Kamis, 10 Februari 2011

Di Ranau-Seminung, Mereka Butuh Disetrum


Kedatangan malam senantiasa disambut suara binatang di Kecamatan Lumbok-Seminung, Kabupaten Lampung Barat.  Bukan keriuhan yang terdengar, tetapi sayatan-sayatan sunyi yang memberkaskan kesenyapan. Dingin bangkit dari permukaan Danau Ranau, melangkah pelan dan  bersijingkat di atas rumput-rumput air, lalu menakik jalan menanjak menuju dinding-dinding rumah penduduk. Lewat celah-selah antarbilah papan yang menjadi dinding, angin masuk dan memaksa api lampu-lampu teplok menari-nari.

Azan Magrib baru lepas. Jalan-jalan di Kecamatan Lumbok-Seminung, terutama di sepanjang Danau Ranau, sudah sepi. Satu dua manusia terlihat bergegas menuju rumah masing-masing. Diburu oleh jadwal yang  sudah pasti: menyalakan lampu teplok agar gelap tidak memerangkap.Yang lainnya, terutama anak-anak, sudah lebih dahulu masuk rumah.

Mereka harus melakukan itu, karena di kecamatan yang baru dan merupakan pemekaran Kecamatan Sukau itu, listrik tak pernah sampai. Kalau pun ada bola lampu yang menyala, pijar itu dihela dari tenaga genset. Tidak semua penduduk punya dana untuk membeli genset, apalagi menyalakannya malam hari. Butuh sedikitnya Rp100.000 untuk membeli bensin sebagai bahan bakar jika genset hendak dinyalakan selama semalam.

Kecamatan itu pun berubah seperti kawasan yang lama mati. Tenggelam dalam kesenyapan dan kekelaman. Padahal, di sepanjang jalan menuju kecamatan itu, sudah berdiri tiang-tiang listrik sebanyak 150 unit. Tiang-tiang yang ditanam sepanjang jalan dan merupakan pilar penyanggah jaringan kabel listrik yang terpasang.

"Infrastruktur sudah ada, tapi belum ada setrumnya," kata Syarifuddin, warga setempat. "Entahlah, PLN tidak pernah mau menyetrum kami."

Hidup tanpa listrik, membuat pekon-pekon (sebutan desa adalah pekon) di Kecamatan Lumbok-Seminung bagai tenggelam dalam kemelaratan. Seolah mereka tidak mampu membayar setrum listrik. Padahal, hampir setyiap rumah di pekon-pekon itu, memiliki antena parabola yang mengarah ke langit. Antena-antena yang berjejaring ke pesawat-pesawat televisi, meskipun pesawat-pesawat televisi itu lebih sering mati daripada dinyalakan.

Mahmud pun tak habis pikir. Dua tahun lalu, ia bekerja menanam tiang-tiang listrik di pinggir jalan. Membangun jaringan kabel sebagai buruh dari pengusaha kontraktor listrik yang ditunjuk Pemda Lampung Barat, dan memasang trafo untuk menampung setrum. Dari segi infrastruktur, sesungguhnya sangat memadai. Tapi, dua tahun lalu, ketika PLN diminta menyetrum, badan usaha milik negara (BUMN) yang memonopoli urusan setrum-menyetrum di negeri ini, malah tak mau menyetrum.

Tiang-tiang listrik yang menjadi pilar jaringan kabel listrik, terlihat seperti hiasan saja. Tiang dan kabel tanpa setrum itu menjadi saksi betapa buruk komunikasi yang dijalin PLN dengan Pemda Lampung Barat. Soalnya, dana untuk membangun jaringan infrastruktur itu ternyata tidak dirogoh dari kocek PLN, tapi dikeruk dari APBD Pemda Lampung Barat.

Pemda Lampung Barat, lantaran sangat berharap semua warga di Kecamatan Lumbok-Seminung memiliki setrum untuk kebutuhan sehari-hari, membantu PLN dengan memasang jaringan infrastruktur. Tapi, niat baik Pemda Lampung Barat itu tidak ditanggapi PLN dengan mengalirkan setrum.

"Saya tak tahu kenapa PLN nggak mau," kata pengusaha kontraktor yang memsang jaringan infrastruktur itu. "Terakhir saya data, ribuan warga sudha mengajukan diri agar PLN menyetrum mereka," katanya.

Bagi PLN, keinginan warga itu tidak berarti. Aneh juga, perusahaan itu menolak warga yang ingin menjadi konsumen. ......

Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees