Kamis, 10 Februari 2011

Dari “Membesarkan” ala Mak Erot sampai “Mengecilkan” Pembaca yang Terdidik


Pengantar. Inilah berkala SALAM KREATIF edisi 11 Juni 2007. Isinya merupakan analisis atas berita HU Lampung Post. Analisis dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lampung Post ini dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini jangan dilihat dari logika positivisme Augusto Comte, dan karena itu pasti hasilnya bukan bacaan yang enak dan menghibur meskipun perlu bagi peningkatan kualitas jurnalisme kita.
 
SEBUAH keberhasilankah ketika membaca Lampung Post kita menemukan banyak iklan Mak Erot, viagra, dan hal-ihwal yang biasa ditemukan pembaca di Misteri, Lampu Merah, Rakyat Merdeka, dan “media kuning” lainnya? Bagi Bagian Iklan Lampung Post, sangat pasti, ini keberhasilan. Semacam prestasi. Bisa dapat iklan di era persaingan bisnis media yang super ketat saat ini, tentu ini sebuah keberhasilan (?)

Akan tetapi bagi sebuah industri penerbitan pers yang mengambil posisi “media kalangan terpelajar” (bacaan masyarakat terdidik), iklan serupa ini menjadi bukti bahwa manajen instuitusi pers bersangkutan sudah tak kuat lagi mempertahankan komitmennya. Ini pun berarti, institusi pers tersebut “angkat tangan” menghadapi realitas persaingan bisnis iklan yang tajam dan keras.

Oleh sebab itu, sangat ganjil dan aneh kalau pembaca Lampung Post disuguhi iklan Mak Erot, viagra, pengobatan super sempurna—yang lebih banyak menawarkan mimpi dan omong kosong. Disamping tidak mendidik, kita pun terkesan “gagal” dalam persaingan merebut belanja iklan, sehingga terpaksa melakukan hal-hal yang pernah kita tolak.

Kita harus memahami bahwa media cetak adalah sumber penting bagi pembaca untuk melunasi kehausannya akan informasi yang mendidik. Inilah hal penting yang tidak dimiliki dunia media di negeri ini.

Lihat iklan di halaman 4 dengan judul “Lelaki Sejati Harus Mampu Penuhi Kebutuhan Istri” atau iklan di halaman 5 berjudul “Sekarang, Istri Saya Tak Berani Lagi Meledek Saya”. Kedua iklan itu menwarkan “cara agar laki-laki menjadi perkasa, hebat di ranjang, dan dapat menjadi barang pemuas istri”. Iklan kolom pun banyak yang menawarkan kejantanan, Mak Erot, dan lain-lain.

Pantas dicurigai, jangan-jangan ini bukti Bagian Iklan Lampung Post tidak punya strategi bisnis yang mumpuni? Kalau hal itu benar, perlu dadakan pelatihan bisnis periklanan bagi staff-staff marketing Lampung Post.

Bicara soal melunasi kehausan pembaca akan informasi, kita harus menyadari posisi kita sebagai pemuas “dahaga infomasi” yang dialami publik pembaca. Akan tetapi posisi ini belum maksimal dipenuhi oleh Lampung Post.

Analisis ini sebuah contoh saja dari bagaimana Lampung Post melakukan kerja memuaskan “dahaga informasi” publik atas Pemilihan Rektor Unila.

Setelah berlangsung berbulan-bulan, mula dari tahap persiapan panitia, pendaftaran calon rektor, terpilih rektor, sampai pasca terpilih rektor, telah banyak kita sajikan berita baik erupa peristiwa seperti demontrasi mahasiswa sampai pada hasil pencarian wartawan. Namun, dari sekian banyak berita itu, jelas sekali bahwa perspektif yang diemban Lampung Post tidak “memandang Unila sebagai lembaga pendidikan tinggi untuk menggodok generasi muda di provinsi ini”. Kesimpulan ini untuk tidak menyebut bahwa Lampung Post tidak mengerti betul posisi Unila dalam pembangunan nasional di provinsi ini.

Serial Pemilihan Rektor Unila di Lampung Post merupakan serial liputan terpanjang yang pernah dilakukan, setelah serial yang melelahkan dan nyaris membosankan saat Lampung Post meliput peserta Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan peserta Idonesia Idol.

Mungkin, lantaran sangat berpengalaman menggiring Yuke AFI hingga sampai final, Lampung Post pun menjadi sangat akrab dengan pola peliputan berita yang disajikan saat mendukung peserta AFI asal Lampung. Pola itulah yang muncul saat Lampung Post menyajikan serial berita Pemilihan Rektor Unila, dimana setiap calon rektor disajikan sosok pribadinya, keluarganya, kebiasaannya, dan kehidpan keluarganya.

Salah seorang calon rektor, misalnya, dibeberkan berapa gajinya, berapa orang anaknya, dan siapa suaminya. Ada calon rektor yang disorot dari hal ihwal yang tak ada kaitannya dengan kualifikasi seorang rektor. Sangat khas liputan yang disajikan dalam semangat mendukung peserta AFI, bukan khas liputan untuk mendukung terpilihnya rektor yang mumpuni.

Mestinya, Lampung Post menyoroti perihal kualifikasi keilmuwan setiap calon dan bagaimana kaitannya dengan cara calon tersebut memajukan Unila nantinya. Dengan membeberkan hal itu, ribuwan mahasiswa pasti akan paham Rektor seperti apa yang akan mereka miliki nantinya. Akan tetapi tidak demikian. Sekarang, hanya mahasiswa di FMIPA yang paham rektor seperti apa yang mereka miliki, karena rektor terpilih berasal dari FMIPA.

Akhirnya Lampung Post sangat bersemangat membeberkan “kerusuhan” di Unila. Orientasi dan perspektif yang kita pilih sama sekali tak memandang Unila sebagai lembaga pendidikan. Kita memposisikan Unila tidak lebih seperti partai politik, karena unsur politisasi itu yang kita kedepankan. Kerusuhan, itu yang membuat kita hidup sebagai media publik.

Sudah berulang kali disinggung, tajuk adalah sikap institusi pers, bukan sikap penulisnya. Oleh karena itu, terhadap tajuk berjudul “Belajar dari Sudjarwo”, yang merupakan tulisan penutup serial liputan Rektor Unila, perlu dipertanyakan “sikap siapa yang diusung penulisnya”.

Kalau sikap Lampung Post, sangat aneh apabila Lampung Post setuju terhadap konsep BHPT (badan hukum perguruan tinggi) yang diprotes di seluruh Nusantara dan dikaji lagi oleh para ahli pendidikan. BHPT dinilai melakukan komersialisasi pendidikan, membuat kampus tidak berbeda dengan institusi bisnis, lebih berorientasi profit ketimbang mencerdaskan bangsa. Mahasiswa yang tak mampu bayar tidak akan pernah bisa kuliah di perguruan tinggi negeri.

Lantas, apa pijakan logika yang dimiliki penulis tajuk saat menyimpulkan BHPT dapat membuat pemilihan Rektor tidak lagi ribut-ribut. Sangat mungkin malah sebaliknya, kampus akan menjadi arena pertempuran dimana kepentingan pebisnis, institusi pendidikan, pemerintah daerah, kepentingan mahasiswa, kepentingan masyarakat akan bermain sehingga terjadi bentrok yang krusial.

Mungkin benar, pada tataran ini, Lampung Post tidak lagi menjadi “bacaan masyarakat terdidik”.

Evaluasi atas serial berita Pemilihan Rektor perlu dilakukan. Evaluasi akan membuat Lampung Post tumbuh lebih positif. Kita belajar dari kelemahan dan kekurangan. Ke depan, kita akan menjadi lebih matang dan dewasa. Sebab, kita pasti akan melakukan serial-serial liputan lain. Semoga, kita bisa menjadi lebih baik.



Apapun alasannya, media cetak harus memiliki produk liputan yang mampu mengalihkan perhatian masyarakat dari media elektronik. Soal kecepatan, media koran seperti Lampung Post pasti kalah dibandingkan televisi, radio, atau internet. Dengan begitu, syarat aktualtas berita, bagaimanapun, sulit terenuhi media koran.

Dengan serial liputan, koran punya peluang menguasai pasar. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, selalu ada ihwal yang dapat disajikan secara serial kepada pembaca. Sebagai contoh, pada bulan Juni, Juli, Agustus, akan lebih bagus bila Lampung Post membuat serial tulisan tenang Kota Bandar Lampung karena saat itu, Kota Bandar Lampung ulang tahun.

Edisi Minggu, 10 Juni 2007

Head line berjudul Olimpiade Sains Internasional, Dua Siswa Seleksi Akhir”, sebuah berita yang bagus bagi masyarakat. Ternyata, masih ada generasi muda yang bisa bicara di dunia internasional lahir di tengah-tengah kemiskinan Provinsi Lampung.

Itu soal kebermaknaan berita. Nah, soal penulisan berita tersebut, banyak kekurangan yang semestinya tidak muncul bila penulis dan pengedit menyadari apa itu berita. Pertama, berita itu tidak jelas narasumbernya. Kedua, teknik penulisannya lebih banyak mengandalkan opini. Ketiga, konsistensi tidak terjaga.

Kita lihat lead berita yang merupakan”lead opini”. “Dua siswa Lampung kembali mengukir prestasi dengan melangkah maju ke tahap penjaringan akhir olimpiade pelajar tingkat internasional”.

Yang ingin disampaikan Lampung Post, dua siswa Lampng berprestasi internasional. Irfan Haris, siswa SMPN 1 Pringsewu, masuk empat besar International Junior Science Olmpiade (IJSO). Sedangkan Devianti Jacob, siswa SMP Xaverius I Bandar Lampung, masuk tujuh besar Olimpiade Fisika Internasional.

Narasumber berita kita tak jelas. Akibanya, penulisan berita versi piramida terbalik tak terwakilkan dalam berita ini. Beberapa unsur penting dari berita seperti siapa (Who) mengatakan apa (What) tentang bagaimana (How) dimana (Where) dalam keadaan seperti apa (When) dan kenapa (Why).

Setelah selesai baca berita, baru deh ketahuan, narasumbernya Irfan dan Devianti. Lantas, mana photo kedua orang ini. Pembaca kan perlu tahu.

Fokus kita soal Talangsari lagi. Memang, ada cantelan Komnas HAM datang. Sayang, Lampung Post malah tidak ikut bareng Komnas HAM ke Talangsari. Wawancara dengan Zoemrotin saja dilakukan via telepon. Kurang gaul apa ya kita?

Anehnya lagi, ada percakapan wartawan kita dengan Zoemrotin di Talangsari. Itu artinya, dalam menulis, kita ndak konsisten. Mestinya tidak perlu ada penulisan “… kata Zoemrotin saat dihubungi via ponsel….” Atau,…..

Edisi Senin, 11 Juni 2007

Persoalan dalam head line pada hari Minggu, 10 Juni 2007, muncul lagi dalam head line Lampung Post berjudul “Bulog Gandeng Sarjana Unila”.

Ini berita wire service, tetapi dialihkan jadi konteks Lampung. Itu sebabnya, porsi tentang Unila lebih besar. Cuma, teknik editingnya menyebabkan nara sumber berita baru muncul pada alinea ke-5.  Lead, setidaknya, mengandung unsur-unsur berita 5W +1H seperti siapa (Who) mengatakan apa (What) tentang bagaimana (How) dimana (Where) dalam keadaan seperti apa (When) dan kenapa (Why).

Pada 28 Mei 2007, ada analisis berjudul “Jangan Baca Lampun Post Hari Senin” dengan harapan agar persoalan yang dipersoalkan dalam analisis tidak muncul lagi. Ternyata, baca Lampung Post edisi Senin, 11 Juni 2007, masih ditemukan persoalan serupa.

Pertama, kekurangan berita. Ini bertalian dengan rendahnya kualitas getting berita. Akibatnya, berita yang tak aktual, terpaksa dimuat. Malah, harus dilakukan pemuatan ulang. Lihat photo Lukman Hakim naik Singa dalam liputan HUT Kota Metro. Meskipun advertorial, photo itu sudah dimuat hari Minggu, 10 Juni 2007.

Persoalan ini bisa diatasi tanpa perlu repot-repot. Jalankan saja strategi yang sudah disepakati. Setiap redaktur wajib membuat analisis atas persoalan yang aktual di bidang keredakturannya. Mudah kan. Itu lebih mudah ketimbang redaktur ditugasi menulis analisis di luar bidang yang digarapnya.

Karena analisis ini masih panjang dan saya takut semakin panjang, baiknya disudahi saja. Sekali lagi, ini bukan tulisan yang enak dibaca.

Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

 

Belajar Jurnalistik Copyright © 2010 HATEESweb is Designed by Budi P. Hatees