Kamis, 10 Februari 2011

Fakta Serbaselintasan


Kita istirahat dulu sebentar dari pekerjaan memburu berita, karena berita yang sudah kita tulis dan disiarkan media tempat kita bekerja ternyata menimbulkan pertanyaan yang sifatnya fungsional, subtansial, dan sekaligus artificial bagi public pembaca. Setiap berita itu ternyata sudah seperti teks-teks karya sastra yang membalut realitas dalam selubung-selubung bahasa sehingga seorang pembaca seperti sedang melihat sebatang pensil di dalam segelas air dari sisi luar gelas itu.

Batang pensil itu terlihat seperti patah atau bengkok, padahal kita tahu pensil itu sesungguhnya sangat sempurna. Jika pensil itu kita sebut sebagai realitas, sedang kita merupakan public pembaca, sudah barang tentu sesame pembaca akan berdebat mempertahankan kebenaran masing-masing antara yang actual atau yang ideal.

Hal aktual dari pensil itu adalah sebatang pensil yang terlihat seperti bengkok atau patah, dan kita akan mempertahankan apa yang kita lihat itu karena panca indera siapa pun pasti akan melihat hal yang sama seperti kita, sehingga kita tidak melakukan kesalahan apapun dengan mempertahankan hal itu. Sedangkan hal ideal adalah sebatang pensil itu sesungguhnya tidak patah atau tidak bengkok, dan setiap orang yang memiliki intelektual paling buruk sekalipun pasti akan mendukung hal ideal itu.

Saya memakai kata realitas karena pengertian makna kata ini akan membuat kita berdebat sangat panjang mengingat realitas akan bercecabang pada dua pengertian yang bertolak belakang: aktual atau ideal. Selain itu, saya selalu melihat sepotong berita (selanjutnya saya sebut saja informasi) sejak dari proses awal sampai disiarkan sebuah institusi media massa, berada dalam situasi diombak-ambik oleh kekuatan pemaknaan antara actual dan ideal.

Seorang jurnalis paling professional dan idealis pun akan setuju dengan hal ini, meskipun tetap tidak bisa mengambil posisi yang tegas untuk hanya mengedepankan hal ideal. Sejak seorang professional memulai pekerjaan kejurnalistikannya, ia telah diikat oleh aturan-aturan dan etika-etika profesi yang sangat mengagungkan pada kebersahajaan fakta.

Para professional jurnalis di dunia ini akan meletakkan fakta pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dari kepalanya. Penghormatan terhadap fakta melebihi penghormatan terhadap para konglomerat media, sekalipun konglomerat media memiliki kekuasaan untuk mengubah sebuah fakta menjadi fiksi. Bill Kovack termasuk satu dari sedikit professional jurnalis yang memberi hormat luar biasa terhadap fakta. Dalam bukunya yang menjadi panduan bagi para professional jurnalis, Kovack memasukkan fakta sebagai salah satu elemen jurnalisme yang mesti diperhatikan dalam kegiatan kejurnalistikkan.

Tapi, kalau pemahaman tentang fakta seperti di atas menguasai para professional jurnalis yang sekaligus menegaskan bahwa fakta itu sama saja dengan sebuah kemungkinan, tentunya kita perlu menjawab pertanyaan yang sifatnya fungsional, subtansial, dan sekaligus artificial tentang informasi yang akhir-akhir ini begitu kuat memengaruhi public pembaca media massa. Apakah masih diperlukan penghormatan yang luar biasa terhadap fakta?

Baiklah kita kesampingkan dulu menjawab pertanyaan itu?

Kita bicara dulu tentang ukuran-ukuran umum yang berlaku di lingkungan manusia, yang sesungguhnya ukuran-ukuran itu menjadi umum karena ada kesepakatan bersama tentang ukuran itu. Tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang tidak bersepakat akan hal itu. Selalu ada orang yang menolak bersepakat dengan ukuran-ukuran umum itu, lalu membuat ukuran yang menurut dirinya atau kelompoknya sendiri lebih layak sebagai ukuran umum. Kita tidak bisa menyebut orang itu atau kelompoknya telah melakukan pemberontakan atau pembangkangan, karena ummat manusia dilahirkan dari lingkungan yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Di lingkungan masyarakat Lampung (ullun Lappung), ada yang disebut masyarakat Saibatin dan ada juga yang disebut masyarakat Penyimbang. Ukuran umum bagi masyarakat Saibatin tidaklah sama dengan ukuran umum bagi masyarakat Penyimbang, meskipun kalau kita cari-cari persamaan diantara keduanya pastilah tidak sulit untuk menemukannya. Apalagi jika kemudian kita lepaskan latar belakang mereka sebagai masyarakat Saibatin maupun masyarakat Penyimbang, dan kita melihat masyarakat itu sebagai bagian dari masyarakat Provinsi Lampung. Namun, jika cara itulah yang kita pakai hanya untuk menemukan persamaan pada kedua masyarakat itu, kita telah melakukan mengabaian terhadap hal-hal yang metafisi yang membentuk kedua masyarakat itu.

Pengabaian seperti inilah yang dilakukan oleh negara Orde Baru selama puluhan tahun meskipun selalu mengumandangkan betapa pentingnya menghargai pluralisme di negara ini, lalu membentuk sebuah pluralisme baru yang dikonsepkan Koetjaraningrat sebagai “puncak-puncak kebudayaan nasional” meskipun kita tidak pernah tahu ukuran apa yang telah dipakai untuk menentukan mana yang puncak, mana yang lembah, dan mana yang kaki dari kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh di negeri ini. Kita mempersoalankan hal-hal yang sudah puluhan tahun berlangsung dan telah menjadi ukuran umum, maka orang-orang yang memegang teguh ukuran umum itu selama puluhan tahun akan menilai dan mendudukkan kita sebagai pembangkang atau pemberontak.

Negara pernah mencitrakan orang-orang semacam ini sebagai enemy of the nation sehingga pantas disebut subversive dan disingkirkan dari segala kegiatan kebudayaan manusia.

Ukuran umum adalah penjara yang membuat kita tidak tahu cara membebaskan diri dari dalamnya. Kita betah dengan ukuran-ukuran umum itu, meskipun kita setidaknya pernah memikirkan untuk menolak ukuran umum itu, tetapi tidak bisa mewujudkan apa yang kita pikirkan. Kita seperti seorang buta yang disuruh mengucapkan kalimat: “Saya bisa melihat dengan jelas”. Ia tidak akan bisa mengucapkan kalimat itu bukan lantaran ia juga seorang yang bisu, tetapi karena kalimat itu bertolak belakang dengan fakta dan tidak ada manfaatnya bagi dirinya, meskipun sesungguhnya jauh di dalam hatinya ia ingin bisa melihat dengan jelas seperti manusia normal lainnya. Melihat dengan jelas seperti manusia normal lainnya adalah hal ideal bagi dirinya dan ini merupakan ukuran umum, tetapi hal fakta menunjukkan bahwa ia seorang yang buta.

Sekarang kita bicara tentang fakta dan ideal dalam kegiatan-kegiatan kejurnalistikan. Para jurnalis biasanya pengagum kaum empiris, mereka yang selalu ngotot untuk memperjuangkan bahwa tugas utama dari pengetahuan manusia adalah hanya membeberkan fakta. Para akademisi yang berkutat dengan dunia ilmu pengetahuan akan membenarkan hal ini dengan mengedepankan fakta ilmiah, meskipun mereka tidak bisa membantah bahwa sesungguhnya fakta ilmiah tentang teori gravitasi, misalnya, sebetulnya tercipta dari fakta-fakta yang tak ilmiah dan paradoks.

Sampai di sini kita akan melihat bahwa sesungguhnya fakta saja tidaklah cukup sebagai panduan dalam kegiatan-kegiatan kejurnalistikan.

Sekarang kita bicara tentang kegiatan kejurnalistikan. Di belahan mana pun di dunia ini, kegiatan jurnalistik dilakukan seorang jurnalis dengan cara yang tidak berbeda jauh. Deborah Potter dalam bukunya Handbook od Independent Journalisme (2006) membuat simpul bahwa jurnalis memperoleh berita dengan tiga cara: (1). Peristiwa-peristiwa yang terjadi secara natural atau alami, seperti bencana alam dan kecelakaan; (2). Aneka aktivitas yang direncanakan seperti konfrensi pers; dan (3). Usaha-usaha yang dilakukan pekerja pers.

Kalau kita membaca berita-berita yang disiarkan media massa, seorang yang sangat awam terhadap kegiatan-kegiatan kejurnalistikan pasti dengan mudah mengetahui bahwa banyak dari jurnalis yang bekerja di institusi-institusi media melakukan kegiatan kejurnalistikan seperti cara pertama dan cara kedua. Sedangkan cara ketiga, yakni usaha-usaha yang dilakukan para professional jurnalis, hampir tidak pernah dilakukan.

Mari kita baca berita tentang terorisme yang terbit di sejumlah koran di Lampung pada hari Rabu, 17 Maret 2010. Berita-berita itu mengabarkan setelah Dul Matin ditembak mati, jaringan terorisme di Indonesia kocar-kacir karena kehilangan tokoh sentral. Bagi jurnalis penulis berita itu, hal ini merupakan fakta. Fakta itu didapat dari nara sumber bernama Al Chaidar, Dynno Cressbon, Mardigu Wowiek Prasongko, danpolisi. Tidak ada nara sumber dari pihak pelaku terorisme, entitas yang justru dibicarakan dalam berita ini, sehingga pelaku terorisme menjadi pihak yang didiskriminasi dalam pekerjaan kejurnalistikan.

Semua berita itu didapat dengan cara memanfaatkan orang lain (narasumber), lalu dikomfilasi dengan sebuah teknik penulisan jurnalistik yang dipengaruhi intelektualitas serbasekilas (jurnalis selalu memikirkan space halaman yang kecil, sehingga segala sesuatu mesti dipadatkan). Malangnya, dari sekian banyak ahli di negeri ini, jurnalis memilah dan akhirnya memilih narasumber yang menurut mereka cocok (mungkin juga karena paling mudah ditemukan, atau hanya lewat telepon), meskipun setiap narasumber itu ternyata memiliki intelektualitas yang sebangun dalam melihat terorisme, sehingga tidak ada informasi yang bertolak-belakang.

Berita seperti ini tercipta karena para professional jurnalis itu bekerja berdasarkan fakta, hanya melihat pensil dari permukaan luar gelas sehingga tampak bengkok atau patah. Mereka tidak pernah memikirkan tentang hal ideal dari pensil itu, mungkin mengabaikan bahwa sebetulnya pensil itu masih sempurna. Inilah kecenderungan para professional jurnalis kita yang memiliki intelektual serbaselintasan. Jurnalis kita seperti orang buta yang disuruh mengatakan “saya bisa melihat dengan sempurna” tetapi ia tidak akan mengatakannya karena pernyataan itu tidak bermanfaat baginya.

Dalam bekerja, para professional jurnalis kita tahu persis hal-hal ideal dalam kehidupan orang-orang yang dituduh terorisme, juga mengerti betul untuk apa polisi membangun citra buruk tentang para teroris itu, tapi para professional jurnalis merasa hal-hal ideal itu tidak menguntungkan bagi dirinya juga pekerjaannya. Menjadi kontradiktif dan paradok adalah keseharian para jurnalis, dan sesungguhnya mereka memilihara kondisi itu tapi melindungi diri seolah-olah kondisi itu merupakan kultur dari manajemen institusi media tempat dia bekerja.

Haryatmoko melihat cara kerja para profesional jurnalis ini sebagai persoalan etika dengan mengedepankan konsep "logika waktu pendek" para pengelola institusi media.


Tulisan ini terpikirkan setelah ngobrol ngalur ngidul dengan Willy Pramudya, seorang kawan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang kebetulan sedang berada di Lampung. ***

Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees