatan persaudaraan sedarah—dengan system bagi hasil—baca bab tentang Hak Waris dan Perpecahan Keluarga (Paulak Sondukki).

Pada awalnya, kegiatan komersil masyarakat di kota ini berupa budidaya tanaman keras seperti cengekih, kopi, kulit manis, dan hasil-hasil hutan seperti rotan, meranti, dan lain sebagainya. Setiap keluarga memiliki perkebunan dengan luas paling minimal 5 hektare. Perkebunan-perkebunan itu dikelola dengan sistem tanam heterogen—segala jenis tanaman budidaya ditanami--meskipun selalu ada tanaman budidaya yang menjadi pilihan dominan. Selain cengkih, kopi juga menjadi pilihan utama masyarakat.

Sebab itu, pada decade 1920-an, Kota Sipirok dikenal sebagai kota penghasil cengkih dan kopi. Produksi cengkih dari kota ini dijual kepada para pedagang pengumpul yang datang dari berbagai pelosok, terutama pada hari Kamis, saat berlangsung pasar pekanan. Sebagian besar cengkih-cengkih itu dibawa ke Sibolga, membuat kota pelabuhan di pesisir batar Provinsi Sumatra Utara itu menjadi kota dagang yang selalu ramai. Popularitas cengkih membuat kota ini tumbuh pesat dan penduduknya identik sebagai penduduk yang kaya raya. Ditambah hasil kopi yang tidak sedikit, secara ekonomi tingkat kesejahteraan masyarakat kota ini lebih bagus dibandingkan masyarakat dari kota-kota lain di sekitarnya. Inilah alasan logis kenapa dari kota ini bisa melahirkan banyak generasi yang bisa duduk di posisi tertinggi birokrasi pemerintahan Negara seperti menteri: Arifin M. Siregar (dari Desa Simaninggir), Bismar Siregar (dari Desa Baringin), H.M. Ritonga (dari Desa Paranjulu), Hasjrul M. Harahap (dari Desa Bunga Bondar), Lapran Pane (pendiri HMI dari Desa Pangurabaan), dan lain sebagainya —baca bab tentang Mangaratto, Sekolah, dan Jangan jadi Oto.

Masyarakat dari luar kota ini menyebut masyarakat Kota Sipirok sebagai masyarakat sombong karena memiliki kualitas perekonomian yang lebih baik. Hal itu menyebabkan mereka merasa memiliki nilai lebih dibandingkan masyarakat lain. Ciri yang paling khas dari masyarakat kota ini, setiap kali berada di kota lain, selalu mengedepankan berbahasa Melayu. Para perantau dari Sipirok sering tak mau berbahasa Batak. Mereka seakan-akan tidak mengerti bahasa Batak, sehingga banyak yang mengejek perilaku dan mentalitas kultural masyarakat Kota Sipirok dengan syair:

Sipirok banggo-banggo
Halak Sipirok inda taranggo


Ejekan ini berarti halak Sipirok tak memiliki bekas sebagai orang Batak setiap kali berada di luar daerahnya. Tafsir lain menyebutkan, ejekan itu sebuah penegasiaan tas keberadaan halak Sipirok di kota-kota lain, karena mereka sendiri mengaburkan asal kotanya.

Halak Sipirok memiliki tradisi khas yakni merantau (mangaratto). Hasil cengkih dan kopi menyebabkan halak Sipirok menjadi lebih sejahtera, sehingga mereka memiliki cukup banyak uang untuk mewujudkan tiga hal yang menjadi filosofi hidup masyarakat Batak dari sub-budaya Angkola ini: hamoraon (kehormatan), hagabeon (kesehatan), hasangapon (kekayaan). Untuk mencapai tiga hal itu, masyarakat akan melakukan apa saja, termasuk memamerkan kemampuan ekonominya kepada orang lain. Sebab itu, ada tradisi lain dari masyarakat yang disebut tu doli. Awalnya kata doli mengacu pada kata Deli, yakni sebutan lain dari Tanah Deli atau Deliserdang atau Kota Medan. Mereka yang sering berangkat ke doli, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki uang. Di doli, mereka tak melakukan banyak hal, hanya berbelanja dan pulang membawa banyak oleh-oleh untuk dibagikan kepada tetangga. Setiap kali seseorang pulang dari doli, biasanya para tetangga akan menyambut dan mengerubukinya agar kebagian oleh-oleh, meskipun hanya sepotong dodol—baca bab tentang Tu Doli, Tradisi Pamer Ekonomi.

Kelurahan Pasar Sipirok merupakan pusat segala dinamika penduduk kota. Sebagai pasar, sebagian besar bangunan di kelurahan ini merupakan perumahan toko berlantai dua. Dibangun pascabencana kebakaran pada tahun 1988, di masa Gubernur Raja Inal Siregar, putra asli dari Kelurahan Bunga Bondar, salah satu desa di Sipirok. Awalnya, rumah-rumah di kelurahan ini merupakan bangunan dari kayu bergaya arsitektur khas rumah masyarakat Melayu dengan lantai yang ditinggikan, dan dibangun sekitar dekade 1950-an dan 1960-an. Disamping sebagai tempat tinggal, rumah-rumah ini berfungsi sebagai toko. Bagian depan rumah disekat untuk memajang berbagai jenis barang dagangan, sedangkan bagian belakang merupakan tempat tinggal.

Sebagian besar penduduk di Kelurahan Pasar Sipirok bekerja sebagai pedagang, terutama dagang kelontongan, berbagai jenis sembilan bahan pokok, rumah makan, dan lain sebagainya. Para pedagang ini dominan merupakan profesi halak Daret, meskipun ada juga halak Batak yang memilih profesi ini. Tapi, jumlah halak Batak yang berdagang jauh lebih sedikit dibandingkan orang Daret. Sebab itu, orang Daret identik sebagai pedagang. Sejarah kehadiran mereka di Sipirok, diawali dari keinginan para leluhur orang Daret untuk berdagang—baca bab tentang Halak Daret, Ditarik Magnet Ekonomi.

Karena semua rumah di Kelurahan Pasar Sipirok merupakan rumah toko, maka geliat perekonomian di pasar ini mulai terasa sejak Subuh. Tapi geliatnya sebagai pasar makin hebat setiap hari Kamis. Pada hari Kamis, Kelurahan Pasar Sipirok akan menjelma sebagai hypermarket tradisional, dimana seluruh warga Sipirok dari 100 desa akan berkumpul di pasar ini. Sebagian besar dari mereka datang membawa berbagai jenis hasil pertanian dan perkebunan untuk dijual, kemudian hasil penjualan akan dibelanjakan membeli berbagai kebutuhan hidup untuk satu pekan ke depan, terutama barang-barang yang tidak bisa mereka dapatkan di desa masing-masing seperti ikan laut.

Karena seluruh warga Sipirok berkumpul, pedagang dari berbagai kota juga berkumpul, membuka lapak-lapak di pinggir jalan dan di kawasan tanah lapang yang dipersiapkan untuk menampung mereka. Kelurahan Pasar Sipirok akan menjadi sesak setiap hari Kamis, keriuhan para pedagang menjajakan berbagai jenis dagangannya menjadi pemandangan yang khas. Tapi kemudian semua kembali pada kondisi semula, tenang dan nyaman, pada malam hari. Hanya sisa sampah yang tertinggal.

Pada empat sisinya, Sipirok dikelilingi oleh bukit barisan yang merupakan kawasan hutan lindung. Di sisi Selatan, membentang ribuan hektare hutan tanam industri barang-barang ya nberupa pohon pinus dan kayu putih. Ini kawasan reboisasi yang dihijaukan secara bergotong-royong oleh masyarakat Sipirok bersama Departemen Kehutanan pada decade 1950-an dengan bibit sumbangan dari PT Toba Pulp, pabrik bubur kertas di kawasan Siborong-Borong, di sekitar areal Danau Toba. Kawasan hutan pinus ini menjadi sabuk hijau yang senantiasa mampu menjaga kesegaran dan keasrian iklim di Sipirok, meskipun pada awal reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menebanginya untuk membangun kompleks Markas Brigadir Mobil Polres Tapanuli Selatan—baca bab tentang Gotong Royong: dari Ubi Tumbuk sampai Sambal Tuktuk.

Kebijakan Departemen Kehutanan mengizinkan penebangan hutan-hutan pinus oleh Polri, dicontoh oleh masyarakat sekitar yang merasa memiliki hak atas lahan-lahan areal kawasan hutan. Pada decade 1950-an dan 1960-an, sebelum berubaha menjadi kawasan hutan negara, lahan-lahan tersebut merupakan tanah-tanah adat yang disumbangkan masyarakat karena pemerintah pusat menginginkannya. Sebagai ungkapan kesediaan masyarakat untuk memberikan hak atas tanah adatnya untuk ditanami pinus dan kayu putih, masyarakat Sipirok bergotong-royong menanam bibit-bibit di areal tanah adatnya masing-masing. Tapi, ketika Polri membuka areal itu untuk Markas Brimob, para ahli waris pemilik tanah adat tidak mau kalah, mereka ikut membuka kawasan hutan pinus tersebut—baca bab tentang Hak Adat, Dimana Tanah Leluhur Kami.

Akhir-akhir ini Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mengurus izin membuka 200 hektare areal di sabuk hijau Kota Sipirok itu untuk lokasi pertapakan Kantor Bupati Tapanuli Selatan. Ketika Polri yang merupakan penjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat—termasuk di dalam mengatasi segala bentuk upaya perambahan hutan dalam rangka menertibkan tindak melawan hokum berupa illegal logging—para ahli waris tanah-tanah adat itu merasa diajari. Konon lagi jika Pemda Tapanuli Selatan membuka areal itu, sangat pasti akan menimbulkan konflik berkepanjangan terkait pengambilan kembali hak tanah adat masyarakat—baca bab tentang Guru Kencing Berlari, Kami Mengencingi Guru.
Di sisi Timur, ada bukit-bukit yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Padang Lawas. Di kaki-kaki bukit yang merupakan kawasan hutan lindung ini, terdapat banyak perkampungan yang biasa disebut luat harangan (kampong dalam hutan). Kampung-kampung luat harangan identik sebagai perkampung yang terisolasi, miskin, dan terbelakang. Sebut saja Desa Gadu, Liang, Aek Sialan, Pargarutan, Parmanoan, dan lain sebagainya. Kampung-kampung ini berjarak sekitar 5—15 km dari Kelurahan Sipirok, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda.

Anak-anak dari luat harangan hanya mengenyam pendidikan sampai bangku SD. Karena jarak antara satu kampong dengan kampong lain berjauhan, institusi pendidikan yang ada di lingkungan mereka hanya sampai tingkat sekolah dasar. Untuk mengenyam pendidikan di bangku SD, tidak sedikit anak-anak yang mesti berjalan kaki 5 sampai 10 km, bertelanjang kaki melintasi hutan dan menyeberangi sungai-sungai deras. Para siswa di SD Negeri Gadu, misalnya, berasal dari empat desa di luat harangan. Setiap pagi, anak-anak berseragam SD akan terlihat berjalan kaki membentuk barisan. Mereka menjinjing sepatu, ujung celana atau rok sudah basah oleh bekas embun, tetapi mata mereka memancarkan semangat untuk belajar di local-lokal kelas yang sering tak member rasa nyaman dan aman—baca bab tentang Sekolah Kami, Mereka Lupa Merehabnya.

Jika ingin melanjutkan ke jenjang SMP, mereka harus keluar dari kampungnya dan tinggal di kampong-kampung lain yang memiliki SMP. Sebagian besar anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dari luat harangan, lebih memilih sekolah yang ada di Kota Padang Sidempuan ketimbang di Kota Sipirok. Jarak yang harus mereka tempuh jauh lebih dekat, karena mereka bisa memotong jalur melintasi hutan dan keluar di Desa Tabusira, sebuah desa di pinggir Jalan Lintas Sumatra. Dari Desa Tabusira, mereka memilih menaik kendaraan umum yang bisa ditempuh sekitar setengah jam untuk sampai ke Kota Padang Sidempuan.

Di Kota Padang Sidempuan, banyak alternatif SMP yang bisa dipilih, disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga masing-masing. Sedangkan di Kota Sipirok, altenatif SMP sangat terbatas. Untuk bisa bersekolah di SMP, anak-anak dari luat harangan ini terpaksa tinggal sendiri di rumah-rumah kontrakan dan hidup tanpa pengawasan orang tua. Mereka biasa disebut anak dagang. Mereka tumbuh dan belajar sendiri hanya mengandalkan pengawasan dari guru di sekolah, bermodalkan beras yang dibawa dari rumah masing-masing setiap pekan, dan tanpa uang saku. Kapasitas gizi mereka tidak memadai. Tidak jarang mereka makan hanya dengan nasi putih butiran garam, sekali-sekali dengan lauk-pauk ikan asin yang dibakar—baca bab tentang Betahun-Tahun Terisolasi, Kami Belum Merdeka Barangkali.

Selepas SMP, mereka akan terus melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Selama itu pula, mereka akan hidup seorang diri. Selepas SMA, mereka akan memilih ke jenjang pendidikan tinggi. Sebagian tetap di Kota Padang Sidempuan, tak sedikit yang memilih meratau ke kota-kota besar yang ada di Indonesia.
Di sisi Utara, Sipirok berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, dibatasi kawasan hutan lindung yang mulai tidak terlindungi. Di dalam kawasan hutan lindung ini, ada banyak perkampungan yang juga disebut luat harangan. Seperti juga masyarakat dari luat harangan di sebelah Timur, anak-anak dari perkampungan ini pun banyak yang meninggalkan kampungnya untuk mengenyam pendidikan di jenjang lebih tinggi dari SD. Perkampungan di luat harangan sebelah utara ini seperti Desa Bulu Mario, Desa Paske, Desa Dano, dan lain sebagainya.

Untuk sampai di Kota Sipirok, dari Kota Medan, kota terbesar di Provinsi Sumatra Utara, butuh waktu delapan jam melalui jalan darat. Dalam hitungan waktu delapan jam, Sipirok dapat ditempuh dari Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatra Barat. Waktu yang hampir sama juga bisa ditempuh via Kota Sibolga di sebelah Barat atau lewat jalur Kota Rantauprapat di sebelah Timur.

Sepanjang perjalanan mengikuti alur aspal Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum), sering menikung mengikuti lekuk-lekuk kontur tanah perbukitan, kita disuguhi pemandangan asri berupa hutan lindung, hutan kawasan, dan sungai-sungai mengalir. Semilir angin menggiring aroma kesegaran dan kesejukan alam yang belum tersentuh polusi udara. Terkadang menguap aroma sulfur dari akar urat vulkanik yang bermuara di kepundan gunung berapi sepanjang barisan bukit, menandakan bentangan pesawahan yang membentuk tangga-tangga di lereng bukit-bukit memiliki kesuburan alamiah dari timbunan humus tanah. Tapi, semua pesona alam itu tidak bisa dinikmati karena kualitas jalan sangat buruk.

Jalan di kota ini sepanjang sekitar 255 km, terdiri dari 80,90 km berupa aspal, penuh lobang, mengingatkan pada kubangan kerbau; sebanyak 53,10 km merupakan jalan onderlag, tetapi tidak terawat, bak muka penuh bopeng bekas jerawat; sebanyak 37,90 km merupakan jalan kerikil yang diperas, tetapi batu-batunya tercerabut keluar, membuat siapa saja terantuk dan terjatuh; serta 81,01 km merupakan jalan tanah yang lebih terlihat seperti tumpukan lumpur di musim hujan dan sering menahan mobil-mobil yang lewat sehingga tenggelam dam kubangan—baca bab tentang Mobilitas yang tak Mobile.

Jika jalur darat dari Kota Medan maupun Kota Padang terlalu banyak memakan waktu tempuh dan mendesak untuk segera tiba, ada alternatif jalur udara. Dengan pesawat Fokker 27 milik Maskapai Susi Air yang take off dari Bandar Udara Polonia, kita bisa mendarat di landasan pacu sepanjang 42.000 meter per segi di Bandara Udara Aekgodang dalam waktu sekitar dua puluh menit. Terbang di atas Kabupaten Tapanuli Selatan yang membentang seluas 4.367,05 km2 (436.705 hektare), tumpukan kabut tipis tampak serupa kapas menggumpal di pucuk-pucuk bukit barisan yang berjajar seolah memagari. Pemandangan petak-petak sawah dengan kelokan sungai yang memanjang, ditambah bentangan perkebunan sawit dan padang rumput menghijau menambah kenyamanan perjalanan—baca bab tentang Bisa Terbang, Bisakah….

Bandara Udara Aekgodang memang dibangun sebagai alternatif transportasi bagi mereka yang menghendaki perjalanan dalam waktu singkat. Terletak di perbatasan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Kabupaten Padang Lawas, bandara ini baru melayani satu penerbangan setiap hari dengan pesawat berkapasitas 12 kursi. Jadwal penerbangan itu belum memadai mengingat banyak calon penumpang yang tak terlayani. Dari Bandara Aekgodang menuju Kota Sipirok, perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit. Di Kota Sipirok, yang merupakan salah satu kawasan kunjungan wisata di Provinsi Sumatra Utara, Hotel Tor Sibohi standar internasional dapat menjadi tempat istirhat yang nyaman. Berdiri di kaki Gunung Sibuahbuali, di kawasan Tor (Gunung) Sibohi, para pengunjung akan disuguhi bentang daerah pengunungan yang menghadap ke Kota Sipirok.

Dengan fasilitas 70 bungalow yang didesain serupa rumah adat, dibangun dalam jajaran yang rapih dan asri, sewa kamar berkisar Rp150.000—Rp500.000 semalam. Sejumlah biro perjalanan wisata di Kota Medan dan di DKI Jakarta merekomendasi para pelanggannya untuk singgah di Hotel Tor Sibohi, lalu menikmati ragam tradisi dan karya seni khas Kota Sipirok. Ada juga objek wisata yang didesain para pengelola biro perjalanan sebagai paket wisata, mulai dari Pemandian Air Panas Sosopan, Pemandian Air Panas Padangbujur, seni kerajinan tangan manik-manik di Kelurahan Hutasuhut, kain tenun adat yang disebut abit godang dan parompa, dan banyak alternative obyek wisata lainnya—baca bab tentang Wisata, Wiiiiih …Tak Nyata

Para pengunjung, apalagi bagi wisatawan yang punya selera tinggi terhadap sejarah, bisa menikmati selera ilmiahnya di Kota Sipirok. Kota Sipirok pertama sekali dikenal di zaman Belanda sebagai daerah awal di Provinsi Sumatra Utara, dimana Gereja pertama dibangun. Di Desa Parausorat, sekitar lima kilometer dari pusat Kota Sipirok, sejarah masuknya agama Kristen dan sejarah pembaptisan akan memenuhi selera tentang histori. Ada juga masjid yang menyimpan sejarah yakni Masjid Sri Alam Dunia di Kelurrhan Bagas Nagodang, yang awalnya bukan saja sebagai tempat ibadah melainkan pusat segala kegiatan beragama di wilayah Kota Sipirok. Bahkan, di era 1930-an masjid ini menjadi pusat aktivitas politik para kiyai untuk mentang kolonialisme Belanda yang berkedok penyebaran agama Kristen —baca bab tentang Politik di Aras Tradisi: Dari Serikat Islam Hingga Nahdlatul Ulama

Dibangun pada tahun 1926, Masjid Sri Alam Dunia menjadi simbol dari perlawanan atas penjajahan Belanda yang juga melancarkan kristenisasi. Namun, pertentangan antara pengelola Masjid Sri Alam Dunia dengan Belanda tidak melibatkan masalah agama, karena pertentangan antaragama Islam dan Kristen tidak pernah terjadi di kawasan ini. Pertentangan itu hanya terjadi pada tingkat wacana, ketika Belanda mendeskriditkan masyarakat penganut agama Islam dalam berbagai dinamika kehidupan bermasyarakat, dan lebih memberi tempat kepada masyarakat Kristen—baca bab tentang Marjambar, Toleransi Agama.

Inilah sejarah yang luhur, yang buktinya dapat dilihat dari pembangunan Masjid Sri Alam Dunia yang bersebelahan dengan gereja. Kedua rumah ibadah yang berdekatan itu menjadi symbol betapa semua lapisan masyarakat di Kota Sipirok menjaga kerukunan antarumat beragama, dan bisa hidup secara social tanpa kontradiksi yang dipicu oleh perbedaan pemahaman agama tersebut.

Jika alternative wisata sejarah ini belum memenuhi selera para wisatawan, masih ada sejumlah objek wisata di Kabupaten Tapanuli Selatan yang tak kalah dengan objek wisata di daerah lain. Sebut saja Aek Sijornih, air terjun yang menjadi tempat hiburan rakyat ini, menyuguhkan pesona alam yang asri dengan kesegaran butiran air sungai yang dapat dipakai untuk mandi. Ada juga Danau Siais yang merupakan danau terbesar kedua di Provinsi Sumatra Utara, dapat menjadi wisata ilmiah bagi para peneliti yang ingin mengetahui kekayaan flora dan fauna di kawasan danau yang terbentuk dari patahan aliran Aek (Sungai) Batangtoru tersebut..........................



Judul Buku : Sipirok, Banua Nasoli
Penulis : Budi P. Hatees
Tebal : xvii + 350 halaman
Penerbit : MataKata, 2009
ISBN : 975-456-2345-23

Daftar Isi
Pengantar Penerbit
Prolog

1. Halak Sipirok dan Kearifan Kain Sarung
2. Masojid, Geliat Pagi, dan Gema Mikrofon.
3. Lopo, Kombur, dan Masyarakat Lisan.
4. Mistik: dari Begu Ganjang sampai Sirungguk
5. Hak Waris: Paulak Sondukki.
6. Mangaratto, Sekolah, dan Jangan jadi Oto.
7. Tu Doli, Tradisi Pamer Ekonomi.
8. Halak Daret, Ditarik Magnet Ekonomi.
9. Gotong Royong: dari Daun Ubi Tumbuk sampai Sambal Tuktuk
10. Hak Adat, Dimana Tanah Leluhur Kami
11. Guru Kencing Berlari, Kami Mengencingi Guru.
12. Sekolah Kami, Mereka Lupa Merehabnya.
13. Betahun-Tahun Terisolasi, Kami Belum Merdeka Barangkali.
14. Mobilitas yang tak Mobile.
15. Bisa Terbang, Bisakah….
16. Wisata, Wiiiiih …. Tak Nyata
17. Politik di Aras Tradisi: Dari Serikat Islam Hingga Nahdlatul Ulama
18. Marjambar, Toleransi Agama.
19. Geliat Ekonomi Rakyat, Kenapa Kami Masih Melarat?
20. Dilarang Sakit Pada Hari Minggu.

Epilog


Burung Beo


Burung beo itu diajari tuannya. “Selamat pagi, tuan!” kata tuannya. Burung beo itu mengikuti. “Selamat pagi, tuan.”
Begitulah setiap pagi, si burung beo mengatakan hal yang sama. Siapa saja yang datang, dia mengatakan “selamat pagi, tuan.” Tak perduli pada waktu malam, sore, siang,.... Burung beo itu selalu bilang “selamat pagi, tuan.”
Suatu hari seorang tamu yang datang pada malam hari, protes kepada si tuan burung beo. “Kenapa, bro? Kenapa setiap kali saya datang, burung beo itu selalu bilang selamat pagi, tuan. Padahal, saya datang malam hari.”
Si tuan burung beo tergelak. “Itulah burung beo.”
“Berarti dikau harus mengajarinya kembali, bro.”
“Percuma. Kalau saya ajari dia mengatakan ‘selamat malam, tuan’, dia pasti bisa.”
“Berarti tidak percuma.”
“Dia akan mengatakan ‘selamat malam, tuan’ pada pagi hari.”
“Ajari dia soal waktu, bro,” kata tamunya.
“Bukankah sebaiknya saya taruh jam di dalam sangkarnya. Jadi dia bisa bilang ‘selamat pagi, tuan’ kalau jarum jam menunjukkan pagi hari. Begitu sebaliknya.”
Si tamu tertawa. “Semakin ngawur dikau, bro.”
“Dikau juga, bro, terlalu memaksakan diri. Burung beo itu tidak akan pernah ngerti soal waktu. Karena bukan waktu yang menjadi esensi persoalannya.”
“Lantas apa?”
“Kebeoannya. Saya menyukai kebeoannya. Burung itu seperti anak buah saya. Setiap kali saya suruh ini, dia pasti mengerjakan ini. Dia tidak pernah mengerjakan itu.”
“Itu namanya patuh perintah atasan.”
“Itu namanya nurut perintah atasan, bukan patuh. Pasti di dalam hatinya dia bilang, alangkah tololnya atasan saya ini. Tapi, dia tidak pernah berani mengatakannya secara lugas.”
“Kenapa?”
“Itu pertanyaan saya. Saya sengaja menyuruhnya mengerjakan ini meskipun saya tahu tidak logis, tetapi saya tahu dia akan mengerjakannya.”
“Dikau juga salah, bro.”
“Atasan tidak pernah salah, bro.”
“Dikau terlalu egois, bro.”
“Saya kan yang punya modal. Saya kan penguasa. Saya boleh saja menguji orang yang saya gaji. Kalau saya suruh hal yang tak logis ternyata anak buah saya melakukannya meskipun hasilnya buruk, saya kan bisa menyimpulkan bahwa dia tidak jauh berbeda dengan burung beo.”
“Kenapa burung beo itu tidak digaji saja, bro.”
“Rencananya bulan depan. Dia jauh lebih patuh ketimbang anak buah saya.”


Lafran Pane Tidak Dikenal di Kampung Sendiri


Setiap 25 Januari, sebuah organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akan mengenang satu orang: Prof.Drs.H.Lafran Pane. Dia pemrakarsa berdirinya HMI, organisasi yang banyak melahirkan sumber daya manusia (SDM) terbaik di negeri ini, juga punya andil besar terhadap lahirnya proklamasi.

Pada 25 Januari 1991, beliau meninggal dunia. Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, hal 502 menyebutkan: Lafran Pane sebagai generasi ketiga inteligensia muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim,dll), generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an).

Meskipun Lafran Pane menyejarah, tetapi di kampung kelahirannya, di Desa Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, nama itu hampir tidak pernah disebutkan dalam berbagai kegiatan. Tapi, bukan cuma Lafran Pane, juga semua anggota keluarga besar Sutan Pangurabaan Pane.

Setiap orang di Kota Sipirok paham kalau Pane berasal dari Desa Pangurabaan. Masyarakat marga Pane konon berasal dari Utara, merantau ke wilah Selatan melalui jalur sungai Bila (Aek Bila) di Kecamatan Biru. Dari daerah itu, leluhur marga Pane kemudian menetap di Kecamatan Arse, lantas menyebar ke wilayah Kecamatan Sipirok, tinggal dan beranak-pinak di Desa Pangurabaan.

Awalnya, Desa Pangurabaan dominan dihuni masyarakat bermarga Pane. Dalam perkembangan kemudian terjadi asimilasi budaya akibat perkawinan dan arus pendatang, Desa Pangurabaan tidak identik lagi dengan marga Pane.

Desa ini dibelah dua jalur Jalan Lintas Sumatra, sekitar 5 km dari ibu kota Sipirok, Kelurahan Pasar Sipirok, ke arah Utara. Bertetangga dengan Desa Bagas Nagodang, sebuah desa yang merupakan salah satu desa pertama di Kecamatan Sipirok. Kehadiran masyarakat marga Pane di Kecamatan Sipirok erat kaitannya dengan tradisi persaudaraan yang dibangun dengan masyarakat marga Siregar, yakni masyarakat yang dominan menghuni Desa Bagas Na Godang.

Di pinggir jalan, di salah satu rumah tua bercata hijau yang kurang terawat, di sanalah Lafran Pane lahir. Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, seorang budayawan, sastrawan, wartawan, intelektual, dan tokoh pergerakan terkenal dari Partai Indonesia (PARTINDO) di Sumatera Utara. Dari tangan Sutan Pangurabaan Pane telah lahir banyak buku berupa novel yang ditulis dalam bahasa Batak dari lingkungan masyarakat beradat Angkola--yakni masyarakat Batak yang tinggal di Kecamatan Sipirok.

Salah satunya karya Sutan Pangurabaan Pane adalah Tolbok Haleon (Hati yang Kemarau) diterbitkan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah 1982 dalam katagori naskah kuno. Naskah novel ini pertama kali terbit 1933 di Medan, dan sampai tahun 1980-an masih dipakai sebagai bacaan di sekolah. Tolbok Haleon berkisah tentang kehidupan Lilian Lolosan dan Sitti Bajani pada masa kolonial di Tapanuli Selatan. Novel ini terbit Sutan Pangurabaan Pane tidak berbicara tentang kawin paksa dan pertentangan adat seperti kebanyak novel yang muncul saat itu. Dia bercerita tentang nasib cinta tokohnya yang mesti mengungsi akibat peperangan melawan Belanda.

Lafran Pane adalah anak keenam Sutan Pangurabaan Pane. Di tangan Sutan Pangurabaan Pane yang bervisi jauh ke depan dan sudah membayangkan masa depan sebuah negeri yang merdeka, anak-anaknya dididik menjadi generasi muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi tokoh nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan sejarawan nasional), dan juga Lafran Pane.

Tapi keluarga para tokoh nasional ini tidak begitu dikenal di kampungnya, di Desa Pangurabaan. Tidak banyak yang tahu kalau Sutan Pangurabaan Pane pernah hidup di antara mereka sebagai figur ayah yang keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil sebagai tokoh nasional.

Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923. Sebelum masuk Sekolah Tinggi Islam (STI) latar belakang pendidikan yang utama dari Lafran Pane adalah Pesantren, HIS, MULO, dan AMS Muhammadiyah. Dia juga pernah belajar di sekolah-sekolah nasionalis, seperti Taman Aksara di Sipirok dan Taman Siswa di Medan (Agussalim Sitompul 1976).

Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (HESP). Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu 26 Januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran Pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.

Mengenai Lafran Pane, Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :“ Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.

Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam. HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi fondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.

Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya.

Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.

Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan.

Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W.

Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).

Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Lafran sendiri meyakini bahwa agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan Islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.

Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, pada pidato pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), Kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:

“Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) Negara “. (hal.6)

Dari sepak terjang Lafran Pane dan sumbangannya yang luar biasa terhadap negara, sangat layak putra daerah dari Kecamatan Sipirok ini menjadi PAHLAWAN NASIONAL.


Fakta Serbaselintasan


Kita istirahat dulu sebentar dari pekerjaan memburu berita, karena berita yang sudah kita tulis dan disiarkan media tempat kita bekerja ternyata menimbulkan pertanyaan yang sifatnya fungsional, subtansial, dan sekaligus artificial bagi public pembaca. Setiap berita itu ternyata sudah seperti teks-teks karya sastra yang membalut realitas dalam selubung-selubung bahasa sehingga seorang pembaca seperti sedang melihat sebatang pensil di dalam segelas air dari sisi luar gelas itu.

Batang pensil itu terlihat seperti patah atau bengkok, padahal kita tahu pensil itu sesungguhnya sangat sempurna. Jika pensil itu kita sebut sebagai realitas, sedang kita merupakan public pembaca, sudah barang tentu sesame pembaca akan berdebat mempertahankan kebenaran masing-masing antara yang actual atau yang ideal.

Hal aktual dari pensil itu adalah sebatang pensil yang terlihat seperti bengkok atau patah, dan kita akan mempertahankan apa yang kita lihat itu karena panca indera siapa pun pasti akan melihat hal yang sama seperti kita, sehingga kita tidak melakukan kesalahan apapun dengan mempertahankan hal itu. Sedangkan hal ideal adalah sebatang pensil itu sesungguhnya tidak patah atau tidak bengkok, dan setiap orang yang memiliki intelektual paling buruk sekalipun pasti akan mendukung hal ideal itu.

Saya memakai kata realitas karena pengertian makna kata ini akan membuat kita berdebat sangat panjang mengingat realitas akan bercecabang pada dua pengertian yang bertolak belakang: aktual atau ideal. Selain itu, saya selalu melihat sepotong berita (selanjutnya saya sebut saja informasi) sejak dari proses awal sampai disiarkan sebuah institusi media massa, berada dalam situasi diombak-ambik oleh kekuatan pemaknaan antara actual dan ideal.

Seorang jurnalis paling professional dan idealis pun akan setuju dengan hal ini, meskipun tetap tidak bisa mengambil posisi yang tegas untuk hanya mengedepankan hal ideal. Sejak seorang professional memulai pekerjaan kejurnalistikannya, ia telah diikat oleh aturan-aturan dan etika-etika profesi yang sangat mengagungkan pada kebersahajaan fakta.

Para professional jurnalis di dunia ini akan meletakkan fakta pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dari kepalanya. Penghormatan terhadap fakta melebihi penghormatan terhadap para konglomerat media, sekalipun konglomerat media memiliki kekuasaan untuk mengubah sebuah fakta menjadi fiksi. Bill Kovack termasuk satu dari sedikit professional jurnalis yang memberi hormat luar biasa terhadap fakta. Dalam bukunya yang menjadi panduan bagi para professional jurnalis, Kovack memasukkan fakta sebagai salah satu elemen jurnalisme yang mesti diperhatikan dalam kegiatan kejurnalistikkan.

Tapi, kalau pemahaman tentang fakta seperti di atas menguasai para professional jurnalis yang sekaligus menegaskan bahwa fakta itu sama saja dengan sebuah kemungkinan, tentunya kita perlu menjawab pertanyaan yang sifatnya fungsional, subtansial, dan sekaligus artificial tentang informasi yang akhir-akhir ini begitu kuat memengaruhi public pembaca media massa. Apakah masih diperlukan penghormatan yang luar biasa terhadap fakta?

Baiklah kita kesampingkan dulu menjawab pertanyaan itu?

Kita bicara dulu tentang ukuran-ukuran umum yang berlaku di lingkungan manusia, yang sesungguhnya ukuran-ukuran itu menjadi umum karena ada kesepakatan bersama tentang ukuran itu. Tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang tidak bersepakat akan hal itu. Selalu ada orang yang menolak bersepakat dengan ukuran-ukuran umum itu, lalu membuat ukuran yang menurut dirinya atau kelompoknya sendiri lebih layak sebagai ukuran umum. Kita tidak bisa menyebut orang itu atau kelompoknya telah melakukan pemberontakan atau pembangkangan, karena ummat manusia dilahirkan dari lingkungan yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Di lingkungan masyarakat Lampung (ullun Lappung), ada yang disebut masyarakat Saibatin dan ada juga yang disebut masyarakat Penyimbang. Ukuran umum bagi masyarakat Saibatin tidaklah sama dengan ukuran umum bagi masyarakat Penyimbang, meskipun kalau kita cari-cari persamaan diantara keduanya pastilah tidak sulit untuk menemukannya. Apalagi jika kemudian kita lepaskan latar belakang mereka sebagai masyarakat Saibatin maupun masyarakat Penyimbang, dan kita melihat masyarakat itu sebagai bagian dari masyarakat Provinsi Lampung. Namun, jika cara itulah yang kita pakai hanya untuk menemukan persamaan pada kedua masyarakat itu, kita telah melakukan mengabaian terhadap hal-hal yang metafisi yang membentuk kedua masyarakat itu.

Pengabaian seperti inilah yang dilakukan oleh negara Orde Baru selama puluhan tahun meskipun selalu mengumandangkan betapa pentingnya menghargai pluralisme di negara ini, lalu membentuk sebuah pluralisme baru yang dikonsepkan Koetjaraningrat sebagai “puncak-puncak kebudayaan nasional” meskipun kita tidak pernah tahu ukuran apa yang telah dipakai untuk menentukan mana yang puncak, mana yang lembah, dan mana yang kaki dari kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh di negeri ini. Kita mempersoalankan hal-hal yang sudah puluhan tahun berlangsung dan telah menjadi ukuran umum, maka orang-orang yang memegang teguh ukuran umum itu selama puluhan tahun akan menilai dan mendudukkan kita sebagai pembangkang atau pemberontak.

Negara pernah mencitrakan orang-orang semacam ini sebagai enemy of the nation sehingga pantas disebut subversive dan disingkirkan dari segala kegiatan kebudayaan manusia.

Ukuran umum adalah penjara yang membuat kita tidak tahu cara membebaskan diri dari dalamnya. Kita betah dengan ukuran-ukuran umum itu, meskipun kita setidaknya pernah memikirkan untuk menolak ukuran umum itu, tetapi tidak bisa mewujudkan apa yang kita pikirkan. Kita seperti seorang buta yang disuruh mengucapkan kalimat: “Saya bisa melihat dengan jelas”. Ia tidak akan bisa mengucapkan kalimat itu bukan lantaran ia juga seorang yang bisu, tetapi karena kalimat itu bertolak belakang dengan fakta dan tidak ada manfaatnya bagi dirinya, meskipun sesungguhnya jauh di dalam hatinya ia ingin bisa melihat dengan jelas seperti manusia normal lainnya. Melihat dengan jelas seperti manusia normal lainnya adalah hal ideal bagi dirinya dan ini merupakan ukuran umum, tetapi hal fakta menunjukkan bahwa ia seorang yang buta.

Sekarang kita bicara tentang fakta dan ideal dalam kegiatan-kegiatan kejurnalistikan. Para jurnalis biasanya pengagum kaum empiris, mereka yang selalu ngotot untuk memperjuangkan bahwa tugas utama dari pengetahuan manusia adalah hanya membeberkan fakta. Para akademisi yang berkutat dengan dunia ilmu pengetahuan akan membenarkan hal ini dengan mengedepankan fakta ilmiah, meskipun mereka tidak bisa membantah bahwa sesungguhnya fakta ilmiah tentang teori gravitasi, misalnya, sebetulnya tercipta dari fakta-fakta yang tak ilmiah dan paradoks.

Sampai di sini kita akan melihat bahwa sesungguhnya fakta saja tidaklah cukup sebagai panduan dalam kegiatan-kegiatan kejurnalistikan.

Sekarang kita bicara tentang kegiatan kejurnalistikan. Di belahan mana pun di dunia ini, kegiatan jurnalistik dilakukan seorang jurnalis dengan cara yang tidak berbeda jauh. Deborah Potter dalam bukunya Handbook od Independent Journalisme (2006) membuat simpul bahwa jurnalis memperoleh berita dengan tiga cara: (1). Peristiwa-peristiwa yang terjadi secara natural atau alami, seperti bencana alam dan kecelakaan; (2). Aneka aktivitas yang direncanakan seperti konfrensi pers; dan (3). Usaha-usaha yang dilakukan pekerja pers.

Kalau kita membaca berita-berita yang disiarkan media massa, seorang yang sangat awam terhadap kegiatan-kegiatan kejurnalistikan pasti dengan mudah mengetahui bahwa banyak dari jurnalis yang bekerja di institusi-institusi media melakukan kegiatan kejurnalistikan seperti cara pertama dan cara kedua. Sedangkan cara ketiga, yakni usaha-usaha yang dilakukan para professional jurnalis, hampir tidak pernah dilakukan.

Mari kita baca berita tentang terorisme yang terbit di sejumlah koran di Lampung pada hari Rabu, 17 Maret 2010. Berita-berita itu mengabarkan setelah Dul Matin ditembak mati, jaringan terorisme di Indonesia kocar-kacir karena kehilangan tokoh sentral. Bagi jurnalis penulis berita itu, hal ini merupakan fakta. Fakta itu didapat dari nara sumber bernama Al Chaidar, Dynno Cressbon, Mardigu Wowiek Prasongko, danpolisi. Tidak ada nara sumber dari pihak pelaku terorisme, entitas yang justru dibicarakan dalam berita ini, sehingga pelaku terorisme menjadi pihak yang didiskriminasi dalam pekerjaan kejurnalistikan.

Semua berita itu didapat dengan cara memanfaatkan orang lain (narasumber), lalu dikomfilasi dengan sebuah teknik penulisan jurnalistik yang dipengaruhi intelektualitas serbasekilas (jurnalis selalu memikirkan space halaman yang kecil, sehingga segala sesuatu mesti dipadatkan). Malangnya, dari sekian banyak ahli di negeri ini, jurnalis memilah dan akhirnya memilih narasumber yang menurut mereka cocok (mungkin juga karena paling mudah ditemukan, atau hanya lewat telepon), meskipun setiap narasumber itu ternyata memiliki intelektualitas yang sebangun dalam melihat terorisme, sehingga tidak ada informasi yang bertolak-belakang.

Berita seperti ini tercipta karena para professional jurnalis itu bekerja berdasarkan fakta, hanya melihat pensil dari permukaan luar gelas sehingga tampak bengkok atau patah. Mereka tidak pernah memikirkan tentang hal ideal dari pensil itu, mungkin mengabaikan bahwa sebetulnya pensil itu masih sempurna. Inilah kecenderungan para professional jurnalis kita yang memiliki intelektual serbaselintasan. Jurnalis kita seperti orang buta yang disuruh mengatakan “saya bisa melihat dengan sempurna” tetapi ia tidak akan mengatakannya karena pernyataan itu tidak bermanfaat baginya.

Dalam bekerja, para professional jurnalis kita tahu persis hal-hal ideal dalam kehidupan orang-orang yang dituduh terorisme, juga mengerti betul untuk apa polisi membangun citra buruk tentang para teroris itu, tapi para professional jurnalis merasa hal-hal ideal itu tidak menguntungkan bagi dirinya juga pekerjaannya. Menjadi kontradiktif dan paradok adalah keseharian para jurnalis, dan sesungguhnya mereka memilihara kondisi itu tapi melindungi diri seolah-olah kondisi itu merupakan kultur dari manajemen institusi media tempat dia bekerja.

Haryatmoko melihat cara kerja para profesional jurnalis ini sebagai persoalan etika dengan mengedepankan konsep "logika waktu pendek" para pengelola institusi media.


Tulisan ini terpikirkan setelah ngobrol ngalur ngidul dengan Willy Pramudya, seorang kawan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang kebetulan sedang berada di Lampung. ***


Membawa Es Balok di Tangan


Tak elok betul elite negeri ini. Merencanakan program selalu dengan asumsi bahwa rakyat itu "sangat bodoh" dan kebodohannya membuatnya miskin. Maka dibuat program yang ada kata "gratis", "bantuan", "hibah", dan sejenisnya di dalamnya. Biar agak mirim World Bank, pakai kata "grand".

Program yang digagas Fraksi partai Golkar, yang disebut dana aspirasi, juga menganggap rakyat itu sangat bodoh. Dan saya tersentak ketika membaca sebuah tulisan intelektual Partai Golkar di Koran Tempo, yang mensejajaran Satgab bentukan Partai Golkar itu sebagai "upaya nasionalisme untuk memperkuat pemerintah" dan bukan intervensi parati politik ke dalam sistem pemerintahan negara.

Mungkin mereka berpikir, rakyat yang bodoh itu tidak bisa membedakan "intervensi" dan bukan intervensi. Dan kini, terbukti, intervensi Partai Golkar itu diawali dengan pengusulan dana aspirasi. Jelas, ini tak tahu diri, seolah negara reformasi ini masih saja negara orde baru. Negara lama, dimana Partai Golkar tegak serupa tiang agung yang tak bisa digoyahkan. Partai yang semua isi kepalanya merupakan isi kepala negara ini, tak boleh dibantah, tak boleh ditentang.

Mungkin benar prediksi banyak pengamat. Ada upaya menghidupkan Orde Baru dengan kemasan baru, dan kita bisa menyebutnya new-Orde Baru. Karena Orde Baru adalah isme, kekuasaan, kekekalan, keabadian, dan kebal hukum.

Sungguh tak tahu diri, memang. Partai yang bukan pemenang Pemilu 2009 itu, berperilaku sebagai pemenang sebenarnya. Tapi, mungkin juga betul. Lantas, kita sebut apa Partai Demokrat?

Satgab punya otak di kepala Partai Golkar. Dana aspirasi hasil olah otak partai itu. Seperti di zaman Orde Baru, dana aspirasi itu tak jauhy berbeda dengan Bantuan Desa (Bandes), yang diberikan untuk desa-desa tetapi dihabiskan para pejabatnya. Kita tahu, pejabat saat itu, pastilah memberi hormat yang luar biasa kepada Partai Golongan karya.

Membantu rakyat sebanyak Rp1 M per desa dari dana aspirasi itu adalah mengulangi kebodohan di masa lalu. Menambah daftar panjang dana rakyat yang habis dalam rumitnya birokrasi pemerintah.

Soal dana APBN/APBD, bisa diibaratkan seperti seseorang membawa es balok di tangan. Semakin jauh es itu dibawa, akan semakin mengecil balok es itu.

Apakah kita akan membiarkannya? Betapa malang, sesungguhnya, mereka yang menganggap rakyat ini bodoh.


Di Entikong, Kaki Kanan di Malaysia, Sebelah Lagi di Indonesia


Nurhayati tersenyum. Kaki kanan perempuan berusia 58 tahun itu menjejak di Serawak, Malaysia, sedang kaki lainnya berada di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, Indonesia. Sementara laki-laki berseragam militer berusaha mencegatnya.

Pertengahan Juli 2008 lalu, Nurhayati tiba di perbatasan Indonesia-Malaysia atau Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Pos itu berada di Dusun Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Entikong berjarak sekitar 312, 4 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, ke arah timur.

Ia tidak sedang berniat mau ke Malaysia. Bersama seluruh anggota keluarga, ia hanya menghabiskan waktu selama mengunjungi famili di Sanggau. Kebetulan familinya menawarkan jalan-jalan ke Entikong, sebuah kawasan yang juga sering dijadikan objek wisata di daerah itu. Karena belum pernah ke Entikong, dan didorong rasa ingin tahu tentang daerah perbatasan, ajakan itu tidak ditolaknya.

Mengendarai mobil dari Sanggau, layaknya sedang berwisata, tawa mereka pecah. Keluarga Nurhayati—suami, enam anak, dan dua cucu ditambah seorang menantunya--memang membutuhkan wisata.

Kesibukan sehari-hari di tempat tinggalnya, di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara, membuat ia tak pernah memikirkan liburan. Untung ada kesempatan dari anak ke-5, Muhammad Yunus, yang berniat menikahi seorang gadis asal Sanggau, Diana. Usai acara pernikahan dengan tata cara adat khas Melayu Sanggau, ditutup dengan kegiatan berwisata.

***

Bayangan tentang Entikong, yang diceritakan famili barunya (besan), berlintasan. Sebuah tempat yang akan menjadi sangat menyenangkan.

Entikong merupakan satu dari beberapa tempat di Kalimantan Barat yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Entikong di Kabupaten Sanggau. Nanga Badau di Kabuapaten Kapuas Hulu. Paloh dan Aruk di Kabupaten Sambas. Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang. Dan, Senaning di Kabupaten Sintang.

Hanya di Entikong terdapat PPLB. Lainnya masih belum dibuka, dan masih berupa Pos Lintas Batas (PLB). Pembukaan masalah lintas batas, harus ada kesepakatan dari kedua belah negara berdaulat.

Entikong tak pernah sepi. Di daerah perbatasan ini, segala sesuatu menggeliat. Orang-orang selalu datang, mengendarai angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Mobil-mobil keluar dan masuk kawasan, tapi hanya sebatas tempat parker yang terlihat seperti terminal.

“Tempat ini memang berfungsi sebagai terminal angkutan umum. Angkutan trayek Entikong-Sanggau berhenti di sini,” kata Marzuki, petugas parker.

Ia tinggal di Desa Entikong itu bersama istrinya, Hanna, yang membuka salah satu warung makan di kawasan tersebut. “Dua puluh empat jam. Tempat ini selalu ramai,” katanya.

Sekitar setengah kilometer sebelum mobil yang dikendarai Nurhayati memasuki kawasan PPLB, mulai terasa aroma perbatasan. Entikong terlihat berbeda dengan kebanyakan perkampungan yang telah dilewati. Ia seperti sebuah kota yang baru tumbuh dengan infrastruktur jalan yang jauh lebih mulus.

Segala fasilitas bisa ditemukan. Ruko-ruko yang menyajikan berbagai jenis barang belanjaan, gedung imigrasi yang mentereng, dan pos-pos polisi. Semua terlihat masih baru. Beberapa bangunan baru sedang diselesaikan para pekerja. Daerah ini, Kecamatan Entikong, jadi tampak seperti make up.

Mereka yang datang dari Malaysia, yang melintasi PPLB, segera akan berada di Kecamatan Entikong dan melihat sebuah kota yang baru tumbuh. Mana kala mereka mulai melewati pusat kota, akan membentang potret yang bertolak-belakang. Kemiskinan penduduk disembunyikan di balik bangunan-bangunan mentereng di kawasan pertasan itu.

Mobil yang ditumpangi Nurhayati berhenti. Dengan gesit Nurhayati turun. Setelah berfoto beberapa kali jepret di tugu nama bertulis Entikong, ia mengajak suaminya, Rencong Hutasuhut, ke pos penjaga.

“Saya ingin menginjakkan kaki sebelah di Malaysia, sebelah lagi tetap di Indonesia,” kata Nurhayati.

Anak-anak dan cucu Nurhayati sibuk mengambil gambar. Mengabadikan keberadaan mereka di Entikong. Ada kegembiraan memancar. Ada tawa lepas. Semua yang tampak pada keluarga itu adalah kekhasan orang yang sedang berwisata.

Meskipun kebahagiaan itu hampir tidak ditemukan pada sebagian besar masyarakat Entikong. Karena beberapa orang yang ditemui mengaku, keberadaan PPBL di Entikong telah mengungkap potret ketimpangan perhatian pemerintah pusat dua negara berbeda. Di wilayah Malaysia, kawasan Serawak, geliat pembangunan melonjak drastic sejak pembukaan PPBL disepakati kedua negara. Sementara di wilayah Indonesia, nyaris tidak ada geliat ekonomi.

***

Pemerintah Malaysia menangkap potensi besar ekonomi dari pembukaan PPBL di Entikong. Kawasan Serawak, yang semula hanya daerah tempat tinggal, belakangan menggeliat menjadi salah satu kawasan industri di Malaysia. Perkembangan sector industri ini, yang cuma berjarah beberapa kilometer dari Indonesia, menjadi daya tarik baru bagi orang Indonesia untuk menguji peruntungan dan nasib sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).

Malaysia memang super ketat soal ini. Tapi, di Entikong, mereka bisa dengan mudah menyeberang ke Malaysia. Berbekal passport dari kantor imigrasi di daerah itu. Soal surat-surat dan dokumen pribadi, ada cerita yang sangat menarik.

Meskipun pemerintah pusat sudah memperketat kehadiran para calo, tetapi menjadi calo merupakan pilihyan utama bagi masyarakat Entikong. Hanya pekerjaan itu, yang cuma bermodalkan kemampuan merayu dan menyuap petugas—dan petugas memang menyukainya—seseorang akan mendapat keuntungan besar.

“Dalam sehari, paling sedikit 10 orang mengurus passport,” kata Firkah, seorang calo, yang sudah menekuni kariernya selama bertahun-tahun.

Banyak calon TKI yang ingin menyeberang ke Malaysia untuk memanfaatkan ruang-ruang kosong pada sector tenaga kerja (buruh) di sejumlah pabrik yang baru dibuka. Sektor tenaga kerja lapis bawah itu, biasanya membuka diri untuk tenaga-tenaga murah dari Entikong. Yang penting, mereka punya dokumen pribadi yang sah. Tanpa itu, mereka tak akan bisa melwati adangan para askar di perbatasan.

Kehadiran pabrik-pabrik baru di Serawak, bukan cuma membuat calon TKI tergiur. Tapi, juga membuat para pengusaha berbagai komoditas mentah mencium ada potensi ekonomi besar untuk memasok bahan baku. Para pengusaha dari Kalimantan Barat, kemudian mengupayakan pengiriman berbagai jenis bahan baku ke Serawak melalui PPBL.

Sebaliknya, para pengusaha di Serawak melihat potensi pasar yang besar di wilayah Kalimantan Barat. Melalui jalur PPBL, sering terlihat truk-truk bermuatan barang-barang produksi asal Serawak masuk ke Entikong. Kalimantan Barat pun berubah menjadi pasar potensial bagi Malaysia dengan produk yang sesungguhnya bisa diproduksi masyarakat Entikong. Sebut saja bidai atau tikar, juga sandal jepit.

Dua produk itu sangat diminati masyarakat Kalimantan Barat. Karena produk serupa dari Indonesia, harganya mahal. Sedang produk dari Malaysia, harganya murah dan meriah.

Tingginya perhatian Pemerintah Malaysia terhadap daerah perbatasan, berbanding terbalik dengan buruknya perhatian Pemerintah Indonesia. Sebagian masyarakat Entikong akhirnya lebih tertarik memasuki Malaysia, karena di sana mereka bisa menikmati apa yang tidak bisa mereka nikmati di Indonesia.

Dalam hal kemajuan teknologi komunikasi, misalnya. Teknologi itu tak tumbuh subur di sana. Masyarakat tidak bisa mengakses informasi dari TV, radio, koran Indonesia, tetapi mudah mengakses informasi dari Malaysia. Perhatian mereka selalu tertuju pada setiap informasi baru dari Malaysia seperti pembangunan kawasan industri baru di Serawak itu.

***

Nurhayati ngotot ketika petugas berseragam militer di pos jaga menghalangi niatnya menginjakkan kaki. Ia dan suaminya tidak hilang akal. Mengeluarkan kamera saku, suami Nurhanyati menyuruh istrinya mendekati pos jaga. Tiga aparat militer, yang masih muda usia, diminta ikut berpose.

“Ini kenang-kenangan bahwa saya pernah sampai ke Entikong,” kata Nurhayati.

Petugas itu tersenyum. “Tetap tidak boleh ibu ke sana. Ibu hanya boleh di garis netral ini.”

Nurhayati pun maju ke garis netral. Lalu memasukkan sebelah kakinya ke wilayah Malaysia, dan sebelah lagi tetap di Indonesia. Suaminya dengan gesit memotret, sementara aparat militer mencoba menghalangi.


Bumi Dipasena yang Merana


Awan bergelayut di langit. Cuaca berkabung. Masih siang, tetapi terasa malam sudah datang. Sunyi mendesak ke semua ruang di Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulangbawang.  Mendesak juga ke dalam dada semua orang.

Lihatlah Fendi (40), kehilangan gairah.  Rustam (45), Marwan (39), Yunus (38), dan 7.000 keluarga petambak di areal pertambakan yang kini dikelola PT Aruna Wijaya Sakti (AWS),  telah kehilangan semangat yang pernah memacu mereka membangun tambak udang terbesar di kawasan Asia Tenggara itu. Wajah-wajah mereka terlipat dalam duka memikirkan kesulitan hidup yang mendera. Kesulitan yang sukar diatasi, karena tambak-tambak belum beroperasi.

Sejak Konsorsium Renaissance Capital (atau PT Recapital Advisors) dinyatakan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) sebagai pengambil alih asset  Grup Dipasena,  situasi di Bumi Dipasena tidak lebih baik. PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), anak perusahaan PT Central Proteinaprima, Tbk, yang ditunjuk sebagai pengelola menggantikan PT Dipasena Citra Darmaja, setali tiga uang dengan yang digantikan. Sejak 2005 hingga kini, perusahaan ini belum melakukan revitalisasi pengelolaan tambak udang sebagaimana disyaratkan pemerintah melalui PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada tahun 2007.

Tidak ada pekerjaan, tidak ada penghasilan. Petambak pusing tujuh keliling. Hidup harus terus berjalan, tetapi tambak udang yang diharapkan sebagai jalan, tidak kunjung direvitalisasi. “Kami butuh makan. Kami butuh hidup,” kata Purdianto, kepala Kampung Bumi Dipasena Agung.

Bertahun-tahun tidak punya pekerjaan, hanya berharap serupa pungguk merindu bulan, sebanyak 40,000 jiwa di Kecamatan Rawajitu Timur  hidup nelangsa. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk mendesak PT Aruna Wijaya Sakti agar mempercepat revitalisasi. Tidak cuma bicara langsung dengan direksi, petambak pun sudah menyampaikan keluhan ke DPR.  Tapi, karena mereka miskin, tidak ada yang mendengarkan.

Jangankan bersikap, DPR terkesan diam. Boro-boru mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membela. Gubernur Lampung Sjachroedin ZP malah lebih mengurusi masalah pembangunan megaproyek Jembatan Selat Sunda. Kemiskinan petambak, makin miskin karena tidak ada yang memperhatikan.

Fendi betul-betul hilang gairah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghidupi anak dan istri. Telah dicobanya hidup sebagai nelayan, tetapi hasil yang didapat tidak mencukupi. Rustam jadi petani sayur-mayur. Joko menanam jagung. Marwan setiap hari mencemplungkan joran di kanal.  Memang ada hasil, tetapi tidak seberapa. Hidup terus berlanjut dengan kemiskinan yang semakin parah.

“Sebagian petambak akhirnya mengelola sendiri tambak yang ada agar bisa bertahan hidup. Tapi, hasilnya tidak seberapa, padahal modalnya sangat besar,” kata Purdianto.


Dituduh Mencuri

Lantaran petambak mengelola areal tambak yang belum direvitalisasi, manajemen PT Aruna Wijaya Sakti merasa bahwa hasil tambak yang dikelola petani itu merupakan milik perusahaan dan harus dijual ke perusahaan. Tapi, petambak yang memodali sendiri pengelolaan tambak, merasa punya hak atas hasil budidayanya. Sebab itu, semua hasil panen udang itu dijual keluar lewat Agus Timbul.

Merasa udang-udang itu dibudidayakan di areal milik PT Aruna Wijaya Sakti, perusahaan itu mengadukan Agus Timbul ke Polsek Rawajitu. Laki-laki 40 tahun yang tinggal di Bumi Dipasena Agung Blok 5 Jalur 37 No. 8, Kecamatan Rawajitu Timur, itu sehari-hari bekerja sebagai penampung udang hasil budidaya petambak. Pekerjaan itu ia lakukan untuk membantu para petambak. Tetapi pada Selasa (31/8) malam, saat Agus Timbul hendak mengirim udang-udang hasil pengumpulannya, semua kerja Agus Timbul menjadi salah di mata hukum.

Aparat dari Polsek Rawajitu mengerubukinya, menangkapnya, dan menggiringnya ke bui. Agus Timbul dijadikan tersangka pencuri udang milik PT Aruna Wijaya Sakti.

Kabar penangkapan Agus Timbul cepat menyebar di Bumi Dipasena. Para petambak yang telah kehilangan gairah hidup akibat kegagalan PT Aruna Wijaya Sakti merevitalisasi tambak, mendadak merasa kehilangan segalanya. Satu-satunya sumber bagi mereka untuk tetap bisa bertahan hidup adalah Agus Timbul, tetapi polisi telah menangkap Agus Timbul seolah penjahat  kambuhan.

“Kami protes dan meminta polisi melepaskan Agus Timbul,” kata Syukri J. Bintoro, salah seorang pengurus Perhimpunan Petani Petambak Udang Windu (P3UW). “Bagaimana mungkin polisi menuduh Agus Timbul menadah udang hasil curian, sedangkan udang itu hasil budidaya para petambak anggota P3UW”.

Selain meminta polisi membebaskan Agus Timbul, P3UW juga meminta PT Aruna Wijaya Sakti mencabut tuduhan terhadap Agus Timbul. Sebab, Agus Timbul tidak pernah menadah udang milik perusahaan. Agus Timbul menampung udang hasil budidaya petambak yang dimodali dengan dana milik petambak. “Kami tidak pernah mengancam akan mengerahkan massa,” kata Syukri.

Polisi akhirnya membebaskan Agus Timbul, tetapi dengan catatan proses hokum tetap dilanjutkan. Meresa bahwa polisi tidak menyimak, mendadak seluruh petambak emosional. Hidup yang sudah tertekan, makin tertekan. Tidak ada yang memperhatikan, malah semua orang mendeskriditkan.

Rusuh Dipasena

Mendadak semua petambak berkumpul. Tidak ada komando. Fendi, Rustam, Marwan, Yunus, dan ratusan petambak seolah menemukan gairah kembali untuk hidup. Kabar tentang Agus Timbul memicu semangat baru. Semangat perlawanan, yang sempat redup selama beberapa tahu. Perlawanan yang berhasil ditenangkan sambil menunggu PT Aruna Wijaya Sakti menyelesaikan revitalisasi tambak.

Tapi malam itu, tak ada yang bisa meredakan. Massa berteriak-teriak. Bergerak serentak. Lalu, massa aksi agar Agus Timbul dibebaskan dari segala tuntutan hokum. Orasi memicu sumbu-sumbu kemarahan akibat terlalu lama dimiskinkan.  Massa makin garang. Mereka mulai merangsek merusak ruang Puskodal.

Tak cukup hanya itu, dari Puskodal, massa menuju Pos Tanggul Penangkis. Di sini, massa merobohkan pos. Tak puas, massa membakarnya. Ini pun tak cukup, massa lalu bergerak menuju Pos Cold Storage. Di tempat ini, massa merusak dua Pos Security dan Office Receiver. Massa juga merusak Kantor Operasional Transportasi Kanal T. Masih emosional, massa kemudian merusak Pos Mess Gajah (kaca dilempar hingga pecah), Pos Blok 3 (dirobohkan), dan Pos Alpha Blok 16 (dibakar).

Polisi Membela Diri

Kapolsek Rawajitu AKP Sulpandi menilai, persoalan sebetulnya persoalan pencuri udang milik PT Aruna Wijaya Sakti. Dalam catatan polisi, Agus Timbul telah dua kali tertangkap. Yang pertama sekitar bulan Maret dengan barang bukti (BB) 1 ton udang, dan yang kedua pada Agustus dengan BB sekitar 1,8 ton udang tersebut.

“Kami tetap memproses Agus Timbul,” kata Kapolsek.


Riwayat Pemburu Sedekah


Setiap sudut Kota Bandar Lampung kini dipenuhi para pemburu sedekah.  Di pasar, terminal, tempat jajanan buka puasa, jalan raya, masjid, sekolah, kantor pemerintah, kampus, kantor polisi, kantor pos, di tangga penyeberangan, dan bahkan di rumah-rumah penduduk.  Mereka muncul lengkap dengan segenap keluhannya, penderitaannya, dan rasa sakit yang membekas di wajahnya—entah benar atau tidak. Mereka bertampang memelas, kumal, dan selalu menadahkan tangan kepada siapa saja. Ada juga bertampang penipu, berpura-pura kehilangan sesuatu.

Dari sisi keimanan, tidak jadi soal apakah para pemburu sedekah itu kalangan yang pantas menerima sedekah atau tidak. Sebab, bersedekah tidak harus memilih-pilih. Jika memang ingin memberi, maka lakukanlah. Ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu mengetahuinya.

Tapi, dilihat dari perspektif pembangunan, kehadiran para pemburu sedekah ini seolah menegaskan betapa pertumbuhan Kota Bandar Lampung telah memiskinkan penduduknya. Mungkin saja memang benar jika kita melihat dinamika pembangunan di Kota Bandar Lampung. Perkembangan infrastruktur kota, misalnya, tak mampu menggenjot pertumbuhan investasi. Akibatnya, pertumbuhan dunia usaha sangat minim, dan kita kesulitan menemukan sector produksi di lingkungan masyarakat.

Kota Bandar Lampung kini menjelma sebagai kota konsumsi. Semua jenis barang konsumsi dapat dijumpai dengan mudah. Kehadiran minimarket di lingkungan rumah tangga yang menawarkan berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, punya andil tidak sedikit dalam mengubah perilaku ekonomi masyarakat. Belum lagi jika kita mengukur dari kehadiran sejumlah gerai telepon seluler, yang membuat masyarakat lebih mengutamakan membeli telepon seluler atau pulsa telepon seluler daripada memikirkan menabung untuk masa depannya.

Pertumbuhan ekonomi di Kota Bandar Lampung banyak ditopang oleh sector konsumsi. Kita paham, sebuah kota yang tak memproduksi tetapi banyak mengkonsumsi, cepat atau lambat akan berkembang menjadi kota yang memiskinkan warganya. Sebab, setiap warga akan mengutamakan konsumsi dan menjelma menjadi konsumtif atas segala sesuatunya. Kondisi ini membuat mereka abai terhadap produksi.

Tiap hari, ada saja warga yang Kota Bandar Lampung yang menjadi miskin karena lebih memilih menghabiskan apa yang ada daripada menghasilkan sesuatu. Ketika situasi ini terus berlanjut, bukan mustahil jika warga yang semakin miskin akan mencari alternative yang lebih mudah dan tanpa perlu mengeluarkan banyak modal.

Menjadi pemburu sedekah merupakan pilihan logis.

***

BEBERAPA hari lalu, Provinsi Lampung mendapat kabar gembira dari Departemen Sosial. Departemen itu mengalokasikan dana dekonsentrasi bidang social untuk masyarakat di provinsi ini. Dana yang tidak sedikit itu, sudah tentu bertujuan untuk mengatasi maslah-maslah kesejahteraan yang diderita masyarakat.

Dengan kata lain, Departemen Sosial mengucurkan dana dekonsentrasi untuk Provinsi Lampung karena menyakini bahwa data statistic tentang ketidaksejahteraan masyarakat di provinsi ini merupakan persoalan yang harus diselesaikan. Artinya, pemerintah pusat mengakui bahwa masyarakat di Provinsi Lampung masih banyak yang belum sejahtera hidupnya sehingga harus dibantu dengan mengalokasikan dana dekonsentrasi.

Sulit memang membantah hal itu  apalagi jika kita ajukan fakta tentang semakin banyaknya warga yang berubah menjadi pemburu sedekah. Barangkali bagi banyak kalangan kehadiran para pemburu sedekah berkaitan dengan watak masyarakat yang pemalas dan tidak mau bekerja keras, tetapi asumsi semacam itu tidak sepenuhnya benar. Sangat mungkin, mereka yang memilih menjadi pemburu sedekah merupakan entitas yang secara psikososial telah patah arang menghadapi realitas kehidupannya. Setelah bekerja keras dan berusaha sebagaimana layaknya, mereka tetap kesulitan mengatasi masalah-masalah kehidupan sehari-hari dan terus-menerus berada dalam tekanan ekonomi yang sangat keras.

Trauma psikososial mendorong masyarakat menjadi pemburuh sedekah. Pilihan ini berkorelasi  positif dengan watak warga Kota Bandar Lampung yang cenderung memiliki rasa prososial yang tinggi, yang sangat kuat menjaga nilai-nilai social yang berelasi dengan nilai-nilai agama. Artinya, memberikan sedekah bagi sebagaian warga Kota Bandar Lampung merupakan pengamalan dari ajaran-ajaran agama yang telah mendarah daging, selain juga sebagai wujud rasa social yang tinggi terhadap penderitaan sesamanya.

Memang, setiap pilihan yang dibuat warga Kota Bandar Lampung akan membawa dampak yang serius bagi segala realitas kehidupan masyarakat. Memberi sedekat kepada para pemburu sedekah dapat membawa dampak negative terhadap pembiasaan, pewajaran, dan melenakan. Para pemburu sedekah akan merasa jauh lebih nikmat menadahkan tangan ketimbang menggosokkan tangan dalam sebuah rutinitas kerja. Bahkan, tak jarang dari para pemburu rezeki yang merasa pilihan hidupnya juga merupakan profesi yang perlu ditekuni secara serius. Untuk itu, setiap pemburu sedekah harus membekali diri dengan kemampuan merangsang rasa prososial setiap orang yang ditemuinya.

***

KEHADIRAN para pemburu sedekah memang meresahkan banyak kalangan. Keluhan pun tidak sedikit disampaikan masyarakat. Apalagi akhir-akhir ini, terutama menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Di setiap sudut Kota Bandar Lampung, para pemburu sedekah tampil dengan daya juang yang sangat tangguh. Mereka memburu siapa saja yang diharapkan akan memberikan sekeping uang.

Tidak cuma orang catat yang selama ini menjadi pelaku utama pemburu sedekah. Banyak juga orang sehat, muda, segar, dan sesungguhnya memiliki cukup tenaga untuk menekuni bidang pekerjaan seperti pembantu rumah tangga atau tukang cuci. Tidak sedikit pula kaum pria yang sehat tetapi mengubah penampilannya menjadi sangat tidak sehat. Anak-anak pun acap menjadi pemburu sedekah, meskipun sebagian besar dari mereka bukanlah anak-anak yang dimanfaatkan orang lain.

Munculnya para pemburu sedekah adalah konsekuensi paling logis dari perkembangan Kota Bandar Lampung yang tidak mengindahkan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Di tangan pemerintah daerah, bisa dibilang Kota Bandar Lampung telah berkembang menjadi kota yang hanya berpihak kepada masyarakat yang secara ekonomi mampu untuk mengkonsumsi berbagai jenis barang dan jasa. Mereka yang tidak memiliki kemampuan sebagai konsumen,  akan tersingkir sebagai warga yang hanya bias meratapi realitas kesejahteraannya sambil berusaha menjadi pemburu sedekah dengan teknik dan cara yang lain.

Tidak sedikit dari pemburu sedekah di Kota Bandar Lampung yang kemudian memilih menjadi ahli dalam bidang membuat proposal permintaan dana yang diajukan ke pemerintah daerah. Proposal kegiatan yang sesungguhnya fiktif itu, entah kenapa banyak yang disetujui dan dananya dicairkan, meskipun kemudian terungkap bahwa proposal itu akal-akalan antara masyarakat dengan petugas dalam mengeruk dana APBD.

Sebab itulah, terhadap bantuan dana dekonsentrasi Departemen Sosial untuk Provinsi Lampung, ada baiknya Dinas Sosial Provinsi Lampung tidak lagi terjebak dalam korupsi. Sebaikn ya dana dekonsentrasi dari pusat itu dialokasikan sesuai peruntukan dengan orientasi bukan untuk memperkaya diri sendiri, melainkan mengubah pola piker masyarakat yang terlanjur patah arang menghadapi realitas kehidupan sehingga lebih memilih menjadi pemburu sedekah. ***


Di Ranau-Seminung, Mereka Butuh Disetrum


Kedatangan malam senantiasa disambut suara binatang di Kecamatan Lumbok-Seminung, Kabupaten Lampung Barat.  Bukan keriuhan yang terdengar, tetapi sayatan-sayatan sunyi yang memberkaskan kesenyapan. Dingin bangkit dari permukaan Danau Ranau, melangkah pelan dan  bersijingkat di atas rumput-rumput air, lalu menakik jalan menanjak menuju dinding-dinding rumah penduduk. Lewat celah-selah antarbilah papan yang menjadi dinding, angin masuk dan memaksa api lampu-lampu teplok menari-nari.

Azan Magrib baru lepas. Jalan-jalan di Kecamatan Lumbok-Seminung, terutama di sepanjang Danau Ranau, sudah sepi. Satu dua manusia terlihat bergegas menuju rumah masing-masing. Diburu oleh jadwal yang  sudah pasti: menyalakan lampu teplok agar gelap tidak memerangkap.Yang lainnya, terutama anak-anak, sudah lebih dahulu masuk rumah.

Mereka harus melakukan itu, karena di kecamatan yang baru dan merupakan pemekaran Kecamatan Sukau itu, listrik tak pernah sampai. Kalau pun ada bola lampu yang menyala, pijar itu dihela dari tenaga genset. Tidak semua penduduk punya dana untuk membeli genset, apalagi menyalakannya malam hari. Butuh sedikitnya Rp100.000 untuk membeli bensin sebagai bahan bakar jika genset hendak dinyalakan selama semalam.

Kecamatan itu pun berubah seperti kawasan yang lama mati. Tenggelam dalam kesenyapan dan kekelaman. Padahal, di sepanjang jalan menuju kecamatan itu, sudah berdiri tiang-tiang listrik sebanyak 150 unit. Tiang-tiang yang ditanam sepanjang jalan dan merupakan pilar penyanggah jaringan kabel listrik yang terpasang.

"Infrastruktur sudah ada, tapi belum ada setrumnya," kata Syarifuddin, warga setempat. "Entahlah, PLN tidak pernah mau menyetrum kami."

Hidup tanpa listrik, membuat pekon-pekon (sebutan desa adalah pekon) di Kecamatan Lumbok-Seminung bagai tenggelam dalam kemelaratan. Seolah mereka tidak mampu membayar setrum listrik. Padahal, hampir setyiap rumah di pekon-pekon itu, memiliki antena parabola yang mengarah ke langit. Antena-antena yang berjejaring ke pesawat-pesawat televisi, meskipun pesawat-pesawat televisi itu lebih sering mati daripada dinyalakan.

Mahmud pun tak habis pikir. Dua tahun lalu, ia bekerja menanam tiang-tiang listrik di pinggir jalan. Membangun jaringan kabel sebagai buruh dari pengusaha kontraktor listrik yang ditunjuk Pemda Lampung Barat, dan memasang trafo untuk menampung setrum. Dari segi infrastruktur, sesungguhnya sangat memadai. Tapi, dua tahun lalu, ketika PLN diminta menyetrum, badan usaha milik negara (BUMN) yang memonopoli urusan setrum-menyetrum di negeri ini, malah tak mau menyetrum.

Tiang-tiang listrik yang menjadi pilar jaringan kabel listrik, terlihat seperti hiasan saja. Tiang dan kabel tanpa setrum itu menjadi saksi betapa buruk komunikasi yang dijalin PLN dengan Pemda Lampung Barat. Soalnya, dana untuk membangun jaringan infrastruktur itu ternyata tidak dirogoh dari kocek PLN, tapi dikeruk dari APBD Pemda Lampung Barat.

Pemda Lampung Barat, lantaran sangat berharap semua warga di Kecamatan Lumbok-Seminung memiliki setrum untuk kebutuhan sehari-hari, membantu PLN dengan memasang jaringan infrastruktur. Tapi, niat baik Pemda Lampung Barat itu tidak ditanggapi PLN dengan mengalirkan setrum.

"Saya tak tahu kenapa PLN nggak mau," kata pengusaha kontraktor yang memsang jaringan infrastruktur itu. "Terakhir saya data, ribuan warga sudha mengajukan diri agar PLN menyetrum mereka," katanya.

Bagi PLN, keinginan warga itu tidak berarti. Aneh juga, perusahaan itu menolak warga yang ingin menjadi konsumen. ......


Indonesia tak Merdeka di Arab Saudi


Setiap hari, mereka harus mengatasi rasa takut dan rasa lapar yang datang selalu bersamaan, yang membuat hidup mereka jauh dari segala kemerdekaan untuk hidup. Mereka seolah-olah bukan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka. Nasib burung-burung merpati atau pepohonan di Tanah Harom jauh lebih dilindungi daripada nasib manusia yang berasal dari Indonesia dan hidup sebagai warga ilegal di Arab Saudi.

Seorang kawan baru--yang kemudian menjadi sangat dekat dengan saya--membantu saya bertamu ke rumah-rumah warga negara Indonesia yang menjadi ilegal di Tanah Harom. Mereka, sebagian besar para tenaga kerja Indonesia perempuan maupun laki-laki, awalnya datang ke Arab Saudi secara legal. Datang melalui perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang menjalin kerja sama pengiriman tenaga kerja dengan grup perusahaan Bin Laden, Bin Dawood, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan berskala internasional ini menguasai berbagai sektor usaha di Saudi Arabia, mulai dari perhotelan, konstruksi, super market, transportasi, dan lain sebagainya. Mereka dikirim ke Arab Saudi untuk dipekerjakan pada level-level paling bawah, mulai dari penjaga toko, tukang sapu, buruh kasar, sampai sopir.

Lowongan pekerjaan pada level paling rendah di Arab Saudi sangat melimpah, karena warga Arab Saudi sendiri tidak pernah bersedia bekerja pada level itu. Bangsa Arab Saudi, secara kultural, merupakan bangsa yang sangat bangga akan sejarah yang membangun bangsanya. Bangsa yang warganya memiliki standar sosial sangat tinggi sebagai kaum bangsawan meskipun perilaku sosialnya dalam banyak hal sangat tidak bangsawan. Salah satu contohnya, dialami rombongan jemaah haji kloter 19 JKG asal Lampung. Saat hendak menuju bandara di Jeddah, mendadak sebuah sedan berhenti di tengah jalan menghalangi bus para jemaah. Entah apa sebabnya, si sopir marah-marah kepada sopir bus karena mengaku mobilnya diserempet. Tapi, karena seluruh jemaah kloter 19 JKG keluar dari bus, si sopir ketakutan dan pergi.

Penilaian yang miring juga datang dari sebagian besar warga Indonesia yang saya kunjungi. Sebut saja warga Indonesia yang tinggal di Misfalah, beberapa ratus meter dari Tanah Harom. Di dalam apartemen yang ada di lereng bukit itu--saya mesti jalan kaki menanjak melewati tumpukan sampah dan aroma busuk untuk sampai ke apartemen--tinggal enam orang warga Indonesia yang bekerja sebagai pembantu di berbagai rumah majikan. Pemilik apartemen merupakan suami-istri asal Jawa Barat, sedangkan empat lagi merupakan pengontrak yang berasal dari Jawa Tengah dan Banten. Dua diantara empat warga Indonesia itu belum tiga bulan kabur dari majikan, dan kini hidup ilegal di Tanah Harom.

Salah seorang bernama Dewi. Usianya baru 20 tahun. Ia datang ke Tanah Harom melalui PJTKI yang ada di Jakarta untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Baru dua tahun bekerja, Dewi merasa hidupnya selalu terancam. Karena majikan perempuannya, seorang perempuan keturunan Syria, seorang pencemburu yang luar biasa. Ia selalu mencurigai Dewi, seolah-olah Dewi akan merebut suaminya yang asli orang Arab Saudi itu.

Suami majikannya, seorang polisi yang bertugas di Masjidil Harom, seorang laki-laki yang jarang berada di rumah karena waktunya banyak habis untuk bekerja. Dewi sendiri jarang berhubungan dengan suami majikannya, karena Dewi bekerja mengurus lima anak majikannya, selain mengurus semua keperluan rumah tangga--mulai dari memasak, mencuci, menyapu, sampai mengurus seorang kakek jompo yang merupakan ayah dari suami majikannya.

Semua urusan rumah tangga dikerjakan Dewi sendirian. Hal yang sesungguhnya tak bisa dikerjakan sendirian. Tapi Dewi tetap melakukannya meskipun tak pernah istirahat. Majikannya yang pencemburu, berkali-kali berusaha untuk menekannya, mengingatkannya agar jangan pernah melirik suaminya.  Peringatan itu disampaikan sambil mengancam akan menyiksa Dewi sehingga Dewi merasa sangat tertekan sampai akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari majikan. Resiko yang diterima Dewi kalau melarikan diri, ia menjadi warga illegal karena passpoort ditahan oleh majikan. Tapi, Dewi merasa menjadi lebih merdeka dan bisa menentukan nasibnya sendiri.

Ada ratusan komunitas warga Indonesia yang illegal di Tanah Harom. Setiap komunitas itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Mereka saling membantu mencarikan majikan baru untuk teman-temannya agar tetap bisa melanjutkan kehidupan. Meskipun begitu, mereka tetap dirundung was-was kalau-kalau ada razia. Karena itu, mereka akan sangat peka saat melihat polisi Arab Saudi. Mereka cepat mengenali polisi meskipun si polisi tidak berseragam polisi. Mereka tahu membedakan warga Arab Saudi yang polisi dan yang bukan polisi. Ketika melihat polisi, mereka akan cepat-cepat menghindar dengan tubuh yang gemetaran.

Hidup dalam ketakutan merupakan hidup yang tak memberi kebebasan. Mereka melakukan apa saja untuk tetap bertahan. Tidak sedikit yang kemudian bertindak nekat dengan memilih majikan yang suaminya bekerja sebagai polisi. Mereka punya prinsip, tempat paling aman di Arab Saudi adalah rumah para polisi. Sebab, polisi Arab Saudi yang ketahuan mempekerjakan warga illegal akan mendapat hukuman, sehingga si polisi akan berusaha menutupi kalau ia mempekerjakan warga ilegal. Polisi Arab Saudi suka mempekerjakan warga ilegal asal Indonesia, karena mereka menurut dan patuh.

Dari Misfalah, saya berkunjung ke rumah komunitas-komunitas Indonesia yang ada di Distrik Bahutmah, Nakasah, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara. Masing-masing punya riwayat pilu tentang hubungan yang tak harmonis dengan mantan majikan. Beberapa dari mereka pernah mendapat siksaan dari majikan.

Soal siksaan majikan, perkara yang selalu menghantui warga Indonesia di Arab Saudi. Jika seorang majikan sudah menyiksa, itu berarti neraka hidup sudah membentang. Upaya untuk mencari bantuan dari Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi acap berbalik. Tidak sedikit dari para pekerja Indonesia di Arab Saudi yang justru dipersalahkan, lalu diantar kembali ke majikannya jika mereka mengadu ke Kedutaan Besar di Arab Saudi.

Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi bukanlah tempat untuk mengadukan nasib dan masa depan. Tempat itu hanya bagian lain dari kerangkeng rumah majikan.

Seorang petugas di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi, yang bertemu dengan saya saat di Armina, mengatakan para tenaga kerja Indonesia tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Mereka sering kabur dari majikan karena alasan jatuh cinta dan untuk menikah. Kalau tetap di rumah majikan, mereka tidak diperbolehkan menikah. Makanya, mereka memilih kabur. Dengan menikah, mereka berharap mendapat izin tinggal.

Agak aneh juga kesimpulan itu. Sebab, banyak dari anggota komunitas warga Indonesia yang ilegal masih berstatus gadis. Tidak sedikit pula para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi sudah berstatus istri orang sejak dari Indonesia. *


 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees