CONTOH JURNALISME SASTRAWI
Majalah PANTAU, Tahun II - Mei 2002
Oleh: CHIK RINI
SEBUAH bus memasuki terminal Lhokseumawe pada suatu
pagi buta sekitar tiga tahun lalu. Terminal masih
sibuk. Warung kopi dan rumah makan masih buka. Agen
tiket bus masih melayani belasan penumpang, yang
hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan
becak mesin juga masih parkir depan terminal.
Pengemudinya menunggu penumpang.
Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari
hamparan empang yang terletak di seberang terminal.
Sejurus di kejauhan, di atas belukar hutan bakau,
langit tampak merah membara oleh cahaya api. Semburan
api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di
ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.
Lhokseumawe memang pusat industri Aceh. Ia kota kedua
terbesar di Aceh sesudah ibukota Banda Aceh. Dalam
perut bumi daerah ini terdapat kandungan gas alam
terbesar di Indonesia. Sejak Exxon Mobil, sebuah
perusahaan Amerika, menemukan sumur-sumur gas di Aceh
Utara pada 1970-an, daerah ini dengan cepat melihat
pertumbuhan industri hasil alam. Di bagian barat
Lhokseumawe, terdapat kilang penyulingan gas alam cair
PT Arun LNG, pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda,
pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer, dan pabrik
kertas PT Kertas Kraft Aceh. Sedang di bagian timur
kota itu, terdapat ladang sumur gas milik Exxon Mobil.
Ironisnya, Lhokseumawe bukan kota yang makmur. Orang
Aceh banyak yang miskin, hidup di pinggiran
pabrik-pabrik. Jakarta hanya memberi sedikit
keuntungan penjualan gas alam, pupuk, dan kertas ke
daerah itu.
Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai
timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh
Merdeka, biasa disebut GAM, untuk memerdekakan Aceh
dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer
Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989
dan 1998, daerah Lhokseumawe jadi sasaran utama
operasi militer Indonesia, bersama Aceh Timur dan
Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang
dan 3.430 mengalami penganiayaan.
Pada dini hari 3 Mei 1999 itu, di antara penumpang bus
yang turun di Lhokseumawe, ada tiga pria yang membawa
tas baju, kamera Betacam, dan peti berisi kabel,
mikropon, dan perlengkapan penyuntingan video. Mereka
wartawan RCTI, sebuah stasiun televisi Jakarta yang
sebagian besar sahamnya dimiliki anak Presiden
Soeharto, Bambang Trihatmodjo.
"Oke, sekarang kita ke mana?" tanya Umar HN.
"Pak Umar, tolong carikan hotel di sini yang aman,"
jawab Imam Wahyudi.
Fipin Kurniawan, orang ketiga dalam rombongan ini,
diam saja dan sibuk mengecek alat-alat yang dibawanya
dari Jakarta. Dia menenteng kamera Betacam yang
beratnya hampir 20 kilogram.
Umar H. Nurdin, populer sebagai Umar H.N., adalah
koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995. Umar boleh
dibilang wartawan senior. Jadi wartawan sejak 1970-an
dan pernah jadi wartawan harian Waspada terbitan Medan
selama 14 tahun. Umar juga mengambil gambar video
maupun foto yang acapkali dijualnya kepada organisasi
berita internasional Reuters dan Associated Press biro
Jakarta. Umurnya sudah kepala empat. Tubuhnya tegap.
Wajah sangat khas Aceh, rahang keras, berkumis tebal,
rambut keriting, dan berkulit hitam. Perokok berat.
Imam Wahyudi adalah koordinator liputan daerah RCTI
Jakarta. Tugasnya mengatur koresponden-koresponden
daerah. Pria berumur 34 tahun ini sudah bekerja di
RCTI sejak 1994. Kariernya termasuk cepat. Dia
reporter andalan RCTI untuk daerah-daerah konflik
Indonesia. Imam bertubuh kecil, tapi sangat gesit di
lapangan. Imam orang ramah. Tapi dia cerewet terhadap
para korespondennya kalau mereka salah dalam mengambil
gambar atau reportase. Imam sudah bolak-balik ke Papua
dan Timor Timur di mana juga ada perlawanan bersenjata
terhadap Jakarta. Datang ke Aceh adalah keinginannya
sejak lama, karena belum sekali pun dia menginjakkan
kakinya ke daerah ini.
Ide meliput datang ketika Imam ikut pelatihan
jurnalisme televisi di Medan, tiga hari sebelum
kedatangannya ke Lhokseumawe. Di pelatihan itu ada
Umar dan mereka diskusi banyak tentang Aceh.
Saat itu di Aceh ada perlawanan terhadap pemilihan
umum yang akan berlangsung pada Juli 1999. Kampanye di
Aceh tak berjalan. Seruan boikot pemilihan umum gencar
dilakukan oleh berbagai organisasi massa di Aceh.
Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk
menentukan nasib Aceh. Referendum untuk memilih
merdeka atau tetap dalam negara Indonesia.
Aceh memang makin memanas sesudah runtuhnya rezim
Soeharto di Jakarta pada Mei 1998. Presiden B.J.
Habibie, pengganti Soeharto, memutuskan mencabut
status Daerah Operasi Militer untuk Aceh pada Agustus
1998. Ironisnya, kekerasan masih berlangsung. GAM,
kelompok separatis yang memproklamasikan kemerdekaan
bangsa Aceh sejak 4 Desember 1978, juga makin
meningkatkan perang gerilya, dari kota maupun di
daerah pedesaan.
Kekerasan militer Indonesia menimbulkan dendam dan
luka di hati orang Aceh. Orang Aceh banyak yang tak
suka militer Indonesia. Mereka mengungkapkannya lewat
beberapa demonstrasi atau huru-hara. Kerusuhan massal
pertama meletus saat terjadi penarikan pasukan
Kopassus pada Agustus 1998. Kopassus dianggap pasukan
elit yang banyak melakukan kekejaman di Aceh.
Orang-orang menyerang dan melempari truk-truk Kopassus
dengan batu. Pada November 1998, ada konvoi bersenjata
oleh seratusan orang di Geudong, sebuah kota kecil
dekat Lhokseumawe. Pada Januari 1999, massa membakar
tiga kantor polisi dan delapan kantor pemerintah di
Lhokseumawe. Aksi ini muncul sesudah militer Indonesia
menyerang basis pertahanan Ahmad Kandang. Buntutnya,
sembilan orang Aceh mati, 23 luka-luka, dan 132
ditangkap. Ahmad Kandang seorang pentolan GAM yang
berbasis di kecamatan Kandang, tiga kilometer arah
timur Lhokseumawe. Tak lama berselang, polisi
menangkap 40 orang simpatisan Ahmad Kandang. Penahanan
ini jadi tragis setelah mereka dipindahkan ke gedung
milik sebuah organisasi kepemudaan. Di tempat itu
secara brutal, para tahanan dianiaya 50-an tentara
Indonesia. Empat tahanan tewas dan 22 luka-luka.
Umar banyak mengirim gambar kekerasan Aceh ke RCTI.
Tapi Imam Wahyudi ingin sesuatu yang dianggapnya belum
diberikan Umar. Imam mengatakan di antara sisi
kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam
masyarakatnya. Imam ingin gambaran itu kepada penonton
RCTI.
Dari Medan, Imam menelepon dan minta redaksi RCTI di
Jakarta mengirim satu kame-rawan yang akan
mendampinginya pergi ke Aceh. Fipin Kurniawan
menyusulnya ke Medan. Fipin seorang pria yang agak
pendiam. Tubuhnya jangkung, kurus, berhidung mancung,
dan berkulit putih. Dia suka memakai kacamata hitam
sehingga ada orang-orang yang menduganya kamerawan
televisi luar negeri. Fipin sudah sembilan tahun jadi
kamerawan RCTI. Dulu dia pernah ke Aceh ketika bekerja
di salah satu rumah produksi.
Mereka bertiga naik dua becak mesin dari terminal
Lhokseumawe. Suaranya yang berisik memecah keheningan
malam. Jalan sepi sekali. Imam duduk satu becak dengan
Umar. Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata
"referendum" di badan jalan. Grafiti-grafiti ini
bertebaran tak hanya di badan jalan, tapi juga di
tembok pasar dan papan reklame.
Umar membawa Imam dan Fipin ke sebuah hotel. Umar
meninggalkan kedua tamunya dan pulang ke rumahnya
sendiri di Lhokseumawe. Dia sudah berada di Medan
hampir seminggu dan rindu keluarganya. Imam dan Fipin
tak banyak mengobrol karena sudah mengantuk. Tapi
mereka sempat berkoordinasi untuk liputan esok,
sebelum keduanya terlelap kelelahan.
***
TUJUHBELAS kilometer dari hotel, pada waktu yang
hampir bersamaan, dini hari itu juga, di kota kecil
Krueng Geukeuh, kecamatan Dewantara, ada sekitar
300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga.
Gardu itu mirip rumah panggung kecil tanpa dinding
berukuran 2x1,5 meter. Orang Aceh biasa menyebutnya
bale-bale.
Bale-bale itu berdiri hanya 10 meter dari gerbang
pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer. Di samping
pabrik ada jalan masuk ke perkampungan Bangka Jaya.
Keduanya dipisahkan oleh tembok setinggi satu meter.
Bale-bale itu ada sejak masa Daerah Operasi Militer.
Orang-orang Bangka Jaya biasa berjaga malam di situ.
Tapi malam itu jumlahnya sangat banyak. Semua
laki-laki. Suara mereka ramai. Semua bicara dengan
bahasa Aceh.
"Sudah, ambil saja truk itu. Kalau tidak dikasih bakar
saja," seorang laki-laki berteriak.
Orang-orang ribut lagi. Ada yang setuju ada yang
tidak. Rencananya, mereka akan melakukan demonstrasi
ke markas Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng
Geukeuh dekat pasar Krueng Geukeuh. Mereka perlu truk
untuk mengangkut orang dari kampung-kampung sekitar.
Mereka memang sedang resah. Sejak lepas magrib ada
beberapa laki-laki keliling kampung Bangka Jaya
menyampaikan pengumuman. Laki-laki itu memerintahkan
para perempuan keluar dari rumahnya untuk jaga malam.
Perempuan yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga,
disuruh bawa kayu atau parang, untuk jaga keselamatan.
Mereka berkumpul dekat meunasah (masjid).
"Tentara mau menyerang kampung," kata seorang pria.
Di kampung lain, pengumuman diserukan dari pengeras
suara meunasah. Siapa yang mengumumkannya tak jelas.
Seorang pria yang tak dikenal warga masuk ke meunasah
dan mengambil mik pengeras suara. Dia mengumandangkan
azan. lalu membuat pengumuman. "Meunasah di Simpang
Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) kita
sudah tewas dibunuh."
Orang-orang kampung mendengar itu. Seperti angin,
informasi yang tak jelas kebenarannya itu, dengan
cepat menyebar dari mulut ke mulut. Malam itu
kebanyakan desa di kecamatan Dewantara mulai
grasak-grusuk. Mereka merasa khawatir sehingga
berjaga-jaga sepanjang malam.
Di jalan lintas Banda Aceh-Medan, sekitaran Cot
Murong, belasan laki-laki melakukan sweeping sejak
lepas salat Isya. Cot Murong adalah sebuah pemukiman,
empat kilometer arah barat Krueng Geukeuh. Di
pemukiman itu terdapat tiga desa: Lancang Barat,
Glumpang Sulu Timur, dan Glumpang Sulu Barat. Mereka
menghentikan setiap kendaraan untuk mencari "anggota
ABRI" -yang berasal dari singkatan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, nama resmi institusi militer
Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional
Indonesia karena kata "ABRI" dianggap punya reputasi
buruk zaman rezim Orde Baru.
Sebagian orang mendengar informasi bahwa ada warga
desa Lancang Barat dipukuli dan ditangkap tentara. Dua
hari terakhir tentara dari satuan Artileri Pertahanan
Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal) 001/Pulo
Rungkom Aceh Utara, masuk ke wilayah Cot Murong.
Tentara-tentara itu mencari seorang rekan mereka,
anggota Arhanud Rudal yang hilang beberapa hari
sebelumnya.
Detasemen Arhanud Rudal merupakan sebuah instalasi
militer yang berfungsi melakukan pengamanan wilayah
Indonesia, setidaknya Pulau Sumatera bagian utara,
dari serangan udara negara lain. Markasnya sudah ada
di sini sejak 1987. Selain dekat dengan perairan Selat
Malaka, lokasi Krueng Geukeuh ini strategis karena di
sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga
keamanannya. Markas Arhanud Rudal terletak di sebuah
perbukitan kecil dan menyimpan senjata-senjata berat
termasuk peluru kendali.
***
KEJADIAN dengan anggota Arhanud Rudal bermula beberapa
hari sebelumnya. Pada Kamis malam, 30 April 1999, ada
perayaan Maulid Nabi Muhammad di lapangan sepak bola
Cot Murong. Acara itu diisi dengan pengajian dan
dakwah. Banyak orang datang. Di Aceh, setiap ada
kegiatan keagamaan, selalu dibanjiri orang. Orang Aceh
kebanyakan beragama Islam dengan fanatik.
Di antara kerumunan orang yang berdiri di lapangan,
menyelinap Sersan Dua Aditia. Dia anggota bintara
Arhanud Rudal yang markasnya hanya berjarak sekitar
lima kilometer dari Cot Murong. Kabar dari mulut ke
mulut menyebutkan Aditia sedang melakukan kegiatan
mata-mata. Dia membawa radio komunikasi handy talky
dan pistol.
Aditia sering terlihat di sekitaran Krueng Geukeuh.
Aditia banyak bergaul dan memiliki banyak akses dengan
masyarakat di situ. Malam itu dia ditugaskan
komandannya untuk memantau keramaian di Cot Murong.
Arhanud Rudal merasa perlu mengawasi wilayah dalam
radius lima kilometer dari markas mereka.
Isi dakwah malam itu sangat panas. Militer Indonesia
biasa menyebutnya sebagai "dakwah GAM." Dakwah itu
berbau politik.
Beberapa bulan terakhir di kampung-kampung Aceh Utara
memang kerap dilaksanakan dakwah GAM. Acara itu selalu
dihadiri oleh banyak orang. Biasanya dilaksanakan pada
sore atau malam hari. Tempatnya bisa di lapangan
ataupun meunasah. Dibuka dengan pengajian, lantas ada
tengku (ulama) yang ceramah. Yang menarik, terkadang
acara itu menghadirkan para korban militer Indonesia,
yang berkisah tentang kekerasan militer terhadap
keluarganya.
Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan sejarah.
Si penceramah bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah
heroik para pahlawan Aceh ketika berperang dengan
Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga
tentang makna jihad fisabilillah atau berjuang di
jalan Allah. Lantas diungkapkan pula
perlakuan-perlakuan kejam dan tak adil dari
"pemerintah Indonesia Jawa" sehingga orang tahu kenapa
ada Aceh Merdeka dan kenapa mereka berjuang melepaskan
diri dari Jakarta.
Aditia sendirian. Tak banyak orang kampung yang
memperhatikannya karena tak kenal. Tapi sejak malam
itu Aditia hilang dan tak kembali ke markasnya.
Padahal empat hari lagi dia akan dilantik sebagai
sersan satu.
Keesokan harinya, Jumat 31 April 1999 pagi. Tiga truk
militer dan lima minibus Toyota Kijang dan Isuzu
Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata
lengkap, masuk ke Cot Murong. Mereka dari Arhanud
Rudal. Mereka masuk ke kampung Cot Murong untuk
mencari Sersan Aditia.
Orang-orang kampung resah melihat patroli tentara.
Mereka trauma melihat orang berbaju loreng hijau
membawa senjata. Itu pemandangan yang menakutkan.
Kekerasan oleh militer selama 1989 dan 1998
menciptakan citra bahwa tentara jahat dan suka
menyakiti rakyat. Mereka takut akan ada orang
ditangkap, dipukuli, atau ditembak.
Tentara-tentara itu menanyai setiap orang yang
dijumpai tentang keberadaan Aditia. Tapi tak seorang
pun mengaku melihat Aditia malam itu di kampung
mereka. Apalagi tahu-menahu tentang hilangnya Aditia.
Orang Cot Murong tak senang tentara masuk ke kampung
mereka. Mereka kumpul di sepanjang jalan yang dilalui
patroli tentara. Puluhan perempuan sempat mencoba
berbaris menghalangi patroli tentara di jalan.
Orang yang marah melakukan protes ke Camat Dewantara
Marzuki Muhammad Amin minta tentara agar tak masuk ke
kampung mereka lagi. Mereka tak tahu tentang hilangnya
Aditia. Jadi tak ada alasan tentara menanyai dan bikin
takut penduduk.
Sorenya komandan Arhanud Rudal Mayor Santun Pakpahan
menelepon Camat Marzuki untuk minta izin masuk kampung
mencari sersan yang hilang. Tapi Marzuki minta tentara
jangan dulu masuk kampung, karena orang mulai ribut.
Keesokan harinya, Sabtu, 1 Mei 1999, diadakan
pertemuan antara perwakilan warga Cot Murong, ulama,
tentara, polisi, dan camat di kantor polisi Dewantara.
Mereka menandatangani kesepakatan bahwa tentara tak
akan masuk kampung lagi. Pencarian Sersan Aditia
diteruskan oleh tokoh-tokoh kampung. Teungku Hanafiah,
seorang ulama setempat, diutus ke Cot Murong untuk
mencari si sersan hilang. Tapi seharian itu, dia gagal
mendapat kabar keberadaan Aditia.
Ketika tahu ketidakberhasilan Teungku Hanafiah, secara
diam-diam tentara masuk ke kampung lagi pada Minggu 2
Mei 1999. Tak begitu banyak jumlahnya dan mereka hanya
naik satu Toyota Kijang. Mereka tampaknya khawatir
Aditia diculik gerilyawan GAM. Mereka kembali menanyai
orang-orang kampung. Orang-orang kembali resah.
Beberapa laki-laki yang sedang duduk minum kopi di
warung, lari tunggang-langgang melihat tentara. Mereka
dibentak. Tentara bahkan sempat menampar seorang
pemuda yang sedang menghitung nener (bibit ikan),
karena mengatakan tak tahu tentang penculikan Aditia.
Kabar penempelengan itu segera beredar. Orang-orang
marah. Sebab sudah disepakati tentara tak masuk ke
kampung mereka lagi. Apalagi ada bumbu informasi, yang
tak jelas kebenarannya, ada penduduk desa Lancang
Barat ditangkap dan dibawa pergi patroli tentara.
Suasana memanas. Isu-isu yang tak jelas siapa
sumbernya menyebar hingga ke kecamatan tetangga. Senin
direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut
pelepasan orang kampung yang ditangkap.
***
SENIN pagi-pagi sekitar pukul 09:00. Azhari biasa
mangkal di warung kopi langganannya dekat kantor
polisi Lhokseumawe. Sebagai bujangan, tak ada yang
menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya. Dia sarapan
sepiring nasi gurih dan secangkir kopi. Azhari adalah
asisten koresponden kantor berita Antara di Aceh. Dia
baru tujuh bulan bekerja sebagai wartawan. Umurnya 32
tahun. Azhari orang yang selalu berhati-hati dan
cenderung penakut. Sebagai wartawan baru, dia
ditugaskan di tempat berbahaya. Dia harus bekerja
keras membuat laporan sebanyak mungkin, karena dia
dibayar berdasarkan jumlah berita yang dibuatnya.
Beberapa bulan terakhir dia bolak-balik Banda Aceh dan
Lhokseumawe akibat situasi kota gas itu yang panas.
Di Aceh, warung kopi jadi tempat yang sangat ramai
dikunjungi orang laki-laki. Dari yang sekadar minum
kopi, membaca koran gratis, nonton televisi, maupun
mengobrol. Selagi minum kopi, Azhari menangkap
pembicaraan beberapa orang yang duduk dekat mejanya.
"Hai, kaa rame that ureueng di Krueng Geukeuh (Hei,
ramai sekali orang di Krueng Geukeuh)."
"Peu acara (Acara apa)?"
"Naa awak geutanyou jidrop lee si Pa'i. Ramee ureueng
jak demo ke Koramil (Ada orang kita ditangkap si Pa'i.
Ramai orang pergi demo ke Koramil)."
Azhari tertarik. Cepat dia kembali ke kantornya yang
tak jauh dari warung kopi. Kantor Antara hanya sebuah
rumah kontrakan. Kantor itu juga jadi tempat tinggal
Azhari. Dia sendirian bekerja di situ.
Azhari menelepon beberapa wartawan di kota itu untuk
mencari kebenarannya. Azhari pun memutuskan ke Krueng
Geukeuh. Disambarnya kamera di atas meja. Sudah terisi
film, tinggal dipakai saja.
Sabtu sebelumnya, Azhari sudah mendengar kabar ada
intel tentara hilang di Cot Murong. Azhari memutuskan
meliput. Biasanya kalau massa sudah berkumpul akan ada
buntut peristiwa yang bisa diberitakan.
Beberapa kilometer dari tempat Azhari, Imam Wahyudi
dan Fipin masih bermalas-malasan di atas kasur. Imam
menelepon Umar minta dia menemani mereka melakukan
liputan suasana kota Lhokseumawe.
Dengan mobil Isuzu Panther merah milik Umar, mereka
keliling Lhokseumawe. Fipin mengambil gambar suasana
kota. Spanduk tentang tuntutan referendum dan
penolakan terhadap rencana pembentukan Komando Daerah
Militer Aceh tergantung, melintang di atas jalan
menuju pusat pasar. Pagi itu pasar ramai dengan orang
dan kendaraan lalu lalang. Dari kota, Umar membawa
Imam dan Fipin ke arah Kandang, di pinggiran
Lhokseumawe. Mereka akan ambil gambar bendera GAM
berlambang bulan bintang yang dipasang di tower RRI.
"Saya masih trauma kalau memasuki daerah ini," kata
Umar. Ia pernah terjebak dalam kontak senjata antara
tentara Indonesia dan kelompok Ahmad Kandang.
Dari Kandang mereka kembali ke Lhokseumawe. Mereka
bertemu dengan Ali Raban yang menunggu dekat pasar.
Ali Raban adalah kamerawan yang bekerja untuk Umar.
Ali tak punya ikatan kerja langsung dengan RCTI. Ali
membantu Umar sejak 1995 ketika RCTI mengudara pertama
kali di Lhokseumawe.
Ali Raban kamerawan yang nekat kalau di lapangan,
sering mengabaikan keselamatan jiwa dan kurang
perhitungan. Ali seorang yang berpenampilan sederhana.
Umurnya sekitar 25 tahun. Dia ayah seorang bayi yang
baru dua bulan lahir.
Tiba-tiba penyeranta yang bergantung di pinggang Umar
berbunyi. Pesan masuk dari seseorang. "Ada pemblokiran
di Krueng Geukeuh," kata Umar.
"Ayo cepat kita ke sana," sambut Imam, bersemangat.
Umar belum berniat secepatnya ke Krueng Geukeuh. Tapi
Ali mendesak. Sejak setengah jam lalu, Ali juga
mendapat pesan serupa di penyerantanya.
Umar dan Ali mempunyai orang-orang yang bisa jadi
sumber informasi mereka hampir di tiap kota kecamatan.
Terkadang Umar membayar orang-orang yang membantunya
sebagai informan. "Channel" itulah yang jadi ujung
tombak kecepatan mereka mengejar berita.
Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar karena dia
lupa membawa kamera foto. Di jalan mereka bertemu
dengan sopir labi-labi (angkutan kota) trayek Krueng
Geukeuh. Dari si sopir mereka melakukan verifikasi
kalau memang ada pencegatan massa di sana dan
kejadiannya masih baru.
Mereka sepakat ke sana. Tapi tiba-tiba Umar bilang,
"Kita cari makanan dulu."
Umar mempunyai kebiasaan membawa makanan lebih kalau
mau meliput jauh. Pengalamannya, kalau sudah masuk ke
tempat konflik, akan susah cari makan. Dia termasuk
orang yang susah kalau lapar.
"Udah, kita jalan saja. Nanti terlambat dapat gambar,"
bantah Raban.
Umar dan Ali berdebat soal jadi tidaknya mereka beli
makanan. Imam dan Fipin tak banyak komentar, walau
sebenarnya mereka juga butuh makan. Imam dan Fipin
belum sempat sarapan.
Imam setuju dengan Raban. Imam adalah wartawan
televisi tulen. Jika tak segera mengambil momentum
pertama, maka mereka tak akan pernah mendapat momentum
kedua. Waktu sudah terbuang.
Di sepanjang jalan Ali merepet dengan bahasa Aceh pada
Umar. Dia kesal karena Umar dianggapnya membuang waktu
hanya karena membeli makanan. Itu peristiwa penting,
dan mereka seharusnya mengejar waktu secepat mungkin
menuju ke Krueng Geukeuh.
"Uh, dasar yang dipikirin makan melulu," gerutu Raban.
Mereka membeli nasi Padang di pasar.
***
JAM sudah menunjukkan angka 10. Azhari berjalan kaki
sejauh 100 meter sejak dia diturunkan dari sepeda
motor temannya dekat tugu depan perumahan PT Pupuk
Iskandar Muda. Temannya disuruhnya kembali ke
Lhokseumawe, karena jalan sudah diblokir. Pemblokiran
jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari
depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat
bandar udara Malikul Saleh. Di Bungkah, kendaraan umum
yang hendak menuju Lhokseumawe, melintasi Krueng
Geukeuh, juga dilarang lewat.
Azhari berhenti di pinggir jalan depan sebuah
pemakaman dan melihat sebuah bus kecil penuh penumpang
berhenti. Beberapa pria, tak sampai 10 orang,
menghadang bus yang datang dari arah Lhokseumawe. Bus
itu hendak menuju ke Bireuen, sebuah kota 45 kilometer
barat Lhokseumawe. Penumpangnya disuruh turun.
"Kalau mau lanjutkan perjalanan, lewat Simpang Kraft
bisa sambung bus lain," kata para penghadang. Mereka
yang merasa harus sampai ke tempat tujuannya secepat
mungkin, memutuskan jalan kaki ke Simpang Kraft, yang
berjarak dua kilometer dari situ, dengan harapan bisa
menyambung kendaraan lainnya. Banyak kendaraan yang
terpaksa kembali ke Lhokseumawe karena tak diizinkan
lewat.
Tak lama, sebuah mobil Toyota Kijang berkaca gelap
menepi tak jauh dari tempat Azhari berdiri. Dari
dalamnya keluar delapan orang pasukan Gegana, pasukan
elit polisi Indonesia khusus antipeledakan. Mereka
berseragam kaos hitam berlambang burung walet dan
memegang senjata jenis Styer. Wajah mereka tampak
kebingungan melihat ramai orang di tengah jalan dan
kendaraan banyak yang berhenti.
Orang-orang yang menghadang bus tak peduli ada Gegana
dekat mereka. Jalanan telah dikuasai warga. Mereka
membuat barikade dari tumpukan ban bekas, dahan kayu,
dan drum kosong. Yang ingin ke Krueng Geukeuh harus
minta izin dulu kepada penghadang. Krueng Geukeuh
berada di lintasan jalan Banda Aceh-Medan. Kawasan itu
termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe sebab
di sana berdiri pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda
dan PT Asean Aceh Fertilizer serta pabrik kertas PT
Kertas Kraft Aceh.
Azhari berjalan pelan menuju persimpangan Krueng
Geukeuh. Tak ada satu pun kendaraan berseliweran di
jalanan. Yang ramai hanya orang-orang, yang ketika itu
sudah berkeluaran dari rumah mereka. Mereka tertarik
menonton keramaian. Beberapa laki-laki terlihat
membawa senjata tajam.
Tak ada orang yang menanyai identitas Azhari. Di
dompet dalam saku celananya, hanya ada selembar kertas
surat tugas dari Antara. Kamera yang dibawanya
disimpan dalam tas pinggang. Azhari berpikir lebih
baik tak ada yang tahu dia wartawan. Itu mungkin lebih
aman baginya.
Azhari menemukan massa sudah menumpuk di simpang empat
Krueng Geukeuh. Simpang itu terletak dekat komplek
perumahan karyawan PT Asean Aceh Fertilizer. Pusat
kota Krueng Geukeuh masuk dari persimpangan jalan
tersebut sekitar 500 meter ke arah dalam. Di sana
terletak pasar, markas Koramil Krueng Geukeuh, kantor
polisi, klinik kesehatan, kantor camat dan lapangan
sepak bola. Bersebelahan berdiri pabrik pupuk PT Asean
Aceh Fertilizer.
Toko dan warung yang berderet sekitar persimpangan
kebanyakan telah ditutup pemiliknya. Massa berdiri di
sepanjang emperan toko. Tapi lebih banyak menumpuk di
persimpangan.
Di antara ratusan orang itu, Azhari berjumpa dengan
Sabri, temannya yang sekolah di sebuah akademi di
Banda Aceh. Sabri tak sempat bercakap lama dengan
Azhari. Sabri sedang sibuk. Sabri dan beberapa pria
sedang melakukan sweeping. Mereka naik ke sebuah bus
besar yang berhenti dekat simpang empat. Kartu
identitas penumpang diperiksa satu per satu. Mereka
mencari kalau ada tentara Indonesia di dalamnya.
Azhari berdiri diam di emperan toko dan memperhatikan
keadaan. Sekitar pukul 11.00 Azhari melihat ada
iringan mobil datang dari Lhokseumawe. Dengan
kecepatan sedang sebuah Taft hijau tua dan Toyota
Kijang penuh orang di dalamnya berusaha menerobos
massa yang mengumpul di tengah jalan. Di belakang
kedua mobil itu mengekor sebuah truk tanki minyak.
Azhari kenal orang yang duduk di bangku depan mobil
Taft. Itu komandan Komando Distrik Militer Aceh Utara
Letnan Kolonel Sugiono. Penumpang dalam Kijang
sepertinya tentara berpakaian preman, pengawal
Sugiono. Massa menghentikan mobil. "Tidak bisa lewat,
Pak."
Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang Kraft.
Alasannya, kedatangan mereka telah ditunggu. Massa
tetap tak mengizinkan mobil lewat. Apalagi setelah
tahu di dalamnya tentara. Terjadi perdebatan. Entah
siapa yang duluan bergerak, mendadak puluhan massa
mendekat ke mobil itu dengan marah. Melihat situasi
tak menguntungkan, mobil itu tancap gas, lari dari
massa yang mengejar dengan parang. "Kejar! Kejar!"
teriak orang-orang.
Bunyi decitan ban terdengar cukup keras. Kedua mobil
itu dengan cepat memutar balik, lari kencang kembali
ke arah Lhokseumawe. Truk tangki minyak yang sedari
tadi mengekor hampir terbalik karena sopirnya terkejut
dan hampir tak bisa mengendalikan setir. Truk itu
secepatnya juga kembali ke arah Lhokseumawe.
***
UMAR HN membawa mobilnya mengebut ke arah Krueng
Geukeuh. Sudah pukul 11.00. Mereka sudah kehilangan
banyak waktu, karena sibuk dengan hal-hal yang tak
penting di Lhokseumawe. Ali sesekali masih merepet,
mengeluarkan kedongkolannya terhadap Umar. Imam dan
Fipin banyak tak mengerti dengan bahasa Aceh yang
diucapkan Raban.
Lewat pabrik Pupuk Iskandar Muda, mobil mereka tak
boleh lewat. Umar menyimpan mobilnya di halaman sebuah
tempat usaha sablon. Mereka pun berjalan kaki melewati
banyak orang yang berkumpul di sepanjang jalan.
Kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang.
Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan. Imam
membawa kaset dan mikrofon berlogo RCTI. Fipin dan Ali
memanggul kamera berlambang RCTI. Umar dan Imam
memakai rompi wartawan berwarna krem berlogo RCTI.
Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang, kayu
dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki itu
seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas.
Di simpang empat Krueng Geukeuh, massa sudah mencapai
jumlah 1.000-an, memadati jalan dan emperan toko.
Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak. Sekumpulan
anak kecil berlari, mendekat ke arah Fipin dan Ali
yang sedang mengambil gambar massa. Di depan kamera,
mereka bersorak sambil meloncat-loncat, dan
berteriak-teriak hingga memekakkan telinga. Anak-anak
itu senang direkam gambarnya.
"Merdeka! Merdeka!"
"Hidup referendum!"
"RCTI oke!"
Suasana yang tadinya biasa saja jadi ribut, karena
orang-orang dewasa turut berteriak-teriak seperti
kelakuan anak-anak kecil di situ. Yang tadinya berdiri
di emperan toko, mulai turun ke jalan sambil
bersorak-sorak. Yang membawa kayu dan parang
mengacungkannya ke udara. Mereka overacting karena ada
liputan televisi.
Umar mencium gelagat tak bagus. Jantungnya berdenyut
keras. Ada yang mencegat dan menanyai identitas mereka
berempat. Umar dan Ali yang bisa bahasa Aceh
menjelaskan bahwa mereka wartawan.
Umar tahu kalau tak bicara baik-baik akan susah dapat
izin lewat. Walau banyak yang senang aksi mereka
diliput wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang
memandang curiga pada mereka. Orang menyamakan posisi
mereka dengan tentara yang harus dimusuhi.
"Itu Pa'i juga," ada yang menyeletuk di belakang. Pa'i
sebutan kasar dalam bahasa Aceh untuk tentara atau
polisi Indonesia.
Sambutan tak ramah itu membuat Umar khawatir. Dengan
berkata pelan, Umar mengingatkan Imam dan Fipin agar
tak mengaku sebagai orang Jawa. Ada sikap anti orang
Jawa di Aceh. Imam terkadang sulit menyembunyikan
aksen Jawa dalam ucapannya.
Seorang pria mendekati Imam, "Kamu siapa?"
"Wartawan."
"Wartawan dari mana?"
"RCTI."
"Orang mana?"
"Melayu."
"Melayu mana?"
"Melayu Riau."
Orang-orang itu menarik kartu identitas Imam dan Fipin
yang menggantung di leher, melihatnya untuk memastikan
apa betul mereka wartawan.
Syukur, datang bantuan. Salah seorang tokoh yang jadi
pengatur massa di situ, menghampiri Imam dan Umar. Dia
kenal Umar sebagai wartawan. Mereka bersalaman. "Ini
wartawan RCTI. Tidak apa-apa. Biarkan lewat," pria itu
memberi instruksi pada orang-orang yang berkerumun
dekatnya.
Orang-orang yang tadinya sempat tak senang mendadak
berubah sikap jadi baik. Mereka bilang, massa yang
jumlahnya lebih besar lagi sudah berkumpul di Simpang
Kraft. Mereka menawarkan diri untuk mengantar wartawan
ke sana, karena jarak Simpang Kraft sekitar satu
setengah kilometer dari situ.
Raban sempat bertanya pada seorang pria muda yang
dilihatnya membawa senjata tajam. "Kenapa bawa
parang?"
"Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang
kampung," katanya.
"Mereka cari anggota dia. Kami tidak tahu," kata yang
lain.
Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft dengan
sepeda motor milik warga di situ. Tak ada kendaraan
yang melintas di jalanan.
Sepeda motor yang ditumpangi para wartawan itu harus
berjalan zigzag, dengan kecepatan sedang. Tiap jarak
yang dekat ada barikade yang dibuat dengan tumpukan
ban bekas, kursi, kayu, dan drum. Bahkan menjelang
Simpang Kraft jalan sepenuhnya telah ditutup, sehingga
mereka harus minta izin dulu kepada orang-orang yang
berjaga agar bisa lewat.
***
SIMPANG Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang
terletak di sebelah kiri jalan lintas Medan-Banda
Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya sekitar 19 kilometer.
Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik kertas
PT Kertas Kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer
masuk ke dalam. Di lintasan jalan menuju pabrik KKA,
ada markas Arhanud Rudal yang cuma berjarak dua
setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini
menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.
Di Simpang Kraft ada traffic light, yang cuma punya
satu lampu kuning, yang terus berkedap-kedip. Itu
lampu peringatan, agar para pengendara kendaraan yang
melaju di lintasan Banda Aceh-Medan berhati-hati.
Simpang itu merupakan jalur keluar masuk truk-truk
tronton besar yang membawa gulungan-gulungan kertas
raksasa.
Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat melebar 10
meter dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua
jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok
simpang, terdapat deretan toko dan warung. Di kiri,
ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu,
menjual barang-barang kelontong dan makanan ternak. Di
sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya
warung kopi. Di antara toko dan warung ada bale-bale
yang berfungsi sebagai gardu jaga.
Di sebelah kanan, berderet lima warung yang di
antaranya berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan
tukang jahit. Di depan deretan warung itu tumbuh
beberapa pohon buah seri dan pohon ubi gadung. Lewat
dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu
dua rumah sederhana. Lima ratus meter kemudian
terdapat hamparan sawah di kiri kanan jalan.
Rumah-rumah orang lebih banyak berada di pinggiran
jalan Banda Aceh-Medan. Orang di situ sudah terbiasa
melihat truk-truk mengangkut sepasukan tentara
melintas keluar masuk Simpang Kraft, karena di situ
ada markas Arhanud Rudal.
Pagi-pagi sekali, beberapa laki-laki melakukan
sweeping di sekitaran Simpang Kraft. Mereka memeriksa
setiap kendaraan yang lewat, memeriksa apakah ada
tentara yang melintas. Pukul 08.00 empat truk militer
membawa sepasukan tentara berbaju loreng hijau,
bertopi rimba dan bersenjata masuk ke kecamatan
Dewantara. Tentara itu datang dari Batalyon 113 Korem
Lilawangsa yang markasnya terletak di Bireuen, 45
kilometer barat Lhokseumawe. Pasukan Batalyon 113 itu
biasanya bertugas sebagai pasukan pengaman
proyek-proyek vital di sekitaran Lhokseumawe. Tapi
pagi itu mereka didatangkan sebagai pasukan bala
bantuan untuk pengamanan jalan masuk ke Arhanud Rudal.
Jumlah tentara di Arhanud Rudal cuma ada satu kompi.
Mereka bersiaga di Simpang Kraft. Bersamaan masuknya
tentara-tentara itu, orang-orang di desa Lancang
Barat, mengumandangkan azan di meunasah.
Sejam kemudian gelombang massa pun berdatangan ke
Krueng Geukeuh. Mulanya, 10 truk membawa ratusan
laki-laki datang dari kampung-kampung. Mereka
berkumpul di lapangan sepak bola, tak jauh dari kantor
camat. Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin
sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum. Rapat
itu bubar, karena massa berdatangan ke kantor. Mereka
menjemput Marzuki untuk dibawa ke Simpang Kraft. Di
sana, orang Cot Murong dan tentara sudah saling
berhadap-hadapan. Marzuki diminta datang untuk
mendinginkan suasana yang memanas.
Hingga pukul 11.00, ada dua konsentrasi massa di
Krueng Geukeuh. Massa pertama ada di depan Koramil
Dewantara, dekat pasar Krueng Geukeuh. Ratusan orang
kebanyakan wanita, berkumpul melakukan demontrasi.
Banyak yang membawa anaknya. Mereka datang dari
kampung-kampung sekitar Krueng Geukeuh, dijemput
dengan truk. Wanita-wanita itu bergerombol, ada yang
berteriak-teriak. Tak ada tentara yang menghadapi
demonstran. Mereka berdiam diri di dalam kantor
Koramil Krueng Geukeuh yang tertutup rapat.
Komandannya ada di Simpang Kraft.
Menjelang pukul 12.00 massa mulai melempari kaca
jendela koramil. Sebuah sepeda motor milik tentara
yang diparkir di sekitar situ dibakar hingga hangus.
Tentara memberi tembakan peringatan beberapa kali ke
udara. Massa sempat lari.
Peristiwa depan koramil tidak banyak diketahui oleh
massa kedua di Simpang Kraft. Simpang Kraft bagai
lautan manusia. Massa menumpuk dalam radius 300 meter.
Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu
orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak terus
berdatangan secara bergelombang sejak pagi.
Orang-orang itu tak hanya datang dari Dewantara, tapi
juga dari kecamatan sekitar seperti Nisam, Muara Dua
dan Sawang.
Mereka tergerak ke sana karena spontanitas, merasa
harus bersolidaritas terhadap sesama orang Aceh. Tak
sedikit yang panas hatinya mendengar kabar tentara
akan menyerang kampung sehingga mereka merasa perlu
membawa senjata tajam untuk bela diri. Ada semacam
pengerahan massa ke Simpang Kraft, karena sebagian
besar orang yang datang ke situ dikoordinasi oleh
sekelompok orang. Sejak pagi sejumlah truk masuk ke
kampung-kampung menjemput orang diajak berdemonstrasi.
Sebagian lagi, datang ke Simpang Kraft karena tertarik
menonton keramaian yang tak biasa itu. Pemandangan itu
jadi hal menarik bagi anak-anak kecil, perempuan, dan
pelajar yang bersekolah di sekitarnya.
Tak sedikit juga yang terjebak di Simpang Kraft. Yang
terjebak adalah para penumpang yang tadinya berharap
bisa menyambung perjalanan dengan naik bus di Simpang
Kraft. Mereka berjalan kaki sejauh dua kilometer sejak
dari simpang PT Pupuk Iskandar Muda di mana rombongan
RCTI menyimpan mobil. Ternyata tak ada bus yang
menunggu di Simpang Kraft seperti yang dibilang para
penghadang di simpang Pupuk Iskandar Muda. Akhirnya,
mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di
situ.
Keempat wartawan RCTI yang baru datang segera masuk di
antara kerumunan massa. Mereka menyebar. Dua
kamerawan, Ali dan Fipin, merekam gambar dari sudut
yang berbeda.
Di sebelah jalur kanan jalan, ada empat truk militer
diparkir berjejer. Tentara-tentaranya sudah turun.
Mereka berjaga di sekitar kawasan itu. Tentara-tentara
itu berkelompok-kelompok, berdiri dekat sebuah tanah
kosong, di depan warung dan dekat truk mereka. Ada
banyak wanita dan anak-anak berdiri sangat dekat
dengan tentara-tentara dari Batalyon 113.
***
AGAK terpisah dari massa, di bawah sebuah pohon asam
dekat sawah, 500 meter dari simpang, ada 20 tentara
lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara
kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an
meter.
Keempat wartawan itu melihat tentara yang berdiri
dekat truk militer sudah terkepung massa. Tapi tak
terlihat ketegangan serius antara tentara dan massa.
Tentara-tentara itu tak bereaksi terhadap orang-orang
yang bersorak-sorak di dekatnya. Dan massa pun tak
mempedulikan kehadiran tentara-tentara.
Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana
berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera
televisi merekam aksi mereka. Mereka jadi ribut
sekali. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan
apa saja yang mereka bawa. Cangkul, tombak, kayu, dan
parang menyembul di antara ribuan kepala manusia.
Anak-anak kecil melompat-lompat kegirangan setiap
kamera menyorot mereka.
"Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar," seruan itu
bersahut-sahutan dari ujung ke ujung.
Mereka juga berteriak-teriak, "Merdeka! Merdeka!"
"Hidup referendum!"
Imam dan Fipin naik ke atas salah satu truk tentara
yang diparkir di pinggir jalan. Truk itu pun sudah
penuh, dinaiki massa. Dari atas truk itu, Fipin
kembali mengambil gambar lautan massa. Mereka makin
ramai bersorak. Bunyinya bagai suara dengungan puluhan
ribu lebah. "Allah Akbar!"
Sudah pukul 12.00 siang. Langit biru cerah tanpa awan.
Matahari tepat di atas kepala. Panasnya bagai membakar
apa saja yang ada di permukaan bumi. Panas matahari
juga dirasakan oleh massa. Tapi mereka seakan tak
peduli. Panas matahari justru makin memanaskan
suasana. Mereka makin ribut, bersorak dan
loncat-loncat. Peluh mengucur deras dari tiap senti
tubuh mereka. Mereka berteriak-teriak minta air.
Beberapa tentara dekat truk tersenyum memperhatikan
tingkah massa yang dianggap lucu, melompat-lompat
seperti anak kecil. Tentara-tentara itu tak bergeming,
kendati sesekali terdengar makian dari massa, "Pa'i"
tapi mereka berdiri santai, sesekali bertukar api
rokok dengan beberapa demonstran. Moncong senjata
mereka jatuh ke tanah. Salah seorang, mungkin
komandannya, sibuk berbicara melalui handy talky.
Sebagian wanita berkerudung berteduh di pinggiran
warung, bale-bale dan di bawah pohon. Lima orang
wanita, ibu-ibu, dan anak gadis yang duduk di
bale-bale, tertawa ceria sambil turut bersorak-sorak,
ketika Fipin Kurniawan mengarahkan kameranya ke
mereka.
Imam Wahyudi melihat seorang pemuda berkemeja putih,
memakai ikat kepala dari kain putih yang disobek,
dielu-elukan massa yang mengangkat-angkat tangannya.
Mungkin dia salah satu pemimpin di situ. Dia agak malu
karena kamera Fipin lama menyorot ke arahnya.
Azhari tiba di Simpang Kraft. Dia tadi jalan kaki
mengikuti serombongan orang dari simpang empat Krueng
Geukeuh. Azhari masuk dalam kerumunan massa. Tubuhnya
yang pendek seakan tenggelam di sana. Dia agak sulit
bernafas, karena massa demikian padat.
Azhari melihat Umar di antara kerumunan orang. Tubuh
Umar tampak agak lebih tinggi dari orang-orang
sekitarnya. Azhari tak berusaha menghampiri Umar. Dia
menganggap Umar wartawan yang tidak ingin disaingi
dalam perolehan gambar dan berita. Selain itu, Azhari
merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di
sana banyak tentara.
Ali Raban sendirian, terpisah dari teman-temannya. Ali
naik ke atas sebuah drum yang diletakkan massa tepat
di tengah jalan. Dia mengambil gambar tentara yang
terkepung di antara massa yang menyemut.
Raban turun dari drum dan bergerak masuk lebih jauh ke
dalam kerumunan. Ali melihat camat Marzuki. Dia
mengambil gambar Marzuki yang terduduk lemas di sebuah
kursi depan warung kopi yang tutup.
Marzuki ada dalam tekanan orang-orang sekitarnya.
Lencana camatnya dicopot paksa oleh seseorang. Marzuki
harus menanggalkan baju dinas camatnya, dan menjadi
pusat perhatian orang karena cuma berkaos dalam dan
bercelana pendek.
Camat Marzuki, beberapa kali naik ke atas truk dan
berbicara kepada massa di situ. Seorang pemuda
berkulit hitam memegang megafone ada dekatnya. Namanya
Faisal. Tampaknya Faisal koordinator lapangan. Marzuki
dan Faisal bernegosiasi. Massa menuntut Marzuki segera
menghadirkan perwakilan tentara, ulama, dan pemerintah
di Simpang Kraft.
Raban berlalu dari tempat Camat Marzuki. Dia
menyeberang ke arah jalur kanan jalan. Mengambil
gambar orang-orang yang berdiri di pinggir warung.
Seorang anak kecil dengan wajah gembira minta ibunya
mengangkat dirinya lebih ke atas, biar wajahnya
terlihat jelas di kamera. Berkali-kali anak itu
bersorak-sorak agar Ali melihat dirinya.
Raban sangat kehausan. Dia melihat anak kecil tadi.
Anak itu bercelana pendek dan memakai sandal jepit.
Ibunya sudah tak terlihat lagi. Dia memegang botol
Aqua ukuran 600 mililiter. Isinya tak sampai
seperempat botol.
Raban mencoba memintanya. "Dik, boleh minta airnya?"
Anak itu memberi Ali botol air yang dibawanya. Ali
meneguknya. Botol yang masih menyisakan sedikit air,
diserahkan lagi ke anak itu.
Umar berdiri di tengah massa. Beberapa orang yang
melihatnya, datang dan minta Umar dan kawan-kawannya
mewawancarai mereka. Umar tak menolaknya. Lebih baik
menuruti orang-orang itu. Dia yakin di antara sekian
banyak orang, banyak yang berpikiran kalut dan di luar
kendali.
Umar memanggil Ali yang jaraknya hanya belasan meter
darinya. Imam dan Fipin sudah turun dari truk. Mereka
berempat berkumpul di sebelah jalur kiri jalan. Mereka
akan mewawancarai Faisal.
Faisal masih muda, berhidung mancung dan berkulit
hitam. Dia memakai jaket parasut hitam sepanjang lutut
yang warnanya telah kusam. Faisal memakai topi hitam
dililit pita putih. Dia memegang megafone.
Pemuda-pemuda yang berada di sekelilingnya berteriak,
"Hoi, hoi," berebutan mau bicara dan ingin masuk
televisi. Faisal menolak memakai bahasa Indonesia.
"Hana meuphoum lon." Dia tak bisa berbahasa Indonesia.
Imam mewawancarai Faisal. Umar menterjemahkannya.
Banyak orang yang tertarik melihat Faisal diwawancarai
televisi. Keributan seketika berkurang, karena Faisal
berteriak agar massa diam. Sejenak agak senyap.
Si Faisal menjelaskan, "Rakyat bangsa Aceh yang ada di
Lancang Barat dan Krueng Geukeuh ke luar ke lapangan,
ke jalanan. Karena kami melihat banyak tentara Jawa,
si Pa'i sudah masuk ke desa Teupin, menganiaya rakyat
dan ada saksi mata."
Faisal berkata lagi, semalam ada provokator yang
menyusup ke kampung mereka, yang ditudingnya sebagai
tentara yang menyamar.
"Pa'i, pa'i," orang-orang di sekitar Faisal berteriak.
"Dan si pa'i itu memancing kami masyarakat, sehingga
kami menjadi berkelahi," sambungnya.
Menurut Faisal, pagi itu ada empat truk tentara masuk
ke desa Lancang Barat, bertujuan memancing emosi orang
sehingga jadi ribut. "Padahal sudah janji sebelumnya
tidak boleh masuk tentara lagi."
Si pemuda mengatakan mereka saat ini sedang menunggu
datangnya bupati, komandan korem, komandan kodim,
komandan rudal, Palang Merah Internasional, ketua
parlemen setempat, untuk menyelesaikan masalah.
Faisal mengeluh capek, "Kami minta mobil pemadam
kebakaran. Tapi sampai sekarang belum sampai. Kami
sudah gerah sekali."
Matahari memancarkan sinar yang cukup panas. Faisal
dan massanya masih bertahan di tengah jalan, tak
beranjak. Faisal membuka lembaran buku tulis yang
sudah lecek oleh keringat dan memperlihatkannya kepada
wartawan yang mewawancarainya. Di situ ada kesepakatan
tertulis antara massa yang diwakilinya dengan Camat
Marzuki, bahwa Marzuki telah menyatakan meletakkan
jabatannya.
"Kami dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh
menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu menahu
masalah itu," teriaknya dengan emosi dari megafone.
Massa menyambut teriakan Faisal dengan gemuruh. Ribut
lagi. Wawancara itu segera diakhiri.
Keempat wartawan RCTI itu sepakat kembali ke
Lhokseumawe untuk memburu pengiriman kaset ke Jakarta.
Ali dan Fipin secara terpisah mengambil gambar
terakhir kalinya. Umar masih tak beranjak dari posisi
semula.
Imam dan Fipin bergerak beberapa meter. Dekat mereka
ada sebuah sepeda motor merek Honda keluaran 1970-an.
Pemiliknya mengizinkan Fipin naik ke atas sadel
belakang. Imam memegang sepeda motor itu agar Fipin
tak jatuh. Imam memegang kaset baru, bersiap hendak
menukarnya dengan kaset dalam kamera Fipin.
Fipin berdiri di atas sepeda motor dengan agak
gemetar. Dia masih bisa memanggul kamera yang berat
walau tubuhnya sudah terasa lemas. Tadi pagi tak
sempat sarapan. Dan kini dia sangat haus.
Azhari berdiri dekat sebuah tembok kecil di sudut kiri
jalan. Sedari tadi dia tak melakukan apapun, hanya
menonton keramaian. Azhari tak berusaha mewawancarai
orang-orang di situ, bahkan tak pula ingat
mengeluarkan kameranya untuk memotret. Nalurinya
sebagai wartawan sama sekali tak jalan. Padahal dia
bisa memperoleh foto berita di situ.
Tak ada yang tahu persis siapa yang memulai. Massa
makin tak terkendali. Mulai saling dorong-dorongan.
Tentara Batalyon 113 yang sedari tadi berdiri di
tengah massa, mulai terjepit. Ada lemparan batu jatuh
di depan deretan anak-anak dan ibu-ibu. Dua puluh
meter dari barisan massa terdepan itu, berdiri pasukan
Arhanud Rudal, jumlahnya berkisar 20-an.
Anak-anak yang melihat ada batu jatuh di depan mereka,
spontan mengambil batu dan melemparnya ke arah tentara
Arhanud Rudal.
Suasana memanas.
Sebuah truk militer datang dari kejauhan. Truk itu
datang dari markas Arhanud Rudal. Banyak tentara di
dalamnya. Ali dan Fipin dalam posisi berbeda merekam
kedatangan truk itu.
Pandangan mata massa semuanya sudah terkonsentrasi ke
arah truk yang datang itu. Mereka merasa ada sesuatu
yang terjadi. Sebab beberapa orang ribut, "Ada truk
datang, ada truk datang."
Tentara mulai membentuk dua lapis barisan. Mereka
seperti sedang bersiap-siap, karena ada keributan di
tengah massa.
Tiba-tiba ... trat .... trat .... trat .... suara
senjata meletus dengan keras. Trat, trat, trat ....
dengan cepat suara senjata susulan terdengar
bersahut-sahutan. Suara itu bagaikan geledek yang
menyambar. Semua terkejut. Orang-orang yang tadi
berdiri menyemut di jalan, secara reflek tiarap. Tapi
dengan cepat pula, banyak yang berlari berhamburan.
Mereka lari tunggang-langgang menjauhi tentara-tentara
yang mulai melepaskan peluru-peluru tajam dari moncong
senjata mereka.
Tembakan ini datang dari tentara Arhanud Rudal yang
berdiri di kejauhan. Mereka yang pertama kali
melepaskan tembakan itu. Mereka menembak ke atas
dengan maksud membubarkan massa. Sejumlah tentara
berteriak, "Bubar kalian! Bubar!"
Tapi beberapa tentara mendadak seperti kesetanan
mengejar orang-orang yang berlarian. Menembaknya
dengan serabutan. Sementara, tentara-tentara dari
Batalyon 113, yang tadi berdiri di antara massa dengan
cepat menyebar, menyusup ke parit-parit. Mereka juga
turut melepaskan tembakan. Mereka menembaki pohon
kelapa yang tumbuh di sekitar lokasi, hingga daun dan
buahnya berjatuhan.
Kepanikan muncul di mana-mana. Laki-laki, perempuan,
tua, muda, anak-anak, lari berhamburan menghindari
peluru yang mereka tak bisa terka datangnya dari arah
mana. Yang mereka tahu mereka harus menjauh dari
tentara-tentara itu yang mendadak brutal menembaki
mereka.
Mereka ada yang berteriak ketakutan minta tolong.
Perempuan dan anak-anak menjerit. Tapi kebanyakan tak
mampu lagi bersuara. Suara rentetan senjata yang
memekakkan telinga membuat semuanya tak berkutik.
Banyak yang tiarap di jalanan. Yang lainnya
bersembunyi di balik dinding warung. Ada juga yang
memperosokkan diri ke parit.
"Amin ya Allah, Allah Akbar,"seorang laki-laki
berteriak dengan keras.
"Allah Akbar, Allah Akbar," orang-orang mulai berseru.
Korban mulai berjatuhan. Satu, dua, tiga, delapan
orang rubuh di jalur kanan jalan. Yang lain, satu per
satu jatuh, terutama yang jaraknya dekat dengan
tentara.
Massa menubruk apa saja. Fipin yang berdiri di atas
sepeda motor jatuh terjengkang. Si empunya sepeda
motor tanpa memberi aba-aba kepada Fipin, membawa lari
sepeda motornya secepat kilat.
Fipin jatuh tertidur di badan jalan bersebelahan
dengan Imam yang tiarap. Dekat mereka ada beberapa
orang yang juga melakukan hal yang sama. Fipin makin
lemas saat melihat darah mulai keluar dari tubuh-tubuh
orang yang rebah tak jauh darinya.
Fipin mengangkat kameranya tinggi dan mengarahkannya
ke tentara-tentara dekatnya yang sedang menembaki
pohon-pohon kelapa, hingga buahnya berjatuhan dan
daunnya rontok. Di kejauhan beberapa tentara lainnya
sedang melepaskan tembakan secara brutal ke arah massa
yang berlarian. Dia sudah tidak bisa berpikir apapun.
Dia hanya merasa kameranya akan merekam semua adegan
itu.
Imam sejak tembakan pertama secara reflek merebahkan
tubuhnya ke atas aspal. Dia berada di belakang Fipin.
Kaset di tangan Imam terjatuh, tersepak-sepak oleh
massa yang berlarian panik, melompati badan Imam yang
jatuh. Berkali-kali Imam berusaha mengambil kaset itu.
Hampir 10 menit berlalu, saat Imam berusaha memasukkan
kabel mikrofon ke kamera yang dipegang Fipin. Imam
ingin merekam dan membuat laporan langsung di tengah
ributnya suara letusan senjata.
"Mas, kameranya mati," mendadak Imam berteriak kepada
Fipin. Imam melihat lampu kecil berwarna merah di
kamera Fipin tak menyala. Seharusnya lampu itu
berkedip-kedip jika kamera merekam gambar.
Fipin tersadar. Dengan cepat dia menghidupkan tombol
record kamera. Kamera itu tanpa diketahui mati ketika
Fipin terjatuh dari sepeda motor. Selama 10 menit
pertama ketika tembakan mulai Fipin tak merekam
apa-apa.
Tentara-tentara itu masih melepaskan tembakan, ketika
seorang anak kecil, merayap dekat Imam. Ada seorang
perempuan dekatnya, juga merayap. Mungkin itu bibinya.
Anak itu kebingungan mencari perlindungan.
"Sana kamu," Imam mendorong pantat anak itu.
"Ke mana Bang?" tanyanya, bingung ketakutan.
Imam menyuruhnya pergi ke arah deretan warung tak jauh
dari situ. Paling tidak anak itu bisa berlindung di
balik dinding. Dengan cepat anak laki-laki itu,
bersama bibinya merangkak, dan menghilang ke samping
warung.
Imam kembali melihat ke arah tentara-tentara itu.
Jaraknya kini hanya lima meter dari tempat Imam dan
Fipin rebah. Perasaannya campur aduk saat melihat
tentara melepaskan tembakan bertubi-tubi, mengarahkan
muntahan peluru ke arah orang-orang yang sebagian
masih berusaha lari dari tempat itu. Imam terpaku dan
belum berpikir apa pun tentang peristiwa itu. Semua
serba cepat.
Ketika dia melihat ada tumpukan orang rebah di
seberang jalan. "Ah, orang-orang itu cuma bersandiwara
saja," kata Imam dalam hati. Dia sudah pernah
mengalami situasi, di mana ada demontrasi dibubarkan
aparat dengan tembakan. Tapi dia tak pernah melihat
darah dalam peristiwa-peristiwa seperti itu.
Saat tembakan agak mereda, Imam tergerak mendekat ke
tumpukan manusia itu. Sambil berjongkok dia dan Fipin
jalan ke sana. Fipin merekam semua gambar dengan baik.
Sebagian tentara masih terus melepaskan tembakan. Tapi
ada juga satu dua tentara yang masih berbaik hati,
berusaha mengamankan beberapa wanita yang menggendong
anak mereka yang sedang bersembunyi di balik sebuah
gerobak. Mereka disuruh pergi cepat-cepat dari situ.
Imam melihat seorang pemuda merangkak di depannya.
Imam ingat, itu pemuda yang tadi dielu-elukan massa.
Pemuda berikat kepala itu merangkak pelan bagai tak
bertenaga. Dia berusaha menuju ke emperan warung. Dia
terluka, celana putihnya penuh darah. Pemuda itu
bersandar lemas di dinding warung yang dengan susah
payah dicapainya.
Imam menegurnya, "Apanya yang kena?"
Pemuda itu tak menjawab. Wajahnya pucat. Ada seorang
wanita berjilbab kuning di dekatnya, memperhatikannya
dengan rasa khawatir.
Cairan warna merah mengalir pelan ke arah Imam. Cairan
itu keluar dari sela kaki pemuda itu. Imam
mengambilnya sedikit di tangan. Menciumnya. "Tidak
amis," pikirnya.
Imam mengambil lagi. Tidak amis. Dia pikir darah pasti
baunya amis. "Orang ini mau mendramatisasi," kata Imam
dalam hati.
Imam bergerak lagi, ke arah tumpukan orang yang sedari
tadi mengusiknya. Tadi ada sekitar 10 orang rebah di
situ. Tapi dengan cepat sebagian bangun dan lari saat
Imam dan Fipin mendekat.
Dari jauh, Imam seperti melihat sebuah boneka
tergeletak di antara tumpukan orang itu. Imam
mendekat, melihat lebih jelas. Imam terkejut bagai
disambar petir. Itu seorang anak kecil yang bagian
atas kuping kirinya sudah bolong setengah. Air otaknya
terlihat jelas. Imam shock.
"Tidak benar ini. Masya Allah. Ini gila," Imam
berteriak dalam hati. Perasaan marah, benci tak
percaya, bercampur aduk dalam diri Imam. "Ini tidak
boleh terjadi, tak masuk akal."
Itu bukan boneka. Itu anak kecil yang telah tak
bernyawa. Peluru tentara telah menghancurkan kepala
kirinya. Imam tak tahan dan menangis melihat itu.
Fipin sendiri tak tega ketika mengarahkan kameranya ke
arah anak kecil yang kepalanya telah bolong itu.
Saking tak tahan melihat kesadisan itu, Fipin menutup
matanya ketika kameranya mengambil gambar anak itu
dari dekat.
Fipin menjalankan tugasnya sebagai kamerawan dengan
baik. Dia merekam semua yang dilihatnya. Dia terus
berada bersama Imam. Dia merekam seorang pemuda yang
sekarat, tersentak saat nyawanya hendak diambil
malaikat pencabut nyawa.
Umar dengan panik berlari ke depan sebuah toko penjual
makanan ternak, ketika bunyi letusan senjata
terdengar. Di depan toko yang ditutup pemiliknya itu,
ada tumpukan karung berisi dedak makanan bebek. Umar
bersembunyi di balik tumpukan karung. Tak hanya dia
seorang di situ, karena ada beberapa orang lain yang
berebutan tempat bersamanya. Umar terjepit di antara
orang-orang yang takut itu.
Umar juga sangat ketakutan. Bahkan dia seperti mau
kencing dalam celana. Tapi dia berpikir cepat untuk
segera memotret peristiwa itu. Umar menjepret apa pun
yang dilihatnya, tentara yang menembak dan juga
tumpukan orang yang rebah di jalan. Umar melihat Fipin
dan Imam ada di sana juga. Tapi jepretan Umar banyak
yang meleset tak tentu arah, ke langit dan ke atas
pohon.
Trat .... trat .... trat .... berondongan senjata
terus terdengar. Umar memotret tanpa berpikir banyak
apakah dia mendapat angle yang bagus atau tidak. Umar
sangat terkejut ketika kameranya secara tak sengaja
membidik seorang anak kecil di seberang jalan yang
terjatuh. Kamera Umar mengabadikannya, tepat saat
peluru menghantam kepalanya dan isi otaknya
berhamburan. Umar terkejut luar biasa, hingga
kameranya terjatuh dari pegangannya. Umar merasa
kasihan terhadap anak itu.
Ali Raban dalam posisi merekam gambar di sudut kanan
Simpang Kraft, ketika tiba-tiba meletus suara senjata.
Di depannya, massa secara reflek tiarap. Ali melihat
tentara di depan warung, tak jauh darinya mulai
berpencar. Massa kemudian dengan cepat bangun dan
berlarian tak tentu arah.
Raban tidak lari. Dia berdiri dengan tegap dan merekam
orang-orang yang berlarian itu. Mereka panik dan
berusaha mencari tempat perlindungan terdekat.
Tiba-tiba ada yang mendorongnya dari belakang. Ali
terjatuh. Tapi dia masih mampu mempertahankan
kameranya tetap hidup. Ali jatuh tiarap dengan siku
tertumpu di tanah. Di depannya wanita, pria dan
anak-anak mulai berjatuhan. Mereka kena tembak.
Jaraknya hanya sekian meter dari Raban.
Beberapa menit berlalu. Tentara-tentara masih
menembak. Sambil jongkok Ali lari ke tengah pertigaan
jalan. Dia ingin mengambil gambar tentara. Dia merasa
pengambilan gambar terhalang oleh truk-truk militer
yang berderet di pinggir jalan. Ban-ban truk itu telah
kempes, kena peluru nyasar. Dinding warung penuh
lubang.
Azhari kebingungan ketika mendengar suara letusan
senjata. Dia berusaha melihat lebih jelas ke arah
tentara-tentara yang jauh. Orang-orang sudah
berlarian. Seruan "Allah Akbar," muncul dari antara
orang-orang itu.
Azhari kaget. Dia melihat ke arah tentara yang ada
sekian puluh meter darinya. Tentara itu menembaki
orang-orang yang berlarian. Suasana sangat kacau.
Tadinya Azhari belum berpikir untuk lari. Rasa
takutnya timbul ketika melihat di antara orang-orang
yang berlarian, seorang pria jatuh tersungkur. Azhari
melihat darah membasahi belakang bajunya.
Dia pun dengan cepat lari, mengikuti orang-orang yang
lari menyelamatkan diri ke arah Krueng Geukeuh.
Melihat ada massa yang lari ke sebuah gang kecil, dia
pun ikut ke sana, menganggap tempat itu pasti aman.
Azhari merasa tentara itu bagai mengejar dirinya
karena rentetan tembakan masih terus terdengar.
Orang-orang berteriak histeris. "Tulong, ureung kaa
ditimbak, kaa plung mandum (Tolong, orang sudah
ditembaki, sudah lari semua)."
Azhari berlari sepanjang satu kilometer, menyusup ke
kebun, dan menerobos pagar berduri rumah penduduk
tanpa sadar. Ada ratusan orang lain berlarian seperti
dirinya. Azhari menemukan sebuah riol tak berair. Lalu
bersembunyi di situ. Ada tiga orang lain melihat
Azhari bersembunyi. Mereka ikut menyusup dekat Azhari.
Suara tembakan masih terdengar. Orang-orang melompati
riol yang disusupi Azhari. Mereka berlarian susul
menyusul. Selesai istirahat untuk sekadar tarik nafas,
Azhari keluar dari riol itu dan kembali lari.
Sudah lebih dari setengah jam ketika tembakan mulai
mereda. Fipin mengeluh ke Imam. Dia mulai limbung
karena dia tak tahan dengan rasa haus. Mereka mencari
minum ke sebuah warung.
Keempat wartawan itu kembali berkumpul. Mereka tak
banyak berbicara. Mereka masih tegang karena masih ada
tentara di situ. Tapi Imam dan Umar tak bisa
menyembunyikan kesedihan mereka. Mata mereka berair.
Menangis.
Di tempat itu tidak ada lagi massa. Lengang sekali.
Yang tersisa di situ hanya para korban yang terkapar
dan keempat wartawan itu. Sepeda kecil, sandal, kayu,
batu, parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh
pemiliknya yang tadi panik berlarian. Mungkin mereka
sudah tewas dan mungkin ada yang selamat. Jerit
kesakitan dari orang-orang yang kena tembak mulai
terdengar sayup-sayup. Tapi suara-suara itu jauh, tak
jelas dari mana saja.
Tentara-tentara datang mendekat. Mereka melakukan
penyisiran, hingga ke persimpangan. Ada yang naik
truk, ada yang jalan kaki. Keempat wartawan RCTI itu
berkumpul di pojok kiri simpang. Mereka belum tahu mau
berbuat apa, karena masih ada tentara yang kalap dekat
mereka.
Mendadak dua tentara bertopi rimba datang mendekati
wartawan dengan berlari. Wajah kedua tentara itu
sangat marah. Entah disengaja atau tidak, moncong
senjata keduanya terarah kepada keempat wartawan itu.
Mereka memaki-maki keempat wartawan yang terdiam itu.
Umar, Raban, dan Imam berdiri, sedang Fipin
berjongkok, melindungi kameranya seperti dia
melindungi bayinya.
Tentara itu berteriak dengan marah kepada
wartawan-wartawan itu, "Ini kan yang kalian inginkan?"
Ia mencecar mereka dengan marah.
Satunya lagi menimpali. "Apa shooting-shooting.
Memangnya kita cover boy?"
Imam berbisik pada Fipin, "Record, Mas." Imam ingin
tentara yang marah itu terekam dalam kamera. Tapi
Fipin tak mengerjakannya. Dia berpikir akan ketahuan
kalau dia merekam sebab lampu merah akan
berkedip-kedip. Ali juga sudah mengingatkan agar dia
menutup kameranya.
Dua tentara itu masih marah-marah, saat komandannya,
seorang perwira berpangkat letnan datang mendekati.
Dia berusaha mendinginkan kedua anak buahnya. "Sudah.
Sudah sana," dia mendorong pergi kedua anak buahnya
itu kembali ke pasukan mereka.
"Hati-hati, Dik. Ada tembakan dari luar," katanya
memperingatkan keempat wartawan itu. Lalu dia pergi
kembali ke pasukannya.
Imam merasa begitu sangat tolol karena sedari tadi tak
segera menyimpan kaset video yang masih tersimpan di
kamera. Imam merasa ajaib bahwa tentara-tentara itu
tak merampas kaset rekaman mereka.
Sepeninggal tentara-tentara itu, Umar dan Imam berlari
ke arah bale-bale. Di sana ada seorang ibu mengerang.
Pinggang kirinya tertembak. Dekatnya seorang anak laki
berseragam sekolah menengah pertama tergeletak. Anak
itu mengaduh kesakitan.
"Tulong Pak," anak itu mengerang.
Satu dua orang mulai berdatangan, mencoba menolong
korban. Imam berteriak, "Pak Umar, telepon ambulans."
Umar juga sedang panik menelepon istrinya di rumah
lewat telepon seluler. Umar menyuruh istrinya
menelepon ambulans dari Palang Merah Indonesia. Di
Lhokseumawe, istri Umar, Rusni, juga berusaha
menelepon Umar karena mendengar ada keributan di
Krueng Geukeuh. Berita peristiwa itu cepat menyebar ke
Lhokseumawe.
Evakuasi korban pertama terjadi pukul 13.05. Yang
datang pertama kali adalah sebuah labi-labi yang
datang dari arah Krueng Geukeuh. Labi-labi itu datang
dengan kecepatan tinggi, menikung dan berhenti. Semula
orang-orang mau mengangkat mayat, tapi Imam
mencegahnya.
"Selamatkan dulu yang masih hidup," katanya. Imam
memimpin evakuasi itu dengan cepat. Syukur orang-orang
di situ menuruti perintahnya.
Selain beberapa labi-labi dari Krueng Geukeuh,
beberapa mobil milik orang dekat lokasi juga
dikerahkan untuk mengangkat korban. Orang sudah mulai
ramai datang ke Simpang Kraft. Korban satu per satu
dievakuasi. Para korban diangkat dari jalan, parit,
sawah, kebun, halaman dan dalam rumah penduduk. Mereka
kritis. Anak-anak dan wanita merintih kesakitan.
Orang-orang mengerubungi mayat anak kecil yang
tertembak kepalanya. Tangannya sudah dilipat ke dada,
seperti seharusnya orang meninggal. Orang-orang di
situ hanya mampu berseru, "Laillahaillah."
Raban masih merekam gambar korban-korban yang
tergeletak di jalan, dan di parit-parit. Saat itu dia
melihat seorang anak kecil di tengah jalan, merangkak
karena kakinya tertembak. Ali mengambil gambarnya.
Tapi dia tak tahan membiarkan anak itu terus merangkak
sementara dia merekam adegan itu. Ali mengambilnya dan
membopong anak itu ke mobil bak terbuka yang dipakai
untuk mengevakuasi korban.
Tak lama datang ambulans. Sirenenya mengaung-aung
serasa menyayat hati orang-orang yang ada di lokasi
penembakan. Di kejauhan puluhan tentara bergerak
perlahan pulang ke markas Arhanud Rudal.
Imam dan Umar turut mengangkat korban. Imam mengangkat
korban ke dalam ambulans. Umar memotretnya. Foto itu
kemudian yang jadi headline di media massa Indonesia.
Di antara orang-orang yang datang menolong, Imam
melihat seorang pria yang seperti sok jagoan. Belum
lagi mengangkat korban, pria itu membuka bajunya dan
melumuri dadanya dengan darah korban. Beberapa pemuda,
sibuk mengumpulkan selongsong peluru yang berserak di
jalan. Mereka datang ke Imam dan Fipin, untuk
memperlihatkannya. Tapi Imam sudah tidak peduli lagi.
Dia masih terbawa emosi. Bahkan dia harus menenangkan
dirinya sendiri.
Di tengah suara sirene ambulans yang mengaung-ngaung,
Imam berbicara di depan kamera. "Pemirsa, jatuhnya
korban di simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari
seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan
lebih dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan
Umar HN melaporkan dari Lhokseumawe."
***
SIANG itu, bagai ada perang besar di Aceh Utara.
Korban-korban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi
ke beberapa rumah sakit dan klinik sekitar Krueng
Geukeuh, Batuphat, dan Lhokseumawe. Mobil-mobil yang
membawa korban lari kencang melintasi jalan antara
Krueng Geukeuh-Lhokseumawe. Sirene mengaung-ngaung,
menarik perhatian orang. Ruang gawat darurat rumah
sakit penuh sesak oleh korban-korban yang kritis.
Mereka harus antre untuk mendapat pertolongan.
Sebagian korban terpaksa dijejer di lantai karena
tempat tidur tak cukup. Kejadian itu mendadak. Para
medis kewalahan.
Keempat wartawan itu berada di rumah sakit PT Arun
LNG. Mereka mengambil gambar dan data korban. Dokter
dan perawat tampak sangat sibuk. Mereka sempat
melarang wartawan mengambil gambar. Tapi Fipin
merekamnya diam-diam.
Di lantai rumah sakit itu, beberapa korban yang sudah
tak bernyawa digeletakkan berjejer di lantai sebuah
ruangan. Darah mengotori lantai dan bau amisnya
tercium sangat kuat, bercampur dengan bau keringat dan
debu yang lengket di tubuh korban. Perempuan,
anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan
kondisi mengenaskan.
Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah
jerit tangis keluarga korban yang mulai berdatangan ke
rumah sakit. Suasana agak kacau.
Para wartawan itu mulai merasa ada kenal satu per satu
dengan korban. Ali terpaku, saat melihat anak kecil
yang kepalanya bolong itu, ternyata yang tadi memberi
air padanya. Imam baru tahu, kalau ibu yang tadi
tergeletak di gardu, ternyata kena tembak ginjalnya.
Padahal baru beberapa jam lalu si ibu masih tertawa
gembira, bersorak-sorak bersama massa. Imam lagi-lagi
mengangis melihat itu.
Keluar dari rumah sakit, mereka berhenti di masjid
Batu Phat. Istirahat sekalian makan nasi bungkus.
Mereka sudah sangat lemas. Imam menelepon RCTI
Jakarta. Beritanya cuma satu. "Ada kejadian mirip
Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up.
Aku akan segera mengirim materinya. Tapi situasi
sangat berbahaya."
Santa Cruz adalah nama sebuah kuburan di Dili, Timor
Timur, di mana pada 12 November 1991, pasukan
Indonesia menembaki orang-orang Timor yang
berdemonstrasi di pemakaman itu, memperingati empat
puluh hari terbunuhnya seorang aktifis pro
kemerdekaan.
Imam merasa ada bahaya yang menunggunya. Dia
menyempatkan menelepon seorang temannya untuk memberi
kabar ke istrinya. Dia ingin istrinya tahu bahwa
keadaannya baik-baik saja.
Salah seorang anggota redaksi RCTI mengingatkan Imam,
"Kau harus segera pergi dari Lhokseumawe."
Mereka merasa harus segera mengamankan kaset rekaman
Fipin dan Raban. Sebab itu merupakan gambar yang
ekslusif yang pasti jadi incaran militer. Umar
kemudian menitipkan kaset rekaman mereka ke salah
seorang saudaranya.
Imam terus bergerak mencari data korban ke rumah sakit
Cut Mutia di Lhokseumawe. Di sana situasinya lebih
dahsyat. Korban lebih banyak. Hampir tak bisa
tertampung. Mereka ditidurkan di lantai lorong rumah
sakit. Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara
Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah
sakit Cut Mutia, justru sunyi. Pintu pagarnya tertutup
dan tampak beberapa pasukan marinir berjaga di gardu.
Azhari masih sedikit tegang ketika dia tiba di
Lhokseumawe pukul tiga siang. Dia tadi menumpang
sebuah mobil sedan yang hendak ke Lhokseumawe. Dia
mendatangi rumah sakit Cut Mutia untuk mencari data
korban. Berita pertamanya di Antara telah naik. Berita
itu berjudul, "Tentara Membubarkan Demonstran di
Simpang Kraft dengan Tembakan." Azhari menyebutkan,
belasan orang meninggal dan puluhan lain luka-luka.
Hingga malam, Azhari masih bekerja sendiri di
kantornya. Dia melaporkan jumlah korban yang terus
bertambah. Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya
tewas dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa
penembakan tadi siang.
Azhari seperti orang linglung setelah kerja maraton,
mencari data berulang-ulang ke rumah sakit. Dia
tersentak ketika kepala biro Antara Banda Aceh
menelepon menanyakan foto peristiwa itu. Di situ baru
disadarinya, ternyata tustelnya masih tersimpan di tas
yang masih menggantung di pinggangnya. Dia bahkan lupa
memotret korban di rumah sakit.
Malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam. Hanya
suara sirene ambulans terdengar sampai pukul 10 malam.
Jalanan sepi. Tak ada mobilitas tentara. Markas polisi
dan tentara di Lhokseumawe dijaga ketat aparat
keamanan. Keramaian malam itu terkonsentrasi di rumah
sakit. Keluarga korban dan orang-orang terus
berdatangan, untuk menyumbangkan darah, memberikan
bantuan uang, atau sekadar menunjukkan rasa simpati.
Persediaan darah di palang merah kosong. Hingga tengah
malam, dokter dan paramedis masih melakukan operasi
mengeluarkan butir-butir peluru dari tubuh korban yang
kritis.
Orang-orang di Lhokseumawe terus menunggu perkembangan
berita. Mereka menunggunya di televisi dan radio.
Berita pertama muncul di acara Seputar Indonesia RCTI
pukul 18.30. Peristiwa itu muncul sebagai headline.
Redaksi RCTI melakukan telewicara dengan Komandan
Korem 011/Lilawangsa Kolonel Jhonny Wahab dan juga
laporan telepon dari Imam Wahyudi langsung dari
Lhokseumawe. Sampai di situ para petinggi militer di
Lhokseumawe belum mengetahui bahwa ada wartawan RCTI
jadi saksi mata peristiwa itu.
Malam itu banyak orang di Lhokseumawe menonton siaran
RCTI. Mereka kembali mendengar berita tentang
penembakan orang-orang di Simpang Kraft. Pukul 21.00
RCTI dan semua stasiun televisi merelai siaran Dunia
Dalam Berita milik TVRI. Isi berita itu ditekankan
pada pernyataan resmi militer Indonesia. Juru bicara
militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan
tentara terpaksa menembak karena massa hendak
menyerang markas Arhanud Rudal, sehingga mereka
bentrok dengan tentara yang berjaga.
Orang-orang yang menonton berita itu melalui RCTI
marah. Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita
bohong. Tak ada satu pun orang yang menyerang Arhanud
Rudal. Mereka tidak mengerti, kalau sebenarnya itu
berita TVRI.
Kegusaran orang itu tidak diketahui Imam, Umar dan
Fipin. Malam itu, mereka sedang menikmati ikan
panggang di pantai Ujung Blang.
Pukul 22.00 kaset rekaman yang berharga itu dikirim
melalui bus ke Medan untuk dikargokan dengan pesawat
ke Jakarta. Imam menitipkan kaset yang direkam Fipin.
Ada tiga kaset dengan alamat yang berbeda yang dikirim
Umar. Satu untuk RCTI, satu untuk Associated Press dan
satu untuk Reuters. Umar menggandakan rekaman milik
Ali untuk dikirimnya ke dua kantor berita
internasional. Ali sempat protes.
***
SELASA 4 Mei 1999 pukul 06.00 berita Nuansa Pagi RCTI
kembali menyiarkan laporan langsung Imam dari
Lhokseumawe. Wawancara telepon dengan Kolonel Jhonny
Wahab juga dimunculkan. Jhonny Wahab mengatakan
tentara bertindak sesuai prosedur dalam peristiwa
Simpang Kraft siang kemarin.
Umar tergopoh-gopoh datang bersama Ali ke hotel. Dia
mengabarkan kepada Imam dan Fipin, bahwa orang-orang
di Lhokseumawe marah pada RCTI karena pemberitaan
semalam.
Ketika mereka berada di rumah sakit Cut Mutia semua
itu jadi jelas. Imam merasa dr. Mulya Hasjmy, pemimpin
rumah sakit, tak bebas bicara ketika Imam
mewawancarainya. Ada yang mengikuti mereka sejak di
rumah sakit. Seorang pemuda bertopi taliban.
Pemuda itu terus mengekor keempat wartawan itu. Di
pelataran rumah sakit, Imam dicerca seorang aktivis
mahasiswi yang membuka pos kemanusiaan.
"RCTI pembohong," tuding gadis berjilbab itu.
Orang-orang mulai mengerubungi Imam. Imam seperti
dikeroyok, oleh si gadis, pemuda bertopi taliban, dan
seorang bapak. Umar, Raban, dan Fipin berdiri memisah,
menonton Imam yang mulai dikecam dengan berbagai
tudingan.
"RCTI pembohong," kata bapak itu.
"Itu bukan kami, itu TVRI," kata Imam.
"Kalau begitu saya mau diwawancara."
"Wawancara soal apa?" tanya Imam.
"Soal Simpang Kraft."
"Kemarin Bapak di mana? Saya ada di sana. Tidak perlu
mewawancarai Bapak. Saya tahu kejadiannya."
"Ya, tapi berita RCTI itu bohong."
"Itu bukan berita kami. Berita kami menyebutkan berapa
korbannya. Saya punya data dari rumah sakit," sahut
Imam.
"Kalau begitu saya mau diwawancara soal Aceh," bapak
itu masih berkeras juga.
"Kalau soal Aceh, kalau saya wawancara bapak, saya
punya kewajiban untuk mewawancarai pihak lain yang
menjadi lawan bapak. Mungkin ini militer," kata Imam
lagi.
"Ya, tapi RCTI ....."
Imam cepat memotong, "Begini Pak. Saya menghadapi
situasi seperti ini bukan yang pertama. Sebelumnya
saya sudah mengalami kejadian serupa, termasuk di
Timor Timur. Bapak tahu Timor Timur? Di sana orangnya
Kristen. Tapi di sana saya memberitakan apa adanya.
Kemudian saya menjadi tidak disukai oleh kalangan
militer, saya tempuh risiko itu. Itu orang Kristen,
Pak. Ini Aceh, Islam. Saya Islam."
"Ya tapi kan berita itu bohong. Tidak perlu takut."
"Pak, saya kasih tahu. Bahwa wartawan itu harus
berpijak pada kebenaran, pada apa yang terjadi. Apa
yang terjadi itulah kebenaran. Dan bagi saya
menyuarakan kebenaran itu jihad," Imam berkata sambil
mendorong telunjuknya ke dada bapak itu. Orang-orang
yang semula mencecar Imam terdiam.
Kebanyakan keluarga korban yang memenuhi rumah sakit
bereaksi keras terhadap media. Tidak hanya televisi
tapi juga koran yang terbit pagi itu. Mereka protes
karena menganggap jumlah korban lebih banyak dari yang
diberitakan media. Tak semua korban tewas dibawa ke
rumah sakit. Beberapa anggota keluarga yang tewas ada
yang membawa pulang langsung mayat karena ketakutan.
Jumlah korban masih simpang siur. Berbagai versi
berkembang, baik di Simpang Kraft, maupun di rumah
sakit. Bahkan para mahasiswa yang membuka pos
kemanusiaan, mengklaim jumlah yang tewas sampai
seratus orang. Tapi data lengkap dari tim pencari
fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan
sepuluh orang hilang.
Sempat muncul rasa tidak senang terhadap wartawan,
sehingga siapa pun wartawan yang datang ke rumah
sakit, diperiksa identitasnya dengan ketat. Sejumlah
wartawan dari Jakarta, sudah berdatangan ke
Lhokseumawe untuk meliput peristiwa penembakan Simpang
Kraft. Umar sempat berdebat dengan beberapa orang yang
mencurigai seorang wartawan radio lokal. "Itu wartawan
juga. Saya kenal mereka," katanya.
Azhari dan seorang temannya yang juga wartawan lokal,
baru sampai di ruang gawat darurat dan sedang mencatat
data korban, saat dua pria menghampirinya. Salah
satunya, seorang pria bertubuh tinggi, berkulit hitam
dan memakai jaket panjang hingga ke mata kaki. Dia
mengintrograsi Azhari. "Dari mana?"
"Wartawan Antara."
"Coba tulis sedikit," dia menyodorkan kertas ke
Azhari.
"Abang dari mana kok tanya identitas saya?" Azhari
mengira orang itu intel polisi.
"Saya dari Angkatan Aceh Merdeka," lelaki itu menyibak
belahan jaketnya. Tampak senjata laras panjang jenis
AK 47 yang gagangnya terlipat.
Azhari sempat terpelongo karena baru kali itu dia
melihat ada orang dari Aceh Merdeka. Azhari merasa
perlu bicara baik-baik dengan mereka. Di koridor rumah
sakit belasan laki-laki lainnya datang mendekat. Pria
dari Aceh Merdeka itu marah. "Wartawan kenapa buat
berita begini. Orang yang mati banyak sekali, kenapa
ditulis cuma 20?"
"Begini, Teungku. Jangan salahkan wartawan, data ini
dari rumah sakit."
"Enggak, korban banyak lebih dari 40 orang."
"Oke, sekarang kita buat perjanjian. Kami menulis apa
adanya. Sebab seandainya kami menulis lebih, orang
bisa menuntut kami. Kami enggak punya apa-apa. Gaji
kami tak seberapa. Kami hanya mengabdi untuk
masyarakat," Azhari melawan argumentasi orang-orang
itu.
Umar sendiri panik ketika istrinya melaporkan sambil
menangis bahwa ada beberapa orang yang terus menelepon
ke rumah mereka sejak siang. Orang itu mengancam akan
membakar rumah, karena Umar dianggap membuat berita
bohong di RCTI. Umar resah dan dia sampai terpikir
untuk membuat selebaran bahwa RCTI bukan TVRI.
Rasa tidak aman setelah peristiwa itu dirasakan oleh
keempat wartawan RCTI tersebut. Orang dari Korem
Lilawangsa berkali-kali menelepon Umar, ingin bertemu
Imam Wahyudi untuk minta rekaman gambar peristiwa.
"Dia sudah pulang ke Jakarta dan terus ke Singapura
untuk berlibur," Umar berbohong.
Ray Wijaya, produser Seputar Indonesia di Jakarta
berkali-kali mengingatkan Imam, "Kau harus segera
pergi dari situ." Sore itu juga, Imam dan Fipin
berangkat ke Banda Aceh dengan bus. Mereka berusaha
menyamarkan atribut RCTI agar orang-orang tidak tahu
keberadaan mereka.
Di kantornya Azhari mulai menerima telepon-telepon
misterius dengan nada mengancam dirinya. Tidak jelas
siapa mereka. Azhari selalu berangkat tidur dengan
rasa takut yang tinggi. Sehingga dia terpaksa minta
seorang saudaranya menemaninya.
Rabu, 5 Mei 1999, setelah mencapai Jakarta, gambar
video penembakan orang-orang sipil di Simpang Kraft
muncul di televisi-televisi nasional. Itu gambar Ali
Raban yang disiarkan Reuters ke pelanggannya di
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pemandangan saat
ratusan orang berhamburan dengan panik saat tentara
menembak sungguh membangkitkan emosi siapa saja yang
menontonnya. Tragedi ini kemudian lebih dikenal
sebagai Peristiwa Simpang Kraft.
RCTI ketinggalan satu setengah jam dari berita pukul
17.00 di Anteve yang menyiarkan gambar Reuters. Gambar
Fipin Kurniawan naik pada siaran berita Seputar
Indonesia pukul 18.30. Imam dan Fipin kecapekan di
Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana sebuah drama
berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari
Aceh. Peristiwa Simpang Kraft sudah diberitakan.
Sisanya sejarah.
***
Epilog
Pascaperistiwa itu Imam Wahyudi mengalami trauma.
Hampir setahun dia merasa dikejar-kejar bayangan
orang-orang yang ditembak di depan matanya. Setiap
datang ke Lhokseumawe, Imam menyempatkan diri datang
ke Simpang Kraft. Di situ, dia bisa lama menghabiskan
waktunya, duduk, berdiri, diam, seakan hendak
mengulang kembali semua yang dilihat dan dirasakannya
ketika peristiwa itu berlangsung.
Imam tak pernah bisa menyembunyikan emosinya ketika
menceritakan peristiwa penembakan itu kepada saya
dalam dua kali pertemuan bersama Fipin Kurniawan di
Jakarta pada November 2001. Saat saya menonton rekaman
video Simpang Kraft, mulanya Imam menemani saya di
ruang editing. Tapi ketika layar monitor mulai
memperlihatkan gambar-gambar penembakan itu, Imam
menghilang keluar ruangan tanpa saya ketahui.
Fipin Kurniawan mendapat IJTI Award dari Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia sebagai kamerawan terbaik
pada 1999. Ali Raban kurang beruntung tak mendapatkan
penghargaan walau Ali lebih berhasil merekam dalam
adegan penembakan. Ali merasa kecewa.
Ali Raban dan Umar HN telah pecah kongsi. Ali jadi
kamerawan Metro TV Lhokseumawe. Umar jadi koresponden
Lativi. Saya mewawancarai mereka secara terpisah di
Lhokseumawe pada Desember 2001.
Umar dan Ali Raban sering mengalami intimidasi bahkan
kekerasan oleh aparat keamanan Indonesia ketika
meliput di lapangan. Tak mudah jadi wartawan di Aceh.
Sangat tidak mudah. Umar berkali-kali minta saya agar
menulis cerita ini secara hati-hati. Dia dan
keluarganya tak mau diteror lagi.
Simpang Kraft masih seperti tiga tahun lalu. Bale-bale
di sudut kiri simpang masih berdiri. Toko dan warung
berdinding papan, yang berdiri di sepanjang kiri kanan
simpang, masih membuka usahanya. Tanah kosong di
samping warung belum berubah fungsi. Dulu di sana ada
sebuah rumah panggung sederhana. Tapi sudah dibongkar
si empunya rumah, setelah anak gadisnya turut tewas
dalam penembakan. Gadis malang itu, baru pulang
sekolah, dan hendak menukar baju di kamarnya, ketika
mendadak peluru nyasar menembus dinding rumah dan
menerjang tubuh si gadis.
Pada suatu siang berudara mendung Januari lalu, saya
duduk persis menghadap Simpang Kraft. Di bawah pohon
rindang, saya bersama Muhajir, anak muda yang jadi
pemandu saya. Mei berdarah itu Muhajir masih murid
sekolah menengah. Dia baru pulang ujian ketika ikut
membaur dengan ribuan orang di Simpang Kraft. Ketika
tentara menembak, Muhajir tiarap bersama ribuan orang.
Beberapa kawan baiknya tewas dan luka-luka. Muhajir
yang menemani saya mewawancara orang-orang kampung dan
beberapa korban yang dikenalnya.
Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit
dan komandan di institusi militer setempat
dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit
Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah
baru. Orang-orang militer yang bertanggung jawab dalam
peristiwa itu, entah di mana kini bertugas. Mereka tak
tersentuh hukum. Tapi Sersan Dua Aditia juga tak
ketahuan rimbanya. Dia dinyatakan hilang.
Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan
Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi
massa. Tentara menembak karena ada tembakan yang
ditujukan kepada mereka. Peristiwa itu bermula ketika
muncul tembakan ke arah massa dari sebuah bukit kecil
di kiri jalan. Akibatnya, sebagian massa lari ke arah
aparat untuk mencari perlindungan. Suasana kacau dan
memanas. Di tengah kerumunan massa yang mulai panik,
tentara melihat ada orang yang membawa senjata AK 47,
yang umum dipakai GAM. Orang ini melepaskan tembakan
ke arah tentara.
Karena diserang, tentara membalas tembakan yang
ditujukan ke tengah massa. Maka terjadilah korban.
Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai
prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi
massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal.
Berbahaya jika terjadi penyerangan karena markas itu
menyimpan senjata berat dan amunisi termasuk peluru
kendali. Jika meledak, akan terjadi bencana besar yang
memakan korban dalam radius lima kilometer dari
markas.
Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin, saya jumpai
seminggu sebelum keberangkatannya ke tanah suci Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji. "Tembakan pertama itu
datang dari pasukan Arhanud Rudal yang berdiri dekat
pohon asam. Mungkin mereka panik karena dilempari batu
oleh massa," kata Marzuki. Marzuki selamat, karena dia
berlindung di balik sebuah pohon. Pohon itu berlubang
sembilan dihantam peluru tentara.
Marzuki bertemu Faisal, si koordinator lapangan, di
ruang gawat darurat rumah sakit PT Arun LNG. Mereka
sama-sama dalam pengobatan. Faisal tertembak kakinya.
"Di situ Faisal memperlihatkan pada saya segenggam
peluru yang ternyata disimpan dalam kantong jaketnya,"
kata Marzuki. Kepada Marzuki, Faisal mengaku dari
Gerakan Aceh Merdeka. Faisal menghilang dari rumah
sakit sebelum orang-orang mendatanya. Selang beberapa
bulan, Faisal menemui Marzuki di kantornya. Faisal
minta maaf kepada Marzuki. Sejak itu Marzuki tak
pernah lagi melihat Faisal.
Kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam oleh
berbagai kasus kekerasan lain yang terus bermunculan
di Aceh selama tiga tahun terakhir. Kasus pembantaian
itu rupanya bukan akhir dari cerita sedih yang menimpa
orang Aceh. Tak lama, giliran Teungku Bantaqiah,
seorang ulama di Beutong Ateuh, sebuah wilayah
pegunungan terpencil di Aceh Barat, ditembak mati
tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999.
Walau banyak yang tak puas, 24 prajurit lapangan yang
terlibat dalam kasus Bataqiah akhirnya dihukum.
Hampir tiga tahun lebih para korban Peristiwa Simpang
Kraft mencari keadilan. Koalisi NGO HAM Aceh adalah
organisasi nonpemerintah di Banda Aceh yang selama ini
berupaya melakukan advokasi terhadap para korban.
Upaya hukum pertama dilakukan pada September 1999
bersama Lembaga Studi Advokasi Masyarakat Jakarta.
Mereka mendaftarkan gugatan perdata terhadap Presiden,
Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Panglima Kodam Bukit
Barisan, Komandan Korem Lilawangsa, dan Komandan Kodim
Aceh Utara, dengan tuntutan Rp 83 miliar. Peradilan
itu belum pernah berlangsung karena pengadilan Banda
Aceh beralasan ketiadaan hakim setelah hampir seluruh
perangkat hukum di Aceh lumpuh total.
Sejak Januari 2002, sidang gugatan perdata Peristiwa
Simpang Kraft berlangsung di pengadilan Jakarta Pusat.
"Ini bukan masalah uang, tapi lebih dari upaya kita
untuk memberikan keadilan untuk para korban. Tapi
sayang, pemerintah tampaknya tidak serius menegakkan
keadilan untuk rakyat Aceh," kata ketua Koalisi NGO
HAM Aceh Maimul Fidar.
"Sebenarnya para korban sudah pesimis untuk mencari
keadilan. Selain itu mereka juga takut karena jika
memberi kesaksian akan ada tekanan dari pihak-pihak
yang terlibat dalam kasus itu," kata Maimul Fidar.
Rasa curiga itulah yang saya tangkap pada seorang anak
muda. Dia teman Muhajir. Kami menemuinya sedang duduk
bersama sejumlah anak muda lain di sebuah warung rokok
tak jauh dari Simpang Kraft. Kata Muhajir, anak muda
itu ikut tertembak. Ajaib dia selamat, padahal
sejumlah peluru bersarang di punggungnya. Tapi dia
menolak bicara dengan saya. "Kami sudah terlalu banyak
bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan
wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak
kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang
Aceh."
Saya terpaku dan tak banyak berkata. Saya bahkan tak
sempat menanyakan namanya, karena secara halus dia
mengusir saya pergi. ***
Browse: Home > Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft
Senin, 07 Februari 2011
Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft
Label: Sastrawi
0 Comments:
Posting Komentar