Setiap sudut Kota Bandar Lampung kini dipenuhi para pemburu sedekah. Di pasar, terminal, tempat jajanan buka puasa, jalan raya, masjid, sekolah, kantor pemerintah, kampus, kantor polisi, kantor pos, di tangga penyeberangan, dan bahkan di rumah-rumah penduduk. Mereka muncul lengkap dengan segenap keluhannya, penderitaannya, dan rasa sakit yang membekas di wajahnya—entah benar atau tidak. Mereka bertampang memelas, kumal, dan selalu menadahkan tangan kepada siapa saja. Ada juga bertampang penipu, berpura-pura kehilangan sesuatu.
Dari sisi keimanan, tidak jadi soal apakah para pemburu sedekah itu kalangan yang pantas menerima sedekah atau tidak. Sebab, bersedekah tidak harus memilih-pilih. Jika memang ingin memberi, maka lakukanlah. Ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu mengetahuinya.
Tapi, dilihat dari perspektif pembangunan, kehadiran para pemburu sedekah ini seolah menegaskan betapa pertumbuhan Kota Bandar Lampung telah memiskinkan penduduknya. Mungkin saja memang benar jika kita melihat dinamika pembangunan di Kota Bandar Lampung. Perkembangan infrastruktur kota, misalnya, tak mampu menggenjot pertumbuhan investasi. Akibatnya, pertumbuhan dunia usaha sangat minim, dan kita kesulitan menemukan sector produksi di lingkungan masyarakat.
Kota Bandar Lampung kini menjelma sebagai kota konsumsi. Semua jenis barang konsumsi dapat dijumpai dengan mudah. Kehadiran minimarket di lingkungan rumah tangga yang menawarkan berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, punya andil tidak sedikit dalam mengubah perilaku ekonomi masyarakat. Belum lagi jika kita mengukur dari kehadiran sejumlah gerai telepon seluler, yang membuat masyarakat lebih mengutamakan membeli telepon seluler atau pulsa telepon seluler daripada memikirkan menabung untuk masa depannya.
Pertumbuhan ekonomi di Kota Bandar Lampung banyak ditopang oleh sector konsumsi. Kita paham, sebuah kota yang tak memproduksi tetapi banyak mengkonsumsi, cepat atau lambat akan berkembang menjadi kota yang memiskinkan warganya. Sebab, setiap warga akan mengutamakan konsumsi dan menjelma menjadi konsumtif atas segala sesuatunya. Kondisi ini membuat mereka abai terhadap produksi.
Tiap hari, ada saja warga yang Kota Bandar Lampung yang menjadi miskin karena lebih memilih menghabiskan apa yang ada daripada menghasilkan sesuatu. Ketika situasi ini terus berlanjut, bukan mustahil jika warga yang semakin miskin akan mencari alternative yang lebih mudah dan tanpa perlu mengeluarkan banyak modal.
Menjadi pemburu sedekah merupakan pilihan logis.
***
BEBERAPA hari lalu, Provinsi Lampung mendapat kabar gembira dari Departemen Sosial. Departemen itu mengalokasikan dana dekonsentrasi bidang social untuk masyarakat di provinsi ini. Dana yang tidak sedikit itu, sudah tentu bertujuan untuk mengatasi maslah-maslah kesejahteraan yang diderita masyarakat.
Dengan kata lain, Departemen Sosial mengucurkan dana dekonsentrasi untuk Provinsi Lampung karena menyakini bahwa data statistic tentang ketidaksejahteraan masyarakat di provinsi ini merupakan persoalan yang harus diselesaikan. Artinya, pemerintah pusat mengakui bahwa masyarakat di Provinsi Lampung masih banyak yang belum sejahtera hidupnya sehingga harus dibantu dengan mengalokasikan dana dekonsentrasi.
Sulit memang membantah hal itu apalagi jika kita ajukan fakta tentang semakin banyaknya warga yang berubah menjadi pemburu sedekah. Barangkali bagi banyak kalangan kehadiran para pemburu sedekah berkaitan dengan watak masyarakat yang pemalas dan tidak mau bekerja keras, tetapi asumsi semacam itu tidak sepenuhnya benar. Sangat mungkin, mereka yang memilih menjadi pemburu sedekah merupakan entitas yang secara psikososial telah patah arang menghadapi realitas kehidupannya. Setelah bekerja keras dan berusaha sebagaimana layaknya, mereka tetap kesulitan mengatasi masalah-masalah kehidupan sehari-hari dan terus-menerus berada dalam tekanan ekonomi yang sangat keras.
Trauma psikososial mendorong masyarakat menjadi pemburuh sedekah. Pilihan ini berkorelasi positif dengan watak warga Kota Bandar Lampung yang cenderung memiliki rasa prososial yang tinggi, yang sangat kuat menjaga nilai-nilai social yang berelasi dengan nilai-nilai agama. Artinya, memberikan sedekah bagi sebagaian warga Kota Bandar Lampung merupakan pengamalan dari ajaran-ajaran agama yang telah mendarah daging, selain juga sebagai wujud rasa social yang tinggi terhadap penderitaan sesamanya.
Memang, setiap pilihan yang dibuat warga Kota Bandar Lampung akan membawa dampak yang serius bagi segala realitas kehidupan masyarakat. Memberi sedekat kepada para pemburu sedekah dapat membawa dampak negative terhadap pembiasaan, pewajaran, dan melenakan. Para pemburu sedekah akan merasa jauh lebih nikmat menadahkan tangan ketimbang menggosokkan tangan dalam sebuah rutinitas kerja. Bahkan, tak jarang dari para pemburu rezeki yang merasa pilihan hidupnya juga merupakan profesi yang perlu ditekuni secara serius. Untuk itu, setiap pemburu sedekah harus membekali diri dengan kemampuan merangsang rasa prososial setiap orang yang ditemuinya.
***
KEHADIRAN para pemburu sedekah memang meresahkan banyak kalangan. Keluhan pun tidak sedikit disampaikan masyarakat. Apalagi akhir-akhir ini, terutama menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Di setiap sudut Kota Bandar Lampung, para pemburu sedekah tampil dengan daya juang yang sangat tangguh. Mereka memburu siapa saja yang diharapkan akan memberikan sekeping uang.
Tidak cuma orang catat yang selama ini menjadi pelaku utama pemburu sedekah. Banyak juga orang sehat, muda, segar, dan sesungguhnya memiliki cukup tenaga untuk menekuni bidang pekerjaan seperti pembantu rumah tangga atau tukang cuci. Tidak sedikit pula kaum pria yang sehat tetapi mengubah penampilannya menjadi sangat tidak sehat. Anak-anak pun acap menjadi pemburu sedekah, meskipun sebagian besar dari mereka bukanlah anak-anak yang dimanfaatkan orang lain.
Munculnya para pemburu sedekah adalah konsekuensi paling logis dari perkembangan Kota Bandar Lampung yang tidak mengindahkan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Di tangan pemerintah daerah, bisa dibilang Kota Bandar Lampung telah berkembang menjadi kota yang hanya berpihak kepada masyarakat yang secara ekonomi mampu untuk mengkonsumsi berbagai jenis barang dan jasa. Mereka yang tidak memiliki kemampuan sebagai konsumen, akan tersingkir sebagai warga yang hanya bias meratapi realitas kesejahteraannya sambil berusaha menjadi pemburu sedekah dengan teknik dan cara yang lain.
Tidak sedikit dari pemburu sedekah di Kota Bandar Lampung yang kemudian memilih menjadi ahli dalam bidang membuat proposal permintaan dana yang diajukan ke pemerintah daerah. Proposal kegiatan yang sesungguhnya fiktif itu, entah kenapa banyak yang disetujui dan dananya dicairkan, meskipun kemudian terungkap bahwa proposal itu akal-akalan antara masyarakat dengan petugas dalam mengeruk dana APBD.
Sebab itulah, terhadap bantuan dana dekonsentrasi Departemen Sosial untuk Provinsi Lampung, ada baiknya Dinas Sosial Provinsi Lampung tidak lagi terjebak dalam korupsi. Sebaikn ya dana dekonsentrasi dari pusat itu dialokasikan sesuai peruntukan dengan orientasi bukan untuk memperkaya diri sendiri, melainkan mengubah pola piker masyarakat yang terlanjur patah arang menghadapi realitas kehidupan sehingga lebih memilih menjadi pemburu sedekah. ***
Browse: Home > Riwayat Pemburu Sedekah
Kamis, 10 Februari 2011
Riwayat Pemburu Sedekah
Label: Feature
0 Comments:
Posting Komentar