Sipirok ,  tempat penelitian ini dilakukan, terletak di bagian selatan  dari Provinsi Sumatra Utara, sebuah kota kecil di cekungan Bukit Barisan  yang membentuk sebuah kuali besar.  Matahari selalu terlambat terbit di  kota kecil itu, karena cahayanya terhalang punggung Gunung Sibualbuali  yang memiliki ketinggian 4.500 meter dari permukaan laut.  Inilah gunung  terakhir dalam jejeran Bukit Barisan yang memanjang di Pulau Sumatra  bagian Utara. 
Pada pagi, sebelum matahari muncul, kabut tebal merangkak turun dari  lereng-lereng gunung itu, ditiup oleh angin yang berembus dari sebelah  Barat. Dari puncak Gunung Sibualbuali, menatap ke sebelah Barat, akan  tampak bentangan hutan kawasan yang menghijau sejauh mata memandang  sampai menghilang di pesisir Barat. Jika sore tiba, meski hari  sebetulnya masih sekitar pukul 17. 00 Wib, segalanya tampak meremang.  Matahari cepat sekali tenggelam, meninggalkan berkas-berkas cahaya warna  senja yang membuat puncak-puncak bukit barisan itu seperti menyala. 
Kabut tebal itu terkadang bertahan di permukaan jalan raya, membuat  jarak pandang para pengemudi sangat pendek, dan mesti ekstra hati-hati  melintasi jalur dengan kelokan dan patahan yang tajam. Kabut itu  meninggalkan udara dingin yang memaksa para penghuninya membungkus diri  rapat-rapat dalam kain sarung hingga menutupi kepala. Mereka berjalan  dan beraktivitas dengan tubuh terbungkus kain sarung, sehingga kain  sarung mengandung banyak makna filosofi bagi masyarakatnya --- baca bab  tentang Halak Sipirok dan Kearifan Kain Sarung.  
Dengan tubuh dibalut kain sarung sampai kepala, masyarakat mulai keluar  rumah untuk menjalankan aktivitasnya yang paling umum ketika hari masih  gelap. Kaum bapak akan berangkat ke masjid untuk menyalakan tape  recorder, memutar kaset mengaji, dan menggemakan asmah-asmah Allah itu  lewat corong-corong mikrofon yang ada di menara-menara setiap masjid.  Kabut tebal, udara dingin, dan lantunan ayat-ayat Alquran menggema dari  corong-corong mikrofon yang ada pada setiap masjid di kota itu, menjadi  hal yang paling umum—baca bab tentang Masojid, Geliat Pagi, dan Gema Mikrofon. 
Gema ayat-ayat Alquran itu memenuhi ruang-ruang udara yang ada, membuat  suasana kota menjadi riuh, dan setiap penduduknya akan terbangun untuk  segera keluar rumah menjalankan ibadah sholat Subuh berjamaah. Sehabis  ibadah Subuh, tak seperti kaum perempuan yang langsung ke rumah untuk  menanak nasi dan mengurus anak-anak, kaum laki-laki akan mendatangi lopo  (warung) kopi di lingkungan mereka. Lopo kopi bagi masyarakat bukan  sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi--karena secangkir kopi  bisa didapat di rumah--tetapi sebuah arena untuk berdiskusi tentang  persoalan-persoalan krusial yang terjadi di lingkungannya. Tidak jarang  mereka membicarakan situasi politik dalam negeri, yang sering berakhir  menjadi acara saling mengejek di antara mereka dalam semangat  bergurau—baca bab tentang Lopo, Kombur, dan Masyarakat Lisan.
Kain-kain sarung itu baru dilepas dan dibelitkan di pinggang manakala  cahaya matahari mulai menusuk gumpalan kabut, membentuk batang-batang  cahaya yang terang. Bersamaan dengan itu, dari hutan-hutan di Gunung  Siabualbuali akan terdengar raung Siamang sahut-bersahutan. Ada tiga  kelompok siamang, masing-masing kelompok memiliki daerah territorial,  dan setiap ketua kelompok siamang merupakan pemimpin kelompok yang akan  meraung member tahu kelompok lain mengenai keberadaan mereka. Tapi, bagi  masyarakat kota suara Siamang adalah sebuah isyarat yang selalu dibaca  sebagai jadwal untuk memulai aktivitas mencari nafkah: sebagai petani,  pedagang, penderes nira aren, buruh, penarik becak, pegawai negeri  sipil, pengawai swasta, buruh tani, tukang kayu, pengrajin, datu  (dukun), ustad, guru, dan lain sebagainya. 
Selalu sekitar pukul 8.00, desa-desa di Sipirok akan terlihat sepi: para  orang tua berangkat bekerja, anak-anak pergi sekolah. Bukan cuma pada  Siamang, masyarakat juga sangat perduli dengan hal-hal berbau mistis  terkait gejala-gejala alam semesta. Berbagai aktivitas kehidupan,  sekalipun mereka sudah hidup di era modern dengan penguasaan terhadap  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sama seperti  daerah-daerah lain, kesadaran mistis mereka tetap bertahan. Dalam hal  menjemur padi hasil panen, masyarakat sangat percaya bahwa cabai merah  yang diletakkan di atas padi yang sedang dijemur mampu menjaga matahari  untuk tetap menyala —baca bab tentang Mistik, dari Begu Ganjang sampai Sirungguk. 
Dengan Ibu kota Kelurahan Pasar Sipirok, kota ini memiliki luas 577,18  km per segi dan dihuni 30.554 jiwa yang tinggal di 100 desa. Tingkat  kepadatan penduduk 52,94 meter per segi. Komposisi penduduk dominan  (90%) merupakan halak (orang) Batak dari sub etnik Angkola, Mandailing,  Toba, Simalungun, dan Karo. Sebanyak 10% merupakan masyarakat keturunan  Padang, mereka biasa disebut halak (orang) Daret. Setiap masyarakat  memiliki kegiatan komersial yang khas. Halak Batak dari sub-etnik  Angkola, merupakan warga dominan dan pembuka kampong yang disebut  panusunan bulung, mengandalkan sektor pertanian berupa budidaya padi.  Budidaya padi baru dilakukan masyarakat sekitar akhir abad ke-19 setelah  pengaruh Pemerintah Hindia Belanda masuk, dan awalnya bukan kegiatan  komersial melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 
Di kota ini sebagain besar lahan pesawahan merupakan lahan tadah hujan.  Masyarakat mengelola lahan-lahan sawahnya hanya sekali dalam setahun,  sedang total lahan yang dikuasai masyarakat sangat sedikit, tak sampai  satu hectare per keluarga. Sebagian besar lahan yang ada merupakan lahan  keluarga, warisan-warisan keluarga yang sudah dibagi-bagi oleh para  ahliwarisnya. Para ahli waris yang sebagian besar tidak tinggal lagi di  kota itu, memberikan hak kelola atas lahan miliki kepada orang  lain—lebih banyak terhadap orang yang tidak ada kaitannya dengan ikatan  persaudaraan sedarah—dengan system bagi hasil—baca bab tentang Hak Waris dan Perpecahan Keluarga (Paulak Sondukki).
Pada awalnya, kegiatan komersil masyarakat di kota ini berupa budidaya  tanaman keras seperti cengekih, kopi, kulit manis, dan hasil-hasil hutan  seperti rotan, meranti, dan lain sebagainya. Setiap keluarga memiliki  perkebunan dengan luas paling minimal 5 hektare. Perkebunan-perkebunan  itu dikelola dengan sistem tanam heterogen—segala jenis tanaman budidaya  ditanami--meskipun selalu ada tanaman budidaya yang menjadi pilihan  dominan. Selain cengkih, kopi juga menjadi pilihan utama masyarakat. 
Sebab itu, pada decade 1920-an, Kota Sipirok dikenal sebagai kota  penghasil cengkih dan kopi. Produksi cengkih dari kota ini dijual kepada  para pedagang pengumpul yang datang dari berbagai pelosok, terutama  pada hari Kamis, saat berlangsung pasar pekanan. Sebagian besar  cengkih-cengkih itu dibawa ke Sibolga, membuat kota pelabuhan di pesisir  batar Provinsi Sumatra Utara itu menjadi kota dagang yang selalu ramai.  Popularitas cengkih membuat kota ini tumbuh pesat dan penduduknya  identik sebagai penduduk yang kaya raya. Ditambah hasil kopi yang tidak  sedikit, secara ekonomi tingkat kesejahteraan masyarakat kota ini lebih  bagus dibandingkan masyarakat dari kota-kota lain di sekitarnya. Inilah  alasan logis kenapa dari kota ini bisa melahirkan banyak generasi yang  bisa duduk di posisi tertinggi birokrasi pemerintahan Negara seperti  menteri: Arifin M. Siregar (dari Desa Simaninggir), Bismar Siregar (dari  Desa Baringin), H.M. Ritonga (dari Desa Paranjulu), Hasjrul M. Harahap  (dari Desa Bunga Bondar), Lapran Pane (pendiri HMI dari Desa  Pangurabaan),  dan lain sebagainya —baca bab tentang Mangaratto, Sekolah, dan Jangan jadi Oto.
Masyarakat dari luar kota ini menyebut masyarakat Kota Sipirok sebagai  masyarakat sombong karena memiliki kualitas perekonomian yang lebih  baik. Hal itu menyebabkan mereka merasa memiliki nilai lebih  dibandingkan masyarakat lain. Ciri yang paling khas dari masyarakat kota  ini, setiap kali berada di kota lain, selalu mengedepankan berbahasa  Melayu. Para perantau dari Sipirok sering tak mau berbahasa Batak.  Mereka seakan-akan tidak mengerti bahasa Batak, sehingga banyak yang  mengejek perilaku dan mentalitas kultural masyarakat Kota Sipirok dengan  syair: 
Sipirok banggo-banggo
Halak Sipirok inda taranggo
Ejekan ini berarti halak Sipirok tak memiliki bekas sebagai orang Batak  setiap kali berada di luar daerahnya. Tafsir lain menyebutkan, ejekan  itu sebuah penegasiaan tas keberadaan halak Sipirok di kota-kota lain,  karena mereka sendiri mengaburkan asal kotanya.
Halak Sipirok memiliki tradisi khas yakni merantau (mangaratto). Hasil  cengkih dan kopi menyebabkan halak Sipirok  menjadi lebih sejahtera,  sehingga mereka memiliki cukup banyak uang untuk mewujudkan tiga hal  yang menjadi filosofi hidup masyarakat Batak dari sub-budaya Angkola  ini: hamoraon (kehormatan), hagabeon (kesehatan), hasangapon (kekayaan).  Untuk mencapai tiga hal itu, masyarakat akan melakukan apa saja,  termasuk memamerkan kemampuan ekonominya kepada orang lain. Sebab itu,  ada tradisi lain dari masyarakat yang disebut tu doli. Awalnya kata doli  mengacu pada kata Deli, yakni sebutan lain dari Tanah Deli atau  Deliserdang atau Kota Medan. Mereka yang sering berangkat ke doli, hanya  bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki uang. Di doli, mereka tak  melakukan banyak hal, hanya berbelanja dan pulang membawa banyak  oleh-oleh untuk dibagikan kepada tetangga. Setiap kali seseorang pulang  dari doli, biasanya para tetangga akan menyambut dan mengerubukinya agar  kebagian oleh-oleh, meskipun hanya sepotong dodol—baca bab tentang Tu Doli, Tradisi Pamer Ekonomi.
Kelurahan Pasar Sipirok merupakan pusat segala dinamika penduduk kota.  Sebagai pasar, sebagian besar bangunan di kelurahan ini merupakan  perumahan toko berlantai dua. Dibangun pascabencana kebakaran pada tahun  1988, di masa Gubernur Raja Inal Siregar, putra asli dari Kelurahan  Bunga Bondar, salah satu desa di Sipirok. Awalnya, rumah-rumah di  kelurahan ini merupakan bangunan dari kayu bergaya arsitektur khas rumah  masyarakat Melayu dengan lantai yang ditinggikan, dan dibangun sekitar  dekade 1950-an dan 1960-an. Disamping sebagai tempat tinggal,  rumah-rumah ini berfungsi sebagai toko. Bagian depan rumah disekat untuk  memajang berbagai jenis barang dagangan, sedangkan bagian belakang  merupakan tempat tinggal.  
Sebagian besar penduduk di Kelurahan Pasar Sipirok bekerja sebagai  pedagang, terutama dagang kelontongan, berbagai jenis sembilan bahan  pokok, rumah makan, dan lain sebagainya. Para pedagang ini dominan  merupakan profesi halak  Daret, meskipun ada juga halak Batak yang  memilih profesi ini. Tapi, jumlah halak  Batak yang berdagang jauh lebih  sedikit dibandingkan orang Daret. Sebab itu, orang Daret identik  sebagai pedagang. Sejarah kehadiran mereka di Sipirok, diawali dari  keinginan para leluhur orang Daret untuk berdagang—baca bab tentang Halak Daret, Ditarik Magnet Ekonomi.
Karena semua rumah di Kelurahan Pasar Sipirok merupakan rumah toko, maka  geliat perekonomian di pasar ini mulai terasa sejak Subuh. Tapi  geliatnya sebagai pasar makin hebat setiap hari Kamis. Pada hari Kamis,  Kelurahan Pasar Sipirok akan menjelma sebagai hypermarket tradisional,  dimana seluruh warga Sipirok dari 100 desa akan berkumpul di pasar ini.  Sebagian besar dari mereka datang membawa berbagai jenis hasil pertanian  dan perkebunan untuk dijual, kemudian hasil penjualan akan dibelanjakan  membeli berbagai kebutuhan hidup untuk satu pekan ke depan, terutama  barang-barang yang tidak bisa mereka dapatkan di desa masing-masing  seperti ikan laut. 
Karena seluruh warga Sipirok berkumpul, pedagang dari berbagai kota juga  berkumpul, membuka lapak-lapak di pinggir jalan dan di kawasan tanah  lapang yang dipersiapkan untuk menampung mereka. Kelurahan Pasar Sipirok  akan menjadi sesak setiap hari Kamis, keriuhan para pedagang menjajakan  berbagai jenis dagangannya menjadi pemandangan yang khas. Tapi kemudian  semua kembali pada kondisi semula, tenang dan nyaman, pada malam hari.  Hanya sisa sampah yang tertinggal.
Pada empat sisinya, Sipirok dikelilingi oleh bukit barisan yang  merupakan kawasan hutan lindung. Di sisi Selatan, membentang ribuan  hektare hutan tanam industri barang-barang ya nberupa pohon pinus dan  kayu putih. Ini kawasan reboisasi yang dihijaukan secara  bergotong-royong oleh masyarakat Sipirok bersama Departemen Kehutanan  pada decade 1950-an dengan bibit sumbangan dari PT Toba Pulp, pabrik  bubur kertas di kawasan Siborong-Borong, di sekitar areal Danau Toba.  Kawasan hutan pinus ini menjadi sabuk hijau yang senantiasa mampu  menjaga kesegaran dan keasrian iklim di Sipirok, meskipun pada awal  reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menebanginya untuk  membangun kompleks Markas Brigadir Mobil Polres Tapanuli Selatan—baca  bab tentang Gotong Royong: dari Ubi Tumbuk sampai Sambal Tuktuk.
Kebijakan Departemen Kehutanan mengizinkan penebangan hutan-hutan pinus  oleh Polri, dicontoh oleh masyarakat sekitar yang merasa memiliki hak  atas lahan-lahan areal kawasan hutan. Pada decade 1950-an dan 1960-an,  sebelum berubaha menjadi kawasan hutan negara, lahan-lahan tersebut  merupakan tanah-tanah adat yang disumbangkan masyarakat karena  pemerintah pusat menginginkannya. Sebagai ungkapan kesediaan masyarakat  untuk memberikan hak atas tanah adatnya untuk ditanami pinus dan kayu  putih, masyarakat Sipirok bergotong-royong menanam bibit-bibit di areal  tanah adatnya masing-masing. Tapi, ketika Polri membuka areal itu untuk  Markas Brimob, para ahli waris pemilik tanah adat tidak mau kalah,  mereka ikut membuka kawasan hutan pinus tersebut—baca bab tentang Hak Adat, Dimana Tanah Leluhur Kami.
Akhir-akhir ini Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mengurus izin membuka  200 hektare areal di sabuk hijau Kota Sipirok itu untuk lokasi  pertapakan Kantor Bupati Tapanuli Selatan. Ketika Polri yang merupakan  penjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat—termasuk di dalam  mengatasi segala bentuk upaya perambahan hutan dalam rangka menertibkan  tindak  melawan hokum berupa illegal logging—para ahli waris tanah-tanah  adat itu merasa diajari. Konon lagi jika Pemda Tapanuli Selatan membuka  areal itu, sangat pasti akan menimbulkan konflik berkepanjangan terkait  pengambilan kembali hak tanah adat masyarakat—baca bab tentang Guru  Kencing Berlari, Kami Mengencingi Guru.
Di sisi Timur, ada bukit-bukit yang berbatasan langsung dengan Kabupaten  Padang Lawas. Di kaki-kaki bukit yang merupakan kawasan hutan lindung  ini,  terdapat banyak perkampungan yang biasa disebut luat harangan  (kampong dalam hutan). Kampung-kampung luat harangan identik sebagai  perkampung yang terisolasi, miskin, dan terbelakang. Sebut saja Desa  Gadu, Liang, Aek Sialan, Pargarutan, Parmanoan, dan lain sebagainya.  Kampung-kampung ini berjarak sekitar 5—15 km dari Kelurahan Sipirok,  hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda. 
Anak-anak dari luat harangan hanya mengenyam pendidikan sampai bangku  SD.  Karena jarak antara satu kampong dengan kampong lain berjauhan,  institusi pendidikan yang ada di lingkungan mereka hanya sampai tingkat  sekolah dasar. Untuk mengenyam pendidikan di bangku SD, tidak sedikit  anak-anak yang mesti berjalan kaki 5 sampai 10 km, bertelanjang kaki  melintasi hutan dan menyeberangi sungai-sungai deras. Para siswa di SD  Negeri Gadu, misalnya, berasal dari empat desa di luat harangan. Setiap  pagi, anak-anak berseragam SD akan terlihat berjalan kaki membentuk  barisan. Mereka menjinjing sepatu, ujung celana atau rok sudah basah  oleh bekas embun, tetapi mata mereka memancarkan semangat untuk belajar  di local-lokal kelas yang sering tak member rasa nyaman dan aman—baca  bab tentang Sekolah Kami, Mereka Lupa Merehabnya.
Jika ingin melanjutkan ke jenjang SMP, mereka harus keluar dari  kampungnya dan tinggal di kampong-kampung lain yang memiliki SMP.  Sebagian besar anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dari  luat harangan, lebih memilih sekolah yang ada di Kota Padang Sidempuan  ketimbang di Kota Sipirok. Jarak yang harus mereka tempuh jauh lebih  dekat, karena mereka bisa memotong jalur melintasi hutan dan keluar di  Desa Tabusira, sebuah desa di pinggir Jalan Lintas Sumatra. Dari Desa  Tabusira, mereka memilih menaik kendaraan umum yang bisa ditempuh  sekitar setengah jam untuk sampai ke Kota Padang Sidempuan. 
Di Kota Padang Sidempuan, banyak alternatif SMP yang bisa dipilih,  disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga masing-masing. Sedangkan  di Kota Sipirok, altenatif SMP sangat terbatas. Untuk bisa bersekolah di  SMP, anak-anak dari luat harangan ini terpaksa tinggal sendiri di  rumah-rumah kontrakan dan hidup tanpa pengawasan orang tua. Mereka biasa  disebut anak dagang. Mereka tumbuh dan belajar sendiri hanya  mengandalkan pengawasan dari guru di sekolah, bermodalkan beras yang  dibawa dari rumah masing-masing setiap pekan, dan tanpa uang saku.  Kapasitas gizi mereka tidak memadai. Tidak jarang mereka makan hanya  dengan nasi putih butiran garam, sekali-sekali dengan lauk-pauk ikan  asin yang dibakar—baca bab tentang Betahun-Tahun Terisolasi,  Kami Belum Merdeka Barangkali.
Selepas SMP, mereka akan terus melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA.  Selama itu pula, mereka akan hidup seorang diri. Selepas SMA, mereka  akan memilih ke jenjang pendidikan tinggi. Sebagian tetap di Kota Padang  Sidempuan, tak sedikit yang memilih meratau ke kota-kota besar yang ada  di Indonesia.
Di sisi Utara, Sipirok berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara,  dibatasi kawasan hutan lindung yang mulai tidak terlindungi. Di dalam  kawasan hutan lindung ini, ada banyak perkampungan yang juga disebut  luat harangan. Seperti juga masyarakat dari luat harangan di sebelah  Timur, anak-anak dari perkampungan ini pun banyak yang meninggalkan  kampungnya untuk mengenyam pendidikan di jenjang lebih tinggi dari SD.  Perkampungan di luat harangan sebelah utara ini seperti Desa Bulu Mario,  Desa Paske, Desa Dano, dan lain sebagainya.
Untuk sampai di Kota Sipirok, dari Kota Medan, kota terbesar di Provinsi  Sumatra Utara, butuh waktu delapan jam melalui jalan darat. Dalam  hitungan waktu delapan jam, Sipirok dapat ditempuh dari Kota Padang, ibu  kota Provinsi Sumatra Barat. Waktu yang hampir sama juga bisa ditempuh  via Kota Sibolga di sebelah Barat atau lewat jalur Kota Rantauprapat di  sebelah Timur. 
Sepanjang perjalanan mengikuti alur aspal Jalan Lintas Sumatra  (Jalinsum), sering menikung mengikuti lekuk-lekuk kontur tanah  perbukitan, kita disuguhi pemandangan asri berupa hutan lindung, hutan  kawasan, dan sungai-sungai mengalir. Semilir angin menggiring aroma  kesegaran dan kesejukan alam yang belum tersentuh polusi udara.  Terkadang menguap aroma sulfur dari akar urat vulkanik yang bermuara di  kepundan gunung berapi sepanjang barisan bukit, menandakan bentangan  pesawahan yang membentuk tangga-tangga di lereng bukit-bukit memiliki  kesuburan alamiah dari timbunan humus tanah. Tapi, semua pesona alam itu  tidak bisa dinikmati karena kualitas jalan sangat buruk. 
Jalan di kota ini sepanjang sekitar 255 km, terdiri dari 80,90 km berupa  aspal, penuh lobang, mengingatkan pada kubangan kerbau; sebanyak 53,10  km merupakan jalan onderlag, tetapi tidak terawat, bak muka penuh bopeng  bekas jerawat; sebanyak 37,90 km merupakan jalan kerikil yang diperas,  tetapi batu-batunya tercerabut keluar, membuat siapa saja terantuk dan  terjatuh; serta 81,01 km merupakan jalan tanah yang lebih terlihat  seperti tumpukan lumpur di musim hujan dan sering menahan mobil-mobil  yang lewat sehingga tenggelam dam kubangan—baca bab tentang Mobilitas yang tak Mobile.
Jika jalur darat dari Kota Medan maupun Kota Padang terlalu banyak  memakan waktu tempuh dan mendesak untuk segera tiba, ada alternatif  jalur udara. Dengan pesawat Fokker 27 milik Maskapai Susi Air yang take  off dari Bandar Udara Polonia, kita bisa mendarat di landasan pacu  sepanjang 42.000 meter per segi di Bandara Udara Aekgodang dalam waktu  sekitar dua puluh menit. Terbang di atas Kabupaten Tapanuli Selatan yang  membentang seluas 4.367,05 km2 (436.705 hektare), tumpukan kabut tipis  tampak serupa kapas menggumpal di pucuk-pucuk bukit barisan yang  berjajar seolah memagari. Pemandangan petak-petak sawah dengan kelokan  sungai yang memanjang, ditambah bentangan perkebunan sawit dan padang  rumput menghijau menambah kenyamanan perjalanan—baca bab tentang Bisa Terbang, Bisakah….
Bandara Udara Aekgodang memang dibangun sebagai alternatif transportasi  bagi mereka yang menghendaki perjalanan dalam waktu singkat. Terletak di  perbatasan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Kabupaten Padang Lawas,  bandara ini baru melayani satu penerbangan setiap hari dengan pesawat  berkapasitas 12 kursi. Jadwal penerbangan itu belum memadai mengingat  banyak calon penumpang yang tak terlayani.  Dari Bandara Aekgodang  menuju Kota Sipirok,  perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit. Di Kota  Sipirok, yang merupakan salah satu kawasan kunjungan wisata di Provinsi  Sumatra Utara, Hotel Tor Sibohi standar internasional dapat menjadi  tempat istirhat yang nyaman. Berdiri di kaki Gunung Sibuahbuali, di  kawasan Tor (Gunung) Sibohi, para pengunjung akan disuguhi bentang  daerah pengunungan yang menghadap ke Kota Sipirok.
Dengan fasilitas 70 bungalow yang didesain serupa rumah adat, dibangun  dalam jajaran yang rapih dan asri, sewa kamar berkisar  Rp150.000—Rp500.000 semalam. Sejumlah biro perjalanan wisata di Kota  Medan dan di DKI Jakarta merekomendasi para pelanggannya untuk singgah  di Hotel Tor Sibohi, lalu menikmati ragam tradisi dan karya seni khas  Kota Sipirok. Ada juga objek wisata yang didesain para pengelola biro  perjalanan sebagai paket wisata, mulai dari Pemandian Air Panas Sosopan,  Pemandian Air Panas Padangbujur, seni kerajinan tangan manik-manik di  Kelurahan Hutasuhut, kain tenun adat yang disebut abit godang dan  parompa, dan banyak alternative obyek wisata lainnya—baca bab tentang Wisata, Wiiiiih …Tak Nyata
Para pengunjung, apalagi bagi wisatawan yang punya selera tinggi  terhadap sejarah, bisa menikmati selera ilmiahnya di Kota Sipirok. Kota  Sipirok pertama sekali dikenal di zaman Belanda sebagai daerah awal di  Provinsi Sumatra Utara, dimana Gereja pertama dibangun. Di Desa  Parausorat, sekitar lima kilometer dari pusat Kota Sipirok, sejarah  masuknya agama Kristen dan sejarah pembaptisan akan memenuhi selera  tentang histori. Ada juga masjid yang menyimpan sejarah yakni Masjid Sri  Alam Dunia di Kelurrhan Bagas Nagodang, yang awalnya bukan saja sebagai  tempat ibadah melainkan pusat segala kegiatan beragama di wilayah Kota  Sipirok. Bahkan, di era 1930-an masjid ini menjadi pusat aktivitas  politik para kiyai untuk mentang kolonialisme Belanda yang berkedok  penyebaran agama Kristen —baca bab tentang Politik di Aras Tradisi: Dari Serikat Islam Hingga Nahdlatul Ulama
Dibangun pada tahun 1926, Masjid Sri Alam Dunia menjadi simbol dari  perlawanan atas penjajahan Belanda yang juga melancarkan kristenisasi.  Namun, pertentangan antara pengelola Masjid Sri Alam Dunia dengan  Belanda tidak melibatkan masalah agama, karena pertentangan antaragama  Islam dan Kristen tidak pernah terjadi di kawasan ini. Pertentangan itu  hanya terjadi pada tingkat wacana, ketika Belanda mendeskriditkan  masyarakat penganut agama Islam dalam berbagai dinamika kehidupan  bermasyarakat, dan lebih memberi tempat kepada masyarakat Kristen—baca  bab tentang Marjambar, Toleransi Agama.
Inilah sejarah yang luhur, yang buktinya dapat dilihat dari pembangunan  Masjid Sri Alam Dunia yang bersebelahan dengan gereja. Kedua rumah  ibadah yang berdekatan itu menjadi symbol betapa semua lapisan  masyarakat di Kota Sipirok menjaga kerukunan antarumat beragama, dan  bisa hidup secara social tanpa kontradiksi yang dipicu oleh perbedaan  pemahaman agama tersebut.
Jika alternative wisata sejarah ini belum memenuhi selera para  wisatawan, masih ada sejumlah objek wisata di Kabupaten Tapanuli Selatan  yang tak kalah dengan objek wisata di daerah lain. Sebut saja Aek  Sijornih, air terjun yang menjadi tempat hiburan rakyat ini, menyuguhkan  pesona alam yang asri dengan kesegaran butiran air sungai yang dapat  dipakai untuk mandi. Ada juga Danau Siais yang merupakan danau terbesar  kedua di Provinsi Sumatra Utara, dapat menjadi wisata ilmiah bagi para  peneliti yang ingin mengetahui kekayaan flora dan fauna di kawasan danau  yang terbentuk dari patahan aliran Aek (Sungai) Batangtoru  tersebut..........................
Judul Buku :  Sipirok, Banua Nasoli
Penulis         :  Budi P. Hatees
Tebal  :  xvii + 350 halaman
Penerbit         :  MataKata, 2009
ISBN          :  975-456-2345-23
Daftar Isi
Pengantar Penerbit
Prolog
1. Halak Sipirok dan Kearifan Kain Sarung 
2. Masojid, Geliat Pagi, dan Gema Mikrofon.
3. Lopo, Kombur, dan Masyarakat Lisan.
4. Mistik: dari Begu Ganjang sampai Sirungguk 
5. Hak Waris: Paulak Sondukki.
6. Mangaratto, Sekolah, dan Jangan jadi Oto.
7. Tu Doli, Tradisi Pamer Ekonomi.
8. Halak Daret, Ditarik Magnet Ekonomi.
9. Gotong Royong: dari Daun Ubi Tumbuk sampai Sambal Tuktuk
10. Hak Adat, Dimana Tanah Leluhur Kami
11. Guru Kencing Berlari, Kami Mengencingi Guru.
12. Sekolah Kami, Mereka Lupa Merehabnya.
13. Betahun-Tahun Terisolasi,  Kami Belum Merdeka Barangkali.
14. Mobilitas yang tak Mobile.
15. Bisa Terbang, Bisakah….
16. Wisata, Wiiiiih …. Tak Nyata
17. Politik di Aras Tradisi: Dari Serikat Islam Hingga Nahdlatul Ulama
18. Marjambar, Toleransi Agama.
19. Geliat Ekonomi Rakyat, Kenapa Kami Masih Melarat?
20. Dilarang Sakit Pada Hari Minggu.
Epilog
